BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Orang Suku Laut (selanjutnya disingkat OSL dan secara bergantian disebut juga Orang Laut) di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) telah berubah seiring dengan agenda pembangunan (Kompas 23/02/2013). Mereka tidak lagi hidup dalam kultur zeenomaden—hidup mengembara dengan sampan di lautan bebas, tidak pula melakukan aktivitas ekonomi subsisten. Mereka kini hidup dalam paradoks: hendak menjadi manusia ‘modern’ atau bertahan dengan ‘tradisi’ moyang mereka dengan segala konsekuensinya (Bettarini 1991; Chou 1997, 2010; Kompas 23/02/ 2013; Lenhart 1997, 2002, 2004; Trisnadi 2002). Fakta ini tidak tercipta secara ‘alamiah’—misal lantaran munculnya kesadaran tertentu dari dalam diri OSL, melainkan merupakan konsekuensi dari suatu proses sosial dan sejarah yang membuat mereka berubah dari pola hidup tertentu ke pola hidup yang lain, yang pada gilirannya melahirkan kesadaran baru—yang bagi saya merupakan kesadaran buatan. Dalam konteks pembangunan tersebut, negara merupakan salah satu entitas yang berkuasa untuk mengubah realitas kehidupan warganya. Vivienne Wee dan Cynthia Chou berpendapat bahwa, “(state) power is the authority to define and thereby shape realities is also the power to make history and create discourse” (Wee dan Chou 1997:528, 531). Wujud otoritas negara dalam menentukan kehidupan warganya berupa campur-tangan mereka terhadap arah perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat lokal dan “komunitas suku-suku terasing”, seperti komunitas OSL di seluruh Kepri. Sehubungan dengan penelitian saya, kondisi kehidupan komunitas OSL di Pulau Bertam, Kepri saat ini menjadi salah satu bukti besarnya campur-
Bab I – Pendahuluan
2
tangan negara tersebut, yang kalau dilihat secara historis maka dampak hari ini terlihat begitu luar biasa (lihat bab-bab berikutnya). Kendati negara bukan agen tunggal perubahan sosial di sana, Pulau Bertam merupakan salah satu pulau yang pernah menjadi ‘pilot project’ program permukiman bagi mereka yang digolongkan sebagai komunitas suku terasing di Kepri pada pertengahan dekade 1980an. Ketika itu, proyek Pulau Bertam ini menjadi tanggung jawab FKKS (Forum Komunikasi dan Konsultasi Sosial) Batam, yang sebelumnya dipegang oleh beberapa organisasi seperti Kosgoro (Bettarini 1991:10-11). Oleh sebab itu, Pulau Bertam dengan komunitas OSL di dalamnya bagai monumen yang melambangkan ‘domestikasi sosial’ komunitas pengembara laut oleh negara secara sistematis. Pembangunan kawasan ekonomi industri di Pulau Batam pada akhir 1970an mempengaruhi perubahan corak kehidupan komunitas OSL yang berada di seluruh perairan Kepulauan Riau (Mubyarto 1997:542). Dengan menciptakan Otorita Batam sebagai satelit pemerintah pusat (kini bernama Badan Pengusahaan [BP] Batam), konsentrasi pemerintah dan pihak-pihak swasta rekan pemerintah terkuras dalam mengubah kekayaan alam (daratan dan maritim) yang mulanya ‘tak bernilai ekonomi’ menjadi modal pembangunan yang bernilai ekonomi (Chou 2003:132, 2010:128; Chou dan Wee 2002:323; Dhakidae 2009:2; Ong 2005:94-96; Wee dan Chou 1997: 533-537). Ketika itu, Pulau Batam disiapkan sebagai area perdagangan bebas dan kawasan pelabuhan internasional, sekaligus industri multinasional (Wee dan Chou 1997). Setelah berjalan kurang lebih sepuluh tahun, pembangunan dilanjutkan dengan konsep yang lebih mutakhir, yaitu rencana pembangunan kawasan ekonomi Indone-
Bab I – Pendahuluan
3
sia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMSGT) yang disepakati oleh ketiga kepala negara pada Desember 1989. Disepakatinya IMSGT ini merupakan satu strategi pemerintah agar percepatan pembangunan perekonomian di Indonesia berjalan dengan pesat (Mubyarto 1995). Oleh karenanya, pemerintah kemudian mengupayakan intervensi melalui program-program yang berorientasi pada peningkatan ekonomi bagi masyarakat lokal dan beberapa komunitas suku bangsa yang masih hidup secara sederhana agar secara ekonomi taraf hidup mereka setara (Chou 2010:132133; Mubyarto 1995, 1997; Wee dan Chou 1997; Ong 2005:94). Beberapa ahli mengatakan bahwa pembangunan kawasan ekonomi merupakan satu model “pembangunan dari atas”, dan oleh karenanya berpeluang menimbulkan masalah-masalah sosial-budaya bilamana tidak diimbangi dengan “pembangunan dari bawah”. “Pembangunan dari bawah” salah satunya bertujuan menyiapkan masyarakat lokal agar ‘mampu bertahan’ (jika bukan ‘mampu bersaing’) terhadap situasi perubahan sosial-ekonomi yang begitu pesat. Lebih dari itu, “pembangunan dari bawah” mengandaikan aktivitas pembangunan yang disesuaikan dengan aspirasi masyarakat sasaran pembangunan (cf. Appadurai 2002). Namun, hal ini belum diupayakan pemerintah Indonesia pada masa-masa itu. Di Kepri, OSL merupakan satu komunitas yang disasar pembangunan agar paling tidak sebagian besar dari kelompok mereka mulai hidup menetap. Dengan hidup menetap, mereka dibayangkan setidaknya dapat dikontrol dan diawasi secara administratif, sebelum kemudian diberi program-program penyetaraan taraf hidup (Dove 1985; Scott 1998a, 2009; Tsing 1998). Mempertimbangkan pemikiran Stephen Collier dan Andrew Lakoff (2005 dalam Jiménez 2008:16), situasi semacam ini meru-
Bab I – Pendahuluan
4
pakan penerapan ide “regimes of living” oleh pemerintah dalam mengupayakan standar kelayakan hidup tertentu kepada masyarakatnya agar “menjadi beradab”. Sehubungan dengan itu, pemerintah menyiapkan dengan rinci dasar menjalankan program penyetaraan taraf hidup ‘masyarakat sederhana’. Salah satunya adalah dengan merumuskan kategorisasi sosial tertentu agar strategi penyetaraan taraf hidup ini dapat diberlakukan dengan tepat (Colchester 1989). Masyarakat sederhana seperti komunitas OSL tersebut lantas dikategorikan sebagai masyarakat terasing, terbelakang, dan tertinggal (Mubyarto 1995; Ong 2005:92). Dari sini, pemerintah dapat menerapkan program IDT sebagai ancang-ancang pemerataan pembangunan ekonomi berskala nasional dan, “the Orang Laut must be transformed and resettled in urban settings” (Chou 2010:132). Dengan demikian, hal-hal semacam itu saya kira sejalan dengan gagasan Michel Foucault (1991) mengenai “governmentality”. Melalui skema Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT) di akhir periode 1980an hingga pertengahan 1990an, sebagian besar komunitas OSL di Kepri berhasil dimukimkan lewat program pemukiman. Orang Laut kemudian menjadi penduduk tetap kepulauan, bukan lagi masyarakat nomadik (lihat Chou 2010). Keberhasilan ‘mendaratkan’ berbagai klan dari komunitas OSL ini diklaim oleh negara sebagai satu kesuksesan dari sekian rangkaian program pembangunan nasional semasa Orde Baru (Bettarini 1991; Chou 1997, 2010; Colchester 1989:89; cf. Haba 2002; Lenhart 1997, 2002; Mubyarto 1995; Sembiring 1993, 1995; Trisnadi 2002). Beberapa ahli mengungkapkan bahwa ‘dirumahkannya’ komunitas OSL lewat program pemukiman dan pembinaan oleh Direktorat Bina Masyarakat Terasing (DBMT), Departemen Sosial kala itu (Bettarini 1991; Chou 2003, 2010; Lenhart 1997,
Bab I – Pendahuluan
5
2002) secara umum berdampak pada dua aspek: sosial-kultural dan ekonomi-politik (Chou 2006, 2010; lihat Bab III dan IV). Dari uraian singkat ini, dengan demikian, kita dapat menduga bahwa ide ‘kepengaturan’ negara di balik penyiapan Provinsi Kepri dalam pembangunan yang berorientasi pada global market economy mengabaikan kesejahteraan rakyatnya (Chou dan Wee 2002; Mubyarto 1997). Mimpi terdistribusinya kemakmuran secara merata bagi semua pihak melalui pembangunan ekonomi nasional buyar, sebab fakta bahwa hak-hak komunitas OSL sebagai penduduk lokal terhadap teritori kulturalnya justru semakin dibenamkan (Chou 2003:6, 2010; Chou dan Wee 2002:354-355; Mubyarto 1997; Wee dan Chou 1997:533; Ong 2005:100). Oleh karena itu, untuk menciptakan warga negara yang patuh, tertata, stabil, dan terkendali semacam ini, Aihwa Ong mengatakan negara hampir selalu secara sengaja mengaburkan (kalau tidak hendak dikatakan menghilangkan) hak-hak warga negara (Ong 2005:86).
B. PERMASALAHAN Uraian di atas memberi gambaran mengenai dua hal. Pertama, latar belakang sejarah sosio, politik, dan ekonomi komunitas Orang Suku Laut yang dimukimkan oleh negara dan sengaja membuat mereka tidak mempunyai otoritas penuh mengakses sumber daya alam maritim di teritori tertentu. Kedua, alieniasi OSL dalam relasi dengan negara seperti itu dipicu juga oleh program-program pemerintah yang hingga hari ini masih berorientasi pada model top-down. Oleh karena itu, dalam penelitian ini saya hendak menerangkan transformasi nilai-nilai sosial-kultural dalam praktik sehari-hari mereka sebagai konsekuensi dari hubungan Orang Laut dengan negara.
Bab I – Pendahuluan
6
Dalam tujuan itu, penelitian akan saya mulai dari proses bermukimnya komunitas OSL di Bertam dan kemudian masuk pada konsekuensi pasca-program pemukiman tersebut. Oleh karenanya, setidaknya ada tiga rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu (1) mengapa dan dalam konteks apa komunitas OSL dimukimkan di Pulau Bertam? Ketika proses pemukiman berlangsung, (2) perubahan-perubahan sosialbudaya apa yang terjadi pada kehidupan Orang Bertam? Berangkat dari asumsi bahwa manusia merupakan makhluk yang kompleks dengan berbagai faktor yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak (Winarno 2010), maka (3) apa pemaknaan dan reaksi Orang Laut atas pelbagai perubahan sosial-budaya yang membuat mereka bertahan di “darat” dan tidak kembali berperilaku sebagai “orang sampan”?
C. TINJAUAN PUSTAKA Untuk menempatkan posisi studi saya terhadap studi-studi terdahulu, dalam kajian pustaka saya akan mendiskusikan dimensi paradigma yang terdapat pada sejumlah kajian mengenai Orang Suku Laut di Kepri dan komunitas serupa di kawasan Asia Tenggara. Oleh karenanya, perhatian saya ialah pada konsep-konsep yang digunakan dalam memahami dan menerangkan fenomena kebudayaan dalam penelitian mereka. Saya juga akan melihat pada beberapa temuan penelitian dan kesimpulannya. Sebagaimana akan saya tunjukkan di bawah, pendekatan yang paling banyak digunakan dalam penelitian berkaitan dengan fenomena Orang Laut adalah paradigma-paradigma perubahan sosial-budaya yang berbasis epistemologi positivisme, historisisme, dan fenomenologi. Jikalau kita lihat pada beberapa karya klasik mengenai suku pengembara laut di kawasan Asia Tenggara, sudut pandang historis dan perbandingan kebudayaan mendominasi di sejumlah tulisan (lihat Chou 2006; Shoper 1977; White 1982 [1922]).
Bab I – Pendahuluan
7
Dengan pendekatan ini, mereka mencoba merekonstruksi asal usul komunitas ini, mendeskripsikan ciri-ciri kebudayaan secara holistik dan rinci, dan menunjukkan bagaimana pola migrasi sea gypsies ini terjadi di kawasan Asia Tenggara. Sedangkan pada tulisan White, ia mengupas secara genealogis kehidupan Mawken (Orang Laut) yang tersebar di beberapa lokasi di Semenajung Melayu (daerah pesisir Siam [Thailand] dan Burma [Myanmar]), perairan Laut Cina Selatan. Baik Sopher maupun White berargumen bahwa kebudayaan Orang Laut terbentuk atas proses migrasi dan adaptasi di lingkungan tempat mereka berlabuh. Menurut saya, keduanya dekat ke paradigma partikularisme historis jalur Boasian (lihat Ahimsa-Putra 2008:13) atau bisa juga digolongkan sebagai studi regional comparison (lihat Barnard 2010:206). Pada karya lain kita temui pendekatan historis melalui esai James Warren (2003) dan Barbara Andaya (1997). Warren memahami konstruksi identitas melalui perbandingan riwayat Orang Laut di akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-20. Dari persebaran mereka di Asia Tenggara, Warren menunjukkan bahwa identitas Orang Laut di masa lalu dibentuk dalam relasi hierarkis dengan kesultanan Melayu di selat Malaka dan interaksi antarkomunitas lewat mobilitas mereka. Namun, identitas orang sampan berubah seiring berakhirnya era monarki dan kolonialisme di abad ke-20, yang diganti oleh sistem negara modern (Warren 2003:5-6; lihat juga Wee dan Chou 1997:528). Sedangkan studi Andaya lebih melihat dinamika ekonomi politik dalam konteks hadirnya nation-state di akhir abad ke-20. Ia mengatakan bahwa komunitas lokal di kawasan Riau (salah satunya Orang Suku Laut) sebagai “pemilik” tanah atau wilayah harusnya dilibatkan dan diposisikan setara dengan pihak-pihak lain (terutama para kaum pemodal) dalam proses pembangunan.
Bab I – Pendahuluan
8
Selain paradigma bercorak historis, beberapa tulisan menggunakan kerangka berpikir interpretif (tafsir kebudayaan)—baik model Victor Turner maupun Clifford Geertz, untuk menerangkan relasi-relasi simbolik yang mewujud dalam budaya material maupun pola relasi yang terjalin dalam praktik kehidupan suatu masyarakat. Pendekatan simbol à la Turner muncul pada tulisan François-Robert Zacot (2008) yang mendeskripsikan secara rinci sistem kebudayaan Orang Bajo yang terwujud dalam simbol-simbol kebudayaan mereka, dan bagaimana intensitas interaksi Orang Bajo dengan “orang darat” yang mempengaruhi kesadaran mereka tentang penandapenanda identitas tertentu. Sementara Michael Southon (1995) dengan paradigma interpretifnya Geertz (1973) mencoba menerangkan bahwa gagasan orang Buton Laut memiliki asosiasi-asosiasi simbolik di dalam praktik sosial mereka. Gagasan (nilai-nilai) tertentu menjadi model atas realitas, dan realitas merupakan perlambang proses transformasi dari gagasan tersebut. Dia menyimpulkan, perahu merupakan lambang “roda ekonomi” Buton Laut sehingga nilai-nilai kultural tampak pada bentuk relasi-relasi di dalam keluarga batih dan antarawak perahu. Relasi-relasi ini merepresentasikan mekanisme produksi dalam menentukan keberhasilan ekonomi rumah tangga mereka. Oleh sebab itu, “ekonomi perahu” berperan besar dalam membentuk pranata-pranata sosial-politik dan juga hierarki sosial Orang Buton Laut. Lebih lanjut, paradigma strukturalisme juga mewarnai kajian-kajian mengenai suku bangsa seafaring. Varian analisis strukturalisme setidaknya dapat dikelompokkan ke dalam dua tradisi pemikiran, yaitu strukturalisme Lévi-Strauss dan analisis strukturalnya Edmund Leach yang mengarah pada studi-studi mengenai simbolisme kebudayaan serta perdebatan systems of exchange dan ekonomi dalam tradisi Marcell Mauss (lihat Carrier 2010:274). Khusus untuk corak yang kedua, mereka berasumsi bahwa, “the symbols of certain societies can be shown to form master
Bab I – Pendahuluan
9
patterns, often of a binary character, which organize the general cognitive outlook of the people concerned” (Bloch 2010:675). Tidak berhenti pada analisis relasi simbolik yang tercipta dalam sistem pertukaran, dalam kelompok kedua umumnya mencoba menelaah perubahan-perubahan sosial Orang Suku Laut. Oleh sebab itu, pendekatan historis, fungsionalisme, neo-Marxisme, dan konstruksionisme mewarnai dalam kajian-kajian itu (Chou 1997, 2003, 2010; Chou dan Wee 2002; Lenhart 1997, 2002; Nimmo 1972). Pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss muncul pada studi Orang Bajo Laut di Sulawesi Selatan (Ahimsa-Putra 2006, 2011). Obyek material yang menjadi perhatian Ahimsa-Putra adalah dongeng-dongeng (mitos) sehingga cara pandang strukturalisme Lévi-Strauss-lah yang dipandang strategis membedah makna mitos-mitos itu. Diskusi di dalam kedua esainya kurang lebih mengatakan bahwa orang Bajo Laut dengan sadar menciptakan dongeng sebagai strategi mengatasi berbagai persoalan hidup yang sulit mereka pecahkan pada kehidupan nyata. Melalui mitos pula mereka membangun dan memproyeksikan konektivitas asal-usul (leluhur) dan kedekatannya dengan nilai-nilai budaya orang Bugis (darat). Dalam studi yang lain, kerangka pikir struktural dan simbolisme dikerjakan oleh Cynthia Chou (2003) untuk melihat persoalan konstruksi makna pertukaran dan politik identitas di kalangan OSL. Secara simbolis, primordialisme Orang Laut muncul dalam kontestasi wacana antara siapa Melayu ‘asli’ dan ‘tidak asli’ di dalam relasinya dengan orang Melayu. Siasat-siasat Orang Laut atas pilihan beragama, kepemilikan atas sesuatu (things), hingga hubungan ekonomi-pertukaran baik di lingkup kerabat Orang Laut maupun dengan pihak di luar kelompoknya menjadi bukti bahwa simbol-
Bab I – Pendahuluan
10
simbol budaya ini perlu mereka pertahankan agar tidak tunduk pada hegemoni suku bangsa dominan, yakni orang Melayu-Islam. Pendekatan lain, yaitu konstruksionisme dipakai untuk mendiskusikan pergeseran pandangan (kesadaran) Orang Laut mengenai orientasi sosial, spasial, dan temporal dalam konteks pembangunan Masyarakat Terasing (Lenhart 1997, 2002). Ketiganya menurut Lenhart merupakan aspek-aspek pembeda identitas kesukuan mereka dengan Orang Melayu. Teori “situational definitions” dipakai Lenhart untuk membaca bahwa tekanan pemerintah mendorong Orang Laut berakulturasi (dan berstrategi) ke dalam adat orang Melayu (Lenhart 1997, 2002). Serupa dengan Lenhart, Kemkens (2009) secara fenomenologis melihat perubahan sosial pada hubungan antara kesadaran identitas (simbol-simbol) Orang Bajo di Tinakin Laut, Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah dengan realita lingkungannya yang berubah seiring dengan program resettlement pemerintah. Kemkens menyimpulkan bahwa konstruksi identitas Orang Bajo berubah, karena faktor dorongan kuat dari pemerintah untuk mengubah sistem kepercayaan dan teknologi produksi yang dipakai dalam sistem ekonomi tradisional sehingga, “cash economies has replaced by subsistance fishing economies” (Kemkens 2009:56-65). Sedangkan paradigma fungsional muncul pada tulisan Lenhart (2004) yang mengangkat persoalan relasi sosial dalam konteks seks dan gender dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial Orang Laut di Kepri bahwa kesemua unsur tersebut merupakan satu kesatuan (sistem) yang terkait erat satu dengan lainnya dan berperan menjaga keutuhan identitas kultural, terutama organisasi sosial, mereka. Perspektif ekonomi-politik merupakan paradigma yang paling banyak dikerjakan untuk melihat perubahan sosial pada komunitas Orang Laut dalam hubungannya
Bab I – Pendahuluan
11
dengan negara dan sistem ekonomi global. Asumsinya, OSL sebagai minoritas dipandang tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi sehingga mereka termarjinalkan (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Granbom 2005; Wee dan Chou 1997). Beberapa peneliti ini juga menempatkan persoalan suku bangsa ini ke dalam konteks isu-isu politik ekologi dan globalisasi ekonomi. Mereka mengarahkan telaahnya pada isu tarik-menarik antara penguasa (negara dan pemilik kapital) dengan Orang Laut mengenai siapa yang berhak mengatur teritori dan sumber daya alam. Dalam konteks historis dan ekonomi-politik, mereka kurang lebih menyimpulkan bahwa jika hak-hak Orang Laut atas teritori kultural dan cara-cara hidup (produksi dan reproduksi) di lingkungan mereka tidak diakui dan dipaksakan sejalan dengan pembangunan, maka cita-cita tergapainya kesejahteraan bagi komunitas ini tidak akan tercapai (Andaya 1997; Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Mubyarto 1997; Wee dan Chou 1997). Studi dalam perspektif perubahan sosial-budaya lainnya yang berangkat dari asumsi dasar bahwa kebudayaan itu berubah karena dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, dapat kita jumpai pada beberapa karya (Bettarini 1991; Marsanto 2010a, 2010b; Sembiring 1993, 1995; Suyuti 2011; Trisnadi 2002). Dengan fokus analisis dalam teori strategi adaptasi, Bettarini (1991) dan Suyuti (2011) menekankan bahwa setiap individu dalam komuntias OSL memiliki kemampuan beradaptasi melalui perangkat pengetahuannya untuk mengklasifikasi situasi sosial tertentu serta memahami kebaruan lingkungan sosial yang dihadapinya. Perubahan pola hidup Orang Laut terjadi setelah mereka bermukim: dari tinggal di sampan ke rumah-apung di pesisir pantai serta perubahan pemaknaan atas nilai-nilai kulturalnya (cf. Haba 2002). Sementara itu, Trisnadi (2002) menekankan pada perubahan dalam proses (tahap-tahap) sosialisasi (enkulturasi) Orang Laut dalam mendidik anak-anaknya.
Bab I – Pendahuluan
12
Dalam konteks pembangunan semasa Orde Baru, secara prosesual Trisnadi menyinggung soal perubahan fungsi-fungsi (peran) anggota keluarga yang diasumsikan sebagai kunci pola asuh anak-anak Suku Laut pasca-program ‘pemukiman kembali’, terutama ketika mereka mulai mengenyam pendidikan formal. Hasilnya, perubahan hanya terjadi pada tataran material saja, sebab orientasi Orang Laut hidup sebagai nelayan dengan ekologi lautnya merupakan masa depan mereka (cf. Lenhart 2002, 2004). Tulisan terakhir, Sembiring (1993, 1995) berpendapat bahwa fase peradaban Orang Laut secara evolutif dinilai lamban apabila dibandingkan dengan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, Orang Laut perlu dibina pemerintah dengan intens melalui program-program tertentu agar dapat ‘mengimbangi kemajuan’ zaman. Dalam beberapa studi Orang Laut di Indonesia dalam konteks perubahan sosial dan pembangunan umumnya menyinggung berbagai implikasinya, termasuk isu-isu kemiskinan dan kemakmuran. Semasa pemerintah Orde Baru (terutama pada Pelita IV) memang sedang digalakkan program relokasi dan pemukiman (settlement dan resettlement process) kepada berbagai sukubangsa yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing. Berkenaan dengan hal ini, literatur yang saya jumpai—hampir semuanya sudah saya uraikan di atas, umumnya dibingkai dalam kerangka berpikir perubahan sosial dan strategi adaptasi (Bettarini 1991; Haba 2002; Kemkens 2009; Lenhart 1997, 2002; Sembiring 1992, 1995), ekologi politik dan konstruksionisme (fenomenologi) (Chou 1997, 2010; Kemkens 2009; Lenhart 1997, 2002), sosial ekonomi (Mubyarto 1997), dan ekonomi-politik dan globalisme (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Wee dan Chou 1997).
Bab I – Pendahuluan
13
Kendati berbagai literatur di atas menunjukkan fakta-fakta historis dan etnografis mengenai realitas sehari-hari Orang Laut di Kepri dan kasus suku pengembara laut di wilayah lain secara komprehensif dan dianalisis dengan beragam pendekatan, studi-studi itu tetap menyisakan hal-hal yang perlu diperdalam dengan perspektif yang agak lain sehingga muncul insights yang berbeda pula. Sampai kajian terbaru (misal Chou 2010), Orang Laut sebagai obyek sasaran pembangunan dalam tujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan masih diasumsikan (dan dideskripsikan) sebagai subyek pasif yang seolah-olah menerima program pemerintah begitu saja tanpa ada, misalnya, penolakan-penolakan tertentu, baik secara simbolik maupun terbuka (cf. studi politik pembangunan Scott 1998a, 1998b, 2009:9). Dengan kata lain, kita dapat berprasangka bahwa sebagai komunitas yang di tengah keterdesakan, keterbatasan, dan “kemiskinan”, Orang Laut atau komunitas lain yang dikenai program pembangunan negara sesungguhnya melancarkan siasat tertentu supaya kehidupan tetap berada di jalur logika kebudayaan mereka dan tentu saja menguntungkan mereka (cf. Lenhart 1997, 2002). Kita dapat membandingkan dengan riset Anthony Reid (2004a) mengenai alasan-alasan para penguasa di Sulawesi Selatan (Bugis dan Makassar) menerima Islam di abad ke-17 sebagai agama mereka, yang salah satu motifnya adalah pertimbangan “ekonomi”, yaitu agar relasi niaga mereka dengan Malaka terjaga dengan baik. Selain itu, dapat dipertimbangkan pula riset etnohistoris David Henley (2004, lihat juga Henley dan Caldwell 2008) bahwa konsep stranger-king di Sulawesi Tengah dan Utara, yang diadopsi dari studi Marshall Sahlins (1981) pada sistem politik masyarakat kepulauan Pasifik, masuk akal, sebab mereka menghendaki keadilan dan keteraturan sosial-politik dengan jalan menjadikan pihak asing (koloni Belanda) sebagai pemimpin yang mengatur keseimbangan kehidupan politik mereka. Artinya bahwa dalam kasus Orang Laut di
Bab I – Pendahuluan
14
Indonesia pada umumnya, kita perlu bersikap kritis bahwa jangan-jangan anggapan mengenai keberhasilan negara “memberadabkan” komunitas Suku Laut sebetulnya merupakan situasi yang OSL ciptakan semata-mata demi keuntungan mereka (lihat Lenhart 1997, 2002). Melalui etnografi James Ferguson (2009) di Lesotho, kita dapat menyangka bahwa fenomena kemiskinan Orang Bertam boleh jadi disebabkan oleh governmentality atau ‘kepengaturan’ negara yang dikendalikan oleh lembaga donor tertentu. Dalam agenda pembangunan kita melihat bahwa ada tarik-menarik gagasan dan nilai-nilai tentang modern – tradisional, maju – terbelakang, miskin – makmur, hidup layak – tidak layak, menetap – mengembara, lingkungan darat – laut, dan seterusnya yang secara dialektis mengubah aspek-aspek sosial dan kebudayaan komunitas ini. Dengan demikian, saya perlu melihat mengapa dan bagaimana negara menerapkan rancangan-rancangan pembangunannya terhadap Orang Laut, sekaligus cara-cara OSL merespon pembangunan yang muncul dalam keseharian mereka.
D. KERANGKA TEORI Dalam tulisan ini sejumlah persoalan dan segelintir fakta yang saya sodorkan di atas menunjukkan setidaknya terdapat tiga hal yang berhubungan. Pertama, state governmentality mewujud dalam pembangunan nasional atau yang dalam istilah lain dapat dimaknai sebagai upaya modernisasi ekonomi. Kedua, dalam pembangunan pemerintah mencetuskan dan menjalankan berbagai program secara top-down agar tujuan-tujuan pembangunan segera tercapai. Dalam tujuan demikian, satu program yang saya diskusikan ialah pemukiman bagi “komunitas tribal”, yang menyasar pada komunitas Orang Laut. Meskipun dianggap berjalan mulus, dari program semacam
Bab I – Pendahuluan
15
ini hampir pasti memunculkan reaksi tertentu ketika terjadi peralihan-peralihan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budayanya. Ketiga, reaksi-reaksi yang saya maksud minimal mencakup dua macam, yaitu penerimaan (acceptance) dan/atau penolakan (resistance) terhadap state governmentality, baik secara implisit maupun eksplisit. Dalam kasus tertentu, penerimaan dan penolakan memungkinkan muncul di tingkat lokal setelah melalui proses negosiasi, akan tetapi mungkin juga tanpa melewati fase negosiasi (lihat Skema 1.1.).
Skema 1.1. Relasi Negara dan Orang Suku Laut dalam Pembangunan
Skema 1.1. di atas merupakan upaya atau praktik negara mengelola berbagai bidang kehidupan warganya. Hal ini dikonsepsikan Michel Foucault (1991) sebagai ‘the art of government’ atau ‘governmentality’. Colin Gordon (1991) menyebut dalam istilah lain sebagai ‘governmental rationality’, yakni gagasan mengenai relasi kekuasaan yang diimplementasikan untuk menata, mengatur, dan mengendalikan individu-
Bab I – Pendahuluan
16
individu atau masyarakat sesuai dengan kehendak penguasa (baca: negara). ‘The conduct of conduct’ atau ‘pengarahan perilaku’ (Li 2012:9) yang dapat mengerti pula sebagai suatu, “… calculated and systematic ways of thinking and acting that aim to shape, regulate, or manage the comportment of others” (Inda 2005:1). Serupa dengan Jonathan Inda, Gordon mendefinisikannya sebagai, “a form of activity aiming to shape, guide, regulate or affect the conduct of some person or persons” (Gordon 1991:1). Melalui beberapa penggalan definisi itu, dengan demikian, negara tampak menginginkan segenap subyek yang dikuasainya (yakni rakyatnya) bertindak sesuai dengan perangkat-perangkat kepengaturan tertentu yang mengikat, karena dirumuskan dan ditetapkan negara, misal melalui undang-undang sebagai produk hukum yang sah (Foucault 1991; lihat juga Scott 2005). Foucault menerangkan bahwa manusia-manusia yang hidup di dalam teritori negara akan menjadi target kekuasaannya. Meski demikian, ada hal yang lebih penting dari sekedar menguasai manusia-manusia tersebut, yaitu mengenai relasi-relasi mereka dengan sesuatu (Foucault 1991:93). Premis ini membawa kita untuk tidak hanya mendiskusikan siapa menguasai siapa, melainkan mengenai siapa menguasai siapa dalam hubungannya dengan sesuatu. Mengenai relasi manusia dengan sesuatu dan dalam motivasi seperti apa negara perlu mengelola hal-hal itu, Foucault menjelaskan, “What government has to do with is … a sort of complex composed of men and things. The things … with which government is to be concerned are in fact men, but men in their relations, their links, their imbrication with those things that are wealth, resources, means of subsistence, the territory with its specific qualities, climate, irrigation, fertility, and so on; men in their relation to those other things that are customs, habits, ways of acting and thinking, and so on; and finally men in their relation to those still other things that might be accidents and misfortunes such as famine, epidemics, death, and so on” (Foucault 2000:208–209 dalam Inda 2005:3-4).
Bab I – Pendahuluan
17
Mengelaborasi gagasan Foucault tersebut, David Scott (2005:24) menerangkan bahwa untuk mengendalikan para manusia (men) dan segala sesuatu (things) yang ada di sekitarnya, pihak penguasa perlu membuat ‘perangkat penguasaan’ tertentu yang mampu bekerja secara efektif dari dalam maupun dari luar pihak yang dikuasai. Dalam beberapa kasus rezim kolonial yang dia contohkan, ‘perangkat penguasaan’ ini disebut sebagai “the political rationalities of colonial power …” yang “organized as an activity designed to produce effects of rule” (Scott 2005:25). Sejalan dengan Scott, Inda juga menerangkan bahwa salah satu sasaran utama governmentality, “… is this complex of men and things. Indeed, it is this complex that is the fundamental target of government. … that men and things be administered in a correct and efficient way” (Inda 2005:4). Relasi para manusia dengan ‘things’ di situ dapat dimaknai sebagai aspek-aspek simbolis dan non-simbolis: perilaku, hal-hal material, dan nilai-nilai dan gagasan dalam keseharian manusia, seperti relasi manusia dengan lingkungan fisik (alam), manusia dengan kesehatan, manusia dengan sumber-sumber ekonomi, manusia dengan pranata-pranata sosial yang mengatur perilakunya, manusia dengan organisasi sosialnya, dan sebagainya. Dalam argumen Foucault (1991), hubungan-hubungan semacam ini harus dikelola (“being governed”) oleh negara. Mengenai hal ini James Ferguson dan Akhil Gupta (2005:114) menerjemahkan lebih jauh ide dasar Foucault tersebut bahwa governmentality, “… draws attention to all the processes by which the conduct of a population is governed: by institutions and agencies, including the state; by discourses, norms, and identities; and by self regulation, techniques for the disciplining and care of the self.”
Bab I – Pendahuluan
18
Oleh sebab itulah negara perlu mengontrol segenap urusan gagasan, nilai-nilai, perilaku, dan kekayaan (material) dari individu atau kelompok melalui suatu sistem kepengawasan dan kepengelolaan tertentu demi ‘kebaikan’ hidup mereka (cf. Scott 1998a, 1998b). ‘Kebaikan’ di sini, tentu saja dalam sudut pandang negara, dihasilkan melalui instrumen tertentu yang dirancang utamanya untuk bidang ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran, perbaikan keadaan (taraf) hidup, perbaikan kesehatan, dan sebagainya (Foucault 1991:100; lihat juga Chou dan Wee 2002). Dengan demikian, sebagai kerangka teori, ‘governmentality’ menyediakan salah satu sudut pandang untuk menerangkan sekaligus memahami bagaimana model kekuasaan dirancang, dijalankan, dan dalam hubungan seperti apa antara negara dan masyarakat tercipta. Masalahnya kemudian, apakah secara antropologis konsep ‘governmentality’ ini operasional dalam penelitian etnografi dan adakah konsep ini memadai untuk menganalisis fenomena Orang Laut? Menurut Tania Li konsep ini tetap relevan dalam riset etnografi untuk menerangkan konstelasi dan operasionalisasi kekuasaan—yaitu ide mengenai intervensi pemerintah yang diterjemahkan melalui program-program tertentu—yang bekerja di tingkat elite, dan berimplikasi secara luas pada banyak kasus kekinian di tingkat lokal. Secara metodologi, Foucault tidak menjelaskan secara rinci, dan sebab itu teori ini memiliki beberapa keterbatasan dalam riset etnografi terutama ketika kita hendak menerangkan efek-efeknya (Li 2007:276–278). Untuk mengatasi hal ini, saya mencoba berangkat dari sejumlah batasan governmentality di atas mengenai relasi para manusia dan things yang relevan dengan kasus tulisan ini. Dalam kasus Orang Laut di Kepri, kita dapat saksikan praktik governmentality negara sebetulnya mengemuka dalam studi-studi mengenai kebijakan pembangunan
Bab I – Pendahuluan
19
di mana hampir semuanya berkesimpulan bahwa negara dengan subtil menerapkan pembangunan tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyatnya (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Dove 1985; Mubyarto 1997; Ong 2005; Wee dan Chou 1997). Kalau kita berangkat dari definisi Foucault di atas, hubungan governmentality dengan studi saya dalam konteks program pemukiman di tahun 1980an adalah: (1) “… Men in their relations, their links, their imbrication with those things that are wealth, resources, means of subsistence, the territory with its specific qualities …”, definisi ini untuk melihat di antaranya sejauh mana negara mengatur aspek-aspek ekonomi (kesejahteraan) Orang Laut dalam kaitannya dengan “area kulturalnya” (Chou 1997; Lenhart 2002), yaitu sumber daya alam dan teritori maritim; (2) “… men in their relation to those other things that are customs, habits, ways of acting and thinking …”, negara melalui program pemukiman juga secara langsung mengatur bidang organisasi sosial, seks dan perkawinan, perilaku, dan kebiasaan Orang Laut yang tadinya berpola hidup di sampan kemudian beralih ke pola hidup orang darat; dan (3) “… men in their relation to those still other things that might be accidents and misfortunes such as famine, epidemics, death, …”, bahwa eksistensi kehidupan Orang Suku Laut di sampan dipandang negara jauh dari standar ketercukupan pangan dan kelayakan kesehatan, dan oleh karenanya, sebagai contoh, kelahiran perlu dikontrol. Dalam perkara state governmentality di atas, perhatian umumnya tertuju pada hal-hal “dari atas” sehingga persoalan di bawah semacam negosiasi kerap dilupakan. Negosiasi mengandaikan sebuah proses interaksi antara negara sebagai aktor pembangunan dengan OSL sebagai subyek sasaran pembangunan. Negosiasi perlu diperhatikan, lantaran transformasi sosial dan kebudayaan yang diimpikan oleh pembangunan hampir pasti tidak selalu mewujud sama persis dengan yang direncanakan. Melalui negosiasi, perubahan sosial pada gilirannya menghasilkan corak-corak
Bab I – Pendahuluan
20
sosial-budayanya sendiri di mana perubahan konfigurasi sosial-budaya merupakan hasil dari berbagai kreasi dan pemaknaan-pemaknaan oleh komunitas maupun individu tertentu (Demmer 2008:258-259). Transformasi sosial dan kultural sebagai konsekuensi dari intervensi negara, seperti mendaratkan Orang Laut di lokasi yang pemerintah tentukan, oleh James Scott disebut sebagai ‘kolonialisme domestik’ yang saya terjemahkan dari ‘internal colonialism’ (Scott 2009:12-13). Studi Scott menyebut bahwa ‘kolonialisme domestik’ ini ternyata merupakan gejala umum di Asia Tenggara pada akhir abad ke-20, “… ‘enclosure’ has meant not so much shifting people from stateless zones to areas of state control but rather colonizing the periphery itself and transforming it into a fully governed … Its immanent logic is the complete elimination of nonstate spaces.” (Scott 2009:10)
Gagasan Scott ini sejalan dengan argumen Wee dan Chou (1997) dan Chou (1997, 2010) terhadap pengalaman Orang Laut di Kepri. Dalam perspektif ekonomi, Hansen menyatakan mengapa dalam proses menjadi modern negara selalu mendiskreditkan kaum yang lemah dan berada di area periferi, “modernization theory reduced the role of the “Other” to either structural economic problem or one of deviancy … (Hansen 1996:1003; lihat juga Mubyarto 1997). Dalam hal ini, modernisasi di dalam bingkai pembangunan dapat didefinisikan secara beragam, dan tanpa bermaksud menyederhanakan paling tidak batasan modernisasi di sini dapat dimengerti sebagai, “… segala bentuk upaya (oleh pihak tertentu) … untuk mengubah atau mengganti pola-pola perilaku dan pemikiran … sebelumnya menjadi pola-pola perilaku baru yang (dianggap oleh pihak tertentu pula) lebih sesuai dengan keadaan lingkungan sosial, budaya, dan teknologi yang ada di masa sekarang” (Ahimsa-Putra 2003:390, dalam kurung penambahan dari saya).
Lebih lanjut, state governmentality mewujud melalui aparatus-aparatus negara atau bisa juga melalui agen yang lain (e.g. Appadurai 2002) yang dikerjakan sebagai upaya menciptakan warga negara yang tunduk dan patuh, seolah-olah berjalan atas
Bab I – Pendahuluan
21
kesadaran dirinya sendiri (Scott 2005). Dalam konteks Kepri, Orang Laut sebagai penduduk lokal dan subyek sasaran program pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan dalam pengembangan kawasan ekonomi global dan pembangunan nasional (Chou 1997, 2010:101-119) hampir mustahil bernegosiasi dengan negara, dan akibatnya mereka teralienasi (Chou 1997, 2010:40-41; Mubyarto 1997). Secara struktural, praktik semacam ini mengalienasi OSL pada ranah ekonomi-politik dan sosial budaya sebagaimana saya jelaskan di atas: dipangkasnya peluang-peluang akses sumber daya alam, keberadaan struktur politik tradisional, kapasitas mengartikulasikan identitas budayanya, dan ditambah dengan perebutan kepentingan atas teritori tertentu (Chou 1997, 2010). Hansen (1996:998) mengatakan bahwa, “poverty is a structural condition that the poor do not create and for which they are not to blame.” Kemiskinan yang hadir dalam situasi demikian biasanya membawa dampak pada munculnya ketergantungan si miskin terhadap pihak lain, seperti ketergantungan pada program-program bantuan pemerintah. Di samping itu, jika si miskin merupakan komunitas adat tertentu (“nonstate people” dalam pandangan Scott), mereka umumnya mengalami berbagai ketersingkiran pada banyak aspek kehidupan dalam konteks hubungannya dengan negara (Scott 1998a, 2009; Tsing 1998). Konkretnya, state governmentality beroperasi dalam banyak bidang kehidupan, seperti kesehatan (melalui Posyandu), pendidikan (sekolah, TPQ), kependudukan (pencatatan status kewarganegaraan, agama, perkawinan, kelahiran dan kematian), keagamaan (lembaga keagamaan), dan sebagainya (Chou 2010) yang pada gilirannya dapat menciptakan kondisi ketidakseimbangan (Tsing 1993:90 dalam Chou 2010:40).
Bab I – Pendahuluan
22
Uraian teoretis di atas membawa pada persoalan lantas bagaimana OSL mengartikulasikan pilihan-pilihan hidupnya dalam belenggu rezim pembangunan semacam itu. Dapat kita bayangkan bahwa pembangunan sebetulnya diartikulasikan oleh dua pihak (Dove 2006:193; Li 2000). Di satu sisi, negara mengartikulasikan kekuasaannya melalui mekanisme penerapan program-program pembangunan kepada yang dikuasai. Sementara di pihak lain, masyarakat sebagai subyek sasaran pun mengartikulasikan bentuk-bentuk kepengaturan negara tersebut sesuai dengan hal-hal yang ada dalam diri mereka menurut kapasitas logika dan pengalaman historisnya (wawancara Hall via Grossberg 1996:141-142). Artinya bahwa Orang Laut menyikapinya dengan jalan tidak hanya memaknai (pada tataran kognitif), namun sekaligus bereaksi terhadap situasi ini (pada tataran tindakan). Pendapat Michael Dove (2006:195) menjadi relevan di sini, sebab kita kemudian perlu melihat the emic meaning(s) of the articulation of … ‘something’, yang dalam konteks ini adalah reaksi mereka terhadap state governmentality pada aras lokal. Hal ini berguna untuk mengungkap tidak hanya pemaknaan dan reaksi komunitas OSL terhadap modernisasi dan konsekuensi-konsekuensi yang muncul karenanya, melainkan juga alasan-alasan yang mendasari reaksi tersebut. Reaksi-reaksi yang dimaksud setidaknya berupa: penerimaan atau penolakan, atau bisa keduanya (menerima tetapi sekaligus menentang) (lihat Skema 1.1. di atas). Misalnya, sangat mungkin pada bidang kehidupan A mereka menolak, namun pada bidang kehidupan C mereka menerima. Terkait persoalan bagaimana suatu komunitas mengartikulasikan reaksinya terhadap kekuasaan (power), kondisi ketidaksetaraan (inequality), dan transformasi sosial (social change), Jocelyn Hollander dan Rachel Einwohner (2004) menyebut kita perlu memerhatikan aspek-aspek tertentu dalam reaksi tersebut, terutama ketika kita hendak mengungkap persoalan resistensi yang merupakan bagian tersulit ketim-
Bab I – Pendahuluan
23
bang perkara penerimaan. Kendati di sosiologi, antropologi, dan ilmu politik ada berbagai pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan “resistensi”, banyak ahli yang tidak secara eksplisit menerangkan dengan jelas batasan-batasan resistensi: apakah mengenai motivasi, cara, alat atau media, arah dan sasaran, target, skala, bentuk, atau hal lain (Hollander & Einwohner 2004). Dari sejumlah dimensi, definisi, dan tipologi yang diulas oleh Hollander dan Einwohner dalam esainya Conceptualizing Resistance, terdapat unsur-unsur inti yang hampir selalu muncul pada resistensi, yaitu tindakan (a sense of action) dan sikap oposisi (a sense of opposition) (Hollander & Einwohner 2004:538). Untuk kasus resistensi pada komuntas OSL di Pulau Bertam, pemahaman mengenai “the everyday resistance” dari James Scott (1985) agaknya paling sesuai, sebab “the everyday resistance” mengandaikan bahwa ide-ide, sikap-sikap, dan berbagai tindakan melawan, menolak, dan semacamnya seringkali tidak disadari oleh pelakunya—walaupun tidak bisa dikatakan sebagai sebuah ketidaksengajaan—bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan tindakan resistensi (cf. Winarno 2007:12). Dalam the everyday resistance ini bisa disadari oleh sebagian aktornya, namun yang menarik the everyday resistance lebih kerap tidak dipandang sebagai tindakan resisten oleh pihak (target) yang ditentang, dibelot, atau dilawan. Dengan kata lain, kesemua itu justru ditangkap dan dimaknai sebagai gejala resisten oleh peneliti sebagai fenomena simbolis, ”… ’everyday’ resistance is not recognized by targets but is apparent culturally aware observers,” kata Scott (1985 dikutip dalam Hollander & Einwohner 2004:541), sebab, “resistance can occur ‘at a level beneath the consciousness’ of an actor” (Hebdige 1979 dikutip oleh Leblanc 1999:15 dalam Hollander
Bab I – Pendahuluan
24
& Einwohner 2004:543). Dengan demikian, sikap resistensi sangat mungkin muncul tanpa disadari oleh pelakunya. Dari uraian di atas, dengan demikian, saya dapati perspektif untuk menerangkan relasi negara dan kehidupan Orang Laut dalam pembangunan. Oleh sebab itu, studi ini akan mengarahkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi dalam keseharian OSL, karena governmentality negara secara tidak sadar dijalankan, dinegosiasikan, dan dipertentangkan dalam perilaku dan wacana keseharian mereka (Auyero dan Joseph 2007:7). Dua pendekatan itu saya pandang mampu menyentuh dimensi ekonomi-politik sekaligus sosial dan kultural terkait dengan relasi kekuasaan di tingkat lokal. ‘Kultural’ di sini berarti relasi-relasi, perilaku-perilaku, sikap-sikap, dan pemaknaan yang muncul atas suatu “peristiwa politik” tertentu: seperti motif-motif, makna-makna tersembunyi (implicit meanings) dari tindakan atas kondisi tertentu, hasrat seseorang atau kelompok (its passions), berbagai tindakan yang dikatakan sebagai pengorbanan (its sacrifices), dan sebagainya (Auyero dan Joseph 2007:2).
E. METODE PENELITIAN DAN ANALISIS Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian ini saya kerjakan di kampung Orang Suku Laut di Pulau Bertam, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dalam sekitar tiga bulan, yaitu antara bulan Mei – Juli. Kendati awalnya mengalami beberapa kendala, saya menemukan pulau ini dengan mengacu pada peta persebaran OSL yang dibuat peneliti sebelumnya (Chou 2010:12, 26, lihat Bab II, Peta 2.1.). Selain itu, saya juga memperoleh informasi dari beberapa kawan di Kota Batam yang mengarahkan saya ke Pulau Bertam. Pemilihan lokasi ini bukan hanya karena pertimbangan letaknya yang relatif dekat dengan Kota Batam, melainkan saya menganggap situs riset ini cukup mewakili isu state governmentality yang saya ajukan. (1) Bahwa Pulau Bertam
Bab I – Pendahuluan
25
merupakan salah satu pulau tempat komunitas OSL bermukim tersebab program pemukiman semasa Orde Baru (Bettarini 1991; Lenhart 1997, 2002). (2) Orang Laut di Bertam sejak dimukimkan sampai hari ini masih menjadi tanggung jawab salah satu yayasan pemerintah Otorita Batam pada masa Orde Baru. (3) Dari pengamatan awal saya, bahwa terdapat beberapa bangunan hasil proyek pembinaan masyarakat terasing yang masih dipakai, yaitu sekolah dasar, lapangan bola volley yang dulunya dibuat memfasilitasi aktivitas olah raga bagi OSL, masjid, sumur, serta beberapa bangunan yang rusak dan tidak lagi digunakan, yaitu rumah bekas Puskesmas, rumah singgah guru SD dan tenaga kesehatan, balai pertemuan, dan monumen sampan. Teknik Penelitian. Dengan memusatkan perhatian pada program pemerintah, konsekuensi, dan seperti apa OSL merespon hal itu, data dalam penelitian ini saya himpun melalui tiga tahap riset: penelitian pustaka, pengamatan-terlibat (participant observation), dan wawancara mendalam. (1) Penelitian pustaka dikerjakan untuk, pertama, mempelajari sekaligus mencari celah penelitian-penelitian mengenai Orang Laut dalam buku maupun artikel di jurnal ilmiah sehingga saya bisa menempatkan etnografi saya atas berbagai studi sebelumnya. Kedua, penelitian pustaka memungkinkan saya mendapatkan informasi etnografis dan historis mengenai kebudayaan OSL. Selain buku dan artikel, saya juga berupaya mendapatkan berbagai dokumen dan arsip berkenaan dengan program pemukiman masyarakat terasing dan intervensi pemerintah dan yayasan tertentu sebagai mitra pemerintah terkait dengan pembinaan OSL di Batam. Untuk keperluan ini, maka penelitian atas arsip-arsip saya kerjakan di dua kota: Batam dan Tanjung Pinang. Di Batam, saya mengunjungi Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda (YPAB, sekantor dengan Forum Konsultasi & Kesejahteraan Sosial [FKKS]) Sekupang dan di Pusat Informasi dan Perpustakaan
Bab I – Pendahuluan
26
BP (Badan Pengusahaan [Otorita Batam]) Batam. Sedangkan di Tanjung Pinang, saya dapati dokumen intervensi pemerintah terbaru maupun awal tahun 1980an di kantor Dinas Sosial Provinsi Kepri dan Perpustakaan Provinsi Kepri. Saya juga menelusuri artikel dan berita di surat kabar, terutama di harian Kompas melalui Pusat Informasi Kompas (PIK) (arsip akhir tahun 1970an sampai 1990an). Dari riset arsip Kompas, saya memperoleh berita tentang kebijakan negara dalam kaitannya dengan proses bermukimnya OSL beserta beberapa opini mengenai hal itu. Selanjutnya, (2) saya melakukan pengamatan-terlibat untuk memperoleh data kualitatif. Di sini, saya memerhatikan bangunan, kampung, dan aktivitas Orang Bertam di lokasi penelitian sebagai awal memahami implikasi praktik governmentality negara. Saya mencatat informasi dari pengamatan-terlibat ini berkenaan dengan rumah bantuan pemerintah, pola kampung, sekolah, masjid, dan sumur atau sumber air minum sekaligus aktivitas keseharian (pekerjaan dan interaksi sosial) dan reaksireaksi mereka atas peristiwa-peristiwa penting: seperti distribusi bantuan pemerintah dan pihak lainnya. Selain itu, saya memperoleh data seperti bagaimana teknik-teknik mereka dalam kerja laut dan kerja darat dan mengapa mereka mengerjakan dua tipe pekerjaan berbeda, siapa saja orang berpengaruh dalam pengambilan keputusan tertentu dan memungkinkan ‘mengatur’ Orang Bertam, dan kelompok sosial dengan tingkat kekayaan tertentu dan kekuasaan atas akses produksi. Selain pencatatan (field notes) dari pengamatan-terlibat sebagai elemen penting dalam penulisan etnografi, saya mendokumentasikan “visualitas” lingkungan kampung Suku Laut di Pulau Bertam. Dokumentasi visual melalui foto dan video seperti ini dapat membantu mengingat detail ruang-ruang sosial dan kultural tertentu di Pulau Bertam, seperti rumah, dapur, makanan, perahu, penampungan ikan, serta
Bab I – Pendahuluan
27
peristiwa dan suasana beberapa aktivitas sehari-hari mereka yang saya ikuti agar membantu saya dalam proses menulis etnografi. Saya juga merekam jarak tempuh ketika saya mengikuti mereka berlayar mencari ikan bilis dengan bantuan teknologi GPS yang terkoneksi internet dalam telepon seluler saya. Dengan bantuan teknologi ini saya dapat merekam jejak lokasi (titik-titik penting dalam pencarian ikan) dan total jarak mereka berlayar dalam satu malam. Tidak hanya melakukan pengamatan-terlibat, saya juga melakukan (3) wawancara mendalam kepada beberapa individu untuk mengungkap berbagai pandangan dan reaksi-reaksi mereka atas praktik kepengaturan negara. Umumnya, wawancara mendalam kepada individu tertentu dan dilakukan dalam situasi tidak formal. Selain wawancara mendalam, saya melakukan wawancara sambil-lalu. Walaupun dalam wawancara seperti ini, bukan berarti topik wawancara keluar dari koridor penelitian yang saya rancang. Dalam kedua teknik wawancara tersebut, saya menyimak dan mencatat apa yang mereka bicarakan dan persoalkan di dalam kesehariannya, berkaitan dengan isu proses pemukiman di masa lalu, bantuan pemerintah hari ini, pekerjaan, perkawinan, dan kehidupan sehari-hari mereka secara umum. Metode Analisis. Mengenai metode analisis dalam penulisan, segala informasi yang didapat selama penelitian saya klasifikasi ke dalam tema-tema tertentu yang relevan dengan persoalan penelitian. Data yang akan saya analisa merupakan data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif menurut Ahimsa-Putra (2009:18) berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, dan keadaan dari sesuatu atau gejala, atau bisa juga pernyataan-pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu ini dapat berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku, atau gagasan-gagasan, nilai-nilai serta dapat pula mengenai
Bab I – Pendahuluan
28
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat. Atas dasar itulah dalam penelitian ini saya menaruh perhatian pada berbagai data kualitatif hasil wawancara dan pengamatan-terlibat yang memuat: pernyataan tentang nilai-nilai, ceritera atas pengalaman masa lalu, pola perilaku, pola interaksi di antara Orang Bertam dan Orang Bertam dengan orang di luar komunitasnya, keterangan tentang organisasi sosial, dan pandangan mengenai lingkungan fisik (Ibid.). Lebih lanjut, data kuantitatif juga saya perlukan. Data kuantitatif merupakan jenis data berupa pernyataan, angka, atau huruf yang dapat menunjukkan ukuran-ukuran tertentu atau besaran dari suatu gejala (Ahimsa-Putra 2008:17). Data semacam ini seperti keterangan mengenai jumlah penduduk, jumlah pendapatan, jumlah rumah, luas rumah, panjang pelabuhan, biaya yang diperlukan dalam kerja ikan bilis, harga sampan, kedalaman laut, jumlah penerima beras miskin, dan sebagainya. Data ini saya peroleh dari berbagai sumber dan teknik. Pertama, dari riset pustaka dalam sejumlah etnografi mengenai Orang Laut dan dokumen dan arsip di perpustakaan FKKS dan pemerintah. Kedua, saya melakukan survei skala kecil mengenai tingkat kesejahteraan Orang Bertam dan pencatatan di lokasi penelitian. Pasca-penelitian di Bertam, kedua jenis data tersebut lantas saya analisis dengan jalan mendeskripsikan relasi Orang Bertam dan sesuatu dalam kerangka berpikir “governmentality” (Foucault 1991). Sesuatu ini dapat berupa pandanganpandangan, reaksi, dan pola-pola perilaku faktual Orang Bertam yang mengemuka dalam hubungan-hubungan yang tercipta antara mereka dengan negara, lingkungan alam dan fisiknya, kondisi ekonomi dan mata pencahariannya, dan organisasi sosialnya, yang dianggap sebagai implikasi dari praktik kekuasaan negara dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat. Terhadap data mengenai pandangan-pandangan
Bab I – Pendahuluan
29
yang mengemuka dalam wawancara tersebut, saya mengelompokkan atas dasar hubungan-hubungan semacam itu dan disajikan melalui teknik penulisan etnografi yang “… provides the ‘thickest’ form of (cultural and) political information (or discourse)” (Auyero dan Joseph 2007:1-2, dalam kurung penambahan saya). Selain itu, data kuantitatif dari pustaka dan dokumen media massa, pemerintah, dan yayasan saya gunakan untuk menganalisis secara historis proses bermukimnya Orang Laut di Bertam. Dari studi kearsipan, sejarah kepengaturan negara saya batasi sejak awal 1980an sampai berakhirnya masa Orde Baru, karena dalam masa itu adalah periode kota Batam dirancang sebagai kawasan industri dan free trade zone. Data kuantitatif bermanfaat memberi gambaran umum mengenai populasi dan persebaran OSL di Kepri sebelum dan sesudah program pemukiman. Dengan demikian, etnografi ini diproyeksikan dapat menghasilkan tulisan yang tidak hanya menjawab rumusan persoalan dengan mengacu pada kerangka teori di atas, namun juga menampilkan insight tertentu dari pengalaman Orang Bertam. Organisasi Penulisan. Struktur argumentasi dalam tesis ini akan disusun dalam lima bagian. Bab I menjelaskan latar belakang mengapa persoalan Orang Laut dan negara menarik, bagaimana penelitian ini berjalan, dan dalam perspektif apa saya melihat fenomena tersebut. Bab II mendiskusikan asumsi-asumsi pembangunan nasional yang melahirkan skema pemukiman bagi suku-suku terasing di Indonesia, serta mengenai siapa agen yang bekerja di sana dan apa yang mereka lakukan kepada Orang Laut di Pulau Bertam, terutama dalam konteks penyebaran pengetahuan mengenai kesejahteraan sosial. Bila dua bab sebelumnya mendiskusikan konteks historis dan politik pembangunan nasional, maka pada dua bab selanjutnya saya mulai masuk pada diskusi tentang
Bab I – Pendahuluan
30
konsekuensi program pemukiman pada kehidupan Orang Bertam. Dimulai dengan perbincangan pada bidang ekonomi dalam konteks isu perubahan orientasi ekonomi di Bab III. Selanjutnya, Bab IV akan mendiskusikan persoalan seperti apa dialektika dan transformasi pemaknaan Orang Bertam atas teritori (lingkungan fisik), budaya material, organisasi sosial, dan pola permukiman sebagai konsekuensi dari relasi mereka dengan negara. Bab V adalah kesimpulan dari seluruh uraian bab, dan akan diungkap bahwa identitas Orang Bertam sebagai komunitas miskin tidak lain merupakan konstruksi (rekaan) historis dan politis, bahwa pembangunan yang dirancang sedemikian rapi ternyata tidak selamanya ‘berhasil’. Menambahkan hal-hal ini, dalam pertimbangan bahwa isu yang saya angkat di sini tidak akan mengancam kehidupan para informan di kemudian hari, terutama setelah tulisan ini selesai dan dipublikasikan, maka nama mereka dalam tulisan ini akan saya tuliskan sebagaimana adanya. Sama halnya dengan nama lokasi di mana saya tinggal dan melakukan penelitian. []