BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Stres 2.1.1 Definisi Stres Stres merupakan kata yang sering kita dengar dalam kehidupan kita seharihari. Menurut Lazarus & Folkman (1984) definisi stres menekankan hubungan antara orang dan lingkungannya, yang mempertimbangkan catatan karakteristik orang yang disatu sisi, dan di sisi lain sifat dari peristiwa lingkungan. Stres adalah reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri dari tekanan secara psikis. Tubuh manusia dirancang khusus agar bisa merasakan dan merespon gangguan psikis ini. Tujuannya agar manusia tetap waspada dan siap untuk menghindari bahaya. Kondisi ini jika berlangsung lama akan menimbulkan perasaan cemas, takut dan tegang (Wijono, 2006). Stres adalah kondisi yang tidak menyenangkan dimana manusia melihat adanya tuntutan dalam suatu situasi sebagai beban atau diluar batasan kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan tersebut (Brehm & Kassin, 1996). Berbeda dengan Brehm dan Kassin, Patel (dalam Dian, 2005) mendeskripsikan stres sebagai reaksi tertentu yang muncul pada tubuh yang bisa disebabkan oleh berbagai tuntutan. Misalnya ketika manusia menghadapi tantangan-tantangan yang penting, ketika dihadapkan pada ancaman, atau ketika harus berusaha mengatasi harapanharapan yang tidak realistis dari lingkungannya. Disamping itu, keadaan stres akan muncul apabila ada tuntutan yang luar biasa sehingga mengancam keselamatan atau integritas seseorang.
6
7 Menurut Patel (dalam Dian, 2005), stres tidak selalu bersifat negatif. Pada dasarnya, stres merupakan respon-respon tertentu tubuh terhadap adanya tuntutantuntutan dari luar. Dengan adanya berbagai tuntutan tersebut, tubuh manusia berusaha mengatasi dengan menciptakan keseimbangan antara tuntutan eksternal, kebutuhan dan nilai-nilai internal dan kemampuan lingkungan untuk memberikan dukungan. Hasil dari interaksi tersebut akan menghasilkan persepsi terhadap stres. Ketika stres telah dipersepsikan secara positif, hal ini dapat memotivasi manusia untuk lebih percaya diri dan lebih berprestasi. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres yang disebut juga dengan stressor. Berdasarkan pendapat Taylor maka dapat di ungkapkan dengan kata lain bahwa stres terjadi ketika hormon kortisol (hormon pencetus stres) yang dihasilkan oleh otak kita meningkat karena adanya pemicupemicu tertentu, sehingga kita merasa tegang dan emosi negatif meningkat. 2.1.2 Penyebab Stres Penyebab stres sering disebut dengan stressor. Johns (dalam Luthans, 1992) berpendapat bahwa stressor adalah: “Environmental events thas have the potential to
induce stress.“ Maksud dari pernyataan tersebut, stressor adalah
kejadian-kejadian atau kondisi lingkungan yang berpotensi menimbulkan stres. Taylor (1991) merinci beberapa karakteristik kejadian yang berpotensi sebagai stresor antara lain : 1. Kejadian negatif agaknya lebih banyak menimbulkan stres daripada kejadian positif.
8 2. Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi lebih membuat stres daripada kejadian yang terkontrol dan terprediksi. 3. Kejadian “ambigu” seringkali dipandang lebih mengakibatkan stres daripada kejadian yang jelas. 4. Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas (overload) lebih mudah mengalami stres daripada orang yang memiliki tugas lebih sedikit. Seyle (1983) membedakan stresor menjadi 3 golongan yaitu : 1. Stresor fisikbiologik
dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan
lain-
lain. 2. Stresor psikologis
takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta dan lain-lain.
3. Stresor sosial budaya
menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain.
2.1.3 Sumber-Sumber Stres Sarafino (2006) merumuskan adanya sumber stres, yaitu : 1. Diri individu Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Pendorong dan penarik konflik menghasilkan dua kecenderungan yang berkebalikan, yaitu approach dan avoidance. Kecenderungan ini menghasilkan tipe dasar konflik (Weiten, 1992), yaitu : a. Approach-approach Conflict Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik. Contohnya, individu yang mencoba untuk menurunkan berat badan untuk meningkatkan kesehatan maupun untuk penampilan, namun konflik sering terjadi ketika tersedianya makanan yang lezat.
9 b. Avoidance-avoidance Conflict Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua situasi yang tidak menyenangkan. Contohnya, pasien dengan penyakit serius mungkin akan dihadapkan dengan pilihan antara dua perlakuan yang akan mengontrol atau menyembuhkan penyakit, namun memiliki efek samping yang sangat tidak diinginkan.
Sarafino
(2006)
menjelaskan
bahwa
orang-orang
dalam
menghindari konflik ini biasanya mencoba untuk menunda atau menghindar dari keputusan tersebut. Oleh karena itu, biasanya avoidance-avoidance conflict ini sangat sulit untuk diselesaikan. c. Approach-avoidance Conflict Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak menarik dalam satu tujuan atau situasi. Contohnya, seseorang yang merokok dan ingin berhenti, namun mereka mungkin terbelah antara ingin meningkatkan kesehatan dan ingin menghindari kenaikan berat badan serta keinginan mereka untuk percaya jika mereka ingin berhenti. 2. Keluarga Dari keluarga ini yang cenderung memungkinkan munculnya stres adalah hadirnya anggota baru, sakit, dan kematian dalam keluarga. Sarafino (2006) menjelaskan bahwa perilaku, kebutuhan, dan kepribadian dari setiap anggota keluarga berdampak pada interaksi dengan orang-orang dari anggota lain dalam keluarga yang kadang-kadang menghasilkan stres. Bila salah satu anggota keluarga misalnya anak mengalami suatu penyakit, bagian dari stres berasal dari jumlah waktu yang diperlukan untuk merawat anak dan mengurangi kebebasan dari anggota anggota keluarga. Keluarga juga menghadapi banyak keputusan
10 sulit dan harus belajar tentang penyakit dan cara merawat anak. Kebutuhan anak sakit juga menjadi beban dan dapat menambah tekanan pada keluarga. 3. Komunitas dan masyarakat Kontak dengan orang di luar keluarga menyediakan banyak sumber stres. Misalnya, pengalaman anak di sekolah dan persaingan. 2.2 Cara Menanggulangi Stres Lazarus (1984) mengatakan bahwa cara menanggulangi stres adalah upaya merubah kognitif dan perilaku secara terus-menerus untuk mengelola tuntutan eksternal tertentu yang dinilai meningkat atau melebihi kemampuan seseorang. Menurutnya, coping stres dapat dilakukan dengan cara yaitu emotion focused coping dan problem focused coping. 1. Emotion focused coping dilakukan dengan mengurangi emosi negatif yang ditimbulkan oleh situasi yang tidak menyenangkan. Seperti menghindari (avoidance), meminimalisasi (minimization), memberi jarak (distancing), selective attention, perbandingan positif (positive comparisons), dan mengambil nilai positif dari suatu kejadian negatif. Banyak dari strategi ini berasal dari teori dan penelitian mengenai proses defensif dan digunakan dalam hampir setiap menghadapi stres. Dalam penelitian pada kelompok yang lebih kecil dari strategi kognitif, justru diarahkan untuk meningkatkan tekanan emosional. Beberapa individu perlu merasa buruk sebelum mereka dapat merasa lebih baik; dalam rangka untuk dapat meringankan mereka pertama kali harus mengalami penderitaan yang akut dan dalam menyalahkan diri sendiri atau bentuk lain dari menghukum diri sendiri. Dalam kasus lain, individu sengaja meningkatkan tekanan emosional mereka untuk memobilitasi diri untuk bertindak.
11 2. Problem focused coping dilakukan dengan melakukan tindakan langsung untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu, cara ini sering diarahkan pada mendefinisikan masalah (defining the problem), menghasilkan solusi alternatif (generating alternative solutions), pembobotan alternatif dalam hal cost dan manfaat, memilih antara cost dan manfaat, dan bertindak (acting). Namun fokus cara ini lebih luas mencakup strategi yang berorientasi pada masalah, daripada memecahkan masalahnya sendiri. Contohnya dengan menyusun jadwal belajar untuk menyelesaikan tugas dalam satu semester sehingga mengurangi tekanan pada akhir semester. 2.3 Autis 2.3.1 Definisi Autis Schultz & Anderson (dalam Warsiki, 2007) mengatakan bahwa autis merupakan salah satu gangguan perkembangan pada anak dimana gejalanya muncul sebelum umur 3 tahun yang meliputi tiga gelaja utama yaitu mengalami kesulitan dalam interaksi sosial secara timbal balik, gangguan komunikasi dan tingkah laku terbatas dan berulang-ulang disertai keterbatasan minat, aktivitas dan imajinasi.
Semua
kelompok
atau
keadaan
mirip
autis
disebut
gangguan
perkembangan pervasif atau gangguan spektrum autisme (Gilberg dalam Warsiki, 2007). 2.3.2 Karakteristik dan Diagnosis Gangguan Autis Diagnosis autis menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM IV-TR) (2000) adalah sebagai berikut: 1. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari 1, 2, 3 dengan minimal 2 gejala dari 1 dan masing-masing satu gejala dari 2 dan 3, yang masing-masing adalah:
12 A. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 dari gejala berikut: a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai, kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik kurang tertuju b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya c. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik. B. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut: a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara nonverbal, b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi c. Sering menggunakan bahasa aneh dan diulang-ulang d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru. C. Minat terbatas, perilaku terbatas, dipertahankan dan berulang-ulang. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut: a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang amat khas dan berlebihan b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tak ada gunanya c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
13 2. Sebelum umur tiga tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang a. Interaksi sosial b. Bicara dan berbahasa c. Cara bermain yang monoton, kurang variatif 3. Bukan disebabkan oleh gangguan disintegratif masa kanak. 2.4 Ibu Dewasa Muda (20-40 tahun) 2.4.1 Dewasa Muda Pada tahap perkembangannya, dewasa muda masuk pada usia 20-40 tahun. Pada tahap perkembangan ini, terdapat beberapa perkembangan dalam diri dewasa muda (young adulthood) yang perlu diperhatikan yaitu perkembangan fisik, kognitif dan psikososial (Papalia, Olds & Feldman, 2007). 1. Perkembangan Fisik Pada perkembangan fisik, dewasa muda memiliki kondisi tubuh yang prima. Kebanyakan orang dewasa muda berada di puncak kesehatan, kekuatan, energi, daya tahan, dan fungsi sensori dan motorik. Dasar fungsi fisik seumur hidup diletakkan terdapat pada dewasa muda. Kesehatan pada sebagian orang dipengaruhi oleh gen, namun juga dipengaruhi oleh faktor perilaku. Kesehatan yang dipengaruhi oleh faktor gen seperti atherosclerosis atau menyempitnya pemuluh darah, dan kolesterol. Kesehatan yang dipengaruhi oleh faktor perilaku seperti diet dan kontrol berat badan, tidur, aktifitas fisik, perilaku merokok, pengunaan alkohol atau obat-obatan terlarang, yang semua itu berpengaruh besar terhadap kesehatan sekarang dan di masa yang akan datang.
14 Pada dewasa muda, terdapat pula aktivitas seksual dan reproduksi yang dapat memberikan kesenangan dan juga sebagai orang tua. Fungsi ini alami dan penting yang juga dalam melibatkan masalah fisik. Terdapat tiga masalah penting pada tahap ini, seperti gangguan yang berhubungan dengan menstruasi, penyakit menular seksual, dan infertilitas. Pada menstruasi, terdapat gangguan yang disebut premenstual syndrome (PMS), yaitu gangguan yang menyebabkan ketidaknyamanan fisik dan ketegangan emosi selama 2 minggu sebelum menstruasi, seperti letih, sakit kepala, keram, bertambahnya berat badan, cemas, dan lain-lain. Pada PMS, orang dewasa juga memiliki resiko tinggi apabila mereka sering melakukan hubungan seksual yang beresiko seperti melakukan seks bebas. Selain itu, orang dewasa muda juga bisa mengalami infertilitas, yaitu ketidakmampuan untuk menghasilkan anak setelah 12-18 bulan berusaha. Pada pria, umumnya infertilitas disebabkan oleh produksi sperma pria yang terlalu sedikit. Sedangkan pada wanita disebabkan oleh kegagalan untuk menghasilkan sel telur atau sel telur yang normal, adanya lendir di leher rahim yang menghalangi sperma untuk penetrasi, atau endometriosis (penyakit dalam kandungan yang menyebabkan terhalangnya implantasi sel telur). 2. Perkembangan Kognitif Pada perkembangan kognitif, meskipun Piaget (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007) menyatakan bahwa dewasa muda berada pada tahap berpikir formal operational sebagai tahapan yang terakhir, namun beberapa ilmuwan menyatakan bahwa perkembangan kognitif terus berlanjut diluar tahapan tersebut. Beberapa teori yang menyempurnakan pandangan Piaget adalah:
15 a. Reflective Thinking, merupakan jenis berpikir logis yang sering terjadi pada masa dewasa, dimana terjadi proses informasi dan keyakinan yang berkelanjutan, evaluasi aktif berdasarkan bukti dan implikasi. Hal ini pertama kali dikemukakan oleh John Dewey. b. Postformal Thought, merupakan tahap kognisi orang dewasa yang tertinggi, ditandai dengan kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian, tidak konsistensi, kontradiksi, ketidaksempurnaan, dan kompromi. Beberapa kriteria postformal thought ini adalah: 1. Shifting gears
mampu mengalihkan antara penalaran abstrak dan praktis.
2. Problem definition
mampu mendefinisikan masalah.
3. Process-product shift
mampu menyelesaikan masalah baik melalui proses umum lewat permasalahan yang hampir sama maupun melalui solusi kongkrit.
4. Pragmatism
mampu memilih yang terbaik dari antara solusi logis.
5. Multiple solutions
kesadaran bahwa masalah memiliki lebih dari 1 penyebab.
6. Awareness of paradox
mengenali
bahwa
masalah
atau
solusi
merupakan konflik yang tidak tuntas. 7. Self-referential thought
kesadaran untuk melakukan penilaian terhadap solusi mana yang logis. Dapat dikatakan orang tersebut menggunakan postformal thought.
16 Berbeda dengan Piaget, Schaie (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007) melihat bahwa perkembangan kognitif dewasa muda dengan memperhatikan perkembangan
intelektual
dalam
konteks
sosial.
Menurutnya,
pada
perkembangan kognitif dewasa muda, terjadi peralihan dari pendalaman informasi dan keterampilan (apa yang perlu saya tahu) ke integrasi praktis pengetahuan dan keterampilan (bagaimana menerapkan apa yang saya tahu), hingga pencarian makna dan tujuan (mengapa saya harus tahu). Terdapat 7 tahapan perkembangan kognitif menurut Schaie, yaitu: 1. Acquisitive stage (kanak-kanak dan remaja) 2. Achieving stage (remaja akhir atau awal 20 tahun–awal 30 tahun) 3. Responsible stage (akhir 30 tahun–awal 60 tahun) 4. Executive stage (30–40 tahun–paruh baya) 5. Reorganizational stage (akhir paruh baya–awal lansia) 6. Reintegrative stage (lansia) 7. Legacy-creating stage (di atas lansia) Sejalan dengan Schaie, menurut Sternberg (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007) perkembangan kognitif pada dewasa muda dapat dilihat dari aspek kecerdasannya. Menurut Sternberg, ada 2 aspek kecerdasan yang luput dari pengujian psikometri, yaitu: 1. Experiential element atau insight yang kreatif. 2. Contextual element atau kecerdasan praktis. Salah satu aspek penting dari elemen ini adalah tacit knowledge, yaitu informasi yang tidak diajarkan secara formal atau terbuka namun diperlukan untuk berfungsi.
17 Pada dewasa muda, perkembangan kognitif juga dapat dilihat dari perkembangan emosi mereka. Peter Salovey & John Mayer (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007) menciptakan istilah emotional intelligence (EI) dalam menjelaskannya, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengatur emosi. Menurut Goleman (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007), terdapat kompetensi EI pada dewasa muda, yaitu: 1. Self-awareness
emotional self-awareness, penilaian diri yang akurat, dan percaya diri
2. Self-management
kontrol
diri,
kepercayaan,
kesungguhan,
adaptasi, dorongan mencapai hasil, dan inisiatif 3. Social awareness
empati, orientasi pelayanan, dan kesadaran organisasi.
4. Relationship management
membangun pengaruh,
orang
komunikasi,
lain,
menggunakan
manajemen
konflik,
kepemimpinan, menjadi katalisator perubahan, membangun ikatan dan kerja sama, serta kolaborasi 3. Perkembangan Psikososial Pada orang dewasa muda, perkembangan psikososial mereka dibagi menjadi 4 pendekatan klasik, yaitu normative-stage models, timing of events model, trait model dan typological models. 1. Normative-Stage Models Menurut pendekatan ini, orang dewasa muda mengikuti dasar rangkaian yang sama dengan perubahan psikososial berdasarkan usia.
18 Perubahan merupakan hal yang normatif, yang umum terjadi pada semua orang. Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007), dewasa muda masuk dalam tahap keenam perkembangan psikososial, yaitu intimacy vs isolation. Intimacy adalah kemampuan mengembangkan identitas dirinya untuk siap memadukannya dengan identitas orang lain tanpa takut kehilangan identitas dirinya sendiri. Jika orang dewasa muda tidak dapat membuat komitmen yang dalam dengan orang lain, maka ia terisolasi dan asyik dengan diri sendiri. Resolusi dari tahap ini menghasilkan love, pada saat itu orang dewasa muda akan menjalin hubungan yang serius dengan pasangannya dan menikah, memiliki anak, dan membantu anak-anak mencapai perkembangan kesehatan mereka sendiri. Levinson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007) melalui wawancara mendalam dan tes kepribadian terhadap 40 pria berusia 35 sampai 45 tahun, membentuk teori perkembangan kepribadian yang berdasar pada life structure. Life structure adalah pola kehidupan seseorang pada waktu tertentu, yang dibangun diatas aspek apapun dalam hidup yang dianggap paling penting, dimana masing-masing dibagi kedalam tahap masuk dan memuncak.
Setiap
fase
memiliki
tugasnya
masing-masing
yang
pencapaiannya akan menjadi dasar untuk life structure yang akan datang. Oleh karena itu, tugas perkembangan yang harus dilewati oleh dewasa muda adalah tantangan yang perlu dicapai agar dapat beradaptasi pada setiap tahap kehidupan.
19 Pada studi longitudinal yang dilakukan Levinson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007), ditemukan bukti dari perubahan kepribadian normatif pada dewasa muda. Satu perubahan tersebut di masa dewasa muda adalah meningkatnya dan kemudian penurunan sifat yang terkait dengan feminitas (simpati dan kasih sayang di kombinasikan dengan rasa kerentanan, kritik diri, dan kurang percaya diri serta inisiatif). Antara umur 27 dan 43 tahun, para wanita lebih mengembangkan disiplin diri dan komitmen, kemandirian, kepercayaan diri, dan keterampilan coping. 2. Timing of Events Model Menurut pendekatan ini, perkembangan tergantung peristiwa tertentu yang dialami seseorang. Orang biasanya sadar dengan waktunya masingmasing dan social clock. Sosial clock adalah seperangkat norma budaya atau harapan terhadap peristiwa penting tertentu yang seharusnya terjadi, misalnya menikah, bekerja, pensiun dan lain-lain. Bila peristiwa kehidupan muncul tepat waktu maka perkembangannya berjalan lancar. Namun jika tidak, maka orang dewasa muda akan mengalami stres. Stres dapat muncul akibat peristiwa yang tidak diharapkan seperti dipecat, menjadi janda saat berusia 35 tahun, dan lain-lain. 3. Trait Models Trait models menekankan pada stabilitas atau perubahan pada trait kepribadian. Costa dan McCrae (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007) mengembangkan five-factor model dalam menjelaskan perubahan trait kepribadian, yaitu:
20 a. Neuroticism
cemas, kasar, depresi, impulsif, kesadaran diri, mudah diserang.
b. Extraversion
mencari kesenangan, asertif, aktif, hangat, emosi, positif, senang berkumpul.
c. Agreeableness
mementingkan orang lain, kerelaan, sabar, percaya, sederhana, berterus terang.
d. Conscientiousness
pencapaian prestasi, pertimbangan kompeten, disiplin diri, perintah, memenuhi tugas.
e. Openness to Experience fantasi, estetika, perasaan, tindakan, ide, nilai. 4. Typological Models Pendekatan ini melihat kepribadian sebagai suatu keseluruhan fungsi. Block mengidentifikasikan tipe kepribadian dasar, yaitu: a. Ego resiliency Mampu beradaptasi terhadap stres, dengan mengaturnya melalui: percaya diri, mandiri, mampu mengutarakan pikiran, penuh perhatian, penolong, bekerja sama, dan fokus pada tugas. b. Ego control (Kontrol Diri) Kontrol
diri
dibedakan
menjadi
dua,
yaitu
overcontrolled
dan
undercontrolled. Overcontrolled merupakan orang dewasa muda yang merasa malu, kesepian, cemas, dan bisa dipercaya, sehingga mereka cenderung menjaga pikiran mereka sendiri dan menarik diri dari konflik, dan mereka merupakan subyek yang kebanyakan mangalami depresi. Sedangkan undercontrolled merupakan orang dewasa muda yang aktif, energik, impulsif, keras kepala, dan mudah merasa bingung.
21 2.4.2 Ibu Dewasa Muda Seperti yang telah dijelaskan diatas, dewasa muda dalam perkembangan psikososialnya, yang harus dilewati adalah intimacy. Intimacy adalah kemampuan mengembangkan identitas dirinya untuk siap memadukannya dengan identitas orang lain tanpa takut kehilangan identitas dirinya sendiri. Pada saat itu pula, seorang wanita menjalin hubungan yang serius dengan pasangannya dan menikah, memiliki anak, dan membantu anak-anak mencapai perkembangan kesehatan mereka sendiri. Menurut Neugarten, Moore & Lowe (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007), ibu dewasa muda juga melawati normative life events dan social clock. Normative life events adalah mengikuti perubahan normatif yang berlaku umum berlaku di masyarakat. Social clock adalah seperangkat norma atau harapan masyarakat terhadap peristiwa penting tertentu yang seharusnya terjadi, misalnya menikah, memiliki anak, bekerja, pensiun dan lain-lain, sehingga apabila suatu kejadian terjadi tidak pada waktunya, maka akan menghasilkan stres. 2.5 Kerangka Pemikiran Ibu yang memiliki anak autis mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dari ibu dari anak-anak normal. Yang dilihat dalam penelitian ini adalah sumber stres dan cara menanggulangi stres pada subyek.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran sumber stres dan cara menanggulangi stres yang dialami ibu dewasa muda yang memiliki anak autis di Jakarta.
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Sumber-sumber stres mengacu pada teori Sarafino (2006), dan cara menanggulangi stres mengacu pada teori Lazarus & Folkman.
22 Autis atau gangguan autistik adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak (Nevid, Rathus & Greene, 2005). Nevid, Rathus & Greene (2005) juga mengatakan bahwa gangguan autis merupakan gangguan yang bersifat kronis dan seumur hidup. Tidak mudah bagi orang tua untuk dapat menerima ketika pertama kali mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan autis. Memiliki anak autis dapat menyebabkan stres tersendiri bagi seorang ibu. Kira (2004) mengatakan bahwa ketika orang tua melihat balita dan anak-anak lain berkembang berbeda dengan anaknya, maka mereka akan mulai cemas. Selain itu, Fisman dkk (dalam Ericzon, 2005) juga mengatakan bahwa ibu dengan anak ASD dilaporkan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dan kemampuan pengasuhan yang lebih rendah dibandingkan ibu dari anak-anak normal. Stres adalah reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri dari tekanan secara psikis (Wijono, 2006). Stres yang dialami seseorang dapat bersumber darimana saja. Sarafino (2006) membagi sumber stres menjadi tiga yaitu dari diri sendiri, keluarga serta komunitas dan masyarakat. Untuk mengatasi stres yang ada, maka diperlukan strategi untuk menanggulangi stres yang tepat. Lazarus & Folkman (1984) menjelaskan bahwa cara menanggulangi stres adalah upaya merubah kognitif dan perilaku secara terus-menerus untuk mengelola tuntutan eksternal tertentu yang dinilai meningkat atau melebihi kemampuan seseorang. Cara menanggulanginya dapat dilakukan dengan cara yaitu emotion focused coping dan problem focused coping.