1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana termuat dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945. Sebagai prinsip negara hukum (Rechtsstaat) mengandung asas-asas supremasi hukum, persamaan dimuka umum, penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan aturan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, dan bukan negara berdasar kekuasaan (Machtsstaat).1 Karakteristik negara hukum terlihat jelas karena adanya ketegasan pemisahan kekuasaan sehingga terlihat bahwa pemerintahan dijalankan dengan hukum dan bukan oleh perorangan penguasa.2
Negara berkewajiban untuk dapat mewujudkan
terselenggaranya peradilan yang adil dengan menjamin terciptanya suatu keadaan dimana setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan keadilan (justice for all)3, hal ini menciptakan konstitusi yang melindungi kepentingan individu dan pembatasan kekuasaan negara. Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang sangat besar dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia di bidang bantuan hukum, namun sulit untuk menyajikan suatu sistem penyelenggaraan negara khususnya sistem perundang-undangan bidang bantuan hukum secara tepat guna. Hal tersebut terjadi karena terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang bantuan hukum, selain itu tidak semua kondisi telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan juga sering 1
Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: UI, 1980), hal.1. Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), hal. 21. 3 Frans Hendra Winarta, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 2. 2
Universitas Sumatera Utara
2
terdapat kebutuhan untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis. Kendati pengaturan hal teknis dalam suatu peraturan menjadi kebutuhan terkadang tidak mampu diakomodasi dari pendelegasian wewenang tentang bantuan hukum sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum beserta peraturan pelaksanaannya. Pendelegasian wewenang dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi juga harus jelas karena pendelegasian wewenang mengenai bantuan hukum tersebut tidak dapat hanya berupa delegasi blanko yang memungkinkan eksekutif membuat berbagai peraturan dengan dalih sebagai peraturan pelaksana.4 Kebijakan bantuan hukum bersifat membela kepentingan masyarakat tanpa melihat dari latar belakang, etnisitas, asal-usul, keturunan, warna kulit, ideologi, keyakinan, politik, kaya miskin, agama atau kelompok orang yang dibelanya. Ketika seseorang yang mampu (the have) mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seseorang atau lebih penasehat hukum untuk membela kepentingannya, demikian juga seorang yang tergolong tidak mampu (the have not) dapat meminta pembelaan dari seseorang atau lebih pembela umum (public defender) dari Lembaga Bantuan Hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum.5 Bantuan hukum atau dikenal dengan istilah legal aid adalah jasa memberi nasehat hukum kepada orang yang tidak mampu untuk mendapatkan perwakilan hukum dan akses di pengadilan baik non-litigasi dan ataupun litigasi secara adil, maka oleh karena itu untuk setiap tindakan hukum yang dituduhkan kepada tertuduh perlu juga memperhatikan hak-haknya mendapat kebenaran dan keadilan sesuai dengan tindakan hukum yang dilakukannya tanpa adanya diskriminasi.6
4 Victor Imanuel W. Nalle, Kajian Pembentukan dan Uji Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, (Jawa Timur: Setara Press, 2013), hal. 5. 5 Frans Hendra Winarta; Op. Cit., hal.1. 6 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
3
Adnan Buyung Nasution dalam buku berjudul “Bantuan Hukum di Indonesia” bantuan hukum mulai direncanakannya pada 18 sampai 20 Agustus 1969 pada Kongres III PERADIN di Jakarta, yang kemudian diwujudkan dengan membentuk LBH di tahun 1971, hal ini bukan sekedar pelembagaan pelayanan kepentingan hukum si miskin tetapi sebuah gerakan menyangkut hak-hak, kepentingan dan kewajiban secara legal. Bantuan Hukum bagi kelompok miskin dapat diartikan bantuan hukum bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, sedangkan buta hukum adalah lapisan masyarakat yang buta huruf atau berpendidikan rendah yang tidak mengetahui dan menyadari hak-haknya sebagai subjek hukum atau karena kedudukan sosial dan ekonomi serta akibat tekanan-tekanan dari yang lebih kuat tidak mempunyai keberanian untuk membela dan memperjuangkan hak-haknya.7 Pemerintah berperan membentuk lembaga yang membiayai bantuan hukum melalui sistem Judicare8, yaitu Bar Association yang menyediakan layanan bantuan hukum untuk masyarakat miskin, kemudian jasa bantuan hukum tersebut dibiayai oleh negara. Konsep ini lahir sebagai sebuah konsekuensi dari perkembangan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Bantuan hukum dimasukkan sebagai salah satu program peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama di bidang sosial, politik dan hukum.9 Bantuan hukum merupakan tugas dan hak konstitusional bagi setiap warga negara. Jaminan dan perlindungan tersebut pencerminan asas equality before the law yang telah dijamin dalam Pasal 5, 6, dan 7 Universal Declaration of Human Right10,
7
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 1. Judicare bahasa latin dari hakim, sistem Judicare diartikan sitem yang dibuat oleh Departemen Kehakiman. 9 Martiman Prodjohamidjojo, Penasihat dan Bantuan Hukum Indonesia : Latar Belakang dan Sejarahnya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hal. 23. 10 Universal Declaration of Human Right (1948) tidak menciptakan hak-hak asasi, tetapi hanya memaklumkannya, meliputi: a. manusia mempunyai hak-hak kebebasan politik, dimana tiap pribadi harus 8
Universitas Sumatera Utara
4
International Convernant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada Pasal 16 dan Pasal 26 dapat dirujuk sebagai dasar normatif perlindungan atas hak memperoleh perlindungan hukum dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi, kemudian dipertajam dengan Pasal 13 ayat (3) ICCPR mengenai syarat pemberian bantuan hukum, yaitu harus berorientasi kepada keadilan dan ketidak mampuan membayar Advokat,11 Basic Principles on the Role of Lawyers,12 dan juga terdapat pada UUD 1945. UUD 1945 Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dasar pertimbangan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen ke-4, menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya depan hukum, fakir miskin memiliki hak konstitusi untuk diwakili dan dibela oleh Advokat atau pembela umum secara litigasi dan non-litigasi (bantuan hukum) sama seperti orang yang mampu mendapatkan jasa hukum Advokat (legal service).13 Setiap orang memiliki hak-hak untuk mendapat perlakuan dan perlindungan yang adil dengan persamaan dihadapan hukum, maka oleh karenanya untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta pembelakangan yang diderita olehnya, ia berhak pula mendapatkan hukum, Kebenaran dan Keadilan, sesuai dengan asas Negara Hukum.14 Jaminan setiap orang untuk mendapat perlakuan yang sama di
dilindungi terhadap penyelewengfan dari pihak pemerintah. b. manusia mempunyai hak-hak kebebasan sosial, yaitu hak untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, perawatan, kesehatan dan pendidikan. Manusia mempunyai hak-hak kebebasan sipil dan politik dalam menentukan pemerintahan dan policypemerintahan tersebut. Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit., hal.112. 11 Mohammad Mahfud MD., Sunaryati Hartono, Sidharta, Bernard L. Tanya, dan Anton F. Susanto, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Semarang: Thafa Media, 2013), hal. 728. 12 Frans Hendra Winarta, Op.Cit., hal. 4. 13 Syafruddin Kalo, Kuliah Hukum Pidana Pascasarjana USU, Rabu, 23 Oktober 2013. 14 Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2000), hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
5
hadapan hukum sebagai pencerminan asas equality protection the law15 dan asas equal justice under the law16 yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28d ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Negara menjamin pula hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28i ayat (1). Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya prinsip ini berarti negara mengakui adanya hak-hak dalam ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik bagi para fakir miskin, maka secara konstitusional orang miskin berhak untuk diwakili dan dibela baik didalam maupun diluar pengadilan (acces to legal counsel) sama seperti orang yang mampu membayar atau yang mendapat jasa hukum. Bantuan hukum bagi si miskin termuat dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Jadi bantuan hukum adalah hak dari orang yang tidak mampu yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum.17 Bantuan hukum merupakan hal yang sangat esensial dalam menciptakan kehidupan yang adil, bantuan hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam hal tersangkut masalah hukum guna menghindari dari segala macam tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum yang belum mengerti dan kurang menghayati nila-nilai yang tersirat dalam UUD 1945, yaitu banyak oknum aparat pemerintah yang merasa dirinya identik dengan negara dimana kepentingan pemerintah adalah kepentingan negara, hal ini sangat menyesatkan karena 15 16 17
Equality protection the law adalah perlindungan yang sama oleh hukum. Equal justice under the law adalah perlakuan sama oleh hukum. Syafruddin Kalo, Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
6
kepentingan pemerintah belum tentu kepentingan negara, pemerintah hanya salah satu dari kompleksitas lembaga-lembaga dalam negara. Subsistem polisi, jaksa, pengadilan, pekerja lembaga pemasyarakatan dan penyedia bantuan hukum harus dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama yaitu antara lain menciptakan peradilan yang adil, mencegah kejahatan, mencegah pengulangan kejahatan, dan merehabilitasi pelaku kejahatan serta mengembalikan pelaku kejahatan yang telah menjalani pemidanaan ke lingkungan masyarakat. Hukuman sebagai pembalasan sudah tidak dianut lagi dalam sistem peradilan yang modern dan menjunjung hak asasi manusia.18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menganut due process of law (proses peradilan pidana yang adil). Pada due process of law hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana dilindungi dan dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga negara (civil right) dan karena itu merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia, namun didalam implementasinya crime control model (arbitary process/proses yang sewenang-wenang) masih diberlakukan. Proses yang sewenang-wenang ini tersangka atau terdakwa dianggap dan dijadikan sebagai objek pemeriksaan tanpa memperdulikan hak-hak asasi kemanusiaannya dan haknya untuk membela dan mempertahankan martabatnya serta kebenaran yang dimilikinya. Kesewenang-wenangan dalam proses peradilan bisa terjadi karena penegak hukum terbiasa mempraktikkan penyelidikan dan penyidikan menurut crime control model seperti adanya penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, serta sikap merendahkan harkat dan martabat (torture, other cruel, inhuman and degrading treatment) sesuai dengan yang dianut Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR).19 Ketentuan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 18 Sintong Silaban, Advokat Muda Indonesia: Dialog Tentang Hukum, Politik, Keadilan, Hak Asasi Manusia, Profesionalisme Advokat dan Lika-liku KeAdvokatan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992). hal. 45. 19 Frans Hendra Winarta, Pro Bono..., Op. Cit., hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
7
khususnya pada Pasal 4 menjadi ketentuan yang berpengaruh besar terhadap Undang-Undang Bantuan Hukum dilahirkan sebagai upaya pemenuhan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan kepada warganya. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Mencermati konteks pembentukan hukum mengenai bantuan hukum bagi si miskin, gagasan pembebasan berwujud pemaknaan ulang mengenai keberpihakan yang dipersandingkan dengan tindakan yang seolah dipandang diskriminatif dapat diurai ujung pangkalnya. Bahwa pengkhususan warga negara yang berhak memperoleh bantuan hukum gratis karena kondisionalnya merupakan perwujudan langkah progresif kewajiban pemerintah melindungi hak segenap bangsa dalam merengkuh keadilan dihadapan hukum.20 Negara dalam pemberian perlindungan hukum kepada warganya dapat dilihat dalam penjelasannya yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Adapun aturan pelaksanaan program bantuan hukum di Indonesia diantaranya adalah: 1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
20
Mohammad Mahfud MD., Sunaryati Hartono, dkk., Op. Cit, hal. 733.
Universitas Sumatera Utara
8
3.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum.
4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
5.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
6.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
7.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum menambah daftar peraturan
perundang-undangan yang memuat tentang bantuan hukum, meskipun memang peraturan perundang-undangan yang bersifat lex speciali baru ada setelah hadirnya Undang-Undang ini. Kendala atas implementasi perundang-undangan yang terjadi sebelum lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum adalah tidak adanya jaminan di dalam UUD 1945 dan di dalam KUHAP bagi orang mampu maupun bagi orang yang tidak
mampu
untuk
membayar
Undang-Undang Advokat mengakui
atau
memperoleh
konsep
bantuan
pembelaan.
Meskipun
hukum, namun tidak
menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum secara mendalam.21 Perdebatan para pelaku hukum mamandang bahwa Undang-Undang Bantuan Hukum
mengandung
ketidak
jelasan
pemberian
bantuan
hukum
dengan
membenturkan Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Advokat, selain itu juga terdapat berbagai penafsiran dalam beberapa Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum juga diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang
21
Frans Hendra Winarta, Pro Bono Publico..., Op. Cit, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
9
menyebutkan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Secara lebih spesifik aturan ini termuat juga dalam Kode Etik Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Pasal 7 point h menyatakan bahwa Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu. PERADI sendiri membentuk satu unit layanan bernama PBH PERADI, yang menerapkan kewajiban 50 jam per-tahun untuk setiap Advokat memberikan bantuan hukum pro bono. Terkait dengan bantuan hukum pro bono, negara menjadikan Pos Bantuan Hukum sebagai wadah untuk bantuan hukum bagi orang tidak mampu. Pelaksanaan bantuan hukum juga terdapat perbedaan pendapat tentang Sistem Pro bono maupun Sistem bantuan hukum, yaitu sama-sama merupakan strategi untuk memberikan pelayanan hukum (legal services) bagi masyarakat miskin dan rentan. Sistem probono bukanlah penganti dari sistem bantuan hukum, tetapi ikut mendukungnya dengan keterlibatan para Advokat sebagai salah satu pemberi layanan. Sistem bantuan hukum tidak meniadakan kewajiban pro bono Advokat. Hal ini telah menjadi isu hukum di sebagian kalangan Advokat karena eksistensi Lembaga Bantuan Hukum dan Organisasi Kemasyarakatan yang memenuhi standar Pelaksana Bantuan Hukum dapat merekrut paralegal, dosen, mahasiswa Fakultas Hukum dalam memberikan nasihat atau Bantuan Hukum kepada masyarakat secara litigasi maupun non-litigasi yang diakui dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dimana ketentuan Pasal 4 ayat (3) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum. Advokat sebagian besar memandang bahwa seharusnya Undang-Undang Advokat tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi, yang boleh tampil
Universitas Sumatera Utara
10
di depan pengadilan hanya Advokat karena hal demikian telah diatur dalam Pasal 56 ayat (2) KUHAP. Namun hukum acara yang berlaku mencantumkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan istilah penasihat hukum. Ketentuan hanya Advokat sebagai penasihat litigasi telah mengalami perubahan. Secara konsepsional, bantuan hukum dalam sistem peradilan terbatas pada charity (undangan kegiatan amal/gratis sebagai wujud kepedulian) dalam kerangka pemerataan keadilan. Konsep yang demikian menjadikan besarnya alokasi anggaran menjadi indikator utama apakah bantuan hukum telah berhasil atau tidak. Anggaran tersebut dikelola oleh pemerintah dan merupakan kebijaksanaan sosial. Kebijaksanaan yang diharapkan agar pemerintah mampu melindungi dan sekaligus bahwa hak asasi manusia telah dilaksanakan yakni melalui bantuan pembiayaan keuangan kepada orang miskin untuk membayar jasa Pemberi Bantuan Hukum. Penetapan besaran anggaran bantuan hukum yang dialokasikan dikhawatirkan menimbulkan kepentingan tertentu dimana anggaran untuk proses nonlitigasi lebih kecil dari pada proses litigasi, hal ini bisa memancing Pemberi Bantuan Hukum yang nakal untuk menyerap secara maksimal anggaran dengan mengesampingkan proses nonlitigasi. Sebagai turunan dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum adalah Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, bantuan hukum ini tidak mengatur secara jelas apakah bantuan tersebut dapat diterima oleh kasus yang ancaman atau dendanya kecil yaitu kurang dari satu juta rupiah, sedangkan jika merujuk pada KUHAP seharusnya diberikan pada orang tidak mampu dengan ancaman 5 tahun atau lebih. Perlindungan hukum terhadap orang miskin juga dikhawatirkan tertanamnya sikap perlindungan negatif, yaitu dalam arti Penerima Bantuan Hukum akan melakukan tindakan semaunya karena merasa dilindungi jika
Universitas Sumatera Utara
11
nanti terlibat kasus hukum. Bantuan hukum sering diartikan masyarakat sebagai suatu tindakan belas kasihan di bidang hukum kepada fakir miskin sebagaimana diungkap dalam Konferensi yang ke-3 dari Law Asia di Jakarta pada tanggal 16 sampai dengan 19 Juli 1973 bahwa ada kecenderungan umum yang melihat bantuan hukum kepada orang miskin hanya merupakan belas kasihan tetapi bukan sebagai hak asasi manusia, dimana orang miskin dapat membela dirinya secara hukum dan menyampaikan semua keluhannya untuk kemudian mendapatkan ganti rugi bantuan hukum janganlah dilihat dari sudut yang sempit.22 Pasal 5 Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 hanya orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yaitu hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan, berusaha dan perumahan, maka bagaimanakah perlindungan hukum pada orang atau kelompok yang termajinalkan (perempuan, anak, buruh, petani, korban pencemaran lingkungan,dll) karena kebijakan publik, selain itu terdapat pula orang yang hak sipil dan politiknya terabaikan, masyarakat adat yang buta hukum, orang atau kelompok imigran yang juga perlu dilindungi hak-haknya, dan bagaimana terdakwa dengan ancaman pidana 15 tahun atau lebih dan hukuman mati atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam pidana 5 tahun atau lebih. Tanggapan atas kriteria miskin saja sebagai Penerima Bantuan Hukum, maka dapatlah dijelaskan bahwa berbasis pada dialektik23 mengenai akses bantuan hukum gratis yang hanya diperuntukkan bagi si miskin, dapat ditarik suatu benang merah bahwa pengkhususan golongan yang memeroleh bantuan hukum demikian, bukan merupakan suatu bentuk diskriminasi, namun justru merupakan bentuk keberpihakan 22
Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum..., Op. Cit., hal. 34. Dialektik atau dialektika berasal dari kata dialog yang berarti komunikasi dua arah, istilah ini telah ada sejak yunani kuno ketika diintrodusir pemahaman bahwa segala sesuatu berubah. Kemudian Hegel menyempurnakan konsep dialektika dan menyederhanakan dengan memaknai dialektika kedalam trilogi tesis, anti-tesis, dan sintesis. Menurut Hegel tidak ada satu kebenaran yang absolut karena berlaku hukum dialektik, yang absolut hanyalah semangat revolusionernya (perubahan/pertentangan atas tesis oleh anti-tesis menjadi sintesis. 23
Universitas Sumatera Utara
12
yang progresif, kondisi kmiskin jika diteropong dari kelindan kesetiaan kepada hukum (fidelity to law), kewajban politik (political obligation), hingga ketidakpatuhan sipil (civil disobedience) yang menimpa sebagian warga negara yang berhadapan dengan hukum bukan dipandang sebagai aspek pengekonomian semata, namun lebih kepada kewajiban negara untuk memberikan rasa keadilan yang menjadi hak warga negara. Acapkali hak tersebut tidak terpenuhi atau bahkan terabaikan karena kondisi miskin tadi, namun negara tidak boleh membiarkan kondisi miskin menghalangi yang bersangkutan untuk mengakses keadilan. Pada kondisi kaya miskin yang demikian berbeda, tentu keadilan tidak boleh dimaknai sama rata sama rasa24, namun justeru harus berpihak. Hal ini keberlakuan hukum harus sama dalam kondisi normal, namun harus berbeda jika kondisinya berbeda. Dengan lain perkataan, keberadaan bantuan hukum bagi si miskin merupakan keseimbangan perwujudan posisi yang diharapkan terjadi atas diri klien miskin ketika berhadapan dengan hukum dan aparat penegak hukum. Tindakan advokasi yang dilakukan oleh Advokat maupun paralegal dalam memberikan bantuan hukum gratis terhadap diri klien miskin tersebut diharapkan memberikan posisi yang seimbang25 atas keawaman klien dalam dunia hukum jika dibandingkan dengan para penegak hukum yang membidangi hukum dikesehariannya. Keberpihakan terhadap kaum miskin yang berhadapan dengan hukuk dalam ruang sosial keindonesiaan demikian, oleh Suteki26 dikatakan sangan logis apabila timur
24 Contoh sama rata sama rasa dimana mengena lembaga pemasyarakatan yang dibedakan berbasis gender (lapas pria dan lapas wanita) maupun berdasar usia ( lapas anak dan lapas dewasa) warga binaannya agaknya dapat menjadi perenungan mengenai konsepsi adil tidak harus sama rata sama rasa. 25 Inilah konsepsi equalityof arm dalam menjalankan tugas profesional pemberian bantuan hukum. Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya equalityof arm dalam upaya penegakan supremasi hukum. Bahkan kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan Advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum. Muhammad Rustamaji, Dewi Gunawati, Moot Court: Membedah Peradilan Pidana dalam Kelas Pendidikan Hukum Progresif, (Surakarta: Mefi Caraka, 2011), hal.133. 26 Sebagaimana teori kuantum ala Jawa yang serung dikemukakan Satjipto Rahardjo, “sejatine ora ono opo-opo, kang ono iku dudu”, suteki memaknai bahwa yang sejati bukan yang terlihat secara kasat mata, namun yang sejati dibalik fenomena itu. Dunia makna menjadi salah satu core nilai yang membalut teori hukum progresif. Dunia makna itulah yang sebenarnya menjadi spirit warga bangsa yang tinggal di dunia timur (orient) termasuk
Universitas Sumatera Utara
13
memiliki cara berhukum tersendiri meskipun yang sedang digunakan adalah hukum barat. Pada akhirnya karakter oriental akan tetap membalut pembentukan dan pengakan hukum di Indonesia yang acapkali melompat dan membentuk quantum berbalut makna dengan desain hukumnya sendiri di ruang sosialnya.27 Berkenaan dengan Kebijakan Pemerintahan yang harus dijalankan dengan hukum, maka secara logis pemerintah tidak dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, misalnya syarat Pemohonan Bantuan Hukum yang harus melampirkan KTP dimana terhadap orang yang tidak memiliki identitas maka Pelaksana Bantuan Hukum harus mengupayakan identitas sementara di wilayah kelurahan dari Pemberi Bantuan Hukum tersebut, padahal bagaimana mungkin orang dapat mendapat identitas sementara orang tersebut bukan warga kelurahan tersebut. Pemerintah tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan khususnya mengenai bantuan hukum yang bertentangan dengan konstitusi atau peraturan-peraturan lainnya kecuali ada penghapusan terhadap aturan tersebut, hal yang bertentangan terhadap peraturan konstitusi seperti penghapusan Pasal 31 pada Undang-Undang Advokat dimana dalam Pasal tersebut memuat hanya Advokat yang boleh beracara. Jika terdapat pihak yang dirugikan maka setiap warga negara yang memiliki legal standing dapat mengajukan permohonan uji materiil dan pembatalan suatu Undang-Undang ke Mahkamah Agung.28 Belum jelasnya tentang format dan substansi peraturan bantuan hukum yang sering kali merupakan norma pengaturan untuk umum, dalam praktiknya tentu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama dalam hal mengikatnya. Penelitianan ini akan dibahas lebih lanjut tentang pemberian bantuan hukum warga bangsa Indonesia yang termasuk di kawasan Asia Tenggara. Sesuatu yang tersembunyi itu adalah spirit ketimuran yang akan memengaruhi manusia Indonesia dalam menentukan cara berhukumnya. Suteki, Desain Hukum di Ruang Sosial, (Bantul Yogyakarta-Semarang: Thafa Media dan Satjipto Rahardjo Institute, 2013), hal.165-167. 27 Mohammad Mahfud MD., Sunaryati Hartono, dkk., Op. Cit., hal. 728. 28 Victor Imanuel W. Nalle, Op. Cit., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
14
yang dilihat dari peraturan yang diberlakukan (bantuan hukum proses pidana), para Pemberi Bantuan Hukum, sampai pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pemberian bantuan hukum. Berdasarkan permasalahan diatas, maka diajukan suatu penelitian dalam bentuk Tesis dengan judul "Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum."
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka pokok permasalahan dalam penelitianan ini adalah: 1.
Bagaimanakah pengaturan bantuan hukum di Indonesia?
2.
Bagaimanakah kedudukan hukum Pemberi Bantuan Hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum?
3.
Apa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Pemberi Bantuan Hukum?
C. Tujuan Penelitianan Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui pengaturan bantuan hukum di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui kedudukan hukum Pemberi Bantuan Hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
3.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Pemberi Bantuan Hukum.
Universitas Sumatera Utara
15
D.
Manfaat Penelitianan Manfaat penelitian yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagi berikut: 1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memberikan tambahan
pemikiran dalam pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya yang terkait dengan bantuan hukum di Indonesia. 2.
Manfaat Praktis Hasil
penelitian
ini
dapat
menjadi
masukan
bagi
pemerintah
untuk
menyempurnakan dan menyusun lebih lanjut tentang kebijakan-kebijakan di bidang Bantuan Hukum dan pelaksanaannya.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang ada di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan khususnya pada Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum dikaitkan dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan permasalahan yang sama oleh penelitian lain. Dengan demikian penelitian ini asli disusun sendiri dan bukan diambil dari tesis orang lain. Guna menghindari adanya duplikasi penelitian terhadap permasalahan yang sama, peneliti telah melakukan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan bantuan hukum diantaranya: 1.
Tesis atas nama Arizal, NIM: 097005007, dengan judul “Urgensi Pemberian
Universitas Sumatera Utara
16
Bantuan Hukum oleh Advokat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme.” Permasalahan : a.
Bagaimanakah urgensi pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme?
b.
Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh Advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme?
2.
Tesis atas nama Friska Anggi Siregar, NIM: 107005084, dengan judul “Hak Tersangka Dalam Mendapatkan Bantuan Hukum (Tinjauan Terhadap KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum).” Permasalahan : a.
Bagaimanakah pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum menurut KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum?
b.
Bagaimanakah pengaturan peran Advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap tersangka menurut hukum positif Indonesia?
c.
Bagaimanakah sinkronisasi Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dengan KUHAP dalam pemberian bantuan hukum terhadap tersangka?
3.
Tesis atas nama Dewi Erfina Suryani, NIM: 117005044, dengan judul “Perlindungan dan Bantuan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Dalam Pernikahan Dini (Studi Putusan No.436/PID.B/2009/PN.RAP).”
4.
Tesis atas nama Fenny Tetty Chompriani, NIM: 117005040, dengan judul “Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Bagi Tersangka Atau Terdakwa yang Tidak Mampu (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan).” Permasalahan
:
Universitas Sumatera Utara
17
a.
Bagaimanakah pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu di Wilayah Pengadilan Negeri Medan?
b.
Apakah kendala Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu di Wilayah Pengadilan Negeri Medan?
c.
Apa saja upaya yang dilakukan Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu?
5.
Tesis atas nama Sinur Oki Vera Tambunan, NIM: 992105017, dengan judul “Perlindungan dan Bantuan Hukum Atas Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Proses Peradilan Pidana (Study Kasus di Pengadilan Negeri Tanjung Balai).”
6.
Tesis atas nama Adi Mansar, NIM: 992105032, dengan judul “Bantuan Hukum Bagi Anak Nakal dalam Lingkungan Wewenang PN Kelas I A Medan.” Permasalahan : a.
Bagaimanakah pelaksanaan bantuan hukum bagi anak nakal dalam Lingkungan Pengadilan Negeri Kelas 1A Medan?
b.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam memberikan bantuan hukum bagi anak nakal dalam Lingkungan Pengadilan Negeri Kelas 1A Medan?
c.
Upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi kendala dalam memberikan bantuan hukum bagi anak nakal dalam Lingkungan Pengadilan Negeri Kelas 1A Medan?
7.
Tesis atas nama Lestarisan Putra Ginting, NIM: 107005118, dengan judul “Pelaksanaan Pelayanan Pemberian Bantuan Hukum kepada Tahanan oleh Rumah Tahanan Negara (Studi di Rumah Tahanan Kelas I Medan).”
8.
Tesis atas nama Iskak Butar-Butar, dengan judul “Peran Bantuan Hukum Timbal
Universitas Sumatera Utara
18
Balik (Mutual Legal Asistance) Dalam Penyitaan dan Perampasan Aset Korupsi.” penelitian ini dapat dikatakan bebas dari plagiat serta dapat di pertanggung jawabkan keasliannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori Hukum harus menjamin bahwa setiap orang dengan kedudukannya dimuka hukum dan pengadilan tidak membedakan strata sosial dan tidak ada prioritas si miskin terhadap sikaya dalam mendapat keadilan, meskipun dalam praktiknya terjadi diskriminasi. Terhadap hal ini maka disahkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang diharapkan agar lebih konsisten dalam melindungi hak-hak setiap orang yang tidak mampu.29 Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan, adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Teori keadilan mewajibkan harapan yang lebih tinggi dari orang-orang yang beruntung menyumbang prospek pada orang-orang lemah, ketimpangan sosial dan ekonomi harus menjadi perhatian. Tidak semua posisi sosial adalah relevan, sebab bukan hanya para petani, namun petani susu, petani gandum, petani yang bekerja pada area tanah yang besar, begitu pula pada berbagai pekerjaan dan kelompok lainnya. Posisi kewarganegaraan yang setara dan posisi yang ditentukan oleh posisinya dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, sebisa mungkin keadilan sebagai fairness30 menilai sistem sosial dari posisi kewarganegaraan yang sama serta berbagai level
29
Abdurrahman Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 71. Keadilan sebagai fairness, hal ini menyatakan bahwa seseorang diwajibkan melakukan perannya sebagaimana ditentiukan oleh aturan institusi ketika dua kondisi dipenuhi,: pertama, institusinya adil (fair) yakni memenuhi dua prinsip keadilan; dan kedua, orang secara sukarela menerima keuntungan dari tatanan atau mendapat keuntungan dari peluang yang ditawarkannya demi mengejar kepentingannya. Gagasan utamanya adalah bahwa ketika sejumlah orang terlibat dalam kerjasama yang saling menguntungkan sesuai dengan aturan, lantas membatasi kebebasan mereka agar memberikan keuntungan untuk semua orang. Kebutuhan dalam fairness adalah kewajiban, dimana institusi-institusi atau praktik-praktik harus adil, kemudian bagian yang menggolongkan tindakan sukarela yang dibutuhkan. John Rawls, A Theory of Justice: Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 133-134. 30
Universitas Sumatera Utara
19
pendapatan dan kekayaan.31 Keadilan disini dalam hal hak dan kewajiban sama dihadapan hukum tanpa melihat status sosial dan kekayaan. Plato di dalam Mohammad Muslehuddin menyebutkan tentang keadilan sebagai berikut:32 “in his view, justice consist in a harmonious relation, between the various parts of the social organism. every citizen must do his duty in his a haunted place and do the thing for which his nature is best suited.” Plato dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik yang memandang keadilan terdiri dari hubungan yang harmonis, antara berbagai organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya. Pembuat peraturan harus menempatkan dengan jelas posisi setiap kelompok masyarakat dimana dan situasi bagaimana yang cocok untuk seseorang. Hal ini karena setiap orang bukanlah suatu jiwa yang terisolir dan bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya dengan tetap pada aturan dan tatanan universal yang menundukkan keinginan pribadinya sebagai makhluk sosial. Aristoteles memiliki pandangan yang berbeda dengan Plato. Aristoteles di dalam Moslehudin berpandangan bahwa keadilan berisi suatu unsur kesamaan, bahwa semua benda yang ada di alam ini dibagi secara rata dimana pelaksanaannya dikontrol oleh hukum. Aristoteles membagi keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang 31
John Rawls, Op.Cit., hal. 114-118. Mohammad Moslehudin, Philosophy of Islamic law and the orientalists : a comparative study of Islamic legal system, (Lahore : Islamic Publications, 1986), hal. 42. 32
Universitas Sumatera Utara
20
bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang.33 Aristoteles mempengaruhi pandangan John Rawls, dimana subjek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial. Keadilan dalam skema sosial secara mendasar bergantung pada bagaimana hak-hak dan kewajiban fundamental diterapkan pada perlindungan struktur dan kondisi sosial dalam berbagai sektor masyarakat.34 Abdul Ghofur Anshori mengutip teori keadilan John Rawls yang menyebutkan prinsip-prinsip pertama keadilan itu bertolak dari suatu konsep keadilan yang lebih umum yang dirumuskan sebagai berikut:35 “All social values -- liberty and oportunity, income and wealth, and the bases of self-respect--are to be distributed equally unless and unequal distribution of any, or all, of these values is to everyone's advantage.” Terjemahan, Semua nilai-nilai sosial - kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar harga diri - harus merata kecuali dan distribusi yang tidak merata apapun, atau semua, dari nilai-nilai ini adalah untuk keuntungan semua orang. Ada dua hal penting. Pertama, kebebasan ditempatkan sejajar dengan nilai-nilai lainnya, dan dengan itu juga konsep umum keadilan tidak memberi tempat istimewa terhadap kebebasan. Hal ini berbeda dengan konsep kebebasan Rawls yang berakar pada prinsip hak dan bukan pada prinsip manfaat. Kedua, keadilan tidak berarti semua orang harus mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama. Keadilan tidak selalu berarti semua orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan penting yang secara objektif ada pada setiap individu.
33 Mohammad Moslehudin, Filsafat hukum Islam dan pemikiran orientalis : studi perbandingan sistem hukum Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hal 36. 34 John Rawls, Op.Cit., hal. 7-8. 35 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hal. 49-50.
Universitas Sumatera Utara
21
Ketidaksamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asalkan kebijakan itu ditempuh demi menjamin dan membawa manfaat bagi semua orang. Rawls memberikan tempat dan menghargai hak setiap orang untuk menikmati suatu hidup yang layak sebagai manusia, termasuk mereka yang paling beruntung.36 Berdasarkan hal tersebut, pandangan teori keadilan membantu dalam menggambarkan unsur konstitutif sistem hukum yang diberlakukan negara dan tujuan dari kebijakan pemerintah terkait dengan bantuan hukum yang diperuntukkan kepada setiap orang atau kelompok orang miskin sebagai upaya untuk melaksanakan prinsip equality before the law.
G.
Kerangka Konsepsi Konseptualisasi adalah rangkaian konsep-konsep, definisi, dan proposisi yang
digunakan sebagai landasan pemikiran penelitian. Dalam hal ini, konsep, definisi, dan proposisi yang dirangkai harus relevan dengan topik penelitian. Konsep adalah suatu peristilahan atau lambang yang mempunyai pengertian tertentu dalam ruang lingkup tertentu. Oleh karena itu, konsep pada hakikatnya menunjuk pada suatu pengertian. Adapun definisi adalah batasan pengertian tentang suatu fenomena atau konsep. Definisi mempunyai uraian lebih tegas, lebih singkat dan khusus. Dengan demikian, perlunya suatu fenomena atau konsep didefinisikan adalah untuk mempertegas dan mempersempit fenomena yang diteliti.37 Sesuai dengan judul penelitian ini, maka terdapat konsep-konsep diantaranya: 1.
Bantauan Hukum adalah pemberian bantuan hukum oleh Pemberi Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada orang miskin untuk mendapatkan perwakilan hukum dan akses di pengadilan baik 36
Ibid. Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Konpress, 2012), hal. 41. 37
Universitas Sumatera Utara
22
non-litigasi maupun litigasi. 2.
Pemberi Bantuan Hukum adalah Lembaga Bantuan Hukum atau organisasi bantuan
hukum
yang
memberi
layanan
bantuan
hukum
berdasarkan
Undang-Undang Bantuan Hukum. 3.
Pelaksana Bantuan Hukum adalah Advokat yang berstatus sebagai pengurus Pemberi Bantuan Hukum dan/atau Advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa Fakultas Hukum yang direkrut oleh Pemberi Bantuan Hukum.
4.
Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum adalah aktifitas berkenaan dengan Undang-Undang Bantuan Hukum dalam kedudukan dan wewenang.
5.
Dana Penyelenggaraan Bantuan Hukum adalah dana yang diperoleh untuk menyelenggarakan bantuan hukum yang bersumber dari APBN, APBD, hibah atau sumbangan, dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.
H. Metode Penelitian Metode penelitian adalah berbagai cara yang dilakukan bertujuan untuk mencari penyelesaian dengan menganalisa terhadap satu atau beberapa gejala permasalahan secara mendalam. Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sedangkan penelitian adalah suatu kerja ilmiah yang bertujuan mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten.38 I.
Jenis Penelitian Jenis (tipe) penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif. Menurut Jhony Ibrahim penelitian yuridis normatif yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan
38
Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
23
dipandang dari sisi normatifnya (asas-asas, prinsip-prinsip, kaidah-kaidah) yang terdapat dalam aturan perundang-undangan.39 Penelitian hukum normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi40 (preskriptif41) tentang suatu peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem kaidah atau aturan. Selanjutnya dijelaskan bahwa penelitian hukum normatif meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sitem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana seharusnya peristiwa itu menurut hukum.42 Sehingga dapat dikatakan sebagai library based, focusing on reading and analysis of the primary and secondary materials(perpustakaan berbasis, dengan fokus pada membaca dan analisis bahan primer dan sekunder).43 Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai penelaah dalam tataran konsepsional tentang arti dan maksud berbagai peraturan hukum nasional yang berkaitan dengan Bantuan Hukum di Indonesia, penelitian ini bertitik tolak dari permasalahan dengan melihat pelaksanaan kemudian menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya tentang Bantuan Hukum. 2.
Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian
yang berusaha untuk menggambarkan dan menguraikan tentang permasalahan yang 39 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia Publishing, 2005), hal.46. 40 Justifikasi adalah putusan (alasan, pertimbangan) berdasarkan hati nurani. http://kbbi.web.id/justifikasi. 41 Preskriptif adalah bersifat memberi petunjuk atau ketentuan atau menurut ketentuan resmi yg berlaku. Ibid., 42 Mukti Fajar N.D. Dan Yulianti Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 36. 43 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
24
berkaitan dengan Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum di Indonesia. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.44 Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan secara sistematis tentang pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui peraturan dan arah kebijakan pemerintah yang belum sesuai dengan pelaksanaan progam bantuan hukum. Dengan mengetahui faktor tersebut, diharapkan dapat dirumuskan analisa dan upaya yang perlu dilakukan untuk memperbaiki peraturan yang berlaku. 3.
Teknik Pengumpulan Data Data berupa data sekunder yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil penelitian yang berwujud laporan, dll.45 Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka yang dilakukan dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder. Jika diperlukan wawancara akan dilakukan untuk menambah data sekunder. Wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Pemilihan narasumber dilakukan dengan mengutamakan segi kompetensi keilmuan ataupun ketokohan seseorang yang dapat memberikan informasi yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian hukum yang dilakukan dengan studi pustaka (Documentary research) terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder ataupun bahan hukum tersier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan dan melalui media internet. Selain itu juga dilakukan penelitian terhadap pelaksanaan secara langsung untuk mendukung dan 44
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1996),
hal. 10. 45
Ibid., hal. 11-12.
Universitas Sumatera Utara
25
memperkuat argumentasi-argumentasi yang dibahas dalam penelitian ini melalui wawancara kepada narasumber diantaranya pada Lembaga Bantuan Hukum, Organisasi Kemasyarakatan, Kantor Advokat, Penerima Bantuan Hukum, Hakim Pengadilan Negeri, Badan Kesatuan Bangsa, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan DPR RI. 4.
Jenis Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini data sekunder, yaitu bahan-bahan
hukum yang tersebar dalam berbagai tulisan yang dibedakan atas: a.
Bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan Bantuan Hukum.
b.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis tentang Bantuan Hukum dalam bentuk buku, makalah, wawancara dan artikel.
c.
Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang berisi penjelasan arti tentang berbagai istilah yang terkait dengan objek penelitian seperti kamus bahasa, kamus hukum, dan ensiklopedia.
5.
Analisis Data Data atau bahan hukum yang terkait dengan pelaksanaan Pemberi Bantuan
Hukum dianalisis dengan menggunakan teori, yang dalam penelitian ini dipergunakan teori keadilan, yang selanjutnya akan dibuat kesimpulan sebagai hasil dari penelitian. Analisis dalam penelitian ini bersifat preskriptif, menurut Mukti Fajar dan Yulianto Achmad mengemukakan, analisis preskriptif bermaksud untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Argumentasi yang telah dikemukakan adalah untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogianya menurut hukum tentang fakta atau peristiwa hukum
Universitas Sumatera Utara
26
dari hasil penelitian.46 6.
Metode Pendekatan Pendekatan dalam penelitian hukum normatif merupakan dasar sudut pandang
dan kerangka berpikir tentang seorang peneliti untuk melakukan analisis. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi tentang berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.47 Jawaban atas pokok permasalahan secara komprehensif maka penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian normatif harus mengguanakan statute approach karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentralnya.48 Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan di bidang bantuan hukum sebagai dasar awal melakukan analisis. Hal ini harus dilakukan oleh peneliti karena peraturan perundang-undangan merupakan titik fokus dari penelitian ini dan karena sifat hukum yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:49 a.
Comprehensif, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan yang lainnya secara logis,
b.
All-inclusive, artinya bahwa kumpukan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekosongan hukum,
c.
Systematic, artinya disamping bertautan antara satu dengan yang lainnya, norma-norma hukum tersebut tersusun secara hierarkis.
Secara hierarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia di atur di dalam Pasal 7
46 47 48 49
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Op. Cit., hal. 184. Ibid. Jhony Ibrahim, Op. Cit., hal.132 Mukti Fajar N.D. dan Yulianti Achmad, Op. Cit., hal. 185.
Universitas Sumatera Utara
27
ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang menetapkan bahwa jenis dan hierarki perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut: a.
Undang-Undang Dasar 1945,
b.
Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
c.
Peraturan Pemerintah,
d.
Peraturan Presiden,
e.
Peraturan Daerah.
Selain itu masih terdapat peraturan perundang-undangan yang lain yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara (dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM), baik di pusat maupun di daerah sampai pada kepala pemerintahan di desa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004.50 Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu bantuan hukum yang diteliti. Pendekatan ini fokus penelitiannya pada kepentingan praktis, yaitu untuk mencari sinkronisasi.51
50 51
Ibid., hal. 185-186. Ibid.
Universitas Sumatera Utara