BAB I PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang terdiri
dari berbagai suku bangsa dan sub-sub suku bangsa yang hidup dan tinggal di daerah-daerah tertentu di Indonesia. Masing-masing suku bangsa memiliki adat istiadat, bahasa, agama dan sebagainya yang berbeda satu sama lain. Masingmasing suku bangsa dan sub-subsuku bangsa ini memiliki kekhasan yang merupakan kenyataan yang unik, yang menggambarkan kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kalimantan Tengah merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang dihuni oleh suku Dayak. Secara geografis dan domisili penduduk suku Dayak umumnya tinggal di sepanjang sungai Kahayan dan sungai Kapuas. Keberadaan suku bangsa Dayak terbagi dalam 405 subsuku, yang masing-masing subsuku bangsa ini mempunyai bahasa dan adat-istiadat sendiri-sendiri. Dari 405 subsuku tersebut, ada yang membaginya ke dalam “tujuh kelompok suku Dayak yakni, Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak Iban atau Dayak Laut, Dayak Kalimantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum.”1 Masing-masing suku Dayak tersebut memiliki pula kekhasan adat istiadat dan bahasa yang berbeda. Sebelum datangnya agama-agama besar dan resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia, masyarakat Dayak telah memiliki kepercayaan sendiri, yang disebut
Kaharingan
atau disebut juga
Agama Helo (Agama dulu). 2 Syarif
Ibrahim Alqadrie mengungkapkan: “ada semacam persepsi umum berkaitan dengan 1
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun; Alam dan Kebudayaan, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1993), 234-235. 2 ibid., 317.
sistem kepercayaan nenek moyang masyarakat Dayak bahwa, ada unsur hubungan timbal balik antara kepercayaan dengan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat setempat, yang mempengaruhi dan mewarnai sistem kehidupan mereka.”3 Secara implisit bahwa, kepercayaan Kaharingan memuat aturan-aturan kehidupan yang nilai-nilai dan isinya bukan hanya sekedar adat-istiadat, tetapi juga ajaran untuk berperilaku. Ajaran-ajaran ini diajarkan secara lisan oleh orang tua kepada anakanaknya secara turun-temurun. Ajaran dan kebiasaan yang dilakukan secara turuntemurun ini dikenal dengan istilah hadat (adat). Pengertian hadat (adat) dalam masyarakat Dayak Ngaju adalah: “bentukbentuk keluhuran yang bersumber pada kekuatan Raying Hatalla Langit (Sang Pencipta).”4 Hadat ini mencakup tentang tata cara kehidupan dan kerja sehari-hari, etika pergaulan sosial, aspek perkawinan, aspek hukum, aspek ritual keagamaan, serta hal-hal yang menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan dan kepercayaan, atau agama suku tersebut. Karena itu, hadat yang telah dilakukan secara turun temurun ini merupakan ukuran dan penilaian atas suatu perbuatan dalam kehidupan suku Dayak Ngaju.
Bagi masyarakat Dayak, pelanggaran
terhadap hadat dapat mengakibatkan ketidakseimbangan alam yang dapat merugikan kehidupan manusia. Sebab itu, bila ada pelanggaran terhadap adat biasanya
keadaan
itu
dipulihkan
melalui
upacara-upacara
keagamaan.
Implementasi dari hadat ini masih dilakukan sampai sekarang dalam kehidupan sosial budaya suku Dayak.
3
Syarif Ibrahim Alqadrie, Kebudayaan Dayak; Aktualisasi dan Transformasi, “Mesianisme dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat (Keterkaitan antara Unsur Budaya Khususnya Kepercayaan Nenek Moyang dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi).” (Jakarta: LP3S-Insitute of Dayakology Research and Development dan PT Grasindo, 1994), 19-20. 4 Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 4849.
Suku Dayak Ngaju memiliki filosofi hidup “Belom Bahadat” artinya “hidup beradat.” Filosofi ini melandasi seluruh aspek kehidupan orang Dayak Ngaju. Pengaruh dan peranan adat dalam masyarakat Dayak Ngaju sangat kuat. Salah satu tatanan kehidupan yang masih dipertahankan dan tetap dilestarikan adalah penyelenggaraan perkawinan. Dalam masyarakat Dayak Ngaju, perkawinan merupakan sesuatu yang luhur dan suci.
Menurut kepercayaan
Kaharingan, Asal mula adat kawin dalam
masyarakat Dayak Ngaju sebagai berikut: Sejak nenek moyang yang pertama, bernama Manyimei Tunggul Garing Janjahunan Laut (lelaki) dan Putir Putak Bulau Janjulen Karangan (perempuan). Mereka melangsungkan perkawinan secara tidak resmi, tanpa “ditahbiskan” oleh Raying Hatalla. Akibatnya, kehamilan Putir berkali-kali mengalami keguguran (mangelus). Kehamilan pertama, terjadi kegururan darah yang dibuang ke laut menjelma menjadi moyang roh gaib hantu laut, moyang sakit penyakit (peres-sampar) dan moyang roh-roh gaib pengganggu di kawasan laut. Kehamilan kedua, darahnya terbuang ke sungai menjelma menjadi roh gaib unsur pengganggu di air, moyang ikan tabu tertentu, moyang lintah-jelau. Kehamilan ketiga, darahnya terbuang ke laut, disambar petir dan kilat, menjelma menjadi moyang banteng, kerbau dan sapi. Kehamilan keempat, darahnya terbuang ke hutan, menjelma menjadi moyang tandang haramaung (harimau), moyang bahutai bungai, moyang roh-roh jahat di hutan. Kehamilan kelima, darahnya ditutup dengan perisai dan tombak disambar petir dan kilat halilintar, menjelma menjadi oknum penjaga bulan yang disebut Talawang Batulang Bunu. Kehamian keenam, darahnya terbuang ke hutan rimba, menjelma menjadi berbagai jenis akar, kayu dan moyang dari berbagai jenis ular. Kehamilan ketujuh, darahnya terbuang ke bawah rumah, menjelma menjadi Raja Tingkaung Langit moyang segala jenis anjing. Kehamilan kedelapan, darahnya terbuang ke dapur, disambar petir, menjelma menjadi Putir Balambang Kawu moyang jenis kucing. Kehamilan kesembilan, darahnya terbuang ke halaman rumah, disambar petir dan kilat menjelma menjadi moyang segala jenis ayam kampung. Kehamilan kesepuluh, darahnya terbuang ke belakang rumah, menjelma menjadi moyang berbagai jenis babi hutan dan babi kampung. Kehamilan kesebelas, darahnya terbuang ke belakang kampung menjelma menjadi berbagai jenis kayu, rumput tertentu sebagai bahan obat yang berguna bagi manusia. Dan kehamilan kedua belas, ke rumpun sawang menjelma menjadi moyang 14 macam unsur patahu, roh gaib penjaga pemukiman manusia. Melihat hal itu, Raying Hatalla Langit kemudian mengirim Raja Uju Hakanduang untuk meresmikan perkawinan mereka serta menyampaikan pesan, nasehat dan petunjuk yang disebut kawin suntu. Setelah perkawinan itu mendapat restu dari Raying Hatalla langit dan diresmikan menurut adat, barulah mereka mendapatkan anak yang sempurna seperti: Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Bunu. Sejak itu, cara-cara atau adat suatu perkawinan diatur. Hal ini pulalah yang menjadi dasar pokok serta acuan perkawinan orang Dayak. 5
5
Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang: Sebuah Konsepsi Memanusiakan Mnausia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah, (Palangka Raya: PBP DATI I Kalimantan Tengah, 1991), 17-19; Hermogenes Ugang, Menelusuri... 71-72; Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI), Panaturan Tamparan Taluh Handiai-Awal Segala Kejadian, (Palangka Raya: CV. Litho Multi Warna, 1996).
Perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan adat yang berlaku, bertujuan untuk mengatur hubungan antara pria dan wanita agar memiliki perilaku yang baik dan tidak tercela (belom bahadat); menata kehidupan rumah tangga yang baik sejak dini, santun, beradab dan bermartabat; menetapkan status sosial dalam masyarakat, sehingga ketertiban masyarakat tetap terpelihara.6 Masyarakat Dayak Ngaju sangat menghindari bentuk perkawinan yang tidak lazim karena hal itu akan sangat memalukan, tidak hanya bagi calon kedua mempelai tetapi juga bagi seluruh keluarga dan juga keturunan mereka kelak. Orang Dayak yang telah menyatu dengan tatanan hidup yang telah diwariskan oleh nenek moyang di masa lalu, sangat menjunjung tinggi nilai luhur budaya itu. Sebab itu, sebelum acara pelaksanaan perkawinan dan resepsi (pesta kawin) dilaksanakan, biasanya terlebih dahulu dilaksanakan acara adat, yaitu penyerahan/pemenuhan hukum adat, yang disebut manyarah jalan hadat (penyerahan barang-barang adat perkawinan). Di kalangan suku Dayak Maanyan, Kalimantan Tengah, upacara perkawinan disertai dengan “pembayaran harga pengantin, yang terdiri dari uang, beberapa buah gong, dan barang-barang pusaka lainnya.”7 Tetapi dalam masyarakat Dayak Ngaju, pemberian barang-barang hadat bukanlah untuk membayar harga pengantin, tetapi merupakan penghargaan yang diberikan oleh pihak pengantin laki-laki terhadap pengantin perempuan.
Pada
mulanya, persyaratan barang-barang adat perkawinan yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki tidaklah mudah. Sebagai contoh perkawinan dalam mitologi suku Dayak Ngaju, Perkawinan Raja Garing Hatungku ketika mengambil Nyai Endas 6
Tim Khusus Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, “Perkawinan Menurut Adat Dayak Kalimantan Tengah” dalam rapat Penyusunan Draft Kawin Adat tanggal 27 Mei 2009 Pukul 16.00 Wib. (Dokumen Pribadi tidak diterbitkan), 1. 7 Lihat Lebar, 1972:189, sebagaimana ditulis oleh Yekti Maunati dalam Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, 78-79.
Lisan Tingang (turunan Raja Bunu) sebagai istrinya. Calon istrinya mengajukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, ia mengalami pergumulan batin yang cukup berat karena persyaratan yang diajukan sangat sulit dipenuhi. Tetapi Ranying Hatalla tidak membiarkan Garing Hatungku menderita terlalu lama, sehingga ia menganugerahkan segala sesuatu yang diminta oleh Nyai Endas.8 Perjanjian perkawinan menurut adat Dayak Ngaju adalah sebuah perjanjian tertulis yang isinya telah disepakati bersama dan ditandatangani oleh kedua mempelai, orang tua atau wali kedua mempelai, saksi-saksi dari kedua belah pihak, Damang atau mantir adat. Secara garis besar, Surat perjanjian perkawinan tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1.
pernyataan dari kedua calon mempelai;
2.
pemenuhan ketentuan hukum adat Dayak Ngaju mengenai jalan hadat yang harus dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki dan diberikan kepada pihak mempelai perempuan;
3.
Perjanjian kawin antara kedua belah pihak, mengenai hak dan kewajiban masing-masing, sanksi hukum bagi yang yang melakukan kesalahan, pengaturan pembagian harta rupa tangan, termasuk pembagian hak anak dan hak ahli waris jika perkawinan itu tidak mendapat anak.
Sebagian besar suku Dayak Ngaju sekarang masih melaksanakan ketentuanketentuan adat seperti yang berlaku dalam surat perjanjian perkawinan tersebut, baik yang beragama Kaharingan, Kristen, Katolik maupun Islam, sekalipun masingmasing agama itu juga telah memiliki perjanjian kawin secara agamawi. Ada juga
8
Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak di Kota Palangka Raya, 21 Mei 2011
masyarakat Dayak Ngaju yang beragama Muslim, yang tidak melaksanakan jalan hadat
kawin
ini karena pengaruh budaya Banjar, biasanya hanya membayar
sejumlah uang yang telah disepakati kedua belah pihak, yang disebut Jujuran.9 Perlu diakui bahwa tidak semua masyarakat Dayak Ngaju di Palangka Raya memahami sepenuhnya mengenai makna perjanjian perkawinan itu. Terkadang hanya tua-tua adat dan para orang tua yang telah berpengalaman saja yang memahami makna Perjanjian Perkawinan, sedangkan pasangan muda umumnya kurang mengetahui akan hal itu. Dan, berdasarkan pengakuan dari beberapa orang yang peneliti temui, kebanyakan dari mereka bukan hanya tidak memahami makna perjanjian kawin saja, tetapi mereka juga tidak memahami makna yang tersirat pada barang-barang hadat dalam perkawinan.
Hal ini dapat dimengerti karena
bahasa/istilah barang-barang hadat yang digunakan dalam Surat Perjanjian Kawin tersebut menggunakan bahasa Dayak asli, yang sudah jarang digunakan sehari-hari. Lagipula, arti maupun makna dari barang-barang adat tersebut tidak dicantumkan secara tertulis dalam surat perjanjian kawin. Sehingga pemahaman mengenai jalan hadat hanya sebatas upacara saja. Selain itu, para orang tua pada masa sekarang kurang memberikan pemahaman tentang hal itu kepada generasi muda. Mungkin karena tidak punya waktu atau terlalu sibuk, atau mungkin juga menganggap bahwa hal itu tidak terlalu penting, sehingga ajaran tradisional yang diajarkan dari mulut ke mulut (oral tradisional) sebagaimana yang telah diajarkan oleh nenek moyang mulai berkurang. Namun, tidak dipungkiri bahwa ada juga pasangan yang memahami tentang arti dan makna dari perjanjian kawin yang mereka laksanakan. Hal itu mungkin terjadi 9
Ada juga masyarakat Dayak Ngaju yang beragama Muslim, yang tidak melaksanakan jalan hadat kawin ini karena pengaruh budaya Banjar, biasanya hanya membayar sejumlah uang yang telah disepakati kedua belah pihak, yang disebut Jujuran.
karena orang tua mereka telah mewariskan pengetahuan itu sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Pengetahuan tentang Perjanjian perkawinan akan dipaparkan dalam pandangan suku Dayak Ngaju di Palangka Raya. perjanjian,
Untuk mengetahui tentang
dibutuhkan kerangka konseptual mengenai perjanjian maupun
perkawinan, hukum adat dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut. Konsep perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 digunakan sebagai perbandingan untuk tujuan analisa dalam keberadaannya yang berdampingan dengan adat perkawinan suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah digambarkan di atas, maka peneliti akan memfokuskan penelitian pada perjanjian perkawinan masyarakat Dayak Ngaju. Tesis ini berjudul: MAKNA
PERJANJIAN
PERKAWINAN MENURUT ADAT DAYAK NGAJU, KALIMANTAN TENGAH. 2.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan paparan di atas, maka rumusan masalah dalam tesis ini adalah: “Bagaimana makna Perjanjian Perkawinan menurut Adat Dayak Ngaju?”
3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan tentang pemahaman
masyarakat Dayak Ngaju tentang makna Perjanjian Kawin. 4.
Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi teoritis bagi civitas akademik Program Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana mengenai Makna
Perjanjian Kawin Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah.
Data dan
informasi yang tersedia akan menjadi pendorong dan penunjang bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan praktis bagi masyarakat Dayak Ngaju selaku pelaku budaya. dalam Surat Perjanjian Kawin terdapat
Hal ini penting karena
makna dan nilai-nilai tertentu
khususnya dalam barang-barang hadat yang dapat diselaraskan dengan nilainilai budaya yang dianut masyarakat pada masa kini. Bagi pasangan yang akan dan telah menikah, kiranya tulisan ini memberi pemahaman tentang pentingnya makna perjanjian kawin sehingga masyarakat Dayak Ngaju dapat menghargai dan menghayati Perjanjian Kawin itu dalam kehidupan pernikahan mereka. Dan bagi masyarakat luas, kiranya tulisan ini semakin menambah wawasan pengetahuan tentang kekhasan dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Ngaju. 5.
Kajian Pustaka Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan peneliti, ada beberapa karya yang juga membahas tentang perkawinan adat Dayak, baik dalam bentuk buku-buku referensi, skripsi, tesis maupun bentuk jurnal, namun dengan judul, tujuan, teori dan pendekatan yang berbeda. Pranata, salah seorang dosen pada Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangkaraya, menulis tentang Sarana dan Pelaksanaan Upacara Ritual Perkawinan Agama Hindu Kaharingan di Kabupaten Barito Selatan. Jurnal tersebut hanya mendeskripsikan tentang pelaksanaan upacara ritual perkawinan menurut agama Hindu Kaharingan, sarana dan prasarana yang digunakan dalam upacara perkawinan tersebut serta proses-proses
pelaksanaan upacara ritual,10 tanpa ada analisis data maupun konstruksi teori. Jurnal ini akan menjadi referensi dalam penulisan tesis ini karena memuat tentang sarana dan prasarana yang digunakan dalam upacara perkawinan. Jurnal yang berjudul ”Perceraian dan Kawin Ulang Masyarakat Suku Dayak Kendawangan”, ditulis oleh J.D. Engel, Dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Jurnal ini mendeskripsikan
tentang pertunangan dan perkawinan suku Dayak Kendawangan, faktorfaktor yang mempengaruhi perceraian, rujuk dan kawin ulang pasca perceraian serta menganalisa perceraian dan kawin ulang masyarakat suku Dayak Kendawangan.11 Studi mengenai Palaku sebagai salah satu persyaratan dalam Perjanjian Perkawinan Adat, dilakukan oleh Eddy, dalam disertasinya Palaku Masyarakat Dayak dalam Perubahan Sosial di Kabupaten Gunung Mas. 12 Putra
daerah yang meraih gelar Doktor Ilmu Sosial dari
Universitas
Merdeka Malang ini menyatakan, telah terjadi pergeseran dalam hal Palaku (mahar perkawinan) dalam masyarakat Dayak Ngaju.
Berbagai simbol
Palaku di masa silam seperti gong kini berubah menjadi emas, perhiasan dan barang berharga lainnya. Selain itu, masyarakat Dayak Ngaju juga kini menjadi jauh lebih terbuka di tengah perubahan sosial. Proses permintaan dan pemberian Palaku kini menjadi sangat fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan pihak yang
10
Pranata, “Sarana dan Pelaksanaan Upacara Ritual Perkawinan Agama Hindu Kaharingan di Kabupaten Barito Selatan”, Jurnal Agama Hindu Tampung Penyang Vol. III No. 2 (Agustus, 2006), 16-32 11 J.D. Engel, “Perceraian dan Kawin Ulang Masyarakat Suku Dayak Kendawangan,” Jurnal Theologia, Vol. IV. No. 1 (Agustus, 2009), 43-61. 12 Eddy, “Palaku Masyarakat Dayak dalam Perubahan Sosial di Kabupaten Gunung Mas,” (Disertasi S3 di Universitas Merdeka, Malang, 2007).
akan melaksanakan perkawinan. Musyawarah mufakat menjadi faktor utama dalam permintaan dan pemberian Palaku. Palaku tidak sekadar menjadi salah satu syarat pernikahan, tetapi juga menjadi modal dasar bagi dua pasangan anak manusia membangun keluarga yang bahagian dan sejahtera. Karya lain yang membahas tentang perkawinan juga terdapat dalam Maneser Panatau Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur, yang ditulis oleh Tjilik Riwut.13 Buku ini memaparkan tentang tata cara suku Dayak di Kalimantan Tengah dalam melaksanakan perkawinan, mulai dari tahap peminangan sampai upacara perkawinan. Diungkapkan bahwa, perkawinan terjadi melalui tiga proses yaitu: meminang (Hakumbang auh), pertunangan (hisek) dan perkawinan hak dan kewajiban serta tanggung jawab perkawinan termuat dalam
Pelek Rujin Perkawinan
artinya
Pedoman dasar
Perkawinan. Sekalipun tata cara yang dipakai dalam karya ini adalah tata cara yang lama, namun, karya ini sangat berharga bagi peneliti karena memuat tentang Pelek Rujin Perkawinan yang merupakan bagian dari penelitian ini. Karya selanjutnya adalah Kalimantan Membangun
Alam dan
Kebudayaan, juga ditulis oleh Tjilik Riwut.14 Tulisan ini membahas tentang upacara perkawinan yang bisa dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Kedua mempelai duduk diatas gong dan kemudian disaki/dipalas (diusap) dengan darah babi atau darah ayam, disaksikan oleh Ketua Adat. Kedua mempelai memegang dereh bunu dengan ibu jari diarahkan ke atas mohon
13
Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur, disunting oleh Nila Riwut, (Palangka Raya: PUSAKALIMA, 2003) 14 Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun alam dan Kebudayaan, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1993).
agar Raying Hatalla Langit sudi mendengar sumpah yang sedang diucapkan. Dipaparkan juga larangan-larangan perkawinan usia muda dan perkawinan hasansulang (saudara laki-laki kawin dengan saudara ipar), hubungan keluarga dan sanak saudara. Hasil penelitian yang dikaji di atas, sangat berharga bagi penulisan tesis ini, sebagai kerangka acuan dan merupakan bahan evaluasi bagi peneliti sehubungan dengan perjanjian perkawinan masyarakat Dayak Ngaju yang akan peneliti lakukan. 6.
Signifikansi Penelitian Kajian pustaka diatas, menuntun peneliti kepada signifikansi penelitian bahwa sudah ada karya-karya yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan, namun belum ada penelitian yang secara khusus membahas tentang Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah.
Penelitian ini penting mengingat buku-buku referensi tentang
Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju masih sangat terbatas. Selain itu, penelitian ini dilakukan sebagai salah satu usaha untuk melestarikan kebudayaan daerah khususnya Kalimantan Tengah. 7.
Metodologi Penelitian 7.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, merupakan
metode yang melibatkan pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahan yang dikaji, yang bekerja dalam setting alamiah, dan berupaya memahami dan memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari
makna yang diberikan orang-orang kepada fenomena tersebut.15 Sedangkan untuk menyajikan gambaran yang lebih tajam dan mendalam, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang tujuannya adalah menjelaskan secara sistimatis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta atau fenomena tertentu.16 7.2
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kota Palangkaraya. Tempat ini
dipilih karena sekalipun Kota Palangkaraya didiami oleh berbagai suku, bangsa, agama, serta berbagai lapisan masyarakat, namun masyarakat Dayak Ngaju yang mendiami kota ini masih melaksanakan perkawinan menurut adat Dayak Ngaju, selain itu Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Tengah berkedudukan di Palangkaraya, sehingga memudahkan peneliti mendapatkan informasi sehubungan dengan penelitian yang dilakukan. 7.3
Teknik Pengumpulan Data
Wawancara Mendalam Teknik yang digunakan adalah Indepth Interview atau wawancara secara langsung dan mendalam dengan sejumlah informan kunci yang mengetahui tentang adat perkawinan masyarakat Dayak Ngaju, yaitu tokoh adat (Damang dan mantir adat) dan tokoh masyarakat. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstrukur (open ended interview), namun tetap berpatokan pada pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya.
15
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 34 16 Suprayogo, et al., Metode Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003),136.
Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data mengenai hal-hal tertentu yang berupa catatan, buku-buku, surat kabar, majalah dan sebagainya. Data-data dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data sekunder sebagai data pelengkap untuk menjawab permasalahan penelitian.17 7.4
Teknik Analisa Data Proses analisis data berlangsung selama pengumpulan dan sesudah
pengumpulan data, dimana komponen-komponen analisis data secara interaktif saling berhubungan. Analisis data ini disebut model interakif.18 Proses-proses analisis kualitatif 19 ini meliputi: 1) Reduksi data (data reduction), yaitu proses pemilihan, penyederhanaan data, dan transformasi data kasar yang diperoleh di lapangan studi.
2) Penyajian data (data
display), yaitu mendeskripsikan kumpulan informasi yang tersusun dalam bentuk teks naratif. 3) Penarikan kesimpulan dan verifikasi. 8.
Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini disusun dalam lima bab, yang secara garis besar terdiri dari: Bab pertama, memaparkan tentang latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, signifikasi masalah, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
17
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, , (Jakarta: Rineka Cipta,1997), 234 18 Sanafiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: Grafika Raya Persada, 2007), 256258 19 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial... 22-23
Bab dua, membahas kerangka konseptual tentang konsep perkawinan, perjanjian perkawinan, komitmen perkawinan dari pemikiran Michael P. Johnson, yang menjelaskan tentang komitmen pribadi, moral, maupun struktural. Dibahas juga mengenai hukum adat, pelanggaran dan sanksi adat serta adat dan simbol. Bab tiga, memaparkan hasil penelitian tentang Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju. Bab empat, Analisis terhadap Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Bab lima, merupakan kesimpulan dan saran.