BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki kultur yang sifatnya menjunjung tinggi keharmonisan, kerjasama dan gotong – royong serta musyawarah merupakan nilai yang mengakar pada bangsa kita. Pemahaman akan prinsip bersaing tentu tidak akan mudah diterima karena kita terbiasa hidup dengan nilai – nilai yang telah mengakar sebagai budaya bangsa. Walaupun demikian bukan berarti bahwa persaingan tidak dikenal sama sekali dalam tatanan kehidupan masyarakat kita yang heterogen. Persaingan dalam usaha untuk mendapatkan keuntungan memang sudah ada secara naluriah (inherent) hampir pada setiap pelaku usaha. Persaingan ini bisa dalam bentuk harga, jumlah, pelayanan ataupun kombinasi berbagai faktor yang dinilai oleh konsumen.1 Mengingat Indonesia pada saat ini yang sedang mengalami masa transisi dibidang ekonomi, sebagai Negara berkembang yang sangat menggembor – gemborkan perbaikan dari sektor perekonomian untuk menjadi Negara yang maju. Perbaikan tersebut dengan cara pengembangan investor serta pengadaan usaha mikro maupun makro yang bertujuan mengurangi
1
angka
pegangguran
dan
meningkatkan
kesejahteraan
. Ayudha D. Prayogo et. Al., Editor, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Ellips Project, Jakarta , 2000, hlm. 24.
masyarakat. Dengan adanya krisis moneter yang melanda Indonesia yang terjadi 10 tahun silam masih terasa sampai saat ini, perkembangan ekonomi bisa dikatakan belum stabil. Banyak usaha yang gulung tikar dan investor yang jatuh yang mengakibatkan penggangguran yang melonjak drastis. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang Undang – Undang tersebut baru muncul pada tahun 1999, setelah runtuhnya rezim Orde baru. Dimasa Orde baru sistem monopoli banyak dilakukan dan seolah - olah legal. Kemudian munculah Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang membawa keadilan dan kepastian terhadap pelaku usaha yang berada di Indonesia. Meskipun berdasarkan Pasal 53 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, berbunyi “Undang – Undang ini mulai berlaku terhitung 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetaui, memerintahkan pengundangan undang - undang ini dengan menempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”. Kebutuhan akan adanya suatu regulasi yang sama diantara pelaku usaha besar maupun kecil akan memberikan peluang yang sama untuk bersaing. Dengan diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka akan terjadi perubahan struktur pasar. Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi bagi para pelaku usaha:2
2
.
Ibid. hlm 6.
a. Pengusaha yang kuat akan bertahan dipasar, yaitu pelaku usaha yang dapat mempertahankan efisiensi dan bersaing dengan baik; b. Ada konsentrasi kekuatan dari pelaku usaha yang setelah menjalani kompetisi ternyata lemah mengantisipasi pasar; c. Ada perubahan sektor usaha, palaku usaha tidak mampu bersaing akan terpaksa mencari peluang lain untuk tetap eksis dipasar; d. Terdapat pelaku usaha yang kalah bersaing dalam kompetisi; Ketiadaan institusi hukum yang mengatur dunia usaha berdampak pada masalah keadilan public secara umum. Pasar tidak berjalan, dengan sendirinya menjadi tidak adil karena di dalamnya tidak secara inheren melekat unsur dan etika. Oleh karena itu, diperlukan institusi non pasar yang dilengkapi dengan Undang – Undang yang mengatur persaingan usaha agar tidak terkena langsung pada pelaku usaha (terutama kecil dan menengah), maupun masyarakat pada umumnya.3 Adanya sistem persaingan maka mengarah pada tersedianya pilihan kosumen yang bebas, sehingga pembelilah yang menentukan komoditas mana yang harus diproduksi dengan harga berapa, bukan produsen atau pemasok.4
3
. Badriyah Rifai,, “Mencermati Isu dan Visi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat“, jurnal Magister Hukum, Volume 08 – No. 17 – Thn. 2001. Magister Ilmu Hukum UII, Yogyakarta, hlm. 73. 4 . Knut Hasen,et.al., Undang – Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Katalis, 2001, hlm. 1.
Persaingan dalam dunia usaha merupakan hal yang positif, dengan adanya persaingan usaha akan banyak diperoleh keuntungan, baik bagi pelaku usaha maupun konsumen.5 Tindakan yang anti persaingan merupakan suatu kategori untuk menunjukan jenis – jenis tindakan yang bersifat menghalangi atau mencegah persaingan, yang mempunyai maksud untuk memonopoli atau menguasai suatu persaingan oleh suatu pelaku usaha. Dengan adanya persaingan yang tidak sehat dapat menimbulkan kerugian baik bagi pelaku usaha yang lain serta konsumen. Pengertian persaingan tidak sehat yang dirumusan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam pasal
1 ayat 6
memberikan pengertian “Persaingan Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau malawan hukum atau menghambat persaingan usaha“. Unsur – unsur yang terdapat dalam pasal tersebut yakni mencangkup : 1. Persaingan antara pelaku usaha Pelaku usaha atau disini dapat kita pahami sebagai subyek, yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau tidak, yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia yang menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam 5
. Abdul Hakim Garuda & Beni K. Harman, Analisa dan perbandingan Undang – Undang larangan Praktek Monopoli dan persaingan Usaha Tidak Sehat, Gramedia, Jakarta, 1999, hlm. 4.
bidang ekonomi.6 Jadi pelaku usaha menurut Pasal 1 ayat 6 UU No 5 Tahun 1999 termasuk : a. Orang Perorangan Orang perorangan disini adalah individu – individu yang mempunyai usaha dan pengelolaan dilakukan oleh pribadi. Misalnya : Pedagang pasar, Home Industry dll b. Badan Usaha bukan Badan Hukum Dengan dimasukkan badan usaha bukan badan hukum sebagai pelaku usaha, maka cakupannya menjadi luas. Yakni termasuk juga tentunya badan usaha berbentuk CV, Firma, dan berbagai bentuk perkumpulan lainnya. c. Badan Usaha Badan Hukum Badan hukum yang dimaksud adalah yang telah didaftarkan sebagai badan usaha, misalnya : Perseroan Terbatas, BUMN, Koperasi dan Yayasan. 2. Menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran Dalam hai ini yang menjalankan kegiatan produksi (produsen), yang mempunyai peran sebagai penghasil barang atau jasa. Sedangkan pemasaran (agen) mempunyai tujuan untuk menyebarkan atau memasarkan barang dari produsen kepada konsumen. 3. Barang dan atau jasa
6
. Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 6.
Sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat 16 Undang – Undang Nomor 5 tahun 1999, telah menjelaskan mengenai definisi tentang barang, “barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan atau dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.“ Sedangkan di pasal 1 ayat 17 Undang – undang No. 5 Tahun 1999 juga telah memberikan definisi tentang Jasa, “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang dipergunakan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha“. 4. Perbuatan tersebut dengan tidak jujur dan atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Persaingan usaha yang dikatakan dengan tidak jujur adalah persaingan yang melanggar Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Baik melanggar mengenai perjanjian – perjanjian yang dilarang yang diatur dalam Pasal 4 s/d 16 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang terdiri dari : oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri. Dan atau melanggar kegiatan – kagiatan yang dilarang yang mana diatur dalam Pasal 17 s/d 24 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang meliputi kegiatan : monopoli, monopsoni, penguasaan pasar dan persekongkolan.
Bagian umum penjelasan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, menyatakan bahwa Undang – Undang tersebut mengambil landasan kepada demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpatisipasi dan setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar. Pasal 2 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menegaskan kembali bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara pelaku usaha dengan kepentingan umum. Pada
pokoknya
terdapat
tiga
macam
perilaku
bisnis
yang
menimbulkan monopoli sehingga kegiatan itu bertentangan dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan dapat memberikan sanksi berupa denda dan atau pidana. Tiga macam kegiatan dibidang ekonomi dilarang dan atau harus dicegah dan perlu dicangkup dalam Undang – Undang Antimonopoli lazimnya adalah : 1. Monopsoni kegiatan usaha tertuntu oleh pelaku usaha baik secara pribadi atau dengan cara gabungan atau persekongkolan atau kolusi dengan pelaku usaha lain yang dilakukan dengan berbagai cara sehingga meniadakan atau mampu mengontrol kegiatan bisnis pelaku
usaha lain, sehingga timbul pengekangan harga, jumlah produk dan kualitas
produksi
yang
semuanya
itu
bertentangan
dengan
kepentingan umum, dan secara khusus persaingan usaha dibidang usaha tertentu. 2. Kendali yang tidak wajar dibidang perdagangan (unreasonable restrain of trade) yaitu beberapa pelaku usaha melakukan perjanjian untuk menetapkan, menjaga, atau meningkatkan harga atau membatasi produksi, teknologi, produk, atau fasilitas kepada pelanggan atau pemasok sehingga menimbulkan kendali yang bertentangan dengan kepentingan umum terutama persaingan dibidang usaha tertentu. Kegiatan usaha dalam bentuk tersebut dapat berupa kartel, atau pembuatan asosiasi perdagangan. 3. Praktik Perdagangan Curang (Unfair trade practices). Perilaku bisnis ini berbeda dengan istilah praktek persaingan curang (unfair competition). Praktik perdagangan curang yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah setiap kegiatan bisnis yang menghalangi persaingan secara bebas dan jujur. Kategori perilaku bisnis yang termasuk dalam hal ini misalnya : a.
Tindakan diskriminasi oleh produsen atau pedagang besar kepada satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lain;
b.
Memberikan harga yang tidak adil antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain;
c.
Memaksa pengecer, pedagang besar, atau pelanggan hanya berhubungan dengan dirinya saja;
d.
Memperlakukan pihak lain tidak adil dalam tawar menawar, dan sebagainya.
Selain itu untuk dapat terwujudnya ketentuan – ketentuan tentang anti monopoli ini ke dalam praktek, maka dibutuhkan suatu badan yang tugas pokoknya adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari ketentuan – ketentuan tentang anti monopoli ini.7 Melihat adanya kebutuhan tersebut, maka dalam Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah membentuk apa yang disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, selanjutnya disebut dengan Komisi Pengawas. Komisi ini bertanggungjawab langsung kepada presiden RI. Komisi Pengawas ini memperoleh dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau sumber – sumber lainnya yang diperoleh dari peraturan perundang – undangan. Lihat Pasal 37 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menjadi perhatian penting saat hasil penyelidikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adanya dugaan terhadap pelanggaran mengenai kegiatan yang dilarang yakni persekongkolan, yang diatur dalam Pasal 24 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak 7
.
Ibid. hlm 101
Sehat. Dalam studi kasus Persekongkolan tender peningkatan jalan di dinas pekerjaan umum Bina Sumber Dana APBN 2006 – 2008 Banyuasin. Dalam kasus tersebut masuk kedalam kegiatan – kegiatan yang dilarang yakni persekongkolan peningkatan jalan Pangkalan Balai – Pengumpuk yang mempunyai nilai pagu sebesar Rp. 41. 000.000.000,-(empat puluh satu milyar rupiah) dan peningkatan jalan Sp. Rambutan – Mendal - Mendil yang mempunyai nilai pagu sebesar Rp. 40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah). Pada tender I diikuti sebanyak 37 peserta yang dimenangkan oleh (PT. Anugrah Artha Abadi Nusa, PT. Tri Citra Perdana dan PT. Bangun Cipta Kontraktor) dan tender II diikuti oleh 34 peserta yang dimenangkan oleh PT. Chandratex Indo Artha, PT. Loka – Kharisma Dikara, PT. Bangun Cipta Kontraktor. Data Pemenang Tender Paket Tender Peningkatan Jalan Pangkalan Balai - Pengumpuk Pemenang I PT. Anugrah Artha Abadi Rp.31.576.063.000,Pemenang II PT. Tri Citra Perdana Rp.34.359.841.000,Pemenang III PT. Bangun Cipta Kontraktor Rp.35.301.619.000,Paket Tender Peningkatan Jalan Sp. Rambutan – Mendal - Mendil Pemenang I PT. Chandratex Indo Artha Rp. 26.543.288.000,Pemenang II PT. Loka – kharisma Dikara Rp. 27.241.999.000,Pemenang III PT. Bangun Cipta Kontraktor Rp. 32.380.631.000,-
Kasus persengkongkolan ini terbongkar karena adanya salah satu peserta tender yakni PT. Amen Mulia yang dinyatakan gugur oleh panitia tender, dikarena : 1. Isi jaminan tidak memenuhi persyaratan dan analisa satuan tidak lengkap. PT. Amen Mulia menyanggah bahwa berdasarkan kesaksian
PT. Parolamas cabang Palembang sebagai pihak yang mengeluarkan Surat Jaminan Penawaran milik PT Amen Mulia masih sah dan jika PT. Amen Mulia gagal melakukan pekerjaan maka PPK sebagai Obligee masih dapat mencairkan Jaminan Penawaran tersebut senilai yang tercantum dijaminan Penawaran tersebut. 2. Metode pelaksanaan pekerjaan yang ditawarkan tidak menggambarkan penguasaan dalam penyelesaian pekerjaan. 3. Rencana kemajuan fisik pekerjaan tidak berdasarkan kemampuan pekerja, sehingga jika ditotal keseluruhan rencana kemajuan fisik melebihi 100% (100,001%) PT. Amen Mulia menyanggah bahwa alasan yang diberikan oleh panitia pengadaan barang/jasa tersebut tidak dapat dibenar dan tidak seharusnya dijadikan alasan gugurnya ikut serta tender. Sedangkan harga yang ditawarkan oleh PT. Amen Mulia mengenai peningkatan jalan Pangkalan Balai – Pengumpuk paling rendah dibandingkan pemenang tender yang lain yakni senilai Rp. 29.805.777.000,- (dua puluh sembilan milyar delapan ratus lima juta tujuh ratus tujuh puluh tujuh ribu rupiah ), angka tersebut jauh dibawah para pemenang tender yang dianggapnya tidak wajar kalau dirinya tidak bisa ikut sebagai pemenang tender. PT. Amen Mulia juga mencurigai adanya kejanggalan hasil pengumuman pada paket Peningkatan Jalan Pangkalan Balai – Pengumbuk dan paket paningkatan jalan Sp. Rambutan – Mendal Mendil. Fakta lain yang mulai terungkap didapat dalam kasus ini yakni :
1. Panitia Pengadaan Barang/jasa Pemborongan Kegiatan Tahun Jamak di Lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Banyuasin disebut sebagai Terlapor I. 2. PT. Chandratex Indo Artha disebut sebagai Terlapor II. 3. PT. Anugrah Artha Abadi Nusa disebut sebagai Terlapor III. 4. Ir. Firmansyah, M.Sc. sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatra Selatan disebut sebagai Terlapor IV. Sehingga kasus tersebut sampai pada pemeriksaan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dari pemeriksaan KPPU menyimpulkan bahwa :
1.
Alasan mengugurkan PT Amen Mulia karena tidak dicantumkannya tanggal dan tempat pelaksanaan aanwijzing pada Surat Jaminan Penawaran PT Amen Mulia tidak substansial karena Surat Jaminan Penawaran PT Amen Mulia yang dikeluarkan oleh PT Asuransi Parolamas adalah sah dan dapat diklaim bila terjadi wanprestasi dari PT Amen Mulia.
2.
Alasan Terlapor I mengugurkan PT Amen Mulia dengan menyatakan PT Amen Mulia akan gugur dalam evaluasi teknis meskipun lulus dalam evaluasi adminitratif adalah bentuk tindakan yang tidak relevan, karena PT Amen Mulia sudah dinyatakan tidak lulus dalam evaluasi administrasi sehingga Terlapor I terbukti mencari-cari kesalahan untuk menggugurkan PT Amen Mulia.
3.
Terlapor I lalai dalam meneliti dokumen personel inti Terlapor II dan Terlapor III.
4.
Tindakan Terlapor I untuk menggugurkan PT Amen Mulia dan lalai dalam meneliti adanya kesalahan pada dokumen personil inti Terlapor II dan Terlapor III menunjukkan bahwa Terlapor I terlibat dalam persekongkolan vertikal untuk memenangkan Terlapor II dan Terlapor III.
5.
Majelis Komisi sependapat dengan hasil Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan (LHPL) yang menyatakan tidak ditemukan bukti yang cukup keterlibatan
Terlapor
IV
dalam
persekongkolan
tender
untuk
memenangkan Terlapor II dan Terlapor III. 6.
Berdasarkan Bukti Bukti Acara Pemeriksaan (BAP) Terlapor II, Terlapor II mengakui penggunaan fasilitas kantornya oleh Terlapor III.
7.
Berdasarkan bukti BAP Terlapor III, Terlapor III mengakui meminta bantuan karyawan Terlapor II dalam penyusunan dokumen penawaran tender, hal ini diperkuat adanya bukti dokumen penawaran tender Terlapor II dan Terlapor III tentang Daftar Personalia Inti yang sama, dan personil yang sama dalam mendaftarkan perusahaan Terlapor II dan Terlapor III dalam Daftar Hadir Pendaftaran Pasca Kualifikasi dan Daftar Hadir Pembukaan Dokumen Penawaran Tender.
8.
Hubungan kekeluargaan antara Direktur Terlapor II dan Terlapor III sebagaimana dicantumkan pada LHPL tidak menjadi pertimbangan untuk menunjukkan ada atau tidak adanya persekongkolan.
9.
Tidak lulusnya Terlapor II pada Tender Peningkatan Jalan Pangkalan Balai - Pangumbuk karena jadwal pelaksanaan pekerjaan tidak memenuhi syarat dan tidak lulusnya Terlapor III pada Tender Peningkatan Sp. Rambutan - Mendal Mendil karena alasan yang sama menunjukkan adanya pengaturan antara Terlapor II dan Terlapor III dalam bentuk persaingan semu.
10.
Adanya peminjaman kantor Terlapor II oleh Terlapor III, adanya kesamaan daftar personil inti antara Terlapor II dan Terlapor III, adanya personil yang sama dalam menyusun dokumen penawaran tender serta adanya
personil
yang
sama
dalam
menghadiri
proses
tender
membuktikan adanya kerjasama antar Terlapor II dan Terlapor III dalam mengikuti tender. 11.
Terlapor II dan Terlapor III telah melakukan persekongkolan horizontal untuk memenangkan kedua paket tender.
Dari fakta – fakta yang didukung pernyataan - pernyataan para terlapor, para ahli dan surat – surat atau dokumen tersebut merupakan sekilas gambaran mengenai adanya persekongkolan, sehingga KPPU memutus bahwa para pihak melanggar Pasal 22 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Demi memenangkan tender Para Pelaku usaha yakni PT. Chandratex Indo Artha dan PT. Anugrah Artha Abadi Nusa menghalalkan segala cara, salah satunya dengan bersekongkol dengan panitia pengadaan tender. Maka bagi
para pelaku usaha yang melanggar dengan bersekongkol ada sanksi yang tertulis baik sanksi administratif serta sanksi pidana. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, bahwa Kasus tersebut terdapat pelanggaran mengenai persekongkolan baik vertikal maupun horisontal, untuk itu dapat diancam dengan denda serendah – rendahnya 5 milyar dan setinggi – tingginya 25 milyar, atau pidana kurungan pengganti denda selama – lamanya 5 bulan.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana eksistensi UU No. 5 Tahun 1999 dalam memberikan perlindungan kepada pelaku usaha terhadap praktek persekongkolan dalam tender? 2. Faktor – faktor apa yang menjadi pendorong para pelaku usaha untuk melakukan persekongkolan baik secara vertikal, horizontal maupun vertikal - horizontal? 3. Mengapa panitia pengadaan tender yang diputus bersalah oleh hakim pengadilan,
tidak
diikuti
dengan
putusan
Condemnatoir
atas
perbuatannya, dan apa akibat hukum putusan KPPU No. 24/KPPUL/2007 bagi pelaku usaha yang lain?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetaui apakah eksistensi dari UU No. 5 Tahun 1999, telah memberikan perlindungan bagi pelaku usaha sesuai dengan maksud dan tujuan dibentuknya Perundang – undangan tersebut. 2. Untuk mengetaui faktor – faktor yang menjadi pendorong pelaku usaha melakukan persekongkolan baik secara vertikal, horizontal maupun vertikal – horizontal. 3. Untuk mengetaui akibat hukum putusan KPPU Nomor 24/KPPUL/2007,
terhadap
para
pelaku
usaha
yang
terlibat
dalam
persekongkolan peningkatan jalan di Dinas Pekerjaan Umum Bina Sumber Dana APBN 2006 – 2008 di Banyuasin dan untuk mengetaui alasan hakim tidak memberikan putusan Condemnatoir kepada Panitia tender.
D. Tinjauan Pustaka Dalam
melaksanakan
usaha
selaku
pelaku
usaha
wajar
untuk
mendapatkan suatu laba yang sebesar – besarnya, akan tetapi dalam melakukan usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut haruslah dilakukan dengan melalui persaingan usaha yang baik tanpa melanggar Undang – Undang yang ada. Persaingan adalah suatu elemen yang sangat esensial dalam perekonomian modern. Jika hanya ada satu penjual pada suatu pasar dengan menjual produk tertentu, sedangkan konsumen banyak yang membutuhkan produk tersebut. Penjual disini akan menjual produk dengan
harga dan jumlah produk dengan sesuka hati. Berbeda halnya persaingan yang terjadi apabila disuatu pasar terdapat banyak penjual sedangkan diantar penjual tersebut saling bersaing. Pada keadaan yang semacam ini pembeli diuntungkan karena pembeli akan mendapat harga yang relatif murah dibanding dengan hanya terdapat satu penjual. Untuk menjaga agar pelaku usaha yang satu dengan yang lain tetap saling bersaing dan konsumen pun terlindungi akan hak – haknya, maka dibutuhkan adanya hukum persaingan yang merupakan kebutuhan esensial mengenai “code of conduct” yang data mengarah pada pelaku usaha untuk bersaing secara sehat dan jujur. Adanya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan rambu – rambu yang memberikan batasan – batasan yang jelas bagi para pelaku usaha agar salah satu pihak melihat pihak lain bukan sebagai saingan tetapi sebagai mitra. Sehingga diharapkan terciptanya persaingan usaha yang sehat. 8 Secara umum tujuan pokok hukum persaingan dalam rangka mendukung sistem ekonomi pasar ialah : 1. Agar Persaingan usaha tetap hidup, 2. Agar persaingan antar pelaku usaha dilakukan secara sehat, 3. Agar konsumen tidak dieksploitasi oleh pelaku usaha.
8
. Siti Anisa, Hukum Persaingan Usaha. Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002, hlm. 42-43.
Adapun tujuan pembentukan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah:9 1. Mengenai kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 2. Mewujudkan
iklim
usaha
yang
kondusif
melalui
pengaturan
persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar,
pelaku
usaha menengah maupun pelaku usah kecil. 3. Menjaga praktik usaha dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. 4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat Pasal mengenai bentuk kegiatan yang dilarang untuk dilakukan yang dapat mengakibatkan adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Mengenai kegiatan yang dilarang terdapat dalam Bab IV Pasal 17 s/d 24 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, salah satunya mengenai Persekongkolan yang diatur pada Pasal 22 s/d 24. Definisi Persekongkolan menurut Pasal 1 ayat 8 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa “persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan
9
.
Ibid, hlm. 43
maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.“
E. Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu metode yang meninjau dan membahas obyek penelitian dengan menitik beratkan pada segi – segi yuridis. 1. Obyek Penelitian Eksistensi Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, study kasus tentang persekongkolan Tender Peningkatan Jalan di Dinas Pekerjaan Umum Bina Sumber Dana APBN 2006 – 2008 Banyuasin. 2. Subyek Penelitian a) Komisi
Pengawasan
Persaingan
Usaha
yang
menangani
Persekongkolan Tender Peningkatan Jalan di Dinas Pekerjaan Umum Bina Sumber Dana APBN 2006 – 2008 Banyuasin. b) Para pihak panitia tender dan peserta dalam tender 1. Panitia Pengadaan Barang/jasa Pemborongan Kegiatan Tahun Jamak di Lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Banyuasin. 2. PT. Chandratex Indo Artha. 3. PT. Anugrah Artha Abadi Nusa.
4. Ir. Firmansyah, M.Sc. sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatra Selatan.
c) Ketua komisi pengadilan Yoyo Afrifardhani, S.H.,M.M.,LL,M. 3. Sumber Data a. Data primer : ialah berupa data yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research). b. Data Sekunder : ialah berupa data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri atas : i. Bahan Hukum Primer, berupa peraturan perundang – undangan. ii. Bahan Hukum Sekunder, berupa rancangan peraturan perundang – undangan, literature, jurnal serta penelitian terdahulu. iii. Bahan Hukum Tersier, berupa kamus, ensiklopedi dan leksikon. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Data Primer Terhadap data primer dilakukan dengan cara wawancara dalam bentuk pertanyaan langsung yang telah disusun dan dipersiapkan sebelumnya. b. Data Sekunder Terhadap data sekunder dilakukan dengan cara dengan inventaris buku – buku, majalah, jurnal hukum dan lain – lain, untuk bahan hukum yang berkenaan dengan pokok masalah dilakukan dengan identifikasi.
5. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dilakukan adalah Yurdis Normatif yakni metode yang
meninjau,
membahas
objek
dan
menganalisa
data
guna
menyelesaikan suatu permasalahan sebagai das sein dengan mengacu pada das sollen atau yang seharusnya terjadi pada segi – segi yuridis materi acuannya yaitu Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999. 6. Analisa Data Pengolahan data dilakukan dengan cara editing, dan penyajian dalam bentuk narasi. Pengolahan data dengan editing yakni meneliti data yang diperoleh untuk mengetaui atau menjamin apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataannya. Penyajian dalam bentuk narasi yang dimaksud adalah dengan menjabarkan suatu permasalahan yang ada, sesuai dengan rumusan masalah dan memberikan kesimpulan dan saran di bagian akhir.