1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Force majeure atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan keadaan kahar telah sering kita dengar dalam setiap perjanjian atau kontrak.1 Klausul force majeure ini hampir selalu ada dalam setiap perjanjian yang dibuat. Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam 1
http://thepresidentpostindonesia.com/2013/04/22/force-majeure-keadaan-kahar-dalamsuatu-kontrak, diakses pada tanggal 16 Maret 2015, pukul 15.25 WITA.
2
KUHPerdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan. 3. Mengenai suatu hal tertentu. Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira. 4. Suatu sebab yang halal. Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun, apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan. Dalam melakukan suatu bisnis, pelaku usaha diwajibkan untuk selalu membaca dengan hati-hati mengenai seluruh klausul yang terdapat dalam perjanjian. Akan fatal akibatnya jika pelaku usaha hanya membaca sekilas dan
3
tidak mengerti isi perjanjian bahkan tidak sedikit pelaku usaha yang meminta bantuan jasa dari seorang ahli hukum untuk membantu menafsirkan isi perjanjian maupun untuk dalam tahapan negosiasi perjanjian. Dari sekian banyak klausul yang terdapat dalam perjanjian, terdapat satu klausul yang selalu ada, yaitu klausul mengenai force majeure. Klausul ini muncul karena adanya kebutuhan pengaturan untuk hal-hal yang mungkin terjadi dimasa mendatang yang dapat berpotensi untuk menimbulkan konflik antara para pihak dalam perjanjian. Force majeure atau keadaan memaksa ini dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena suatu keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya perjanjian, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Peristiwa force majeure sering dikaitkan dengan suatu kejadian yang disebabkan oleh kekuatan yang lebih besar biasanya berupa gempa bumi, banjir, gunung meletus (acts of god), perang, kerusuhan, tindakan pemerintah, tindakan teroris dan lain-lain yang menghalangi pihak untuk berprestasi terkait suatu perjanjian. Atas dasar adanya force majeure ini, pihak yang tidak berprestasi tersebut dibebaskan dari ganti rugi karena perbuatannya dianggap bukan sebagai tindakan wanprestasi. Akibat tidak adanya suatu definisi yang tegas terhadap force majeure, beragam interpretasi muncul termasuk dari para ahli hukum sehingga tidak jarang perbedaan interpretasi itu berujung masalah dikemudian hari. Salah satu upaya
4
para pihak untuk mencegah perbedaan interpretasi mengenai force majeure adalah dengan memasukkan secara terperinci mengenai keadaan-keadaan yang dianggap sebagai force majeure. Hal tersebut ternyata tidak cukup malah cenderung semakin mengaburkan gambaran mengenai force majeure. Ditambah pula dengan adanya perkembangan mengenai teori force majeure relatif dan teori force majeure absolut. Teori force majeure relatif yaitu keadaan yang menyebabkan debitor masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar, yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar dan teori force majeure absolut yaitu suatu keadaan dimana debitor sama sekali tidak dapat memenuhi prestasinya kepada kreditor oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang dan adanya lahar2. Hal ini menyebabkan force majeure memiliki dimensi yang luas dan harus dilihat secara kasus per kasus untuk penetapannya. Sedikit putusan pengadilan Indonesia yang memutus suatu keadaan dianggap sebagai keadaan memaksa. Seperti kasus antara Syahrini (penyanyi) dengan promotor acara di Bali. Dalam kasus ini, Syahrini dituntut ganti rugi akibat dianggap telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan prestasinya untuk menyanyi. Syahrini mendalilkan hal itu sebagai force majeure dengan alasan ia harus menemani ayahnya yang sedang sakit di Rumah Sakit. Pihak promotor tidak setuju terhadap dalil tersebut karena menurut kuasa hukumnya hal tersebut tidak tercantum dalam klausul force majeure perjanjian 2
https://www.scribd.com/doc/90692489/8/B-PengertianKeadaan Majeure, diakses pada tanggal 21 Maret 2015, pukul 08.58 WITA.
Memaksa
Force-
5
yang telah mereka sepakati. Kedua belah pihak melalui kuasa hukumnya masingmasing saling beradu argumen mengenai alasan sakit ayah Syahrini dapat dikategorikan sebagai suatu keadaan memaksa atau force majeure. Kasus ini terus bergulir dan akhirnya berujung di Pengadilan. Kasus ini terlihat sederhana akan tetapi ternyata efek dari kasus ini jauh dari kata sederhana. Penulis berasumsi bahwa kemungkinan besar tidak pernah terlintas dalam pikiran Syahrini maupun promotornya untuk memasukkan alasan sakit atau meninggalnya ayah Syahrini sebagai suatu keadaan memaksa atau force majeure dalam perjanjian mereka. Batal menyanyinya Syahrini pada acara tersebut tentunya mengakibatkan promotor mengalami kerugian nyata dan kehilangan keuntungan yang diharapkan bila Syahrini melaksanakan prestasinya. Promotor mungkin telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit baik untuk promosi, reservasi tempat, waktu, tenaga dan lain-lain. Ditambah pula dengan kontrak-kontrak terkait lain yang telah dibuat oleh promotor acara tersebut dan reputasi promotor yang tentunya sulit dinilai dengan uang. Dalam perjanjian, kedua belah pihak yang mampu menyerahkan, melaksanakan dan tidak melaksanakan yang telah diperjanjikan/sesuai perjanjian maka hal itu disebut dengan prestasi. Namun, dalam suatu perjanjian kadangkala salah satu pihak tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah tertuang dalam kontrak. Hal ini tentunya akan mengakibatkan kerugian yang diderita oleh pihak yang lain dalam kontrak. Hal inilah yang disebut wanprestasi. Wanprestasi adalah pihak yang membuat perjanjian tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan.
6
Bentuk wanprestasi/ketidaklanaan dapat terwujud dalam beberapa bentuk yaitu:3 a. Debitor sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya; b. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya/ melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya; c. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; d. Debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan risiko maupun membayar biaya perkara. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas maka penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “PENYELESAIAN
SENGKETA
WANPRESTASI
KARENA
FORCE
MAJEURE PADA PERJANJIAN KERJASAMA DALAM BIDANG JASA HIBURAN”. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1.
Apakah yang menjadi akibat hukum pada perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan sebagai dampak adanya wanprestasi force majeure? 3
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan Pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.70.
7
2.
Bagaimanakah upaya hukum pihak yang dirugikan dalam hal terjadinya force majeure yang mengakibatkan terjadinya wanprestasi terhadap perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Agar pembahasan tidak menyimpang dari permasalahan yang dirumuskan, maka ruang lingkup masalah pertama yang akan dibahas menyangkut akibat hukum pada perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan sebagai dampak adanya wanprestasi force majeure dan upaya hukum pihak yang dirugikan dalam hal terjadinya force majeure yang mengakibatkan terjadinya wanprestasi terhadap perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan. 1.4. Orisinalitas Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan
di
Indonesia,
maka
mahasiswa
diwajibkan
untuk
mampu
menunjukkan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian ini, peneliti akan menampilkan 3 (tiga) skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan force majeure antara lain: No
Judul Skripsi
Penulis
Rumusan Masalah
1.
Tinjauan Hukum
Adrita, 2011,
1. Bagaimanakah tinjauan
Terhadap Klausula
Fakultas Hukum
klausula Force Majeure
Force Majeure Dalam
Program Magister
dalam ESC ini
Energy Sales Contract
Kenotariatan,
dihubungkan dengan
Antara PLN,
Universitas
asas kebebasan
8
PERTAMINA, Dan
Indonesia.
PT XYZ
berkontrak? 2. Bagaimana memberikan perlindungan hukum terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menjadi pihak pada ESC ini, dalam hal diterbitkannya suatu Keputusan Presiden yang menangguhkan ataupun membatalkan ataupun mengkaji ulang ESC ini?
2.
Risiko Dalam
Sidik Purnomo
1. Bagaimana risiko yang
Perjanjian Kredit
Jati, 2012,
dihadapi oleh Bank
Usaha Rakyat (KUR)
Fakultas Hukum
Rakyat Indonesia Unit
Akibat Force Majeure
Universitas Gajah
Cangkringan apabila
Di Bank Rakyat
Mada.
terjadi Force Majeure
Indonesia Unit
pada pelaksanaan
Cangkringan
perjanjian Kredit Usaha Rakyat (KUR)?
9
2. Bagaimanakah upaya hukum yang dilakukan oleh pihak Bank Rakyat Indonesia Unit Cangkringan apabila terjadi Force Majeure pada pelaksanaan perjanjian Kredit Usaha Rakyat (KUR)?
3.
Analisis Klausula
Jeffry, 2012,
Force Majeure Dalam
Fakultas Hukum
mencantumkan klausula
Suatu Perjanjian (Studi
Universitas
Force Majeure dalam
Terhadap Putusan
Sumatera Utara.
suatu perjanjian?
Mahkamah Agung No. 587/PK/PDT/2010)
1. Bagaimana pentingnya
2. Bagaimana suatu keadaan memaksa (Force Majeure) yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia? 3. Bagaimana penerapan klausula Force Majeure oleh Mahkamah Agung
10
Republik Indonesia dalam putusan MARI No. 587/PK/Pdt/2010?
1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan Umum 1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan mahasiswa. 2. Untuk mengetahui alasan menggunakan klausula force majeure dalam suatu perjanjian kerjasama. 3. Untuk mengetahui suatu force majeure yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia. 1.5.2. Tujuan Khusus 1. Untuk memahami akibat hukum terhadap perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan sebagai dampak adanya wanprestasi force majeure. 2. Untuk memahami upaya hukum pihak yang dirugikan dalam hal terjadinya force majeure yang mengakibatkan terjadinya wanprestasi terhadap perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan. 1.6. Manfaat Penelitian 1.6.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berguna dalam pengembangan ilmu hukum cabang hukum bisnis khususnya bidang
11
hukum perdata berkaitan dengan wanprestasi akibat terjadinya force majeure dalam perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan. 1.6.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dibidang hukum bisnis khususnya bidang hukum perdata berkaitan dengan wanprestasi akibat terjadinya force majeure dalam perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan. 1.7. Landasan Teoritis Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi. Dalam terjadinya kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek.4 Hal ini diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut: “Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja”.
4
Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal.147.
12
Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Menurut kamus hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian.5 Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian6 dan bukan dalam keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.7 Menurut J Satrio: “Wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya”.8 Yahya Harahap: “Wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.9 Pada pelaksanaan perjanjian, para pihak yang telah mengikatkan diri, harus melaksanakan apa yang telah diperjanjikan dan apa yang telah menjadi
5
Nindyo Pramono, 2003, Hukum Komersil, Cetakan Pertama, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, hal.221. 6 R. Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Cetakan Keenam, Putra Abadin, Jakarta, hal.18. 7 Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal.25. 8 https://shareshareilmu.wordpress.com/2012/02/05/wanprestasi-dalam perjanjian/, diakses pada tanggal 21 Maret 2015, pukul 08.40 WITA. 9 Ibid.
13
kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperjanjikan disebut sebagai prestasi. Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah ketika para pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan/wanprestasi. Untuk melepaskan dirinya dari tuntutan membayar ganti rugi, pihak yang dituduh melakukan wanprestasi dapat memberikan pembelaan di depan hakim. Salah satunya adalah dengan membuktikan telah terjadi force majeure. Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat
dibuatnya
kontrak,
keadaan
atau
peristiwa
tersebut
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Dalam hukum Indonesia, dasar hukum perjanjian atau kontrak yang utama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), namun apabila dilihat secara seksama, tidak ada pasal khusus yang mengatur tentang force majeure. Pengaturan terkait force majeure dalam KUHPerdata terdapat dalam Pasal 1244 KUHPerdata dan Pasal 1245 KUHPerdata. Dalam Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disebutkan: “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepat waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal
14
yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada iktikad buruk padanya”. Dalam Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disebutkan: “Tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi scara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya”. Dari rumusan-rumusan dalam pasal KUHPerdata seperti tersebut diatas dapat dilihat kausa-kausa force majeure menurut KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:10 1. Force majeure karena sebab-sebab yang tak terduga. 2. Force majeure karena keadaan memaksa. 3. Force majeure karena masing-masing perbuatan tersebut dilarang. Force majeure dapat dibagi dalam beberapa bentuk. Bentuk-bentuk force majeure tersebut adalah: 11 1. Force majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga. Dalam hal ini, menurut Pasal
1244
KUHPerdata,
jika
terjadi
hal-hal
yang
tidak
terduga
(pembuktiannya dipihak debitur) yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak, hal tersebut bukan termasuk dalam kategori wanprestasi kontrak, melainkan termasuk kedalam kategori force majeure,
10 http://ocw.usu.ac.id/course/download/10500000010-hukum-perusahaan/kn_508_slide_ force_majeure_dan_akibat-akibat_hukumnya.pdf, diakses pada tanggal 16 Maret 2015, pukul 20.15 WITA. 11 Ibid.
15
yang pengaturan hukumnya lain sama sekali. Kecuali jika debitur beriktikad jahat, dimana dalam hal ini debitur tetap dapat dimintakan tanggung jawabnya. 2. Force majeure karena keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1245 KUHPerdata. Sebab lain seorang debitur dianggap dalam keadaan force majeure
sehingga
dia
tidak
perlu
bertanggung
jawab
atas
tidak
dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa. 3. Force majeure karena perbuatan tersebut dilarang. Apabila ternyata perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur ternyata dilarang (oleh perundangundangan yang berlaku), maka kepada debitur tersebut tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi (Pasal 1245 KUHPerdata). 1.8.
Metode Penelitian Sebagaimana diketahui bahwa dalam penulisan suatu karya ilmiah, salah
satu komponen penentu sebagai syarat metode yang dipergunakan untuk pencarian data dari hasil karya tulis tersebut, dalam hal ini adalah metode penelitian. Metode penelitian adalah “mengamati secara langsung atau menyelidiki dari dekat ke lapangan dengan membandingkan-bandingkan antara teori dan praktiknya”.12 Menururt Sutrisno Hadi yang dimaksud dengan metodelogi ialah suatu cara/metode untuk memberikan garis-garis yang cermat dan mengajukan syaratsyarat yang keras, yang maksudnya adalah menjaga ilmu pengetahuan yang 12
Winarmo Surachmad, 1970, Metode Research (Pengantar Penyelidikan Ilmiah), Tarsito, Bandung, hal.56.
16
dicapai dari suatu research dapat mempunyai harga ilmiah yang setinggitingginya.13 1.8.1. Jenis Penelitian Permasalahan yang telah dirumuskan di atas akan dijawab atau dipecahkan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis (hukum dilihat sebagai norma atau das sollen), karena dalam membahas permasalahan penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum yiatu baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis atau baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder). Pendekatan empiris (hukum sebagai kenyataan sosial, kultural atau das sein), karena dalam penelitian ini digunakan data primer yang diperoleh dari lapangan. Jadi, pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini maksudnya adalah bahwa dalam menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara memadukan bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder) dengan data primer yang diperoleh di lapangan yaitu tentang penyelesaian sengketa wanprestasi karena force majeure pada perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan. 1.8.2 Sifat Penelitian Seperti telah dijelaskan bahwa jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian empiris. Sifat penelitiannya adalah penelitian empiris deskriptif. Penelitian empiris deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, 13
Sutrisno Hadi, 1979, Metodelogi Reserch, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal.4.
17
karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. 1.8.3. Jenis Pendekatan Untuk menunjang pembahasan tulisan ini, menggunakan jenis pendekatan yaitu pendekatan undang-undang (statue aprroach), yaitu dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.14 Adapun dalam penelitian ini, isu tentang terjadinya wanprestasi yang diakibatkan oleh force majeure. 1.8.4. Sumber Data 1. Data Primer Bersumber dari penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik dari responden maupun informan. 2. Data Sekunder Untuk
mendapatkan
data
sekunder
dilakukan
melalui
penelitian
kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan berbagai data yang diperoleh dari menelaah literatur, majalah di bidang hukum guna menemukan teori yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Mengenai data sekunder ini berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: a.
Sumber bahan hukum primer, yaitu bahan yang isinya mengikat, karena dikeluarkan oleh pemerintah, seperti peraturan perundang-undangan.
b.
Sumber bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang isinya membahas bahan primer, seperti buku, majalah dan artikel.
14
Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal.93.
18
c.
Sumber bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan-bahan primer dan sekunder.15 Berkaitan dengan jenis-jenis data sekunder di atas, maka dalam penulisan
laporan ini akan digunakan: a. Sumber bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; b. Sumber bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku, majalah, artikel tentang hukum perjanjian. 1.8.5. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi ini dilakukan penelitian secara empiris dan yuridis atau lapangan dan kepustakaan yaitu: a. Penelitian
lapangan
(field
research)
dimaksudkan
untuk
memperoleh data primer yaitu dengan cara mewawancarai notaris mengenai penggunaan klausula force majeure pada perjanjian dan cara menanggulangi wanspretasi karena force majeure, terlebih dahulu disiapkan pedoman wawancara. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh
data
yang
dapat
dipertanggung
jawabkan
kebenarannya terhadap masalah yang diteliti. b.
Penelitian kepustakaan (library research) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder. Hal ini dilakukan dengan mempelajari
15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.12.
19
buku-buku teks, peraturan perundang-undangan, pendapat para sarjana serta putusan-putusan hakim.16 1.8.6. Teknik Analisis Data Untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi dilakukan dengan teknik analisis kualitatif atau sering dikenal dengan analisis deskriptif kualitatif yang menurut I Made Winartha yaitu :17 “metode analisis deskriptif kualitatif yaitu menganalisis, menggambarkan, dan meringkas berbagai kondisi, situasi dari berbagai data yang dikumpulkan berupa hasil wawancara atau pengamatan mengenai masalah yang diteliti yang terjadi dilapangan”. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi dan sebagainya.18
16
Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.101. 17 Winartha, I Made, 2006, Metode Penelitian Sosial Ekonomi, Andi, Yogyakarta, hal. 155. 18 Moleong, Lexy, J, 2006, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.247.