BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Landasan sistem ekonomi negara diatur dalam Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara 1945, mengatur tanggungjawab yang
dibebankan
kepada
negara
dalam
upaya
meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Selain ditujukan kepada negara, tanggungjawab juga dibebankan kepada golongan yang mampu berusaha, dan karena itu dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara 1945 memuat semangat kebersamaan
(kekeluargaan),
sumber-sumber
kemakmuran
dan
kesejahteraan sosial, pelaku usaha, bangunan dan wadah/bentuk usaha, cara penggunaan/proses berusaha, serta tujuan akhir kegiatan usaha yaitu untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama. 1 Dalam proses pembangunan ekonomi nasional, sampai saat ini struktur ekonomi Indonesia
disangga oleh para pelaku usaha yang
tergabung dalam kelompok usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan kelompok usaha besar. Sumbangan dari kelompok ini sangat berarti dalam perekonomian nasional. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan salah satu pilar utama perekonomian nasional yang
berwawasan
kemandirian
1
memiliki
potensi
besar
untuk
Tatang Astrarudin, 2008, Perjanjian Kemitraan Usaha Antara Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Dengan Usaha Besar Sebagai Upaya Memperkokoh Struktur Ekonomi Nasional Menurut Peraturan Perundang Undangan Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung, h.1-2. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, h. 95-97. (Selanjutnya disebut Jimly Asshidiqie I).
1
2 meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tanpa mengabaikan peran usaha besar, koperasi, maupun BUMN. Perkembangan
UMKM
memiliki
potensi
besar
dalam
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal mana ditunjukkan oleh keberadaan UMKM yang telah mencerminkan wujud nyata kehidupan sosial dan ekonomi bagian terbesar dari rakyat Indonesia. Peran UMKM yang besar ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap produksi nasional, jumlah unit usaha dan pengusaha, serta penyerapan tenaga kerja. Ditengah perkembangan ekonomi yang ada, UMKM sebagai pilar ekonomi nasional dari segi kuantitas belum diimbangi dengan peningkatan kualitas yang memadai. Masalah yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas dan daya saing, sehingga menimbulkan kesenjangan besar antara UMKM dengan usaha berskala besar. Peningkatan
produktivitas
sangat
dibutuhkan
guna
mendorong
peningkatan daya saing UMKM untuk bisa berkompetensi, baik dalam kancah perekonomian domestik maupun global. Prolem krusial yang dihadapi UMKM adalah terbatasnya akses UMKM kepada sumber daya produktif, terutama terhadap permodalan, teknologi, informasi dan pasar. Terbatasnya akses UMKM terhadap modal menyebabkan sulit untuk meningkatkan kapasitas usaha dan mengembangkan produk-produk yang berdaya saing. Problem akses modal UMKM sumber penyebabnya justru karena keterbatasan UMKM itu sendiri baik dari segi pemasaran, penguasaan teknologi dan informasi, serta buruknya manajemen usaha.
3 Faktor tersebut menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan lembaga perbankan dan lembaga keuangan lainnya untuk memberikan bantuan permodalan dalam bentuk kredit terhadap UMKM. Selain itu, ketidakmampuan UMKM untuk menyediakan jaminan (agunan) telah menyulitkan UMKM untuk mengakses kredit dari perbankan. Semua negara, terutama negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami problem yang sama berkaitan dengan terbatasnya akses UMKM terhadap modal. Hal yang sama juga dialami oleh UMKM yang bergerak di sektor usaha pariwisata, dan bila dicermati secara umum sumber masalahnya juga hampir sama. Pariwisata adalah suatu kegiatan yang menyediakan jasa akomodasi, transportasi, makanan, rekreasi serta jasa-jasa lainnya yang terkait. Sebagai suatu bentuk perdagangan jasa, pariwisata merupakan suatu sistem perdagangan jasa yang mencakup berbagai komponen perdagangan jasa, seperti; pelaku,
bentuk jasa, konsumen jasa, dan
transaksi jasa yang menghubungkan pemasok jasa dan konsumen jasa . 2 Kegiatan pariwisata di era globalisasi tidak dapat dipungkiri telah membawa dampak positif berupa keuntungan dibidang ekonomi, seperti; pemasukan dari sektor pajak dan perluasan kesempatan kerja, terutama bagi Negara yang menjadi tujuan wisata. Namun pada sisi lain pariwisata juga dapat membawa dampak negatif, seperti kerusakan 2
Wyasa Putra, Ida Bagus, 2010, Fungsi Hukum Dalam Pengaturan Pariwisata Sebagai Bentuk Perdagangan Jasa: Inkonsistensi Konsep Dalam Kebijakan Pariwisata dan Penyerapan General Agreement on Trade in Services Dalam Pengaturan Perdagangan Jasa Pariwisata Internasional Indonesia, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h. 120. (Selanjutnya disebut Wyasa Putra Ida Bagus I).
4 lingkungan, sebagaimana
dikemukakan
oleh Supasti Dharmawan,
sebagai berikut; A many studies have shown that the growth and development of the tourism industry bring both positive and negative impacts for the destinations. The positive impacts of these activities are increased tax revenues, open job opportunities for communicates and for the construction of adequate infrastructure, etc. on the other hands, the negative impacts of it are environmental damage both environment in terms of natural ecosystems such as air pollution, exploitation of water resources, destruction of coral reef as well as environmental damage in the social dimensions such as the behavior of tourists which are sometimes inappropriate with the local cultures. 3 (Banyak studi menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan industri pariwisata memberikan baik dampak positif maupun negatif bagi daerah tujuannya. Dampak positif tersebut adalah peningkatan pendapatan pajak, terbukanya kesempatan pekerjaan, konstruksi infrastruktur yang memadia, dan lain-lain. Disisi lain dampak negatifnya adalah kerusakan lingkungan baik secara natural yang berdampak pada ekosistem seperti adanya polusi udara, eksploitasi sumber daya air, kerusakan terumbu karang dan juga kerusakan lingkungan dalam aspek sosial seperti perilaku para turis yang terkadang tidak sesuai dengan budaya lokal). Perdagangan jasa pariwisata melibatkan berbagai aspek. Aspekaspek tersebut antara lain aspek ekonomi, budaya, sosial, agama, lingkungan, keamanan, dan aspek lainnya. Aspek yang mendapat perhatian paling besar dalam pembangunan pariwisata adalah aspek ekonomi. Terkait dengan aspek ekonomi inilah pariwisata dikatakan sebagai suatu industri. Bahkan kegiatan pariwisata dikatakan sebagai
3
Supasti Dharmawan, Ni Ketut, 2012, Tourism and Enviroment; Toward Promoting Sustainable Development of Turist; A Human Rights Perspective, Indonesia Law Review, Year 2 vol. 1, January – April 2012, h. 23 (Selanjutnya disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut I)
5 suatu kegiatan bisnis 4, yang berorientasi dalam penyediaan jasa yang dibutuhkan wisatawan. Dewasa ini perkembangan pariwisata dunia mengarah ke Asia Pasifik, setelah Eropa
mengalami jaman keemasan pada masa-masa
terdahulu. Negara-negara dikawasan Asia Pasifik dan Karibia akan mewakili pengembangan pasar Internasional baru dan akan menjadi masa depan internasional. 5 Indonesia berada di kawasan Asia Pasifik, merupakan destinasi pariwisata yang sangat dikenal dunia. Pariwisata mempunyai pengaruh yang
sangat
besar
terhadap
perekonomian
masyarakat,
dimana
pariwisata mempunyai peranan positif dalam penciptaan pendapatan bagi
masyarakat,
penciptaan
lapangan
kerja,
sebagai
sumber
penghasilan devisa, mendorong ekspor (khususnya barang-barang hasil industri kerajinan), dan mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih berimbang. Kegiatan pariwisata
yang melibatkan usaha yang berskala
besar maupun Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM mempunyai peranan strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena disamping berperan dalam pertumbuhan
4
Gelgel, I Putu, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi Perdagangan Jasa (GATS-WTO) Implikasi Hukum dan Antisipasinya, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 23. (Selanjutnya disebut Gelgel I Putu I). Lihat juga Wyasa Putra Ida Bagus, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata., PT. Refika Aditama, Bandung, h. 17-18. (Selanjutnya disebut Wyasa Putra Ida Bagus II). 5 Pitana I Gede, 2006, Kepariwisataan Bali Dalam Wacana Otonomi Daerah, Puslitbang Kepariwisataan Badan Pengembangan Sumber Daya Budpar Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, h.3. (Selnjutnya disebut Pitana I Gede I).
6 ekonomi
dan
penyerapan
tenaga
kerja
juga
berperan
dalam
pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Usaha mikro, kecil, dan menengah sebagai bagian dari usaha ekonomi
kerakyatan
penting untuk
diberdayakan
ditengah
arus
perkembangan pariwisata. Dalam penyelenggaraan kepariwisataan di era globalisasi, pemerintah perlu memberi dorongan agar kegiatan usaha dibidang pariwisata dapat memberi peluang dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. 6 Bila UMKM sebagai bentuk ekonomi kerakyatan tidak diberikan peluang dan kurang diberdayakan, maka ia tidak akan mempunyai daya saing ketika berhadapan dengan kekuatan ekonomi global. Sebagai daerah destinasi wisata utama di Indonesia dengan sektor unggulan pariwisata, seperti Bali misalnya pernah mengalami krisis ekonomi, seperti pada waktu ledakan bom di Jl. Legian Kuta Tahun 2002 dan di Jimbaran tahun 2005, telah memporak-porandakan perekonomian di Bali. Korporat, hotel, restoran, agen perjalanan, dan aktivitas pariwisata lumpuh. Namun pada sisi lain UMKM mampu bertahan ditengah-tengah krisis tersebut. 7 6
Gelgel I Putu, 2006, Hukum Pariwisata Suatu Pengantar, Widya Dharma, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, h. 29. (Selanjutnya disebut I Putu Gelgel II). 7 Ibid. Lihat juga Wenegama I Wayan, Peranan Usaha Kecil dan Menengah Dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Tingkat Pendapatan Masyarakat Miskin di Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung , Buletin Studi Ekonomi Volume 18 Nomor 1 Pebruari 2013, h. 79. Menurutnya krisis ekonomi yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu, dimana usaha besar banyak yang stagnasi dan bahkan berhenti aktivitasnya, sektor UMKM terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut. Oleh karena itu pemberdayaan perlu dilakukan oleh pemerintah agar UMKM dapat lebih berkembang dan kompetitif bersama pelaku usaha ekonomi lainnya.
7 Fakta menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang diciptakan oleh kelompok UMKM jauh lebih banyak dibandingkan dengan tenaga kerja yang bisa diserap oleh usaha besar. Karena itu, diharapkan kelompok
UMKM
ini
terus
berperan
optimal
dalam
upaya
menangulangi pengangguran yang jumlahnya cenderung meningkat setiap tahunnya. 8 Dengan banyak menyerap tenaga kerja berarti UMKM yang bergerak di bidang usaha pariwisata mempunyai peran strategis dalam upaya Pemerintah Daerah memerangi kemiskinan di daerah. Bila dilihat dari eksistensi UMKM sebagai bagian dari ekonomi kerakyatan 9, telah menghadapi berbagai problematik, baik problematik sosiologis,
filosofis
pemberdayaan
UMKM
maupun dalam
yuridis,
terkait
perekonomian
dengan
nasional.
upaya Berbagai
problematik dimaksud penting kiranya untuk dikaji mengingat begitu besarnya peran UMKM sebagai motor penggerak pembangunan dibidang ekonomi. Secara sosiologis problem yang dihadapi UMKM adalah masih kurang maksimalnya perhatian dari pemerintah terhadap UMKM, terutama dari segi akses permodalan usaha. Banyak produk deregulasi yang justru mengorbankan pengusaha yang masuk kategori UMKM, baik langsung maupun tidak langsung, padahal kalangan pengusaha ini 8
Tulus Tambunan, 2012, Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia, Isu-isu Penting, LP3ES, Jakarta, h.XVI. 9 Ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya pemberdayaan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Rakyat yang dimaksud dalam perekonomian di Indonesia adalah rakyat yang berada pada kelas menengah ke bawah yang mendominasi, dengan modal kecil, teknologi sederhana, dan pada sektor agraris. Lihat Tara, Azwir, 2001, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta, h. 1.
8 dalam pelbagai peristiwa justru menjadi penggerak utama kekuatan sosial. 10 Modal merupakan kunci dari berlangsungnya usaha, sebab tanpa modal tidak mungkin UMKM dapat menjalankan usaha yang diinginkannya. Fenomena yang dihadapi UMKM memang tidak hanya menyangkut modal, tetapi juga lemah dari segi sumber daya manusia, teknologi, manajemen, maupun akses pasar, sehingga sulit untuk bersaing dan bermitra dengan usaha besar. 11 Permasalahan utama UMKM saat ini utamanya terkait dengan kesulitan dalam hal permodalan dan pemasaran. Menurut Ina Primiana, beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan bagi UMKM terkait permodalan, yaitu; 1. Kesulitan akses ke bank dikarenakan ketidakmampuan dalam hal menyediakan persyaratan agar bankable. Sebetulnya Bank Indonesia telah banyak membantu UMKM agar dapat lebih mudah untuk mendapatkan akses kredit dari bank, namun kenyataannya tidak semua UMKM dapat memenuhi persyaratan collateral. Artinya masih lebih banyak UMKM yang belum terjaring. 2. Ketidaktahuan UMKM terhadap cara memperoleh dana atau modal dari sumber-sumber lain, selain perbankan yang dapat menjadi sumber pembiayaan. 3. Tidak tersedianya modal pada saat pesanan datang. Artinya mereka membutuhkan dana cepat untuk memenuhi pesanan. Hal ini tidak mungkin bisa dipenuhi oleh perbankan, karena
10
Normin S. Pakpahan, Frans Limahelu, 1992, Peta Hukum Dibidang Kegiatan Ekonomi, Suatu Studi Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah pada Sepuluh Provinsi di Indonesia, Kantor Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 12. 11 Mohammad Jafar Hafsah, 2000, Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 67. Lihat juga Budi Rachmat, 2005, Modal Ventura, Cara Mudah Meningkatkan Usaha Kecil dan Menengah , Ghalia Indonesia, Bogor, h. 21.
9 pengajuan kredit bank membutuhkan waktu lama (bisa mencapai 2 – 3 bulan). 12 Terbatasnya
akses pasar
dan akses modal
sebagaimana
dikemukakan tersebut di atas juga dialami oleh UMKM di bidang usaha pariwisata. UMKM merupakan fenomena baru dimana eksistensinya dalam perekonomian Indonesia, menjadi isu penting sebagai pilar ekonomi disamping BUMN, Badan Usaha Swasta, dan bentuk badan usaha lainnya. Namun kenyataannya keberadaan UMKM masih sebagai kelompok usaha yang terpinggirkan dalam situasi kerasnya menghadapi persaingan bisnis domestik dan free trade global seperti Asean China Free Trade Agreement (ACFTA). 13 Bila
dicermati
dalam
masyarakat
ada
beberapa
fakta
yang menunjukkan kelompok UMKM dibidang pariwisata terpinggirkan dan kalah bersaing dengan pelaku usaha besar, yaitu; 1. Pedagang kaki lima dan pedagang acung kelompok UMKM penjual barang-barang kerajinan yang dikejar-kejar Satpol PP ketika menggelar dagangannya didepan atau disekitar Artshop yang notabena milik pelaku usaha besar. Disini tentu perlu dipertanyakan tentang
policy
atau
kebijakan
Pemerintah
Daerah
dalam
pembangunan ekonomi daerah yang sering mewacanakan slogan
12
Ina Primiana, 2009, Menggerakkan Sektor Riil UKM dan Industri, Alfabeta, Bandung, h. 49-50 13 Retno Murni et. all., Eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Sebagai Penopang Industri Pariwisata Berkelanjutan di Bali, Jurnal Elmiah Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume 36 No.2 September 2011, h. 103.
10 "community base tourism" atau pariwisata berbasis masyarakat dan pembangunan ekonomi kerakyatan. Semestinya para pedagang acung dan pedagang kaki lima ini difasilitasi akses pasarnya dengan menyediakan tempat berusaha untuk mereka, sehingga yang bersangkutan dapat ikut menikmati kemajuan ekonomi akibat pengaruh pariwisata. 2. Menjamurnya Artshop atau toko oleh-oleh yang menjual segala macam jenis souvenir dan makanan khas
daerah setempat.
Keberadaan mereka ini jelas-jelas telah mematikan pasar tradisional dan pasar seni yang umumnya terdiri dari para UMKM. Menyikapi fenomena tersebut, yang perlu dipertanyakan adalah mengenai keberpihakan dari Pemerintah Daerah yang nyata-nyata masih pada pelaku usaha besar. Pemerintah Daerah dan para pengusaha besar kurang
memperhatikan
kepentingan
masyarakat
yang
pada
umumnya sebagian besar terdiri dari UMKM. 3. Kondisi dibiarkannya hotel-hotel yang menjadikan dirinya sebagai tempat eksklusif menyediakan segala kebutuhan wisatawan, mulai dari makanan, souvenir, pakaian dan yang lainnya, sehingga hampir tidak ada sepeserpun uang wisatawan bisa dinikmati oleh UMKM. Pertanyaannya kenapa hotel sebagai tempat menginap justru sekaligus sebagai tempat berdagang dengan merampas lahan
11 tempat
usaha
masyarakat
tradisional.
Kondisi
seperti
ini
bertentangan dengan prinsip "community base tourism". 14 4. Kendala dan keterbatasan permodalan yang dialami oleh UMKM yang menyulitkan dirinya untuk bisa tumbuh dan berkembang se cara wajar. Adanya order yang cukup besar dari pelanggan seringkali ditolak karena modal tidak mencukupi. Setiap pengajuan pinjaman melalui perbankan atau koperasi sering ditolak karena terkendala agunan. 15 Agunan merupakan barang-barang kebendaan milik debitur yang dijadikan jaminan untuk melunasi utangnya. 16 Pengertian agunan seperti diatur dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu ; a. Merupakan jaminan tambahan, b. Benda/barang milik nasabah debitur yang diserahkan kepada bank/kreditur, c. Untuk mendapatkan fasilitas kredit/ pembiayaan. 17 Fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan betapa lemahnya posisi UMKM dari segi akses pasar karena tidak mampu bersaing dengan usaha besar yang bermodal kuat yang memiliki segala
14
Sutjipta I Nyoman, 2005, Pariwisata Revolusi di Pulau Dewata, Universitas Udayana, Denpasar, h. 62. Menurut Sutjipta “Community Base Tourism” adalah pariwisata yang berbasiskan kerakyatan atau pembangunan ekonomi kerakyatan, yang sering diwacanakan oleh para Pejabat Pemerintah dan para pengusaha pariwisata. Berbagai fakta di lapangan menunjukkan adanya kebijakan pariwisata yang dipertanyakan berpihak kemanakah pemerintah yang membuat “policy” atau kebijakan dalam bidang pariwisata ? 15 Kipas Lukis Payangan Terkendala Modal, Nusa Bali, 28 Januari 2014. 16 Suhariningsih, 2011, Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Barang Inventory dalam Bingkai Jaminan Fidusia, Universitas Wisnuwardana Press, Malang, h.19-20. 17 Ibid, Menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Udang Nomor 10 Tahun 1998, Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
12 keunggulan. Tidak hanya akses pasar, UMKM juga lemah dari akses permodalan. Peranan modal menjadi sangat besar ketika UMKM akan ikut berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi sebagai dampak dari kegiatan pariwisata. Disini terasa betapa sulitnya kelompok usaha ini untuk mengembangkan usaha mereka karena adanya kendala dalam penyediaan modal. Kebutuhan dan pentingnya modal bagi UMKM dibidang usaha pariwisata yang pada umumnya dilakoni oleh masyarakat lokal juga diungkapkan oleh I Nyoman Madiun sebagai berikut : Tidak dapat dihindari untuk melakukan diversifikasi produk wisata, syarat utamanya adalah tersedianya cukup modal. Demikian pula halnya, ketika masyarakat lokal harus melakukan diversifikasi terhadap berbagai sumber daya yang dimiliki sebagai dampak meningkatnya kebutuhan wisatawan maupun masyarakat pendatang lainnya, peningkatan kebutuhan modal tersebut tidak dapat dihindari. 18 Tidak hanya sekedar terkendala modal, akibat derasnya aliran modal dari luar, masyarakat lokal yang notabena usaha kecil tidak mampu bersaing dengan pemilik modal dari luar tersebut yang tidak hanya menekuni usaha-usaha besar, tetapi juga mengambil alih usahausaha berskala kecil yang pada mulanya dilakukan oleh masyarakat lokal. Kurangnya permodalan dan terbatasnya akses permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan unit usaha UMKM. 19 Akses UMKM untuk mendapatkan modal yang berupa
18
Madiun I Nyoman, 2010, Nusa Dua Model Pengembangan Kawasan Wisata Modern, Udayana University Press, h. 170. 19 http : //usahamodalkecil31.blogspot.com/2012/08kendalausahakecil menengah dan solusi.html, diakses tanggal 20 Juni 2013.
13 kredit dari bank sangat sulit untuk didapat, mengingat adanya persyaratan administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar adalah adanya ketentuan mengenai agunan, karena tidak semua UMKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan. 20 Sesungguhnya akses terhadap modal merupakan hak UMKM, karena merupakan bagian dari hak azasi manusia (HAM), yaitu hak ekonomi yang perlu diperjuangkan dalam konteks pembangunan dibidang ekonomi. Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), sehingga jelas bahwa jaminan hukum terhadap hak azasi manusia pasti dijunjung tinggi dan hak-hak azasi manusia, terutama hak-hak ekonomi dihormati dan dilindungi. 21 Pengertian hak-hak ekonomi cakupannya sangat luas, yang pada dasarnya berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Menurut A.A. Baramuli secara umum hak-hak ekonomi dapat dirumuskan sebagai berikut; Hak-hak azasi untuk hidup, hak memperoleh kehidupan yang layak, hak memperoleh pekerjaan dan upah yang wajar, hak memperoleh pendidikan, hak membangun atau turut dalam proses pembangunan negaranya, hak kaum lemah untuk dilindungi, hak persamaan akses dibidang ekonomi, hak persamaan kesempatan dalam tender/suplai kepada pemerintah, dan banyak lagi hak-hak 20
Ibid. Dalam suatu negara hukum, salah satu unsurnya adalah adanya pengakuan dan jaminan Hak Azasi Manusia (HAM). Seperti dikemukakan ahli hukum Carl J. Frederick Jalius Starl, sebagaimana dikutip Moch. Mahfud MD, mengemukakan ciri-ciri rechtstaat/negara hukum adalah; 1) Adanya pengakuan hak-hak dasar manusia/hak-hak azasi manusia. 2) Adanya pembagian kekuasaan untuk menjamin hak azasi manusia. 3) pemerintah berdasarkan peraturan peraturan. 4) Peradilan administrasi dalam perselisihan/ Adanya peradilan Tata Usaha Negara. Lihat Moch. Mahfud MD, 2001, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan , PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 28. (Selanjutnya disebut Moch. Mahfud MD. I) 21
14 yang diatur dalam konstitusi maupun peraturan perundangundangan, merupakan hak-hak azasi manusia sekaligus hak-hak ekonomi.22 Pembangunan ekonomi sesungguhnya bertujuan untuk memenuhi hak-hak ekonomi dari setiap orang sesuai dengan prinsip persamaan, pemerataan,
dan
berkeadilan.
Oleh
karenanya
kecenderungan
pembangunan ekonomi yang hanya menguntungkan golongan kuat harus dikoreksi. Keseimbangan golongan kuat dan lemah harus diupayakan melalui penyediaan perangkat hukum yang memadai yang memberikan peluang terhadap kelompok lemah untuk memenuhi hak-hak ekonominya. Selanjutnya dari segi filosofis, problematik yang dihadapi adalah apa yang sudah diatur dalam Konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 ditingkat implementasi belum sepenuhnya dapat diwujudkan oleh para pengambil kebijakan berkaitan pembangunan dibidang ekonomi dengan prinsip demokrasi ekonomi. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial mengatur sebagai berikut; (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiens i keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 22
Baramuli A.A., 1977, Hak-Hak Azasi Manusia Dalam Konteks HakHak Ekonomi, Dalam Hak Azasi Manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 129.
15 Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sendi utama politik ekonomi Indonesia. Ketentuan pasal ini mestinya menjiw ai para penentu kebijakan dibidang ekonomi. Apa yang tertuang dalam pasal 33 Batang Tubuh dan Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak terurai secara substansial dan nyata dalam berbagai regulasi dan kebijakan pemerintah. 23 Sistem Ekonomi Kerakyatan hanya sebatas wacana dan belum sepenuhnya berpihak pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hingga saat ini Indonesia menurut Bernhard Limbong justru sangat giat mengembangkan ekonomi konglomerasi yang digerakkan kapital global, 24 yang berpihak pada usaha berskala besar yang dipandang bisa memberikan kontribusi yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional. Akibat dari semua itu, ekonomi kerakyatan yang didasarkan demokrasi ekonomi menjadi terpinggirkan dan UMKM tidak dapat ikut menikmati kesempatan dan peluang yang sama seperti usaha besar. Demokrasi
ekonomi
yang
berintikan
keadilan
belum
sepenuhnya dapat diwujudkan bila dikaitkan dengan hak UMKM untuk mendapatkan akses modal (capital) maupun akses pasar. Peluang dan kesempatan UMKM untuk mendapatkan akses modal maupun akses 23
Bernhard Limbong, tanpa tahun, Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi, Margaretha Pustaka, Jakarta, h. iii. 24 Ibid.h.ii. Kapital global dapat pula dikaitkan dengan Kapitalisme Pasar Bebas. Kehadiran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan antisipasi terhadap kapitalisme pasar bebas. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sangat sejalan dengan dengan visi membangun negara Indonesia Merdeka yaitu masyarakat adil dan makmur. Dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 itu yang paling diutamakan adalah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini sangat berbeda dengan visi kapitalisme pasar bebas. Lihat juga Mubya rto, 1987, Ekonomi Pancasila; Gagasan dan Kemungkinan, Pustaka LP3ES, Jakarta, h. 5758.
16 pasar
sangat
kecil
bila
dibandingkan
usaha
besar,
sehingga
menimbulkan kesenjangan dan ketidakseimbangan dalam bidang ekonomi. Bila dikaitkan manfaat pembangunan dibidang ekonomi, terutama akibat pengaruh pariwisata, hendaknya manfaat itu dapat dinikmati secara merata dan dapat didistribusikan secara adil antara usaha besar dan usaha kecil. Seperti dikemukakan oleh K. Sukardika sebagai berikut; Dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan, salah satunya harus memenuhi kriteria equalitas, yaitu keadilan, dalam arti pemerataan kesempatan untuk ambil bagian dalam berusaha, atau menikmati berbagai manfaat pembangunan. Manfaat pembangunan ekonomi harus didistribusikan secara adil, dan mereka yang menderita (the needy) harus mendapat prioritas lebih tinggi didalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan. 25 Terkait dengan hak UMKM atas akses modal yang merupakan bagian terpenting dari pemberdayaan UMKM, perlu kiranya dicermati beberapa peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, guna mengetahui
problematik
yuridis
yang
dihadapi
dalam
upaya
pemberdayaan UMKM. Adapun peraturan perundang-undangan yang dimaksud diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Undang-Undang Nomor 10
25
Sukardika K., 2004, Menata Bali ke Depan Kebijakan Kultural, Pendidikan dan Agama, CV. Bali Media Adhikarsa, Denpasar, h. 78-79, Lebih lanjut Sukardika juga menyatakan bahwa distribusi manfaat ekonomi yang dibawa oleh pariwisata masih terlihat timpang, terutama antara masyarakat lokal dengan kapitalis dari luar maupun antar golongan di masyarakat, Ibid., h . 84.
17 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengatur tentang kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan dan melindungi UMKM dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan membuat kebijakan pencadangan usaha dan memfasilitasi kemitraan UMKM dengan usaha skala besar. 26
Selengkapnya ketentuan pasal 17 dimaksud adalah
sebagai berikut; Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara : a. Membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, dan b. Memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dengan usaha skala besar. Ketegasan tentang pemberdayaan UMKM ini juga dapat dilihat pada penjelasan umum dari Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan.
Pembangunan
kepariwisataan
juga
berorientasi pada upaya pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah didalam dan disekitar destinasi pariwisata. Pada UndangUndang Pariwisata yang baru (Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009)
26
Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 67.
18 tampak adanya upaya Pemerintah untuk mendorong usaha mikro, kecil dan menengah agar dapat tumbuh dan berkembang sehubungan dengan usaha yang dijalankan di bidang pariwisata. Ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Kepariwisataan tidak mengatur secara jelas tentang kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dibidang permodalan UMKM. Ketentuan pasal ini hanya mengatur kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan pencadangan usaha dan kemitraan usaha bagi UMKM. Dalam kerangka liberealisasi dibidang pariwisata tentu sangat dibutuhkan adanya modal bagi UMKM agar dapat bersaing dengan usaha besar. Masalah yang berkaitan dengan modal yang dibutuhkan UMKM dapat ditemui pengaturnya dalam ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Kepariwisataan, yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan peluang pendanaan bagi usaha mikro dan kecil dibidang kepariwisataan. Apa yang diatur dalam Pasal 61 hanya diperuntukkan bagi usaha mikro dan kecil saja dan tidak untuk usaha menengah. Selain itu tidak jelas dirumuskan tentang kewajiban dari Pemerintan dan Pemerintah Daerah dibidang penyediaan dana bagi UMKM. Apa bentuk dan bagaimana cara mendapatkan peluang pendanaan tersebut juga tidak dijabarkan secara kongkrit.
19 Liberalisasi pariwisata tentu menghadirkan pengusaha atau pemasok jasa asing di Indonesia yang umumnya dapat diklasifikasikan sebagai usaha berskala besar. 27 Dengan lompatan teknologi yang dimiliki, pendanaan (modal) yang tidak terbatas dan skill yang mumpuni, tentu tidaklah adil jika mereka nantinya bersaing dengan UMKM yang menjadi porsi terbesar dari bentuk usaha di Indonesia. 28 Pemerintah sebagai representasi negara kesejahteraan (welfare state) sudah barang tentu wajib melindungi keberadaan UMKM sehingga tidak tereliminasi di negara mereka sendiri. Perlu diketahui, yang dihadapi UMKM tidak saja pelaku usaha besar asing, tetapi juga pelaku besar domestik yang bermodal kuat. Guna meningkatkan daya saing, maka UMKM perlu diperkuat struktur permodalannya dengan membuka peluang seluas-luasnya untuk mendapatkan akses permodalan usaha. Intervensi atau campur tangan pemerintah sangat diperlukan dengan membuka akses untuk mendapatkan modal bagi UMKM, sehingga ada permainan atau pertarungan yang seimbang dalam mekanisme pasar. Pemerintah perlu mengambil kebijakan serta membuat
peraturan
perundang-undangan
yang
mengarah
pada
perlindungan pihak yang lemah. 27
Parikesit Widiatedja IGN., 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata, Konstruksi Konsep Ragam Masalah dan Alternatif Solusi, Udayana University Press, Denpasar, h. 99. (Selanjutnya disebut Parikesit Widiatedja IGN. I). 28 Ibid.
20 Kondisi tidak seimbang ini tidak dapat dibiarkan terus tanpa intervensi pemerintah. Strategi pembiaran dengan tingkat intervensi yang amat minimal dapat menjadi bumerang karena tingkat ajang pertarungan yang seimbang (level playing) dalam mekanisme pasar masih belum tercipta. 29 Apabila tidak ada akses bagi semua pihak untuk dapat berperan serta dan punya kesempatan yang sama dalam kegiatan ekonomi, maka pasar akan bermanifestasi sebagai alat perampasan ekonomi. Kalau sudah seperti itu, maka disitulah ketimpangan pendapatan dan kepincangan kesejahteraan dimulai. 30 Dalam
rangka
pemberdayaan
UMKM,
maka
disusunlah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Masalah yang menyangkut pembiayaan bagi UMKM dengan melibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 24, yang selengkapnya menyatakan; Pasal 21 ayat (1); Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil Pasal 21 ayat (4); Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk usaha mikro dan kecil. Pasal 22; Dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, pemerintah melakukan upaya;
29
Bustanul Arifin, Didik KJ. Rachbini, 2001, Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik, PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta, h. 107. 30 Amartya Sen, Suara Kaum Jelata dari Tanah Damai, Tempo, 9 Desember 2001, h. 76 – 77. Lihat juga Parikesit Widiatedja IGN. I, Op.Cit, h. 12.
21 a. Pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank. b. Pengembangan lembaga modal ventura c. Pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang, d. Peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah, dan e. Pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 23 ayat (1); Untuk meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud Pasal 22 Pemerintah dan Pemerintah Daerah ; a. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank. b. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit, dan c. Memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan. Pasal 24; Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan usaha menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan dengan; a. Memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal, dan lembaga pembiayaan lainnya; dan b. Mengembangkan lembaga penjamin kredit, dan meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) khusus ditujukan untuk usaha mikro dan kecil yang memuat ketentuan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan untuk kelompok usaha tersebut. Ketentuan pasal ini
tidak jelas dan tegas menyatakan
penyediaan pembiayaan itu sebagai kewajiban dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
22 Selanjutnya apa yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4), disamping Pemerintah memberikan
dan
Pemerintah
hibah,
Daerah,
mengusahakan
dunia
bantuan
usaha luar
juga
dapat
negeri,
serta
mengusahakan sumber pembiayaan lain bagi usaha mikro dan kecil. Kata “dapat” yang dirumuskan dalam pasal ini mengandung arti ganda, sehingga menimbulkan penafsiran, bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, “dapat” dan bisa juga “tidak” memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, serta mengusahakan sumber pembiayaan lain bagi usaha mikro dan kecil. Kemudian ketentuan Pasal 22 mengatur tentang upaya untuk meningkatkan sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil oleh Pemerintah. Sumber-sumber pembiayaan dimaksud meliputi kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, modal ventura, anjak piutang,
koperasi
simpan
pinjam
dan
pengembangan
sumber
pembiayaan lainnya. Guna meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap pembiayaan, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah berdasarkan Pasal 23 ayat 1 mengembangkan dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank, memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit, serta memberi kemudahan persyaratan dalam memperoleh pembiayaan. Secara khusus ketentuan Pasal 24 mengatur pemberdayaan terhadap
usaha
menengah.
Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
23 melakukan pemberdayaan dalam bidang pembiayaan dan penjaminan dengan meningkatkan pembiayaan modal kerja, akses pembiayaan melalui
pasar
modal,
lembaga
pembiayaan
lainnya
serta
mengembangkan lembaga penjamin kredit. Apa yang diatur dalam beberapa pasal dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah tersebut diatas tidak mengatur secara jelas dan eksplisit peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyediaan modal bagi UMKM. Seharusnya masalah akses pendanaan atau modal merupakan bagian dari pengembangan usaha perlu diatur secara jelas dan operasional. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 belum menjawab secara
riil
bagaimana
UMKM mendapatkan
akses
modal
atau
pembiayaan dengan mudah dengan mempertimbangkan karakteristik dari UMKM itu sendiri. Selain itu, kejelasan mengenai agunan dan bentuk jaminan yang menjadi persoalan utama tidak dijabarkan secara kongkrit dalam Undang-Undang ini. Seperti telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa salah satu kendala UMKM untuk mendapatkan akses kredit atau pembiayaan dari lembaga perbankan disebabkan karena ketiadaan agunan sebagai salah satu
persyaratan yang ditetapkan untuk
mendapatkan kucuran kredit atau pembiayaan. Bila mengemban
dikaitkan misi
dengan
pelestarian
pengembangan predikat
usaha
ketangguhan,
dan
juga
UMKM
24 mengharapkan
kemudahan-kemudahan
yang
berkenaan
dengan
peningkatan modal. Untuk maksud ini akses ke lembaga perbankan sebagai sumber utama pembiayaan bagi UMKM seharusnya dibuka selebar-lebarnya. 31 Namun sayang harapan ini belum terakomodir pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008. Selain itu, khusus dalam kontek penjaminan kredit bagi usaha mikro dan kecil diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang UMKM dan untuk usaha menengah diatur dalam Pasal 24 huruf
b
Undang-Undang UMKM. Kedua ketentuan pasal tersebut memberikan peluang terbentuknya lembaga penjaminan kredit dengan Pemerintah Daerah bertindak sebagai penjamin kredit. Dengan adanya penjaminan kredit ini maka terbuka peluang bagi UMKM untuk mendapatkan akses modal melalui fasilitas kredit dari perbankan. Bila dicermati apa yang diatur dalam ketentuan pasal 23 ayat (1) huruf b dan pasal 24 huruf b Undang-Undang UMKM tersebut bertentangan dan tidak sinkron dengan ketentuan pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang menyatakan Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman 31
Yohanes Usfunan, et. al., 2007, Kajian Penggunaan Dana Pemerintah Daerah Untuk Penjaminan Kredit UMKM, Bank Indonesia – Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 2. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ketangguhan usaha yang telah dibuktikan, sehingga rata-rata masih tetap eksis hingga saat ini merupakan sifat yang paling karakteristik atau sudah menjadi jati diri UMKM. Karakter tersebut memang dibangun dari tekad untuk bersungguh-sungguh dan kemandirian dalam berusaha. Ketidakmampuan menyediakan agunan atau jaminan pada akhirnya menjadi masalah yang paling mendasar bagi UMKM, dan oleh karena itu sangat diperlukan kebijaksanaan pembinaan dari pemerintah.
25 pihak lain. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa Pemerintah Daerah tidak dapat bertindak sebagai penjamin kredit UMKM. Tidak diperbolehkannya Pemerintah Daerah sebagai penjamin atas pinjaman pihak lain juga diatur dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Pengembangan
UMKM
didaerah
memerlukan
Lembaga
Penjaminan Kredit (LKP) dalam memperoleh akses permodalan dari perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya. 32 Saat ini sudah banyak Pemerintah Daerah menjalankan bisnis penjaminan kredit UMKM di daerah yang bekerjasama dengan LPK, namun perkembangannya relati f lambat dan belum optimal menjamin kredit UMKM. Salah satu permasalahannya adalah masih adanya keraguan Pemerintah Daerah untuk bertindak sebagai penjamin karena adanya ketentuan yang bertentangan
(konflik) dan tidak harmonis
tersebut, yaitu antara
ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf b dan Pasal 24 huruf b UndangUndang UMKM disatu pihak dengan ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2011 di pihak lain. 32
Pengembangan Lembaga Penjaminan Kredit di daerah ini juga diatur dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2007. Melalui Inpres ini diinstruksikan kepada sejumlah institusi dan lembaga terkait, termasuk Pemerintah Daerah untuk melakukan Penguatan Permodalan bagi UMKM. Kebijakan tersebut mengharuskan peningkatan peran Lembaga Penjaminan Kredit bagi UMKM, seperti Perum sarana Pengembangan Usaha (SPU) dan PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo). Beberapa Daerah merespon kebijakan tersebut dengan cara mendirikan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) dan menyertakan permodalannya.
26 Berdasarkan ketentuan Pasal 8 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Terkait dengan peningkatan taraf hidup rakyat dan guna mengembangkan sektor koperasi dan golongan ekonomi lemah atau usaha kecil, maka ketentuan Pasal 12 dan Penjelasannya dari UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 mengaturnya sebagai berikut : Pasal 12 (1) Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan menengah, Pemerintah bersama Bank Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum. (2) Ketentuan mengenai kerjasama dengan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan Pasal 12 ayat (2); Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah memuat antara lain; a. Kewajiban Bank Umum untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada koperasi, usaha kecil dan menengah dengan prosedur dan persyaratan yang mudah dan lunak. b. Program peningkatan taraf hidup rakyat banyak yang berupa penyediaan kredit dengan bunga rendah atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan tingkat bagi hasil yang rendah. c. Subsidi bunga atau bagi hasil yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perkembangan layanan pemberian kredit yang beraneka ragam coraknya memberikan peluang kepada siapa saja pelaku usaha untuk mendapatkan tambahan modal melalui pinjaman yang disediakan
27 bank. 33 Pihak perbankan tanpa diskriminasi memberi kesempatan kepada pelaku usaha besar maupun pelaku usaha kecil untuk mendapatkan fasilitas kredit, dan bahkan memprioritaskan bagi pengusaha kecil dan menengah. Hal mana ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai berikut ; Peranan perbankan nasional perlu ditingkatkan sesuai dengan fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dengan lebih memperhatikan pembiayaan kegiatan sektor perekonomian nasional dengan prioritas kepada koperasi, pengusaha kecil dan menengah, serta berbagai lapisan masyarakat tanpa diskriminasi sehingga akan memperkuat struktur perekonomian nasional. Merujuk kepada ketentuan Pasal 12 ayat (2) dan Penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, sesungguhnya merupakan kewajiban dari bank umum untuk menyediakan atau menyalurkan kredit/pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah dengan prosedur dan persyaratan yang mudah dan lunak. Hanya saja persoalannya Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ketentuan pasal 12 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum diterbitkan. Meskipun Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 12 ayat (2) hingga kini belum terbentuk, namun Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan BI Nomor 14/22/PBI/2012,
yang dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dari Peraturan tersebut dinyatakan bahwa Bank Umum wajib memberikan kredit atau pembiayaan UMKM. Yang menjadi pertanyaan kenapa kewajiban Bank Umum itu tidak diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 33
Suhariningsih, Op.Cit. h.1
28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menunjukkan adanya norma kabur, karena tidak memberikan kejelasan tentang akses UMKM untuk mendapatkan modal melalui fasilitas kredit yang disalurkan perbankan kepada masyarakat. Melalui ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 hanya
mengatur
tentang
kemungkinan
Pemerintah
bersama
BI
melakukan kerjasama dengan Bank Umum dalam rangka pemberdayaan UMKM, dan apa bentuk dari kerjasama itu tidak disebutkan secara jelas. Dalam upaya mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan dan
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat,
pemerintah
melalui
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga memberikan perhatian terhadap bidang usaha yang dijalankan oleh UMKM. Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan
berdasarkan
kriteria
kepentingan
nasional,
yaitu
perlindungan sumber daya alam, perlindungan pengembangan UMKM dan Koperasi. 34 Terkait dengan pengembangan penanaman modal bagi UMKM dan Koperasi dalam Pasal 13 Undang-Undang Penanaman Modal diatur hal-hal sebagai berikut : (1) Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar
34
Lihat ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf g dan hur uf h Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
29 dengan syarat harus bekerjasama dengan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. (2) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya. Apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Penanaman Modal hampir mirip dengan apa yang diatur dalam pasal 17 Undang-Undang Kepariwisataan berkaitan dengan upaya pemberdayaan UMKM. Undang-Undang Penanaman Modal hanya mengatur tentang kewajiban
pemerintah
untuk
menetapkan
bidang
usaha
yang
dicadangkan untuk UMKM, dan bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerjasama dengan UMKM. Selain itu, pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan UMKM melalui Program Kemitraan dan perluasan pasar. Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Penanaman Modal tidak mengatur tentang peran Pemerintah dalam penyediaan modal bagi UMKM, padahal modal adalah merupakan asset dalam bentuk uang, barang, atau hak-hak
yang sangat dibutuhkan oleh UMKM
dalam
merintis usahanya. Selain itu, dalam rangka mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan (ekonomi UMKM), sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan atau memfasilitasi UMKM untuk mendapatkan akses permodalan. Sebetulnya
kebutuhan
hukum
yang
dapat
membantu
kepentingan UMKM dibidang akses modal tidak sepenuhnya terletak dibidang kekurangan
peraturan perundang-undangan. Penelusuran
30 terhadap beberapa peraturan, seperti; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tidak diragukan tentang adanya niat Pemerintah dalam pemberdayaan terhadap UMKM. Hanya saja dari peraturan perundang-undangan tersebut tampak adanya problem norma yang menjadi salah satu kendalanya, dimana rumusan normanya ada yang tidak jelas, mengandung arti ganda (ambigu), maupun konflik norma, dalam arti rumusan normanya tidak sinkron karena bertentangan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya. Secara teoritis peraturan perundang-undangan merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki dan tidak membenarkan adanya pertentangan antara unsur-unsur atau bagian-bagian didalamnya. 35 Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas, harmonis dan terintegrasi menjadi sangat diperlukan untuk mewujudkan ketertiban, menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap UMKM. Selain itu bila melihat karakteristik UMKM, maka problem umum UMKM, termasuk mereka yang bergerak di sektor pariwisata adalah rendahnya kapasitas produksi, lemahnya daya saing, terbatasnya 35
Kusno Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, Nasa Media, Malang. h.7
31 akses pasar, dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang bergerak dalam bidang ini. Masalah tersebut bersumber dari berbagai sebab yang terus berkembang, mulai dari masalah pemarginalan melalui kebijakan pemerintah sampai pada masalah keterbatasan akses modal dan keterbatasan kapasitas mengelola modal. Sebab-sebab masalah sebagaimana dimaksud telah diatasi dengan berbagai regulasi dan kebijakan baik yang sifatnya internasional maupun domestik masing-masing negara. Seperti misalnya untuk Indonesia telah diterbitkan berbagai Peraturan Perundang-Undangan, seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, UndangUndang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentnag Penanaman Modal mengatur tentang kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan tentang pencadangan usaha dan program kemitraan bagi UMKM. Sementara ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
32 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UndangUndang Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, dan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, mengatur tentang akses UMKM untuk mendapatkan pembiayaan atau modal. Akses untuk mendapatkan modal bagi UMKM sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun UMKM tetap tidak berdaya karena tidak dapat mengelola modal dengan baik, sehingga tidak mampu menjaga keberlanjutan usaha. Ketidakberdayaan UMKM yang telah mendapat penguatan modal disebabkan karena k elemahan pengetahuan, teknologi, akses pasar, jaringan usaha, jaringan informasi, sistem kelembagaan usaha, Sumber Daya Manusia, yang merupakan bentuk lain dari modal selain uang, atau modal dalam pengertian yang luas. Peraturan perundang-undangan memang telah mengatur akses UMKM atas modal, namun akses itu belum mencakup modal dalam pengertian yang luas. Kebijakan akses modal menggunakan konsep modal dalam arti sempit, yaitu terbatas pada modal dalam bentuk uang, sehingga kebijakan akses modal UMKM sepenuhnya berorientasi pada pengaturan atas akses modal dan realisasi modal, tetapi tidak mencakup pengaturan terhadap upaya-upaya penguatan UMKM dalam mengelola modal dan memelihara keberlanjutan usaha.
33 Menyikapi fenomena pengaturan UMKM seperti itu,
maka
perlu diteliti lebih jauh mengenai sebab-sebab mengapa UMKM dalam kondisi tidak berdaya dan masih sulit untuk untuk mendapatkan modal, padahal akses untuk mendapatkan modal sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Mengapa peraturan perundang-undangan yang ada belum menjamin dapat terwujudnya hak UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwisata ? 2. Bagaimana formulasi Pengaturan dalam rangka mewujudkan hak UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwisata?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan penelusuan guna menemukan, menganalisis secara mendalam dan komprehensif tentang pengaturan hak Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah
(UMKM)
atas
akses
penyelenggaraan usaha dibidang pariwisata.
modal
dalam
34 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus atau tujuan spesifik dari penelitian ini adalah; 1. Untuk menemukan dan menganalisis secara mendalam tentang kondisi peraturan perundang-undangan yang ada dalam rangka menjamin diwujudkannya hak UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwiata. 2. Untuk menemukan, menganalisis dan memformulasikan pengaturan dalam rangka mewujudkan hak UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwisata.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian dalam rangka penulisan disertasi ini mempunyai manfaat teoritis maupun manfaat praktis. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan keilmuan, khususnya pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan hak UMKM atas akses mereka terhadap modal dalam penyelenggaraan usaha dibidang pariwisata. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam merumuskan dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak UMKM atas akses modal dibidang usaha dibidang pariwisata.
35 1.5 Orisinalitas Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan ada beberapa hasil penelitian disertasi yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu berkaitan dengan penulisan disertasi ini, namun berbeda baik dari segi substansi maupun permasalahan pokok yang dikaji. Sebagai sumber informasi dan referensi dalam
melakukan
penelitian, sehingga nantinya hasil penelitian disertasi ini
dapat
dipertanggungjawabkan tingkat keasliannya (orisinalitasnya), maka berikut ini dipaparkan beberapa hasil penelitian disertasi terdahulu sebagai berikut; 1. Penelitian Disertasi tentang Politik Hukum Integratif Pengembangan Daya Saing Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Era Liberalisasi Ekonomi Serta Implementasinya di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Teori Negara Kesejahteraan Berdasarkan Pancasila, oleh Ade Komarudin dengan tiga permasalahan pokok yang dikaji yaitu; 1) Bagaimana pengembangan daya saing UMKM pada era liberalisasi dikaitkan dengan politik hukum integrati f bidang UMKM, 2) Bagaimana akibat hukum peraturan perundang-undangan bidang UMKM yang tidak terintegrasi terhadap keadilan bagi semua pelaku usaha, 3) Bagaimana konsep politik hukum integratif pengembangan daya saing UMKM pada era liberalisasi berdasarkan keadilan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
36 2. Penelitian Disertasi tentang "Membangun Kapabilitas Inovasi UMKM, Peranan Kualitas Kemitraan antara Usaha Kecil dan Menengah dengan Usaha Besar pada Industri Otomotif di Indonesia , oleh Widodo, tahun 2010, yang hasil penelitiannya menyimpulkan ; (1) partner first, willingness to share UB dan absortive capacity UKM berpengaruh positif terhadap kualitas kemitraan, dan temuan ini sesuai dengan sebagian besar temuan penelitian sebelumnya, (2) kapabilitas inovasi UKM lebih ditentukan oleh absortive capacity UKM, tidak ditentukan oleh kualitas kemitraan dan willingness to share UB. Namun demikian, tingkat absortive capacity UKM yang cukup tinggi adalah sebagian dari proses pembelajaran selama menjadi mitra binaan UB, dan (3) kinerja kemitraan antara UKM subkontraktor dengan UB terbukti lebih baik dibandingkan antara UKM non subkontraktor dengan UB karena kemitraan antara UKM subkontraktor dengan UB memiliki tingkat keterkaitan dan mutual benefits yang lebih tinggi. 3. Penelitian Disertasi tentang "Fungsi Hukum Dalam Pengaturan Pariwisata Sebagai Bentuk Perdagangan Jasa : Inkonsistensi Konsep Dalam Kebijakan Pariwisata dan Penyerapan General Agreement On Trade In Services Dalam Pengaturan Perdagangan Jasa Pariwisata Internasional Indonesia", yang dilakukan oleh I.B. Wyasa Putra pada tahun 2010, dengan 3 (tiga) permasalahan pokok yang dikaji
37 yaitu; 1) Bagaimana kerangka teoritik fungsi hukum dalam mengendalikan cara kerja idiologi dalam kontek penyerapan suatu instrumen Hukum Ekonomi Internasional yang merupakan bentuk tranformasi idiologi liberal. 2) Bagaimana kerangka konsep penyerapan GATS, yang merupakan bentuk transformasi idiologi liberal,
kedalam
suatu
sistem
pengaturan
perdagangan
jasa
pariwisata internasional Indonesia yang tunduk pada idiologi Pancasila. 3) Bagaimana konstruksi substansi norma Undangundang Kepariwisataan dalam pengaturan pariwisata sebagai bentuk perdagangan jasa, agar kontruksi
tersebut
dapat menyerap
substansi GATS secara utuh. 4. Penelitian Disertasi tentang Perjanjian Kemitraan Usaha Antara Usaha Kecil Menengah (UMKM) dengan Usaha Besar Sebagai Upaya Memperoleh Struktur Ekonomi Nasional Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia
yang
dilakukan
oleh
Tatang
Astarudin pada tahun 2008, dengan 4 (empat) permasalahan pokok yang dikaji yaitu ; 1) Bagaimana Perkembangan Pelaksanaan Perjanjian Kemitraan Usaha antara Usaha Kecil Menengah (UKM) dengan Usaha Besar dewasa ini dihubungkan dengan upaya menciptakan kondisi saling memperkuat antara Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Usaha Besar di Indonesia. 2) Bagaimana Tanggung jawab Usaha Besar terhadap Pengembangan Usaha Kecil
38 Menengah (UKM) di Indonesia agar semua kelompok usaha dapat mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama. 3) Bagaimana Sistem Pengawasan Kemitraan antara Usaha Kecil Menengah (UKM) dengan Usaha Besar untuk menghindari tindakan eksploitasi kelompok usaha besar terhadap kelompok usaha yang lebih kecil. 4) Bagaimana
pengembangan
perjanjian
kemitraan
Usaha
Kecil
Menengah (UKM) dan usaha besar agar dapat memperkokoh struktur ekonomi Indonesia dimasa depan. Penelitian disertasi dari Ade Komarudin lebih menekankan pada politik hukum yang diperlukan dalam pengembangan daya saing UMKM dalam perspektif negara kesejahteraan. Sementara disertasi dari Widodo memfokuskan kajian pada aspek kemitraan (partnership) antara UMKM dengan usaha besar pada industri otomotif. Begitu juga penelitian disertasi dari Tatang Asfarudin menyangkut kemitraan (partnership), hanya saja fokus kajiannya lebih menekankan pada aspek perjanjian dari kemitraan antara UMKM dengan usaha besar menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sementara penelitian disertasi dari Ida Bagus Wyasa Putra memfokuskan pada fungsi hukum dalam pengaturan pariwisata sebagai bentuk perdagangan jasa dalam konteks penyerapan General Agreement On Trade in Services dalam pengaturan perdagangan jasa pariwisata Indonesia.
39 Berdasarkan
pemaparan
beberapa
hasil
penelitian
disertasi
terdahulu seperti diuraikan di atas, maka penelitian disertasi saya lebih memfokuskan pada aspek pengaturan hak UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwisata. Bila dilihat dari segi judul maupun rumusan masalah yang diteliti, maka penelitian saya berbeda dan tidak mengandung unsur kesamaan dengan penelitian-penelitian sejenis yang sudah dilakukan sebelumnya.
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Dalam melakukan penelitian ilmiah termasuk dalam penulisan Disertasi ini didukung oleh metode tertentu, sehingga penelitian tersebut dapat berlangsung secara terencana dan teratur. Van Peursen menterjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus
ditempuh
menjadi
penyelidikan
atau
penelitian,
berlangsung menurut suatu rencana tertentu. 36 Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. 37 Sementara penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna 36
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang, h. 26. (Selanjutnya disebut Johnny Ibrahim I). 37 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 42 (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I)
40 menjawab isu hukum yang dihadapi, sehingga penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam penyelesaian masalah yang dihadapi. 38 Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan disertasi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder. 39 Dengan demikian dapat dipahami bahwa penelitian hukum normatif memfokuskan obyek kajian pada ketentuan-ketentuan hukum positif, lalu mengarah pada makna dari azas hukum. Penelitian
hukum
normatif
terhadap
pengkajian
(analisis)
dimulai dari perangkat-perangkat pasal-pasal hukum positif terkandung
konsep-konsep
eksplanasi
dan
sifat
dari
permasalahan penelitian. Selanjutnya mendalami lapisan ilmu hukum (dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum). 40 1.6.2 Pendekatan Masalah Dalam rangka memperoleh kebenaran ilmiah atas jawaban isu hukum yang dikaji, maka dalam penelitian dipergunakan 38
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h.35. (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I). 39 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, h. 15. (Selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II). Lihat juga Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 83-103. Menurut Bambang Sunggono bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang didasarkan atau hanya menelaah data sekunder (data kepustakaan). 40 Hadin Mudjad HM. dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 10.
41 beberapa pendekatan. 41 Menurut Johny Ibrahim, ada 7 (tujuh) pendekatan, yaitu ; 1. Pendekatan perundang-undangan (statue approach) 2. Pendekatan konsep (conceptual approach) 3. Pendekatan analitis (analytical approach) 4. Pendekatan perbandingan (comparative approach) 5. Pendekatan historis 6. Pendekatan filsafat 7. Pendekatan kasus. 42 Berkaitan dengan penelitian disertasi ini dipergunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), dan pendekatan historis
(historical
approaci).
Penggunaan
pendekatan-
pendekatan sebagaimana dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut; 1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach) yang dipilih mengingat yang akan diteliti adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Melalui pendekatan ini akan dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-
41
Philipus M. Hadjon, 1999, Menulis Laporan Penelitian Hukum, UNAIR, Surabaya, h. 2. 42 Johnny Ibrahim I, Op.Cit, h. 246.
42 undangan yang ada dari sisi bentuk maupun isinya 43, terutama yang memuat norma-norma hukum tentang akses UMKM untuk mendapatkan modal usaha. 2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach), juga dipilih guna melakukan (pengertian)
penelusuran yang
terhadap
terdapat
pada
makna
suatu
peraturan
konsep
perundang-
undangan, pandangan ahli hukum, putusan pengadilan. Pendekatan konseptual itu sendiri merupakan pendekatan yang
dipergunakan
untuk
memperoleh
kejelasan
dan
pembenaran ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum yang bersumber dari prinsip-prinsip hukum. 44 3. Pendekatan Analitis (Analitical Approach), yaitu pendekatan dengan melakukan analisis terhadap bahan-bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah yang dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan, secara konseptual dan sekaligus untuk mengetahui penerapan dalam praktek dan putusan-putusan hukum.
43
Seperti dijelaskan oleh Haryono bahwa untuk pendekatan perundang undangan, peneliti harus melihat hukum sebagai suatu sistem yang mempunyai sifat; 1. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait antara yang satu dengan yang lain secara logis. 2. All-Inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan kekurangan hukum. 3. Systemic, bahwa disamping bertautan antara yang satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hirarkhis. John ny Ibrahim I Op.Cit, h. 303. 44 Hadin Mudjad HM., Nunuk Nuswardani, Op.Cit.h.47
43 4. Pendekatan Historis (Historical Approach), yaitu pendekatan dengan melakukan analisis terhadap politik hukum pengaturan UMKM di Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto (masa Orde Baru) dan masa pemerintahan reformasi.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum Pada penelitian hukum normatif, bahan hukum mencakup, pertama; bahan hukum primer, kedua; bahan hukum sekunder, dan
ketiga;
bahan
hukum
tertier.
Bahan
hukum
yang
dipergunakan dalam penulisan disertasi ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Adapun
bahan-bahan
hukum
dimaksud
adalah
sebagai berikut; a. Bahan hukum primer; yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya
perundang-undangan,
mempunyai
otoritas,
catatan-catatan
resmi
yang
terdiri
atau
risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 45 Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah; 1) Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 (Pasal 33, Pasal 34).
2) Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (Pasal 17, Pasal 26 huruf f, dan Pasal 61). 45
Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 141.(Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II).
44 3) Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro (Pasal 3 Huruf a, b, c dan Pasal 11 ayat (1), (2)). 4) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (Pasal 2 ayat (1) huruf e dan Pasal 88). 5) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (Pasal 12 ayat (1), (2)). 6) Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24). 7) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Pasal 13 ayat (1), (2)). b. Bahan
hukum sekunder; yaitu bahan hukum yang berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas putusan pengadilan. 46 c. Bahan hukum tertier; yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder,
contohnya
kamus,
ensiklopedia,
indeks
komulatif, dan seterusnya. 47
1.6.4 Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan UMKM. 46 47
Ibid. Soerjono Soekanto II, Loc.Cit.
45 Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen dengan melakukan inventarisasi terhadap bahan-bahan hukum yang ada. Bahan hukum yang berhasil diidentifikasi
serta
diklasifikasikan
diinventarisir kemudian dengan
melakukan
pencatatan secara cermat dan sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuan-penemuan
yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian, 48 dalam hal ini mengenai pemberdayaan UMKM dibidang akses modal.
1.6.5 Tehnik Analisis Bahan Hukum Bahan
hukum
yang
berhasil
dikumpulkan
penelitian ini, baik bahan hukum primer, sekunder, maupun
dalam
bahan hukum
bahan hukum tertier, dianalisis dengan
menggunakan teknik analisis deskripsi, interprestasi, evaluasi dan argumentasi. Pengertian dari masing-masing teknik analisis dimaksud dapat diberikan penjelasan sebagai berikut: a. Tehnik
deskripsi,
adalah
berupa
uraian
apa
adanya
terhadap suatu kondisi atau proposisi-proposisi hukum maupun non hukum.
48
Rony Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia, Indonesia, Jakarta, h. 98.
46 b. Tehnik
interpretasi,
adalah
menggunakan
jenis-jenis
penafsiran dalam hukum, terutama penafsiran menurut tata bahasa (gramatikal). c. Tehnik evaluasi, yaitu penilaian tepat atau tidak tepat, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan atau proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam hukum primer maupun sekunder. d. Tehnik argumentasi, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.