Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
TERNYATA BANGSA KITA BANGSA YANG HEBAT Oleh: Asep Supriyadi, S.PdI*
ISTILAH BANGSA, SYU’UB DAN UMMAT. Kata bangsa lebih populer di kalangan masyarakat Indonesia. Sedangkan Syu’ub, ummat dan kaum telah kita dapati dalam al-Qur’ân. Namun, apakah keempat kata tersebut semakna atau berbeda? Para ahli bahasa telah menganalisa ketiga bahasa tersebut. Menurut Quraish Shihab bahwa kata bangsa yang semakna dengan nation baru muncul pada abad 18. Masih menurutnya, kata bangsa diperkenalkan kepada umat Islam oleh Napoleon ketika ekspedisi ke Mesir.[1] Ketika itu, Napoleon dalam maklumatnya menyebutkan istilah al-Ummat al-Mishriyah. Pengungkapan istilah al-Ummat al-Mishriyyah digunakan oleh Napoleon sebagai langkah politis untuk menjauhkan bangsa Mesir dari para penguasanya yang beragama Islam. Sehingga, istilah baru ini mendampingi istilah yang selama itu telah amat dikenal, yaitu alUmmah al-Islamiyyah. Al-Ummah al-Mishriyyah dipahami semakna dengan bangsa Mesir. Pada perkembangan selanjutnya lahirlah ummah lain, atau bangsa-bangsa lain. Terlepas dari motif Napoleon dalam kronik ini, kata bangsa disamakan maknanya dengan kata ummat. Menurut penulis, kata al-Ummah al-Mishriyyah lebih dikhususkan dan lebih tersekat oleh batas geografis karena sudah disandingkan dengan al-Mishriyyah. Sedangkan al-Ummat alislamiyyah tidak ada batas geografis hanya saja disatukan oleh sifat keislaman. Inilah politik pecah belah yang dilancarkan oleh Napoleon untuk memecah rakyat dengan pemerintahannya ketika itu. Disisi lain, apabila hanya kata ummat saja, maka kata tersebut lebih umum yang apabila diterjemahkan berdasarkan kronik tersebut adalah semakna dengan bangsa (nation). Kata ummat dalam al-qur’an disebutkan sebanyak 51 kali dalam al-Qur’ân, dengan makna yang berbeda-beda. Al-Raghib al-Isfahani pakar bahasa yang menyusun kamus alQur’ân al-Mufradat fi Gharib al-Qur’ân menjelaskan bahwa ummat adalah “kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri”.[2] Dari pendapat ini meniscayakan adanya sebuah persamaan dalam sebuah kelompok. Tidak hanya manusia yang berkelompok yang dinamakan umat, binatang pun dapat dikatakan
1/9
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
ummat sebagaimana yang tertera dalam surat al-An’âm [6]: 38. “Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS al-An’âm [6]: 38). Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh al-Qur’ân. Ada yang berpendapat minimal empat puluh atau seratus orang. Tetapi, sekali lagi al-Qur’ân pun menggunakan kata umat bahkan untuk seseorang yang memiliki sekian banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh banyak orang. Nabi Ibrâhîm u misalnya disebut sebagai umat oleh alQur’ân surat al-Nahl [16]: 20 20. “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif]. dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (QS al-Nahl [16]: 20) Dalam tafsir jalaalain, disebutkan bahwa kata ummat ditafsirkan sama dengan bangsa[3]. Disamping term ummat, bangsa juga sepadan dengan kaum dan golongan. Dengan pengertian tersebut maka bangsa merupakan satu kesatuan dari individu yang memiliki karakteristik yang ditinjau dari tempat tinggal dan ras. Masih dalam tafsir jalaian, disebutkan bahwa secara umum, bangsa dibagi menjadi tiga yakni bangsa manusia, bangsa jin dan bangsa malaikat.[4] Kata syu’ub juga diterjemahkan sebagai "bangsa" seperti ditemukan dalam terjemahan alQur’ân yang disusun oleh Departemen Agama RI, ketika menafsirkan surat al-Hujurât [49]: 13. Kata sya'b, yang hanya sekali ditemukan dalam al-Qur’ân, itu pun berbentuk plural, dan pada mulanya mempunyai dua makna, yakni cabang dan rumpun. Pakar bahasa Abû 'Ubaidah seperti dikutip oleh al-Tabarsi dalam tafsirnya memahami kata sya'b dengan arti kelompok nonArab, sama dengan qabilah untuk suku-suku Arab[5]. Dengan demikian, kata sya’b merupakan kelompok yang memiliki kesamaan sehingga bersatu dalam suatu rumpun dan cabang. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “bangsa” didefinisikan sebagai "kesatuan orangorang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri[6]." Dari uraian tentang ummat, syu’ub dan bangsa dapat ditarik sebuah benang merah bahwa ketiganya merupakan sebuah kesatuan kesamaan dari beberapa unsur seperti tempat, ras, agama, adat, bahasa dan sejarah dalam waktu tertentu. Dengan demikian, Indonesia secara keseluruhan dapat dikatakan bangsa dan sepadan dengan ummat.
THINK BIG ABOUT INDONESIA Bukan tanpa alasan logis mengapa bangsa kita disebut bangsa yang hebat. Memang benar dan sejatinya seperti itu, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang hebat. Mari kita telusur sejarah bangsa kita. Sejarah bangsa kita sangat hebat. Kita ingat pada tahun 700-1025 berdiri megah kerajaan Sriwijaya dengan kekuasaan wilayah yang sangat luas, yaitu sampai ke
2/9
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
daratan Asia tenggara dan Philipina. Setelah Sriwijaya runtuh, berdirilah kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M. Melalui Patih Gajah Mada kerajaan ini berhasil menguasai seluruh nusantara dan beberapa dareah di luarnya[7]. Betapa Indonesia adalah negara yang sangat kaya sumber daya alam dan budaya dengan wilayah yang amat luas. Pulau-pulaunya yang mencapai 18.000 buah besar dan kecil terhampar di garis khatulistiwa antara benua Asia dan Australia serta antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Jumlah pulau-pulau yang kita miliki juga terbesar di dunia.[8] Dari segi astronomi, Indonesia terletak di antara 6º LU-11 º dan96 º BT-141 º BT. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara subur dengan aneka spesies baik flora maupun faunanya. Disamping itu, Indonesia menjadi jalur startegis perdagangan dunia. Bangsa kita adalah bangsa pemain di tingkat dunia. Proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 M menjadi sebuah pembuktian. Dunia kaget dan tercengang, ternyata Indonesia mampu mengalahkan bangsa-bangsa Eropa. Dunia pun kaget ternyata bangsa Indonesia merupakan bangsa yang solid, tidak seperti yang diopinikan olek kaum penjajah, yakni bangsa yang bodoh, bangsa lemah. Mereka tercengang. Bukti selanjutnya adalah ketika Indonesia memprakarsai dan penyelenggara Konferensi AsiaAfrika (KAA) pada tahun 1955 M di Bandung. Di bawah komando Soekarno, Indonesia bersamasama India, Pakistan, Srilangka, dan Myanmar menjadi pelopor bangsa-bangsa dunia ketiga di kawasan Asia dan Afrika. Kesuksesan konferensi tersebut tidak berhenti pada saat konferensi saja. Kesuksesannya pun berlanjut dan terasa hingga diadakan konferensi yang diadakan kedua kalinya di Jakarta dan Bandung pada tanggal 19-24 2005 M. Konferensi ini menghasilkan sebuah rumusan baru yang kita kenal The New Asia-Afrika Strategic Partnership (NAASP). Begitu besar peranan Indonesia dan Presiden RI, Soekarno, pemerintah Maroko menjadikan Bandung dan Soekarno sebagai nama jalan di Maroko. Menurut Deputy of mission kedubes Maroko untuk Indonesia, Driss El Mhouar, pemberian nama ini merupakan penghargaan terhadap Soekarno dan Bangsa Indonesia yang telah berhasil memprakarsai dan menyelenggaran KAA. Bukti lain bangsa Indonesia memiliki peranan besar adalah ketika Presiden Soekarno memberikan pidato politik di sidang PBB Ke-15 tahun 1960 M. Dalam pidatonya ia menyampaikan orasi yang berjudul “membangun dunia baru” (to Build The World a New). Dalam pidato tersebut Soekarno menekankan pentingnya “Kekuatan Dunia Baru” (New Emerging Forces, NEFOS) untuk bangkit dalam tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang, melampaui dominasi negara-negara besar di dunia. Disamping itu, demi kepentingan “membangun tata dunia baru” tersebut, Presiden Soekarno bertemu para kepala pemerintahan negara-negara dunia ketiga, seperti Kwame Nkrumah (Ghana), Jawaharlal Nehru (India), Gamal Abdul Naser (Mesir), dan Josip Broz tito (Yugoslavia). Pertemuan itu membahas persiapan penyelenggaraan konferensi tingkat tinggi negara-negara di luar Blok Kapitalis dan Blok Komunis. Konferensi ini diselenggarakan Yugoslavia pada 1961 M, dan melahirkan sebuah blok baru di luar Blok Kapitalis dan Blok
3/9
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Komunis yang disebut Gerakan Non-Blok (GNB). Dalam perjalanan sejarahnya, GNB mengalami kemajuan sangat pesat. Tiga tahun kemudian GNB dilaksanakan di Mesir. Peserta Konferensi naik dari 24 negara menjadi 47 negara. Jumlah GNB terus meningkat, pada KTT XIV 2006 M di Havana, Kuba, anggota GNB meningkat menjadi 118 negara, tak berbeda jauh dengan anggota negara anggota PBB (192 negara). Dengan demikian, lebih dari separuh anggota PBB tergabung dalam GNB. Sejarah tersebut menunjukan bahwa Indonesia berperan sebagai pelopor dan sumber inspirasi perjuangan bagi negara-negara di kawasan Asia dan Afrika. Kepemimpinan Indonesia di kancah politik internasional pada era itu diakui oleh empat negara besar seperti Amerika, Uni Soviet, China dan India. Bahkan, Presiden Jhon F Kennedy mengadakan upacara kenegaraan khusus di bandara untuk menyambut kedatangan Presiden Soekarno di Amerika Serikat, April 1961. Soekarno adalah salah satu pemimpin dunia yang pertama kali diundang presiden Jhon F Kennedy setelah pelatikannya menjadi presiden pada Januari 1961 M.[9] Dengan demikian, nyata jelas bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar. Namun, kebesaran tersebut sering membuat lena bagi bangsa ini. keterlenaan itu dapat disebabkan karena sudah merasa cukup dengan yang ada (zona nyaman). Dengan kata lain, tidak mengembangkan potensi yang ada. Padahal, bila potensi Indonesia yang besar ini dapat dikembangkan dan dikelola dengan baik, Indonesia akan menjadi negara yang besar. Keterlenaan pun dapat disebabkan oleh faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal adalah pemberitaan. Bangsa ini telah dilenakan dengan pemberitaan hiruk pikuk politik dan hukum yang kalut. Masyarakat kita terlena dengan tontonan kasus-kasus korupsi. Masyarakat kita dilupakan dari kebesaran bangsa kita. Masyarakat dilupakan dari sejarah bangsa yang besar ini. Mengenal sejarah bukan hanya mengenal kronik-kronik semata. Lebih dari itu, ada spirit perjuangan sehingga bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Penulis berspekulan, jangan-jangan bangsa kita sering dipersepsikan negatif karena ulah media. Betapa tidak pemberitaan di media seringkali membuat kita tersesak. Seringkali masyarakat Indonesia disuguhi informasi yang tidak proporsional dan tidak berimbang. Sebagai contoh, media lebih banyak menampilkan isu-isu politik ketimbang isu bagaimana orang tua mendidik anaknya. Media lebih banyak menayangkan isu-isu carut marut hukum ketimbang menayangkan bagaimana pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Media lebih banyak menayangkan kasus-kasus kebobrokan negerinya ketimbang menayangkan kearifan lokal yang dimiliki Indonesia. Dengan demikian, pengenalan masyarakat terhadap negerinya kurang mendapat perhatian. Padahal, kita familiar dengan adagium “tak kenal maka tak sayang”. Menjadi sebuah pertanyaan, Bagaimana menyayangi bangsa kalau potensi bangsanya tidak dikenalkan dengan baik? Untuk itu, maka perlu ada kesadaran dan penyadaran dari dan oleh media bagaimana (menjadikan) bangsa Indonesia hebat. Kita mengetahui bahwa efek media terhadap masyarakat begitu kuat. Media dapat menjadi mesin penghasil opini masyarakat. Opini masyarakat terbentuk karena media. Media
4/9
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
berpengaruh kuat terhadap masyarakat suatu bangsa. Jika informasi negatif yang sering diterima oleh masyarakat, lambat laun masyarakat akan mempersepsikan negatif terhadap bangsa ini. bila persepsi negatif yang ada di masyarakat, maka timbul putus asa dan pesimisme masal di Indoneisa. Lebih dari itu, media akan menjadi percontohan buruk. Maka kita perlu berfikir besar tentang Indonesia. You are what you think. Bila kita berfikir besar maka kita besar. Namun, bila Indonesia dipandang sebagai negara kecil, negara sedangsedang saja, maka itu pula yang akan didapat. Oleh karena itu, maka perlu ada perubahan paradigma media yang menuju ke arah kebesaran Indonesia. Bila para awak media menyadari ini semua, maka Indonesia akan menjadi negara yang besar. MODEL UMMAT HEBAT DALAM AL-QUR’ÂN Umat hebat telah disebutkan ciri-cirinya dalam al-Qur’ân. Ciri-ciri tersebut sebagaimana termaktub dalam al-Qur’ân: 110. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allâh. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali’Imrân [3]:110) Ciri umat hebat yang disebutkan dalam QS Ali’Imrân [3]:110 ini, setidak-tidaknya ada tiga hal. Pertama amar bil ma’ruf, kedua nahyi ‘anil munkar, dan ketiga beriman. 1.
Amar ma’ruf dan kemashlahatan umat
Amar bil ma’ruf sering diterjemahkan dengan memerintah kepada kebaikan, memerintah kebaikan dengan cara yang baik. Amar bil ma’ruf dapat dilihat dari konten dan cara. Objek yang diperintahkan harus hal yang baik. Demikian pula cara dalam memerintah harus dengan baik pula. Cara terbaik untuk memerintah agar dapat diikuti adalah dengan memerintahkan kepada hal maslahat, memiliki nilai benefit bagi yang diperintah. Pemerintah harus memperhatikan kemaslahatan. Sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang telah populer (????????? ?????????? ????? ????????????? ???????? ???????????????) (“Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.”). Kaidah ini memberikan pengertian, bahwa setiap tindakan atau suatu kebijaksanaan para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan. Sebab pemimpin adalah pengemban amanah penderitaan rakyat (umat) dan untuk itulah ia ditunjuk sebagai pemimpin serta harus pula memperhatikan kemaslahatan rakyat.[10] 2.
Nahyi ‘anil munkar dan continual improvment
Nahyi ‘anil munkar sebetulnya bisa dilakukan sebagai cara preventif. Artinya, sebelum terjadi kemunkaran, pelarangan (nahyi) terhadap kemunkaran dapat dilakukan. Masyarakat Indonesia terkadang melakukan nahyi ‘anil munkar ketika perbuatan munkar telah ada dan bahkan telah
5/9
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
menjadi tabi’at. Masyarakat Indonesia lebih reaktif daripada antisipatif. Dengan adanya antisipasi, maka pola pikir akan tertuntut melakukan pembenahan terus menerus (continual improvement). Bila amar ma’ruf dan nahyi ‘anil munkar telah menjadi tabiat di negari ini, maka yang akan terjadi adalah perubahan terus dan perbaikan. Nahi ‘anil munkar dan amar bil ma’ruf merupakan perangkat untuk kesuksesan sebuah bangsa. Dengan adanya saling mengingatkan, saling memberikan kritik membangun, maka akan terbentuk tatanan masyarakat yang kuat. Saling bahu membahu mewujudkan cita-cita bangsa. Agar masyarakat dapat mendedikasikan dirinya untuk salaing peduli, maka perlu ada tujuan bersama, ideologi bersama dan cita-cita bersama. Disamping itu juga perku adanya keyakinan atau kepercayaan bersama. 3.
Iman Fondasi Sebuah Bangsa
Ciri bangsa hebat adalah penduduknya beriman. Keberimanan merupakan landasan yang menjadi ruh bagi setiap aktifitas suatau bangsa. Keimanan merupakan nilai-nilai pegangan dari sebuah kepercayaan. Di setiap bangsa memiliki sistem kepercayaan masing-masing yang dianut dan dipegang sebagai landasan. Ideologi merupakan salah satu perangkat kepercayaan yang dianut oleh negara-negara yang tidak mendasarkan dirinya pada formalisasi siyasah Islam. Sedangkan di negara-negara Islam, keimanan (aqidah) Islam menjadi sistem sentral. Bangsa hebat terdiri dari individu-individu yang beriman dan bertakwa. Iman dan takwa sebagai syarat keberkahan suatu bangsa. Kata iman dan takwa disandingkan sebagai syarat keberkahan. Iman merupakan sistem kepercayaan yang dipegang (fondasi) sedangkan takwa merupakan sebuah tindakan (aksi) yang berusaha mengejewantahkan nilai-nilai iman. Iman merupakan visi sedangkan takwa merupakan misi. Dengan tegas al-Qur’ân menyebutkan dalam surat al-A’râf ayat 96: 96. “Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayatayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”(QS al-a’râf [7]: 96) Dalam tatanan masyarakat, surat al-Hujurât ayat 13 telah menyebutkan bahwa yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertaqwa. Jika kehebatan merupakan kemuliaan, maka yang paling hebat diantara kalian adalah mereka yang bertaqwa. Sehingga tidak heran apabila Allâh menegaskan bahwa penduduk negeri yang beriman dan bertakwa, mereka akan diberi berbagai keberkahan dari langit. Keberkahan merupakan sebuah kebaikan yang melimpah. Kehebatan merupakan sebuah bukti keberkahan yang diberikan. Oleh karena itu, apabila suatu negara ingin diberkati maka kuncinya adalah terletak dari keimanan dan ketakwaan penduduknya. Bila kita cermati dalam al-Qur’ân. Penduduk negeri yang beriman dan bertaqwa akan mendapatkan beberapa benefit diantaranya; kemuliaan (QS al-Hujurât [49]: 13), keberkahan (QS al-A’râf [7]: 96), solusi (QS al-Thalâq [65]: 2), rizqi (QS al-Thalâq [65]: 3) IKHTITÂM
6/9
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Bangsa Indonesia merupakan bangsa hebat yang memilki akar sejarah yang hebat pula. Bangsa Indonesia memiliki berbagai keragaman dan potensi yang luar biasa. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mampu berperan di kancah Internasional. Bangsa Indonesia memiliki fondasi yang sudah mapan baik dalam ideologi maupun tatanan masyarakat. Nilai gotong royong meruapakn hal yang masih banyak dijumpai di masyarakat Indonesia. Maka, tidak ada kata bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa kecil. Itu hanya sebuah sentuhan agar indonesia menjadi bangsa yang besar kembali karena potensi untuk menjadi negara, bangsa besar sudah nyata. Bangsa kita adalah bangsa yang memiliki kearifan lokal yang melimpah, sumber daya manusia yang banyak, sumber daya alam yang melimpah ruah. Sudah saatnya bangsa Indonesia mampu bangkit dan mengelola potensi besar dengan berfikir besar. Think big about Indonesia. Semua lapisan masyarakat khususnya para pegiatan media harus optimis dan saling mendukung akan kebesaran bangsa Indonesia.[]
MARÂJI’
Al-Qur’ân al-Karîm Suyuthi , Jalaluddin al-. Tt. Tafsir jalalain terj. Heppy Trenggono. menjadi bangsa pintar. Jakarta: Republika. 2009 M Imam Musbikin. Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2001 M Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Penerbit Mizan. 2007 M Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. tt.
* Alumnus Tarbiyah Universitas Islam Indonesia
7/9
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[1] Quraish Shihab , Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007), hlm. 435
[2] Ibid. hlm. 430
[3] Dalam menafsirkan surat al-Isrâ’ ayat 17 Jalaluddîn al-Suyuthi dan Jalaluddîn al-Mahally menafsirkan kata ummat sepadan dengan bangsa. Lihat Tafsir Jalain.
[4] Dalam mentafsirkan surat al-Furqân ayat 1 (alladzi najjalal furqâna ‘ala ‘abdihi liyakûna lil ‘alamîna nadzîra), Jalaluddîn al-Suyuthi dan Jalaluddîn al-Mahally menafsirkan kata ‘âlamîn meruapakan kesatuan yang terdiri dari bangsa jiin, manusia dan malikat. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia, jin dan malaikat merupakan suatu entitas bangsa yang masing-masing berbeda sesuai dengan karakteristiknya. Lihat Tafsir Jalalain.
[5] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007)hal 436
[6] Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka)
[7] Heppy Trenggono, menjadi bangsa pintar, (Jakarta: Republika, 2009) hal 125
8/9
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[8] ibid
[9] Heppy Trenggono, menjadi bangsa pintar, (Jakarta: Republika, 2009), hlm. 60
[10] Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.124
9/9 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)