BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Dusun Kuala Rosan berbatasan langsung dengan Dusun Lubuk Piling. Kedua dusun ini
dipisahkan oleh Sungai Buayan yang lebarnya kurang lebih 10 meter dan dihubungkan dengan sebuah jembatan kayu. Jika dilihat dari arah hulu, warga Kuala Rosan menggunakan tepi sungai sebelah kanan, dan warga Lubuk Piling menggunakan tepi sungai sebelah kiri untuk melakukan aktifitas air seperti mencuci, mandi, buang air, dan sebagainya. Akan tetapi, meskipun jarak tempat tinggal warga kedua dusun tersebut sangat berdekatan (bisa dikatakan tetangga) dan bahkan menggunakan satu sungai, warga Kuala Rosan dan Lubuk Piling memiliki budaya yang berbeda. Warga Kuala Rosan menyebut diri mereka sebagai Melayu, dan warga Lubuk Piling sebagai Dayak Kancing’k.
Gambar 1 Sungai Buayan, sampan sebelah kiri adalah milik orang Melayu dan sampan sebelah kanan milik orang Dayak
Dilihat dari garis keturunan, masyarakat Melayu yang ada di Kuala Rosan pada dasarnya bukanlah asli Melayu. Melainkan orang Dayak kancing’k yang masuk Islam. Ketika penelitian ini dilakukan warga di Kuala Rosan sebagian besar sudah lahir dari orang tua Melayu (sudah Islam). Namun demikian, masih terdapat lima keluarga yang merupakan
1
pelaku konversi agama itu sendiri, dalam artian merekalah yang memutuskan pindah agama dan bukan karena mengikuti agama orang tua mereka. Yaitu orang Dayak kancing’k yang memutuskan untuk memeluk Islam dan tinggal di Kuala Rosan. Oleh karena orang Melayu Kuala Rosan dulunya berasal dari Dayak Kancing’k, maka seluruh warga Kuala Rosan dan Lubuk Piling masih terikat dalam hubungan kekerabatan. Dari luar, kedua kelompok masyarakat ini terlihat memiliki hubungan yang harmonis. Tidak pernah ada konflik terbuka antara keduanya. Namun di balik itu, antara Melayu Kuala Rosan dan Dayak Kancing’k Lubuk Piling terdapat suatu konflik yang terus-menerus dipelihara dan disadari oleh kedua kelompok tersebut1. Pada orang Melayu, ketegangan ini termanifestasi dalam berbagai wacana tentang perilaku Dayak yang tidak bisa dilakukan orang Melayu karena batasan agama. Orang Melayu mengembangkan wacana tersendiri dalam menilai dan menafsirkan kebiasaan orang Dayak. Wacana tersebut beredar pada masyarakat Melayu melalui cerita yang sebagian besar berkaitan dengan pilihan makanan orang Dayak dan kebiasaan mereka mengkonsumsi minuman keras. Di mana orang Dayak yang bebas mengkonsumsi binatang apa saja dan kebiasaan meminum minuman keras diharamkan bagi orang Islam, dalam hal ini masyarakat Melayu Kuala Rosan. Selain itu, babi yang selalu digunakan dalam upacara masyarakat Dayak dalam agama Islam dinyatakan sebagai binatang dengan najis mughallazah. Yaitu tingkat najis ‘berat’ dalam hukum Islam, setelah mukhaffafah (sedang) dan mutawassitoh (ringan). Tentu saja hal ini mendukung munculnya konflik akibat adanya pertentangan antara Melayu yang mengharamkan babi dan Dayak yang menjadikan babi sebagai bagian penting dari adat.
1
Pengertian konflik di sini mengacu pada definisi yang disampaikan oleh Mulkhan yaitu aktualisasi dari suatu perbedaan dan pertentangan dari dua pihak atau lebih (Mulkhan, 2001:39).
2
Dalam kehidupan sehari-hari, orang Melayu Kuala Rosan menjadikan batasan halalharam dan najis ini sebagai pembeda antara mereka dengan Dayak. Orang Kuala Rosan tidak mau datang ke Lubuk Piling (kecuali ada urusan tertentu) karena mereka menganggap Lubuk Piling sebagai tempat yang tidak suci karena banyak anjing berkeliaran di sana. Bahkan ketika orang Dayak memberikan makanan untuk orang Melayu, tidak jarang orang Melayu menolaknya karena menganggap makanan tersebut dimasak dengan alat yang pernah dipakai untuk mengolah babi atau anjing. Menyadari hal ini, setiap kali orang Dayak mengadakan acara dan ingin melibatkan orang Melayu, maka mereka meminta orang Melayu sendiri untuk menyembelih binatang yang akan dimasak agar orang Melayu bersedia memakannya. Perilaku orang Melayu yang menjadikan halal-haram dan najis sebagai batasan identitas sangat terlihat pada saat warga Dayak di Lubuk Piling mengadakan acara gawai. Yaitu pesta adat pasca panen yang rutin diadakan setiap tahun. Pada acara ini seluruh masyarakat Dayak akan menyembelih babi sebagai jamuan pesta. Babi yang sudah disembelih akan dibersihkan dan dicuci di sungai. Pada hari ketika orang Dayak secara serempak menyembelih babi, secara serempak pula orang Melayu Kuala Rosan tidak ada yang melakukan aktifitas di sungai Buayan. Orang Melayu memilih berjalan lebih jauh ke Sungai Rosan untuk melakukan aktifitas air. Ketegangan yang terjadi di Kuala Rosan ini disebabkan adanya perbedaan etnis dan ajaran agama. Akan tetapi, di sisi lain masyarakat Melayu tidak menjalankan ajaran agama sebagaimana perintah dalam rukun Islam. Dengan demikian terdapat pertentangan perilaku orang Melayu yang pada satu sisi menjadikan perbedaan ajaran agama sebagai alasan untuk menjauhkan diri dari orang Dayak, dan di sisi yang lain mereka tidak menjalankan perintah agama sebagaimana mestinya (sesuai dengan rukun Islam). Hal ini memunculkan anggapan bahwa sebenarnya ajaran agama bukanlah satu-satunya pemicu ketegangan antara masyarakat
3
Melayu dan Dayak, tetapi ada faktor lain, politik dan ekonomi misalnya, yang juga mendukung ketegangan antara keduanya. Baik orang Melayu maupun orang Dayak sama-sama saling memahami bahwa ada ketegangan di antara mereka sebagai akibat perbedaan ajaran agama. Orang Dayak tahu betul bahwa orang Melayu sangat membatasi diri dalam bergaul dengan kelompoknya. Orang Melayu pun melakukannya secara sadar dan sengaja, dan terus mewariskan perilaku ini kepada anak-anak mereka melalui nasihat dan larangan. Ketegangan akibat ketidaksenangan dan ketersinggungan di antara kedua kelompok ini terus dipelihara dalam relasi sosial mereka tanpa pernah berkembang menjadi konflik terbuka. Menyadari dan menanggapi keadaan ini, baik orang Dayak maupun orang Melayu berasumsi bahwa tidak berkembangnya ketegangan menjadi konflik terbuka dikarenakanhubungan darah antara keduanya, yang mana gambaran tentang ikatan persaudaraan tersebut diungkapkan seorang warga Dayak Kancing’k dengan analogi pisang yaitu“Ibarat pisang, kami masih satu tandan”. B.
Tinjauan Pustaka Tesis ini membahas relasi sosial antara kedua kelompok etnis, yaitu Dayak dan Melayu.
Secara tampak luar relasi antar etnis ini terlihat baik-baik saja dan harmonis. Namun, jika dipahami lebih dalam lagi di dalam relasi sosial antara kedua kelompok ini terdapat ketegangan yang muncul sebagai akibat dari perbedaan etnis dan agama. Oleh karenanya relasi sosial yang dibahas dalam penelitian ini adalah relasi sosial yang bersifat etno-religius. Yaitu relasi antar etnis yang bernuansa agama. Terkait dengan hal tersebut, dalam melakukan peninjauan pustaka saya mencoba untuk mencari faktor-faktor pemicu munculnya konflik agama. Asumsi saya adalah ketegangan antara kedua kelompok ini merupakan akar dari sebuah konflik agama.
4
Relasi sosial yang dibahas dalam tesis ini terjalin di Kuala Rosan antara Melayu (Muslim) dan Dayak Kancing’k (Kristen, Katolik, dan animis). Di sana, agama digunakan untuk membedakan identitas etnis Melayu dan Dayak. Agama dijadikan sebagai alat pembeda yang akurat dan perbedaan ajaran agama merupakan hal yang mutlak tidak bisa diganggu gugat. Perbedaan ini menimbulkan suatu ketegangan yang berujung renggangnya sebuah hubungan sosial. Kerenggangan hubungan sosial seringkali berujung pada konflik. Berkaitan dengan konflik antar agama, Serajul Islam(2005) menceritakan bahwa konflik antar warga muslim dan katolik yang terjadi di Moro bukan sepenuhnya dikarenakan sentimen agama. Warga muslim Moro merasa pemerintah kolonial Amerika memberikan perlakuan lebih kepada warga pemeluk agama Nasrani(pendatang) melalui peraturannya. Pemerintah kolonial Amerika memberikan ijin kepada warga Nasrani untuk mengolah lahan di Moro karena melihat Moro sebagai tanah yang menjanjikan. Pada perkembangannya, warga asing tersebut mengembangkan Moro sebagai basis perusahaan trans-nasional. Keadaan ini membuat posisi warga muslim Moro secara ekonomi tertinggal dari warga pendatang. Pada tahun 1946, warga Moro mengajukan memorandum kepada pemerintah kolonial yang salah satu isinya adalah mereka tidak ingin agama mereka dibatasi dengan cara apapun. Melalui alasan agama, masyarakat Moro tidak mau kehidupan dan lingkungan tempat tinggal mereka dicampuri oleh warga asing. Hal ini berarti bahwa warga asing tidak boleh masuk ke wilayah masyarakat Moro. Lebih lanjut, Serajul Islam mengatakan bahwa bukan perbedaan budaya dan agama itu sendiri yang memicu munculnya konflik di Moro. Melainkan pemerintah kolonial Amerika yang memperburuk keadaan dengan menggalakkan berkembangnya identitas etnoreligius(etnis berbasis agama) kelompok muslim Moro untuk membedakannya dengan pendatang yang Nasrani.
5
Konflik atas dasar agama juga terjadi di Malifut, Propinsi Maluku seperti yang diceritakan Wilson (2008). Pada tahun 1975 pemerintah melalui program transmigrasi memindahkan orang dari daerah Makian yang beragama Islam ke daerah Kao yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Pada perkembangannya, orang Makian banyak bekerja dalam sektor pemerintahan karena banyak anak mereka yang melanjutkan sampai tingkat perguruan tinggi.Sementara orang Kao masih banyak bekerja pada sektor pertanian dan perikanan karena semangat bekerja dan bersekolah mereka tidak seperti para transmigran yang memang merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Orang Kao melihat pemerintah tidak adil karena banyak pemuda Makian yang bekerja di sektor pemerintahan sementara orang Kao meskipun sudah sekolah sampai perguruan tinggi di Ternate tidak bisa demikian. Kemudian orang Kao menggugat tanah tempat tinggal orang Makian sebagai tanah milik leluhur orang Kao, sementara orang Makian bersikeras bahwa tanah yang mereka tempati adalah milik mereka di bawah payung Departemen Transmigrasi. Ketegangan yang terjadi antara kedua kelompok ini terus terjadi dan berkembang menjadi konflik antar agama ketika ada salah seorang pemuda Kao yang dibunuh oleh orang muslim Makian. Meskipun beberapa pihak sudah mengatakan bahwa pembunuhan tersebut murni sebagai persoalan pribadi, bukan agama. Menurut Wilson, identitas agama dijadikan alat pemicu konflik karena identitas ini memiliki cakupan yang lebih luas daripada identitas etnis dan kewilayahan sehingga berita tentang konflik bisa meluas dengan sangat cepat. Pada bagian akhir dari tulisannya, Wilson mengatakan “analysis of the Malifut case sounds a note of caution about placing too much importance on economic factors as the primary cause of violent conflict” (Wilson. 2000:180). Hampir sama dengan Wilson, Azra juga menuliskan tentang penyebab konflik yang terjadi di Ambon dan Maluku. Menurutnya, kerusuhan yang terjadi di kedua daerah tersebut berasal dari persaingan sumber daya ekonomi dan distribusi kekuatan politik yang tidak 6
proporsional pada birokrasi lokal antara masyarakat muslim (terdiri dari warga Maluku asli dan para pendatang yang lebih dikenal dengan BBM: Bugis, Buton, Makassar yang semuanya berasal dari Sulawesi Selatan) dan penduduk asli yang Kristen. Hal ini terjadi selama lebih dari dua dekade, dan Soeharto sebagai presiden pada masa itu gagal untuk menangani masalah laten ini (Azra, 2003:70). Dari ketiga kasus konflik antar agama tersebut di atas, tampak bahwa ketiganya hanya menjadikan agama sebagai alasan munculnya konflik. Sementara faktor lain yang ada di balik konflik agama tersebut adalah politik dan ekonomi. Oleh karena itu, saya berasumsi awal bahwa ketegangan sosial yang terjadi di Kuala Rosan pada dasarnya juga berbasis politik dan ekonomi. Dalam konteks relasi etnis, di wilayah Kalimantan Barat, khususnya Sambas, pernah terjadi konflik etnis yang memakan banyak korban jiwa. Konflik ini berlangsung pada tahun 1999, antara etnis Melayu yang bergabung dengan Dayak melawan etnis Madura. Purwana (2003), melihat konflik ini sebagai konflik politik ekonomi antara masyarakat lokal Melayu dan masyarakat etnis pendatang Madura. Awalnya konflik ini hanya antara Melayu dan Madura. Akan tetapi kemudian Melayu bergabung dengan Dayak melawan etnis Madura. Konflik berawal dari peristiwa berulang, di mana Madura dianggap seringkali berbuat merugikan warga Melayu dalam hal transaksi, kepemilikan barang, dan lain sebagainya. Madura pun tidak segan berbuat kekerasan kepada warga Melayu. Oleh karenanya Madura dianggap tidak menghargai tradisi dan adat-istiadat Melayu. Islam (2005) menulis tentang konflik antara masyarakat Islam Moro dan pendatang Katolik, Wilson (2008) menulis tentang konflik antara masyarakat lokal Makian dan masyarakat pendatang dari Buton, Bugis dan Makasar, dan Azra (2003) yang juga menulis tentang konflik agama di Maluku, ketiganya sama-sama menuliskan konflik politik-ekonomi yang dibungkus dengan konflik agama. Sementara Purwana (2003) melakukan penelitian 7
dengan tema, lokasi dan subyek penelitian yang sama dengan penelitian ini, yaitu Melayu di Kalimantan Barat. Konflik yang ditulis olehIslam (2005), Wilson (2008), Azra (2003) dan Purwana (2003) menggambarkan relasi sosial antara masyarakat lokal dan pendatang. Hal inilah berbeda dengan penelitian yang saya lakukan, di mana relasi sosial yang dibahas dalam tulisan ini terjalin pada sesama masyarakat lokal, hanya saja satu kelompok melakukan perpindahan agama dan kelompok yang lain tetap pada agamanya. C.
Rumusan Permasalahan Di dalam relasi sosial yang terjalin antara etnis Melayu dan Dayak terdapat satu
ketegangan yang berbasis pada perbedaan agama dan identitas etnis. Ketegangan ini serupa dengan apa yang disebut Scott (2000) sebagai konflik tertutup, yaitu konflik yang tidak dilakukan secara terang-terangan, tanpa aliansi, tidak terorganisir, dan tanpa perlawanan secara langsung. Di Kuala Rosan yang menjadi lokasi penelitian ini, ketegangan yang terjadi dibiarkan tetap menjadi konflik tertutup tanpa pernah berkembang menjadi konflik terbuka. Penelitian ini ingin mencari tahu faktor apakah yang sebenarnya melatarbelakangi munculnya ketegangan antara Etnis Melayu dan Dayak, dan mengapa ketegangan tersebut tidak pernah berkembang menjadi konflik terbuka? D.
Kerangka Pemikiran Relasi sosial yang dibahas dalam tesis ini terjalin pada kelompok masyarakat etnis
Melayu dan Dayak Kancing’k. Relasi tersebut terjalin karena ada ikatan sosial di dalamnya, yang oleh Purwana (2003) dimaknai sebagai hubungan ekslusif yang berbasis pada kekeluargaan, kekerabatan, agama, suku, kedaerahan, dan lain-lain. Etnismenurut Abdillah (2002) adalah identitas yang diperoleh seseorang karena kelahiran, ia mengatakan
8
“kata etnis menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau kelompok. Seseorang atau kelompok yang menjadi Jawa, Bugis, Sunda, Inggris, Belanda, atau Afrika mendapat predikat-predikat itu tanpa disadari pada awalnya. Seseorang tidak bisa menolak menjadi Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa meminta untuk menjadi Jawa, Batak, atau Melayu dan sebagainya. Predikat tersebut menjadi suatu yang taken for granted sedari awal penciptaan (kelahiran)”(Abdillah,.2002 : 75). Apa yang disampaikan oleh Abdillah tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Friedman tentang identitas etnis, “if ‘cultural identity’ is the generic concept, referring to the attribution of a set of qualities to a given population, we can say the cultural identity that is experienced and carried by the individual, in the blood, so to say, it what is commonly known as ethnicity. It is not practiced but inherent, not achieved but ascribed” (Friedman, 1994 : 29). Abdillah dan Friedman menggunakan teori primordialisme yang melihat fenomena etnis dalam kategori-kategori sosio-biologis. Pendekatan primordialisme umumnya beranggapan bahwa kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh gambaran seperti kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa dan organisasi sosial yang memang disadari oleh obyek sebagai sesuatu yang givendan tidak bisa dibantah. Berlawanan dengan primordialisme, Frederik Barth (1969), sebagai tokoh teori konstruktivisme memandang identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial yang kompleks, di mana batasan-batasan simbolik terus-menerus membangun dan dibangun oleh sejarah dan pengalaman masa lampau. Barth menuliskan “ethnic distinctions do not depend on an absence of social interaction and acceptance, but are quite to the contrary often the very
9
foundations on which embracing social systems are built” (Barth, 1969:10). Lebih lanjut, Barth (dalam Akil, 1994:184) juga mengatakan bahwa identitas etnis terbentuk ketika terdapat simbiosis antar kelompok etnis yang mana antar mereka terjalin hubungan saling melengkapi. Jika kondisi demikian tidak ada, maka pengaturan batas etnis tidak akan ada melainkan hanya interaksi tanpa identitas etnis. Di atas, terlihat adanya dua sudut pandang yang berbeda mengenai sifat identitas etnis. Di satu sisi, Abdillah dan Friedman (penganut primordialisme) melihat identitas etnis sebagai sesuatu yang given dan dibawa sejak lahir, sedangkan di sisi yang lain Barth melihat identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial. Dari kedua pandangan tersebut, tampaknya fakta sosial yang terjadi di Kuala Rosan mendukung apa yang disampaikan oleh Barth bahwa identitas etnis merupakan hasil dari proses sosial. Melayu di Kuala Rosan bukanlah mereka yang lahir dari ayah dan ibu Melayu. Melainkan siapapun orang pedalaman yang beragama Islam akan disebut (dan menyebut diri) sebagai Melayu, sedangkan yang tidak beragama Islam adalah Dayak. Gagasan Barth (1969) tentang sifat identitas etnis juga didukung oleh data yang ditulis oleh Walker (2004). Ia (Walker) membuka kembali ‘Sejarah Melayu’ yang diterjemahkan oleh Rafless pada tahun 1821. ‘Sejarah Melayu’ ditulis pada abad 15 dan 16 atas perintah Sultan Johor, yaitu Abdullah Mu’ayat Syah. Dalam tulisannya, Walker menunjukkan bahwa orang Melayu berasal dari Kesultanan Malaka di Johor yang memperluas kekuasaannya di Borneo dengan menduduki Kesultanan Brunei. Dari sanalah identitas Melayu mulai dipakai dan berkembang ke seluruh Kalimantan. Di mana penduduk asli pulau Kalimantan sendiri (menurut Djuweng, dkk (1994), Lontaan (1975), dan Alqadrie (1999)) adalah orang Dayak. Penelitian ini membahas relasi sosial dengan latar belakang etnis dan agama yang berbeda, yang mana relasi antar etnis dan agama tersebut memiliki pola yang sama dengan konsep perang dingin yang ditawarkan oleh Scott (2000). Scott (2000) membahas tentang 10
perang dingin antara petani miskin dan petani kaya, yang mana perang dingin ini termanifestasi dalam kata-kata, gerak tipu, ancaman, pertarungan, dan propaganda. Scott juga mengatakan bahwa cerita-cerita yang muncul dalam perang dingin tersebut merupakan bangunan ideologis yang sedang dibangun sebagai kritik terhadap sesuatu yang seharusnya ada. Pola hubungan semacam ini sengaja dibangun karena pihak yang kapasitasnya lebih kecil sadar akan akibat jika mereka mengadakan konflik secara terbuka. Untuk dibandingkan dengan perang dingin, Scott (2000) juga menjelaskan tentang konflik terbuka yang terjadi pada petani. Dalam konflik terbuka, salah satu pihak yang berkonflik (Scott membahas tentang petani gurem) akan mengadakan aliansi dengan kekuatan sosial-politik di luar wilayah yang sama-sama merasa diperlakukan tidak adil. Masing-masing pihak dalam konflik terbuka menyatakan sikap permusuhan secara terangterangan. Pihak yang menang dalam konflik ini akan mampu mencapai hal yang ingin diperoleh melalui konflik, tetapi jika kalah maka pihak yang menang akan membuat kebijakan atau melakukan hal baru yang justru akan mengeliminir kepentingan pihak yang kalah. Sehubungan dengan tesis ini, dalam relasi sosial antara Melayu dan Dayak tidak terjadi konflik secara terbuka, melainkan ketegangan sosial yang memiliki pola yang sama dengan perang dingin sebagai bentuk lain dari konflik terbuka. Ketegangan sosial antar etnis Melayu dan Dayak mengacu pada pandangan mengunggulkan identitas etnis sendiri, atau etnosentrisme. Melayu merasa lebih baik daripada Dayak, begitu juga dengan Dayak yang merasa lebih baik daripada Melayu. Berkaitan dengan etnosentrisme ini, Chang (2003) melihat bahwa “Etnosentrisme tidak hanya menolak ikatan etnis, tetapi menjarakkan hubungan dekat (akrab) mereka. Satu kelompok etnis merasa diri mereka hebat, superior, lebih berhak, mempunyai status lebih tinggi dari etnis lainnya” (Chang, 2003:30). Apa yang dikatakan Chang mengenai etnosentrisme ini terjadi di Kuala Rosan. Hal ini terlihat dari stereotip yang beredar di 11
Melayu tentang Dayak, dan juga wacana yang beredar pada masyarakat Dayak tentang perilaku Melayu. wacana yang beredar tidak lain adalah untuk menjelekkan kelompok lain atau untuk membaikkan citra kelompok sendiri. Berkaitan dengan perpindahan agama yang terjadi pada masyarakat Dayak di Kuala Rosan, saya mengutip apa yang disampaikan oleh Tockary dalam catatannya tentang konflik etnis dan agama di Indonesia dalam kaitannya dengan nasionalisme dan komunalisme. Ia melihat bahwa dalam masyarakat pre-modern, perpindahan agama dilihat sebagai tindakan pengingkaran terhadap agama dan pengkhianatan terhadap masyarakat, dan dalam keadaan begitu ketegangan mudah sekali terjadi(Tockary, 2003:57). Gagasan Tockary ini menurut saya sangat berguna untuk melihat awal mula perpindahan etnis akibat dianutnya agama Islam. Pastilah ada sesuatu yang mengharuskan orang Dayak yang memeluk Islam tidak bisa menggunakan identitas Dayak lagi. Sehingga mereka menggunakan identitas Melayu yang memang etnis tersebut identik dengan Islam. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Alqadrie (2003) menyebutkan bahwa dipakainya identitas Melayu pasca masuk Islam merupakan akibat adanya proses pengasingan. Lebih lanjut, ia menuliskan bahwa “dalam tindakan pengasingan seperti ini mereka membutuhkan dan mencari identitas baru, kemudian menemukan identitas baru tersebut dalam entitas Melayu dan mereka secara keseluruhan dan sepenuhnya diterima oleh kelompok etnis Melayu” (Alqadrie, 2003:102). Suparlan (2003) menilai bahwa persaingan antar etnis tidak selalu menimbulkan konflik berdarah. Hal inilah yang terjadi di Kuala Rosan, yang mana dalam relasi sosial yang terjalin antara Melayu dan Dayak tidak pernah terjadi konflik fisik. Pertentangan yang terjadi hanya berakhir sampai batassaling melempar wacana dan saling menjelekkan antara keduanya. Dalam menjalankan ibadahnya, masyarakat Melayu tidak sepenuhnya menjalankan perintah agama Islam seperti yang tercantum dalam rukun Islam, yaitu syahadat, salat lima waktu, puasa di Bulan Ramadhan, membayar zakat, dan naik haji. Sementara rukun Islam 12
merupakan perintah yang paling dasar dalam agama Islam. Akan tetapi, masyarakat Melayu justru menekankan bahwa menghindari babi merupakan syarat menjadi orang Melayu dan menganggap perilaku ini lebih penting daripada menjalankan rukun Islam. Pola beribadah orang Melayu di Kuala Rosan (Dayak yang masuk Islam) sama seperti Islam abangan pada masyarakat Jawa, yang mana masyarakatnya masih banyak menjalankan tradisi kejawen. Suseno mengatakan bahwa “masyarakat Jawa tidak menjalankan kewajibankewajiban agama Islam, jadi tidak berdoa lima kali, tidak ke mesjid, sering tidak berpuasa di bulan ramadhan, dan mereka juga tidak berpikir untuk mengatur hidup mereka menurut aturan-aturan Alquran” (Suseno 2001:15). Geertz juga menjelaskan tentang abangan ini, menurutnya “agama abangan, yang demikian ritual dan demikian terikat kepada adat, tidak memerlukan latihan formal untuk mendukungnya. Ia bisa dipelajari sebagaimana semua yang lainnya dalam kehidupan seorang petani, secara sambil lalu atau sengaja, dengan mengikuti contoh-contoh yang diberikan orang lain, dan itu berlangsung terus lewat pengulangan kembali berbagai dramanya yang kompak, yang terjalin sebagaimana adanya ke dalam seluruh irama kehidupan sosial dan budaya”(Geertz 1983:241). Abangan diterima oleh orang Jawa karena sifatnya yang luwes dan sehingga Islam dianggapbisa disesuaikan dengan tradisi yang sudah ada sebelumnya.Tentu saja Islam abangan ini serupa dengan pola beribadah orang Melayu yang justru masih melakukan tradisi dan kepercayaan Dayak. Sebagai gambaran, dalam memahami pola keberagaman Jawa, De Jong lebih suka menyebutnya sebagai sikap yang mendua (ambivalent) karena pola pikir orang Jawa yang bersifat mewakili secara keseluruhan dari dua hal yang bertentangan (Soehadda 2008:19). Di sisi lain, Turner (dalam Soehadda2008:18) menanggapi sikap ambigu manusia Jawa bukan sebagai suatu pertentangan, namun sebagai suatu sifat yang berada di tengah-tengah (between and betwixt). Menurutnya, sifat ambigu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mewakili dari salah satu struktur apapun. Melainkan dapat juga diartikan sebagai sifat mengambil jalan
13
tengah sekaligus juga berarti penyatuan. Jika dikaitkan dengan konteks masyarakat Melayu di Kuala Rosan, tampaknya perilaku mereka cenderung mengacu kepada apa yang disebut Jong sebagai ambivalent karena pola pikir orang Melayu yang juga bersifat mewakili dari dua hal yang bertentangan, yaitu ajaran Islam dan tradisi Dayak. Masyarakat Melayu tidak merasa berada di tengah-tengah seperti yang disebut Turner sebagai between and betwixt, karena mereka meyakinkan diri sebagai orang Melayu dan bahkan cenderung menegasikan orang Dayak dengan menciptakan wacana-wacana tentang perilaku Dayak yang mereka anggap buruk. E.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Dusun Kuala Rosan, Desa Kuala Rosan, Kecamatan Meliau,
Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, pada Bulan Mei sampai Agustus 2011. Kuala Rosan merupakan dusun yang seluruh masyarakatnya merupakan etnis Melayu. Kuala Rosan berdampingan dengan Dusun Lubuk Piling yang mayoritas penduduknya beretnis Dayak Kancing’k. Latar belakang tempat dan perbedaan etnis inilah yang mendukung saya menentukan tema penelitian ini. Data yang saya kumpulkan sebagian besar berasal wacana orang Melayu dalam melihat perilaku orang Dayak. Hal ini berdasarkan pertimbangan saya, bahwa pihak yang mempermasalahkan perbedaan ajaran agama (seperti halal-haram dan najis) adalah kelompok Melayu. Sementara orang Dayak bebas melakukan apa saja yang dilarang bagi orang Islam. Dari wacana tersebut saya berusaha mencari tahu lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi dengan mengadakan wawancara baik kepada orang Melayu wacana, maupun dengan orang Dayak. Dari wacana yang berkembang saya melakukan konfirmasi untuk membandingkan siapa sebenarnya pihak yang menyulut ketegangan. Dari sana, saya berharap akan bisa diketahui penyebab munculnya konflik yang sebenarnya.
14
Saya mengumpulkan wacana dari semua sumber, dalam artian saya menerima semua informasi yang masuk. Tetapi untuk mencari jawaban dari permasalahan, saya menentukan beberapa informan atau pembicara asli (menurut Spradley, 1997:35) dengan melakukan wawancara mendalam. Beberapa informan kunci yang saya jadikan acuan adalah tokoh adat, tokoh agama, tokeh, pengurus desa, orang-orang yang mengetahui sejarah pendirian kampung Kuala Rosan, dan orang-orang Dayak yang dengan sendirinya memutuskan untuk masuk Islam (disebut muallaf) dan keluarganya. Dalam asumsi saya, orang-orang yang saya jadikan informan kunci tersebut merupakan orang-orang yang memegang posisi penting dan rawan konflik. Pengurus desa berkaitan dengan politik pemerintahan desa, tokoh agama adalah orang yang menyebarkan agama yang mana kedua kelompok memiliki agama yang berbeda, tokeh adalah orang yang memegang kendali atas arus ekonomi di Kuala Rosan, dan muallaf adalah orang-orang yang secara sadar akan berkonflik dengan orang Dayak sebagai identitas asalnya. Selain itu, informasi dari masyarakat umum juga saya kumpulkan karena sebagian besar wacana berkembang pada mereka dan inilah yang menjadi informasi utama saya. Wawancara mendalam saya lakukan untuk untuk mendapatkan data yang dapat menunjang penelitian ini. Yaitu wawancara dengan pertanyaan yang berkaitan dengan life history, kondisi ekonomi, kekerabatan dan sistem waris, keagamaan dan kepercayaan, hal-hal yang berkaitan dengan etnisitas, dan ketaatan dalam beragama. Waktu penelitian yang bertepatan dengan musim gawai adat Dayak di Lubuk Piling juga sangat mendukung penelitian ini. Di mana pada masa menjelang gawai adat inilah ketegangan antar kedua etnis ini semakin jelas terlihat. Data yang saya dapatkan dari penelitian ini berupa data kualitatif. Sebagai penunjang, saya menggunakan data kuantitatif yang berkaitan dengan statistik penduduk yang saya dapatkan dari kantor desa dan pengurus desa. Data yang saya kumpulkan di lapangan
15
kemudian saya lengkapi dengan studi pustaka untuk menambah informasi guna mencapai hasil penelitian yang baik dan analisis yang tajam . F.
Sistematika Penyusunan Tujuan akhir dari tesis ini adalah memberikan gambaran dan penjelasan mengenai
relasi etnis yang terjadi di Desa Kuala Rosan antara masyarakat Melayu dan Dayak Kancing’k. Untuk memudahkan pemahaman terhadap gagasan inti tesis ini, dan untuk menghindari meluasnya sajian data, maka tesis ini telah dibagi menjadi enam bab yang terdiri atas, 1.
Bab 1 berisi permulaan penulisan, berfungsi sebagai proposal penulisan tesis. Bab 1 terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, kerangka pemikiran, tujuan, metode penelitian, dan sistematika penyusunan.
2.
Bab 2 adalah hasil penelitian yang berhubungan dengan lokasi penelitian. Dalam bab ini dicantumkan data mengenai kependudukan dan kondisi sosial budaya, serta sejarah singkat kampung yang diasumsikan turut menjadi pemicu munculnya konflik. Data pada bab ini menjadi data pendukung bab-bab selanjutnya, terutama pada bab pembahasan.
3.
Bab 3 berisi hasil penelitian yang berhubungan dengan tema, yang meliputi religiusitas orang Melayu dan proses munculnya wacana negatif akibat perbedaan agama. Pada bab ini akan dibahas bagaimana orang Melayu menegasikan orang Dayak melalui wacanawacana yang mereka kembangkan tentang perilaku orang Dayak. Bab ini menunjukkan bagaimana pola relasi sosial yang terjalin antara kedua kelompok tersebut.
4.
Bab 4 adalah paradoks dari bab sebelumnya. Pada Bab ini akan dibahas bagaimana orang Melayu yang pada bab sebelumnya terlihat menegasikan orang Dayak, pada kenyataannya masih sangat tergantung kepada Dayak, terutama dalam urusan politik, tradisi, hukum, dan posisi Dayak yang mendominasi daerah pedalaman.
16
5.
Bab 5 adalah pembahasan mengenai hasil penelitian yang tertulis di bab 2, bab 3 dan bab 4 yang dikorelasikan dengan kerangka teori yang ada pada bab 1. Pada Bab ini pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan akan dijawab secara deskriptif.
6.
Bab 6 berisi kesimpulan dari seluruh isi tesis. Kesimpulan ini berisi jawaban dari rumusan pertanyaan yang menjadi permasalahan tesis ini.
17