BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam bagian ini dikemukakan sejumlah pokok pikiran
yang
melatar belakangi terhadap masalah yang dipilih.
1. Potret Pendidikan dan Permasalahan
Pendidikan adalah pembangunan bangsa dan pembangun-
an bangsa adalah pembangunan manusia seutuhnya. Pembangun an manusia totalitas inilah yang
harus
menjadi
tujuan
pendidikan di Indonesia, sebab hanya dengan tujuan
inilah
kelestarian keberadaan bangsa kita yang besar akan dapat bertahan.
Pengertian manusia totalitas dalam dunia pendidikan mengandung arti bahwa keseluruhan aspek
kemanusiaan
didik harus mendapat perhatian dan menjadi
pangkal
anak
tolak
pengembangan program pendidikan. Jadi pendidikan sebagai
salah satu upaya mempersiapkan manusia untuk memiliki daya dan kemampuan serta mampu menghadapi realitas kehidupan. Drijakara mengemukakan bahwa manusia mengalami diri
dan barang-barang: sebagai subjek. Subjek artinya berdiri
sendiri, ambil tempat (posisi) dan sikap, jadi: meng hadapi. Yang dihadapi:
diri
sendiri dan
realitas.
Dia
menghadapi. Jadi punya daya, punya kemampuan yang menyebabkan dia bisa itu.
2
Sementara itu menurut Sastrapratedja mengemukakan
manusia dalam menghadapi realitas hidupnya adalah sebagai berikut
:
Manusia selalu memiliki model kognitif tentang keriT^faK' Van9 merySbabkan apa bentuk kemanusiaan yang
kan lni dan apa Van9 ditemukan ^njlTlkan htH^"hidup mi""k11"^Pa berharga.h±dUP Dengan demikian,
di^agaH "^."topia: *a=a depan macam apakah yang dikehendaki? disini kita mendapatkan arti dari segala
macam mitos: memberi makna dan orientasi pada hidup (Dick Hartoko, 1990 : 15).
p
Berdasarkan hal tersebut di atas, manusia adalah makhluk badani, dan sebagai makhluk badania dia harus men-
jalankan hidupnya, harus bersikap. bertindak dan bekerja untuk mengolah hidupnya. Drijakara menambahkan konsep ma nusia dalam eksistensinya adalah :
Badan manusia itu semula tak berdaya,
sehinqqa
seluruh manusia tak berdaya karenanya. Daya-daya San
kemampuan-kemampuan insani hanya tumbuh lambat laun dengan dan dalam pertumbuhan badan. Anak kecil belum bisa berfikir, karena otaknya belum berkembang. Dan
karena itu dia juga belum bisa bertindak sebagai manusia (1990 : 19).
y A
Berdasarkan uraian tersebut di atas, untuk mengembangkan daya-daya dan kemampuan-kemampuan insani diperlukan pendidikan. Drijarkara berpendapat bahwa mendidik selalu berarti mendidik badan (sebetulnya bukan hanya badan, tetapi badan sebagai bentuk konkritnya dari kemanusiaan).
Mengenai pendidikan, Ki Hajar Dewantara mengungkap kan
bahwa
:
Pendidikan Jang hidup di segala machluk terdapat sebagai laku-kodrat (instinct), dalam hidup manusia jang jang dap agar
beradap bersifat usaha kebudayaan. Pendidikan berlaku instinct itu berupa pemeliharaan terha kanak-kanak, serta latihan-latihan tingkah laku anak-anak itu kelak sanggup dan mampu melaksana-
kan segala apa jang perlu untuk hidup dan penghidupannya. Pendidikan
sebagai usaha kebudayaan bermaksud
memberi tuntunan di dalam hidup bertumbuhnja tubuh jiwa kanak-kanak, agar kelak dalam garis-garis kodrat pnbadmja dan pengaruh segala keadaan yang mengeli-
lmgi dinnja kanak-kanak dapat kemajuan dalam hidup-
nja lahir dan batin, menuju ke arah adap-kemanusiaan (Hardjono 1951 : 41).
Berdasarkan uraian
di atas,
salah satu usaha untuk membaikkan
yang ada pada setiap manusia yang berupa pemeliharaan,
afcan
menggambarkan
nilai-nilai
bahwa
kebatinan
berbudaya tidak hanya
tetapi
bermaksud
memajukan
memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup manusia.
Mardiatmaja
mengemukakan
bahwa
pendidikan
itu
bersendikan nilai; sedangkan pendidikan nilai bertumpu pada pandangan dasar seseorang terhadap alam,
sesama
manusia, dan Tuhannya (Dick Hartoko, 190 : 33). Selanjutnya Mardiatmaja menyatakan bahwa :
Ada tiga segi yang perlu diusahakan dalam pendidi kan, yaitu segi kognitif, afektif, dan konativ, masing-masing agar budi peserta didik
lebih
berkem-
bang agar sikap hatinya semakin tumbuh seimbang dan
agar kehendak berikut tingkah lakunya menjadi kian Daik. Bila begitu, maka tujuan pendidikan bukanlah
pertama-tama pengalihan pengetahuan, melainkan mem bantu agar peserta didik mampu mengembangkan potensipotensmya untuk tahu lebih banyak dan belajar terus
dalam arti seluas mungkin (Dick Hartoko, 1990 - 35)
4
Sementara Drijakara mengartikan pendidikan sebagai pemanusiaan manusia muda. Dengan demikian pendidikan harus
membantu agar seseorang secara
tahu dan
man
bertindak
sebagai manusia dan bukan hanya secara instintif saja (Dick Hartoko, 1990 : 36).
Pemanusiaan
melibatkan
manusia
melalui
aspek-aspek manusia,
pendidikan
sumber
formal
belajar
atau
kurikulum, dan fasilitas. Keberhasilan proses pemanusiaan manusia muda tergantung pada cara-cara yang ditempuh dalam penataan aspek-aspek tersebut di atas, dengan jalan meren-
canakan, mengorganisasikan, menggerakkan, dan kan sumber daya
manusia,
sumber
belajar
mengendali-
dan
fasilitas
pendidikan guna meiayani dan memberi kemudahan
bagi
peserta didik dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Untuk mencapai
tujuan
pendidikan
perencanaan merupakan "tool" untuk program pendidikan mulai
dari
pendidikan sampai pada
tersebut,
menjabarkan
identifikasi
implementasi
maka
program-
permasalahan
dan
monitoring
rencana-rencana pendidikan.
Secara makro, perencanaan tingkat Departemen
kondisi yang sangat
Pendidikan
pendidikan dan
Kebudayaan.
"sentralistik" perencanaan
menentukan
terutama dalam
berada pada
makro
penentuan
Dalam
tersebut kebijakan-
kebijakan pendidikan. Perencanaan pendidikan makro yang sentralistik tersebut lebih mengutamakan
pendekatan dari
5
atas dalam arti bahwa program-program pendidikan disusun
dari atas
(top-down approach).
Dalam kondisi
perencanaan pendidikan yang lebih mengandalkan
dari atas tersebut bersifat kaku dan
tidak
tertentu pendekatan
luwes.
Itu
sebabnya tidak mengherankan kalau rencana program yang disusun dari atas dalam implementasinya tidak selalu cocok
dengan tuntutan kebutuhan yang dihadapi pada lembaga pendidikan tingkat bawah, misalnya saja dalam pengadaan prasarana dan sarana pendidikan,
pembiayaan pendidikan,
tenaga kependidikan guru, serta isi pendidikan (kurikulum) yang ditransformasikan dalam proses pendidikan khususnya proses belajar mengajar. Ditemukan
ciri-ciri
konformitas
dan uniformitas yang dominan dalam praktek
perencanaan
pendidikan
yang
menggunakan
pendekatan
sentralistik.
Akibatnya baik tenaga perencana pada tingkat bawah maupun para tenaga guru dalam pelaksanaan tugasnya cenderung terikat pada prosedur-prosedur yang berlaku
baik
juklak/
juknis dari pada mencurahkan segala kemampuan mereka dalam kegiatan belajar mengajar secara riil di kelas.
Untuk itu, diperlukan pendekatan
dari
bawah
(the
bottom-up approach). Dalam pelaksanaannya pendekatan
dari
atas hanya memberi rambu-rambu saja. Namun demikian
dalam
banyak
suatu
hal
rumusan dari
bawah
tidak merupakan
keharusan. Misalnya saja dalam banyak hal sering tidak
adanya kesesuaian realisasi program dengan usulan program.
6
Sebagai contoh dalam pengadaan tenaga guru bidang studi sering tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang diusulkan.
Pendekatan perencanaan dari bawah secara
hierarkis
dapat dilihat pada tingkat yang lebih rendah yaitu pada tingkat messo dan mikro. Perencanaan pendidikan pada tingkat messo diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan propinsi khususnya oleh Bagian Perencanaannya. Dari hasil telaah mengenai tugas Bagian Perencanaan Kanwil Depdikbud kecenderungannya hanya melaksanakan tugas-tugas yang
sifatnya rutinisme dalam
arti hanya menyusun rencana dan
program kerja tahunan
saja. Pada hakikatnya ciri khas rencana tahunan hanya merupakan penjabaran dari rencana induk. Karena itu dapat dikatakan bahwa tidak adanya prakarsa the bottom-up untuk membuat suatu perencanaan pendidikan yang inovatif antisi-
patif. Padahal kalau dilihat dari ruang lingkup tugas Kanwil
Depdikbud cukup
perencanaan
pengembangan
luas
dan
pendidikan
memerlukan yang
dapat
suatu memacu
perubahan-perubahan baik masa kini maupun dimasa yang akan datang.
Dalam rangka inilah,
diperlukan suatu ketegasan
keterpaduan pendekatan perencanaan the top down approach dengan the bottom-up approach, mulai dari menyusun rencana sampai
pada implementasi
rencana
program
pendidikan.
7
Dengan mempertemukan
kedua
pendekatan
ini,
maka dalam
menyusun rencana-rencana program pendidikan lebih bersifat
inovatif dan dalam upaya pengembangannya semakin longgar. Disamping itu dengan semakin memperhatikan pendekatan dari
bawah, sebenarnya sejalan dengan ciri kemajemukan budaya bangsa
kita yang
seyogianya
menjadi
barometer
menyusun rencana pendidikan, yang tentunya
dalam
sesuai
dengan
tuntutan kebutuhan pembangunan pendidikan di daerah.
2. Kajian tentang Kemajuan-kemajuan Pendidikan di Sulawesi Utara
Berdasarkan pengkajian yang menyeluruh terhadap perkembangan pendidikan formal dari pelita ke pelita menunjukkan
tingkat
kemajuan
yang
menunjukkan
bahwa baik pemerintah,
orang tua telah memainkan peranannya
cukup
pesat.
Ini
masyarakat,
maupun
masing-masing
dalam
upaya membina dan mengembangkan pendidikan.
Perkembangan kemajuan pendidikan tersebut
pada perkembangan sarana dan perkembangan enrolmen pada
prasarana pendidikan, semua tingkatannya,
perkembangan tenaga pengajar, perkembangan jumlah
pada
semua
tingkatannya,
dan
terlihat
perkembangan
lulusan
jumlah
kelembagaan pendidikan.
Secara kuantitatif angka partisipasi dari yang memperoleh
kesempatan
pendidikan
mencapai
populasi kondisi
sebagai berikut: untuk pendidikan dasar mencapai 97,5 •/.,
8
untuk sekolah lanjutan tingkat pertama mencapai 74,5 %, dan untuk sekolah lanjutan tingkat atas mencapai 51 7.. Sedangkan proporsi lulusan pada semua jenjang pendidikan yang melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi mencapai kondisi sebagai berikut: sekolah dasar yang melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama diperoleh persentasi 89,9 7.. Ini berarti bahwa sekitar 10,2 "/. lulusan sekolah dasar tidak melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama. Sekolah lanjutan tingkat pertama yang melanjutkan ke sekolah menengah tingkat atas diperoleh persentasi sebesar
81,62 7.. Ini berarti bahwa sekitar 18,38 "/. lulusan sekolah lanjutan tingkat pertama tidak melanjutkan ke sekolah menengah tingkat atas. Sekolah lanjutan
tingkat
perguruan tinggi diperoleh persentasi sebesar 71
berarti bahwa sekitar 29 7.
atas
ke
7..
Ini
lulusan sekolah lanjutan
tingkat atas tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Berdasarkan data pada
Bappede Propinsi
Sulawesi
Utara terdapat sekitar 15.518 orang pencari kerja yang belum ditempatkan sesuai dengan bidang keahliannya. Implikasi besarnya tenaga kerja yang belum tersalurkan pangan pekerjaan yang tersedia disebabkan karena
ke
la-
: seba-
gian besar lulusan pendidikan formal mengandalkan pada pekerjaan-pekerjaan yang berstruktur (structured occupati on). Kecenderungan untuk memasuki pekerjaan-pekerjaan yang telah terstruktur disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
9
motivasi untuk menciptakan lapangan kerja sendiri belum mapan, hal ini disebabkan oleh karena pengetahuan dan
ke-
terampilan untuk menciptakan lapangan kerja sendiri belum dihayati dan dilakukan sendiri.
Disamping kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, maka di masa yang akan datang terbentang sejumlah permasa lahan yang mendasar yang dihadapi sektor pendidikan yaitu mutu pendidikan yang dikaitkan dengan norma patokan nasio-
nal pada semua tingkatan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan, komposisi tenaga kerja terdidik, terlatih, terampil dan cakap menguasai teknologi untuk dapat mandiri dalam menciptakan lapangan kerja, efisiensi dan efektivitas pengelolaan pendidikan terutama yang menyangkut pemamfaatan dana, tenaga dan sumber daya
lainnya yang tersedia dikaitkan dengan hasil yang diharapkan serta kualitas hasil
pendidikan yang dinilai masi
kurang yang disebabkan masih kurangnya
tenaga
yang
berwenang.
Pengkajian terhadap permasalahan di sektor pendi dikan bukanlah suatu hal yang gampang, tetapi memerlukan pengkajian yang hati-hati, arif dan bijaksana oleh karena permasalahan tersebut bukanlah permasalahan yang sederhana
melainkan amat kompleks.
Kompleksitas permasalahan ini
tidak mungkin ditangani oleh satu pihak atau lembaga saja, tetapi diperlukan suatu penanganan yang terpadu dengan
10
lembaga-lembaga yang terkait. Keterpaduan dalam menangani permasalahan di sektor pendidikan menuntut adanya kesatuan pandangan dalam memahami dan menghayati esensi permasalah an yang amat kompleks itu. Oleh karena itu penghayatan
terhadap urgensinya permasalahan pendidikan bagi semua unsur atau komponen yang terkait di dalamnya sangat diperlukan sebagai bahan perenungan untuk mencari terobos-
an-terobosan dalam menangkal permasalahan pendidikan yang tumbuh berkembang pesat, terutama masalah kualitas hasil pendidikan yang dinilai masih kurang yang disebabkan masih kurangnya tenaga-tenaga yang berwenang.
Masalah ketenagaan guru merupakan dua lembaga yang bertanggung jawab yaitu lembaga pemakai jasa guru dan
lembaga penghasil tenaga guru. Itu sebabnya masalah tenaga guru sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pendidik an merupakan tanggung jawab bagi pihak-pihak yang
terkait
terutama pihak lembaga yang mensupply tenaga guru dan pihak pemakai jasa guru.
3. Pentingnya Data Kebutuhan Tenaga Guru
Kebutuhan
tenaga guru,
khususnya guru
sekolah
menengah atas (SMA) terasa semakin meningkat dari tahun ke
tahun dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Hal ini disebabkan oleh pengaruh angka partisipasi dari populasi yang memperoleh kesempatan pendidikan dari jenjang yang satu ke jenjang berikutnya,
1J-
tingkat pertumbuhan siswa dari kelas yang
berikutnya cukup tinggi yang
jumlah kelas,
satu ke
konsekwensinya
kelas
bertambah
dan pada akhirnya akan berdampak pada
bertambahnya beban mengajar guru.
Sulawesi Utara menurut sensus penduduk
berjumlah 2.250.714 orang,
sedangkan
pada
tahun
1985
tahun
1989
jumlah penduduk 2.436.181 orang, dengan tingkat pertumbuh an rata-rata per tahun 1,6 X. Konsekwervsi dari pertambahan
penduduk tersebut tentu saja membawa akibat berantainya terhadap pertambahan angka partisipasi populasi yang memperoleh pendidikan baik
pada
sekolah dasar,
sekolah
menengah tingkat pertama, sekolah menengah tingkat atas,. serta perguruan tinggi.
Bagnee
enrolmen to
Alfret
grow
in
Liu
mengemukakan
any
dynamic
bahwa
situation
"school
where
population is continally increasing, or the school
the
system
is progreassivelly expanding or where both development are taking". (1986, p. 8).
Situasi yang digambarkan
tersebut
sudah
bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan dari jenjang satu
ke
jenjang
berikutnya.
terlihat
arus Ledakan
murid arus
murid semacam ini pada gilirannya akan menuntut penambahan
sarana dan prasarana pendidikan seperti penambahan gedung
sekolah baru, penambahan ruang kelas, perpustakaan, penambahan gedung
penambahan gedung
laboratorium,
penambahan
1
•7
fasilitas belajar, serta penambahan akan tenaga guru. Berdasarkan pengamatan empiris terlihat adanya "in-equilibrium» antara guru yang
menmgajarkan
mata
pelajaran pada jurusan Al dan A2 dengan guru
yang
mengajarkan mata pelajaran pada jurusan A3.
Dengan kata
lain pada satu sisi kekurangan guru untuk program studi Al dan A2, sedangkan pada sisi yang lain kelebihan guru untuk program studi A3. Untuk menangkal ketidakseimbangan ini pihak yang berwenang dalam hal ini Kanwil Depdikbud diperlukan kemampuan dan kejelian dalam perencanaan kebutuhan tenaga guru, dengan jalan mengadakan studi penjajakan pada setiap sekolah dengan maksud untuk mendapatkan data akurat mengenai mata pelajaran apa yang masih dibutuhkan selang
periode tertentu. Hal ini penting oleh karena data yang diperoleh sangat mendukung proses perencanaan kebutuhan tenaga guru. Walaupun diakui bahwa rancangan kebutuhan
tenaga guru yang disusun masih bersifat usulan ke atas, dan yang mengambil dicision adalah departemen pendidikan dan kebudayaan pada tingkat pusat. Akan tetapi, pusat
hanya menentukan secara kuantitatif kebutuhan tenaga guru, dan yang menentukan mata pelajaran apa yang dibutuhkan dalam periode tertentu adalah Kanwil itu sendiri. Itu
sebabnya dalam periode-periode tertentu tidak mengherankan kalau jatah kuantitatif yang disiapkan oleh pusat tidak mencapai target yang dibutuhkan. Hal ini harus dipahami
13
oleh karena penetapan formasi pusat tentang kebutuhan tenaga guru atas dasar pertimbangan "budget" negara. Namun demikian penetapan formasi pusat tentang jumlah kebutuhan guru dengan mata pelajaran tertentu dan kualifikasi ter tentu dari tahun ke tahun cukup meningkat. Hal ini dise
babkan oleh karena adanya upaya-upaya kearah peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan.
Dalam rangka mengantisipasi kecenderungan perubahan
yang diakibatkan oleh pengaruh enrolmen dan angka partisipasi dari populasi yang memperoleh kesempatan pendidikan serta tingkat pertumbuhan murid yang naik kelas dari jenjang yang satu ke jenjang berikutnya, pertumbuhan
siswa yang mengulang (repetation), serta siswa yang tidak melanjutkan (drop out), maka Kanwil Depdikbud perlu mengadakan adaptasi terhadap perubahan tersebut, serta dapat mengambil langkah-langkah tindakan perencanaan kebutuhan tenaga guru. Kecenderungan perubahan-perubahan sebagai akibat dari pengaruh internal dan eksternal merupakan suatu fenomena kedinamikaan fungsional yang terus berkembang sesuai perkembangan yang ada. Dalam rangka itulah diperlukan ketajaman dan
kemampuan untuk
mengantisipasi pengaruh internal dan eksternal tersebut, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan. Apabila tidak diantisipasi baik akibat dampak internal maupun eksternal, maka akan
14
mengalami kesulitan dalam merencanakan kebutuhan guru dalam periode tertentu dan kualifikasi tertentu pula.Ini berarti bahwa dalam menyusun rencana kebutuhan guru tidak
hanya merujuk pada yang sudah "given" dari atas, tetapi perlu melihat dan mengkaji kesenjangan antar bidang studi.
Dengan kata lain perlu mengsinkronisasikan dengan apa yang disebut "top down planning" dan "buttom up planning". Trend untuk mengestimasi kebutuhan guru itupun dihadapkan pada kemampuan stock guru yang ada dengan jenis dan kualifikasi tertentu yang sesuai dengan tuntutan persyaratan yang diperlukan.
Biro Perencanaan, Sekretariat Jenderal Depdikbud mengemukakan bahwa :
dasa^nvaadT\ k^Utuhan tena°a kependidikan pada dasarnya dimaksudkan sebagai kegiatan memperkirakan
atau menentukan jumlah dan kualifikasi tenaga kep^noind H^ ^^secara diPerluka" mencapaf pendidikan optimal. untuk Pada sisi lain tujuan nJt ieDin oaik apabila sekaligus juga
diperkirakan
ri-i
s:trrss^srsupply tena- ------ -Dengan demikian jelaslah bahwa dalam mengestimasi secara sistimatis kebutuhan tenaga guru, perlu
memperkirakan supply tenaga guru dari lembaga penyedia tenaga guru. Dalam rangka itulah diperlukan perencanaan yang terpadu dengan didukung ketersediaannya informasi mengenai jumlah kebutuhan guru di satu pihak dan penyediaan tenaga guru di pihak lain. Disinilah diperlukan
15
koordinasi dan kerja sama antara Kanwil Depdikbud dengan IKIP/FKIP sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan.
Koordinasi dan kerja sama tersebut berbentuk saling memberi dan menerima informasi yang berhubungan dengan tenaga guru, misalnya informasi yang berhubungan dengan struktur program kurikulum IKIP/FKIP, jurusan-jurusan yang tersedia, pertumbuhan enrolmen dan jumlah lulusan. Data-data tersebut seyogianya diketahui oleh Kanwil
Depdikbud. Sedangkan data yang berhubungan dengan berapa jumlah calon guru yang akan dibutuhkan pada periode tertentu dengan jenis dan kualifikasi tertentu perlu diketahui oleh IKIP/FKIP. Dengan terjalin suatu koordinasi dan kerja sama yang baik antara ke dua lembaga ini, maka memungkinkan terpenuhinya kebutuhan guru baik
secara
kuantitas maupun kualitas.
Secara empirik pengadaan guru tidak selalu sejalan
dengan kebutuhan guru. Hal ini terjadi oleh karena kebutuhan dan pengadaan mempunyai konteks dan dinamika sendiri-sendiri. Kebutuhan guru timbul berdasarkan
tuntutan dalam hal pengaruh pertumbuhan enrolmen, pertumbuhan siswa yang naik kelas (promotion growth), pertumbuhan siswa yang mengulang (repetition growth), jumlah kelas belajar paralel, jumlah jam belajar untuk murid, jumlah jam wajib mengajar guru dan beban belajar per mata pelajaran sesuai kurikulum. Sedangkan pengadaan
16
dilakukan atas dasar tersedianya calon baik dalam jumlah maupun mutu, serta kemampuan budget negara. Dalam hal lain
upaya mengestimasi kebutuhan tenaga guru, maka aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan ialah indikator-indikator yang mempengaruhi perkiraan kebutuhan tenaga guru
sebagaimana yang dikemukakan oleh
Biro
Perencanaan,
Sekretariat Jenderal Depdikbud yaitu : 1. Faktor organisasi :
a. Disain/pola organisasi dan pekerjaannya. b- Perluasan organisasi (termasuk kelas). c. Rencana-rencana strategis. d. Anggaran dan, e. Bertambahnya siswa
2. Berkurangnya tenaga yang ada : a.
Berhenti.
b. Pensiun dan,
c. Perkembangan teknologi. (1989: H)
Dari pandangan tersebut di atas dapat dikaji
bahwa
ke dua faktor tersebut merupakan barometer untuk menentu
kan dan mengestimasi kebutuhan akan tenaga guru baik pada kondisi sekarang maupun dimasa yang akan datang. Langkah-langkah yang ditempuh dalam upaya menentu
kan kebutuhan tenaga guru ialah sebagaimana yang dikemukakan oleh Castetter ialah : planning, recruitment, selection, induction, continuity, dan security. (1981:57). Ini berarti bahwa Kanwil Depdikbud sebagai lembaga yang bertanggung jawab terselenggaranya program pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan tidak terlepas dari
fungsi perencanaan. Perencanaan pada Kanwil Depdikbud
17
mempunyai arti yang spesifik. Hal
Kanwil
tidak saja dihadapkan
ini disebabkan
karena
pada upaya membina dan
mengawasi terselenggaranya program pendidikan di
sekolah-
sekolah, tetapi sekaligus berperan dalam mengantisipasi kecenderungan
perubahan
yang
terjadi
dalam
sistem
pendidikan, menuntut kemampuan para perencana pada tingkat Kanwil untuk menyusun rancangan program pendidikan yang layak dan sesuai dengan tuntutan perubahan tersebut. Implikasi dari perubahan tersebut berdampak pada bagaimana upaya-upaya yang dilakukan Kanwil Depdikbud sebagai
tero-
bosan
dal
baru untuk selanjutnya dapat diaplikasi
am
praktek-praktek perencanaan kebutuhan tenaga guru.
Dal
arti
lebih
bahwa praktek-praktek perencanaan
tersebut
am
bersifat dinamis sesuai dengan tuntutan perkembangan yang terjadi dalam sistem pendidikan. Ini berarti kedinamikaan
dari praktek perencanaan kebutuhan tenaga guru cenderung melihat kendala-kendala sebab-sebab terjadinya ketimpangan-ketimpangan
dalam manajemen
tenaga
guru
disetia»P
jenjang pendidikan. Dengan mengidentifikasi kendala-kenda
la yang ada, memungkinkan praktek perencanaan kebutuhan tenaga guru lebih bersifat fleksibel dan konprehensif dalam menjawab tantangan perubahan.
Kenneth D Benne dan bahwa
:
Max
Birabaun mengemukakan
18
No institution or
organization
exemot
f™
change... the planning ofchange has beco^ parrt of the responsibility of management in all conSmporarv
institution, wheaher the task of the insti^Jt^n ±1 definedm terms of health, education" social
welfaremdustrial production, or religious indictrinasi. (B. Wongkar, 1989: 45)! indictri-
Dari uraian di atas menegaskan bahwa tidak ada
institusi atau lembaga tertentu yang bebas dari perubahan. Karena itu perubahan-perubahan tersebut perlu direncanakan.
Bennie, Benne and Chin mengemukakan tiga kemungkinan strategi yang dapat diterapkan dalam mengadakan perubahan yaitu : rational-empirical strategy, normal-re-
educatice strategy, dan power-coecive strategy. (B. Wongkar, 1989 : 46).
Strategi rasional-empirik menjelaskan bahwa suatu gagasan perubahan akan berhasil sepanjang terdapat pening-
katan kapabilitas terutama dalam pengambilan keputusan. Strategi kekuasaan yang dipaksakan ini beranggapan bahwa suatu perubahan dapat dilaksanakan berdasarkan kekuasaan dari atas.
Dalam praktek perencanaan kebutuhan tenaga guru konsep strategi perencanaan yang dikembangkan Bennis dkk dapat dijabarkan secara operasional ke dalam rencana dan program kebutuhan tenaga guru.
4. Fungsi IKIP/FKIP sebagai Lembaga Penghasil Tenaga Guru Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian
19
terdahulu bahwa kebutuhan tenaga guru terkait erat dengan lembaga yang mensupply tenaga 'guru. IKIP/KIP sebagai lembaga penghasil dan penyedia tenaga guru seyogianya peka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di
lapangan, dan juga lebih bersifat fungsional terhadap perkembangan yang ada.
D.A. Tisna Amijaja mengemukakan tugas dan sasaran
ganda dari sistem pendidikan tenaga kependidikan adalah sebagai berikut :
Pertama
LPTK harus menghasilkan
tenaga
ahli
keSIrH^1^" TtUk bert"9as seba9ai 9uru atau tenaga
olnllitf kDnselD^Orientasi administrator? peneliti, r dan ^ tenaga5ePert± ahli evaluasi. disini
ialah tenaga kerja untuk pembangunan sehingga harus dioerluka-n- oleh nl hT^' **" kualifikaYang LPTK tetul-tetul diperlukan lapangan kerja. Kedua. harus
diDatPdlaumh29TbanHkan ba9i pengetahuan ilmu Pendidi^n dapat disumbangkan bagi ilmu dan sehingga dipakai dalam
pembangunan manusia,
pendidikan. (1979: 2-3).
terutama
di
bidano ang
Sehubungan dengan tugas dan sasaran LPTK sebagai lembaga penghasil tenaga guru telah digariskan pula dalam pedoman pelaksanaan pembaharuan sistem pendidikan tenaga kependi dikan sebagai berikut :
dirr^TI!1 tena9a ^rja LPTK harU5 mamP" membaharui
bitil-bi^?a mendatan9 sehingga para tamatannya eft^ t mamP".^lakukan tugas secara efektif dan hnJ ^ Imp,llkasinya ialah bahwa para lulusan tersenvata d.T * JUn\lahnya unt"^ memenuhi kebutuhan nvai dan mereka Pula "»"»»>"nyai kuJtf-r5yarakat kualifikasi yang tepat untuk haru5 melakukan tugastugas yang dipercayakan kepada mereka. (1979: 3).
Dengan demikian jelaslah bahwa fungsi sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi di
IKIP/FKIP Indonesia
20
mempunyai kedudukan dan misi yang spesifik.
Hal ini
disebabkan karena IKIP/FKIP sebagai lembaga penyediaan tenaga kependidikan tidak saja dihadapkan pada peranan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi
sekaligus berperan dalam menghasilkan tenaga-tenaga profesional kependidikan yang akan mempunyai andil yang besar dalam mencerdaskan dan mentrampilkan kehidupan bangsa Indonesia. Disamping itu IKIP/FKIP sebagai lembaga penyedia tenaga kependidikan penting untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan konsep pendidikan sebagai investasi manusia. Dari sisi pandangan ini dapat dikaji dan
dianalisis berapa besar kontribusi IKIP/FKIP dalam upaya menyiapkan tenaga-tenaga kerja yang profesional sesuai tuntutan persyaratan lembaga pemakai jasa guru. Hal ini
sebagaimana yang dikemukakan oleh Fakry Gaffar bahwa LPTK sebagai lembaga pendidikan tinggi yang harus "accountable"
terhadap produk yang dihasilkan bagi masyarakat, tidak hanya menghasilkan output secara kuantitas saja, tetapi output yang memenuhi syarat atau standard tertentu. (1987: 143) .
Akhir-akhir ini sering muncul isue yang menyatakan
bahwa output IKIP/FKIP kurang berkualitas dan belum dapat sepenuhnya beradaptasi dengan pekerjaan yang merupakan tanggung jawabnya. Isue yang muncul kepermukaan ini merupakan tantangan bagi
IKIP/FKIP
menelaah
kembali
•7
1
landasan dan misi serta tujuannya untuk mengetahui apakah yang menjadi pegangan selama ini masih dapat dipertahankan
atau
dipergunakan
dalam
rangka
merespon
berbagai
tantangan-tantangan perubahan. Disamping itu IKIP/KIP perlu menata kembali baik perangkat lunaknya maupun perangkat kerasnya. Dan hal yang penting ialah bagaimana menata keseluruhan aktivitas di IKIP/FKIP tumbuh dan berkembang secara wajar, maka hal ini dapat memberikan kontribusi terhadap output yang relevan dan dapat memenuhi tuntutan persyaratan lembaga pemakai jasa guru. Jadi
disini IKIP/FKIP tidak saja menghasilkan tenaga-tenaga guru dalam jumlah yang besar, tetapi juga output IKIP/KIP benar-benar berkualitas.
Dengan demikian IKIP/FKIP dalam fungsinya sebagai
lembaga
penghasil
tenaga
guru
senantiasa
tanggap
mengantisipasi kecenderungan perubahan yang terjadi di
lapagan. Apa ter.lebih dengan munculnya era globalisasi yang ditopang dengan kemajuan ilmu dan teknologi terutama
teknologi informasi yang menjadikan dunia ini sebagai satu masyarakat yang terbuka, tidak terlihat lagi dinding-dinding pembatas di dunia ini. Dampak dari keterbukaan ini
ialah terjadilah benturan nilai, oleh sebab nilai hidup dari kebudayaan bangsa lain tidak selalu sejalan dengan nilai budaya bangsa kita. IKIP/FKIP yang diberi tugas untuk menyiapkan
tenaga
pendidik,
dihadapkan
pada
22
tantangan untuk mengatasi benturan-benturan nilai yang terasa mulai mengganjal generasi muda bangsa kita.
Dengan demikian untuk menghadapi tantangan-tantang-
an ini, maka isi pendidikan IKIP/FKIP benar-benar dapat membentuk watak dan kepribadian serta menjunjung tinggi ilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Sebetulnya
n
globalisasi itu sendiri sebenarnya suatu peluang untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa kita, hanya saja kita dituntut kemampuan untuk mengendalikan dan memamfaatkan globalisasi, seperti yang dikemukakan oleh Fakry Gaffar bahwa :
krJ^T10;!1 yangkomunikasi melanda adalah kehidupanalatseperti komputer dan 9i°bal teknologi yang
dapat memberikan kemudahan bagi manusia, bilamana te?nn^ me;9Ua5a\ keterampilan yang dituntut oleh teknologi tersebut. (1991: 7). Bertolak dari
pandangan
tersebut jelaslah bahwa
IKIP/FKIP mempunyai peranan yang spesifik tantangan-tantangan globalisasi. Isi dan
terhadap program
pendidikan IKIP/FKIP benar-benar dapat mengikuti gerak maju era globalisasi, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur bangsa kita. Suatu pertanyaan mendasar yang dapat dikemukakan ialah "sosok guru" yang bagaiamanakah yang perlu disiapkan oleh IKIP/FKIP dalam menghadapi tantangan globalisasi ? jawaban atas pertanyaan tersebut ialah sosok guru yang diharapkan adalah guru yang mampu menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi,
berwatak dan berkepribadian
23
bangsa Indonesia, serta menjunjung tinggi nilai-nilai
budaya bangsa kita. Karena itu untuk merespon tantangan ini, maka isi program pendidikan pada IKIP/FKIP dapat berorientasi ke masa depan dan dapat mengendalikan peru bahan. IKIP/FKIP sebagai lembaga yang bertugas menyiapkan calon-calon tenaga pendidik, perlu menanamkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memadai sesuai dengan tuntutan lembaga pemakai jasa guru. Itulah sebabnya agar keluaran IKIP/FKIP dapat memenuhi tuntutan lembaga pemakai jasa guru, maka IKIP/FKIP dihadapkan pada suatu upaya untuk mengendalikan baik inputnya, proses, maupun outputnya. Kalau ketiga komponen ini tidak dikendalikan maka pemenuhan atas tuntutan pemakai jasa guru tidak akan
terpenuhi. Tuntutan-tuntutan yang disyaratkan oleh lembaga pemakai jasa guru patut diterima oleh IKIP/FKIP. Apa yang disyaratkan itu sebenarnya berupaya untuk meningkatkan mutu pada setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Performence guru memainkan peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar, walaupun masih banyak lagi komponen-komponen lain yang turut mempengaruhinya. Jadi jelaslah bahwa persyaratan yang dituntut itu merupakan hal yang wajar untuk diketahui dan dipenuhi oleh IKIP/FKIP.
Itulah sebabnya antara supply dan demand tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Kedua-duanya saling membutuhkan dan secara bersama-sama menanggulangi merosotnya mutu
24
pendidikan, kebodohan dan kemiskinan. Namun berdasarkan
pengamatan tampaknya kedua lembaga ini dalam eksistensinya
bekerja sendiri-sendiri dan tidak saling topang menopang untuk pengembangan pendidikan. Hal ini demikian oleh karena kedua lembaga ini dalam fungsi dan peranan tidak
saling mempengaruhi yang disebabkan karena masing-masing lembaga mempunyai atasan yang berbeda, sehingga dalam
banyak hal terjadi silang pendapat dalam menanggulangi masalah kebutuhan guru. Pada hal justru kedua lembaga ini
perlu menciptakan koordinasi dan kerja sama dalam upaya mencari terobosan-terobosan baru untuk peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan.
Sehubungan dengan hal tersebut Pedoman Pelaksanaan
Pola pembaharuan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan mengatakan bahwa :
informlsf^t ^"^ "^ "^hendaki informasi ketenagaan yang tepat setiap tersedianya tahun dan proyeksi ketenagaan untuk beberapa tahun berikutny* d^a? dilakukan. i"r°:mfBi tersebut d.pat Unit-unit P^encanaan departemen Pterpadu San ktidaV dan S;Sa?rmiat yan9,memerluk- tenaga kependidikan ha
Jlrmasur^Sistr'H J"mlahmenurut ****** yan° mereka P«rlukan xermasuk distribusi ketenaqaan (niir„ administrator, pembimbing, dan lain- an . ^enii
bidang studi (matematika, bahasa dan lam-lain) Jenjang kualifikasi dan daerah-daerah penemplten" LPTK harus pula siap dengan informasi tentanS kemlmpuan untuk memenuhi keperluan yang lebih beSar aJau
yang berbeda dimasa mendatang. (1979: 3".
Dari pandangan ini menjelaskan bahwa perlu adanya informasi yang jelas dari kedua lembaga ini. Informasi tentang ketenagaan guru sangat penting oleh karena hal ini
25
akan mendukung dalam pengambilan kebijakan. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut "Apakah Perencanaan
Pendidikan pada Kanwil Depdikbud Sulawesi Utara dapat Merespon Kebutuhan Tenaga Guru Sekolah Menengah Atas (SMA)?"
Untuk mengkaji lebih mendalam permasalahan tersebut, maka penelitian ini lebih difokuskan pada kebu tuhan guru (teacher demand) sekolah menengah atas dari
tahun 1986 hingga tahun 1990, dan proyeksi kebutuhan guru sekolah menengah atas tahun 1991 hingga tahun 1995. Kemam puan
penyediaan
tenaga guru
(teacher supply)
sekolah
menengah atas (SMA) oleh IKIP/FKIP dari tahun 1986 hingga tahun 1990, dan proyeksi penyediaan tenaga guru SMA oleh IKIP/FKIP untuk periode tahun 1991 hingga tahun 1995. Bertolak dari rumusan masalah dan
fokus masalah
dapatlah dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Apakah kebutuhan guru sekolah menengah atas
tahun 1986 hingga tahun 1990 di Sulawesi Utara dapat terpenuhi?
Asumsi yang digunakan untuk mengkaji permasalahan kebutuhan tenaga guru ialah rata-rata jumlah siswa
r>
6
perkelas (rata-rata kelas), banyaknya kelas paralel untuk
setiap kelas dan banyaknya program, banyaknya siswa yang mendaftar dan diterima, banyaknya siswa perprogram (Al, A2 dan A3), tingkat pertumbuhan siswa yang naik kelas (pro motion), tingkat pertumbuhan siswa yang mengulang (repeti tion), tingkat pertumbuahan siswa yang tidak melanjutkan (drop out), beban belajar siswa perminggu, beban mengajar guru perminggu, serta beban belajar
mata
pelajaran
perminggu.
b. Apakah IKIP/FKIP dalam penyediaan tenaga guru tahun 1986 sampai dengan 1990 dapat memenuhi kebutuhan tenaga guru sekolah menengah atas di Sulawesi Utara? Asumsi yang digunakan untuk mengkaji permasalahan penyediaan tenaga guru sekolah menengah atas oleh IKIP/
FKIP ialah : banyaknya mahasiswa yang mendaftar dan dite rima, banyaknya mahasiswa semester awal, banyaknya maha
siswa yang bertahan sampai dengan semester akhir, dan banyaknya mahasiswa persemester berdasarkan program setiap jurusan.
c Proyeksi kebutuhan tenaga guru sekolah menengah atas (SMA) dari tahun 1991 sampai dengan 1992 di Sulawesi Utara.
Asumsi yang digunakan untuk mengkaji permasalahan proyeksi kebutuhan tenaga guru sekolah menengah atas
ialah : proyeksi banyaknya siswa, proyeksi banyaknya
kelas untuk setiap program, proyeksi banyaknya siswa yang mendaftar
dan
diterima,
proyeksi
banyaknya
siswa
perprogram (Al, A2, dan A3), proyk.i pertumbuhan siswa
yang naik kelas (promotion), proyeksi pertumbuhan siswa yang mengulang (repetition), proyeksi pertumbuhan siswa yang tidak melanjutkan (drop out), proyeksi kebutuhan
tenaga guru total, dan proyeksi kebutuhan tenaga guru permata pelajaran.
d- Proyeksi penyediaan tenaga guru sekolah menengah atas (SMA) dari tahun 1991 sampai dengan 1995 di Sulawesi Utara.
Asumsi yang digunakan untuk memproyeksi penyediaan
tenaga guru sekolah menengah atas oleh IKIP/FKIP ialah proyeksi banyaknya calon mahasiswa yang mendaftar dan
diterima, proyeksi banyaknya mahasiswa semester awal, pro yeksi banyaknya mahasiswa yang bertahan sampai semester akhir, proyeksi banyaknya mahasiswa persemester berdasar
kan program setiap jurusan, serta proyeksi penyediaan tenaga guru yang relevan dengan mata pelajaran pada sekolah menengah atas sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, maka tujuan penelitian ini ditetapkan sebagai berikut
:
28
1.
Tujuan Umum
Penelitian
ini
secara
umum
diarahkan
untuk
memperoleh gambaran empirik mengenai upaya penyelenggaraan pemenuhan kebutuhan dan penyediaan tenaga guru sekolah menengah atas (SMA). 2.
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mendeskripsikan d<^n menganalisis data kebutuhan tenaga guru sekolah me^ng^ atas (SMft) dar± tahun 19g6 h±ngga 1970.
b. Memproyeksi kebutuhan tenaga guru sekolah menengah atas (SMA) untuk tahun 1991 hingga tahun 1995.
c Mendeskripsikan dan menganalisis data penyediaan tenaga guru sekolah menengah atas (SMA) dari tahun 1986 hingga tahun
1990.
d. Memproyeksikan penyediaan tenaga guru sekolah menengah atas (SMA) untuk tahun 1991 hingga tahun 1995. D.
Kegunaan Penelitian
Masalah kebutuhan tenaga guru sebenarnya sudah lama
mendapat perhatian dari
berbagai
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,
kan, pemerintah daerah,
Sulawesi Utara. kebutuhan
dan
para
pihak,
baik
pihak
perencana Pendidi
pakar pendidikan di
akan tetapi pengkajian atas
masalah
tenaga guru tersebut secara integratif dan
sistemik belum mendapat perhatian yang sungguh-sungguh
29
dikalangan para pengelola pendidikan. Karena itu melalui penelitian ini diharapkan :
1- Dapat digunakan untuk dipertimbangkan dalam proses pembuatan serangkaian kebijakan pemenuhan kebutuhan tenaga guru sekolah menengah atas (SMA).
2. Pengembangan disiplin ilmu administrasi
pendidikan
khususnya perencanaan pendidikan.
3. Penambahan pengalaman dan wawasan ilmiah serta peningkatan karier akademik bagi penulis yang bertugas sebagai tenaga pengajar di Perguruan Tinggi. E. Kerangka Penelitian
Bentuk penelitian yang dilaksanakan ini adalah deskriptif-analitik dengan pendekatan kualitatif.
Ada sejumlah asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan kerangka penelitian, yaitu :
1- Perencanaan pendidikan perlu dan harus diterapkan pada semua institusi pendidikan termasuk Kanwil Depdikbud.
2. Perencanaan kebutuhan tenaga guru sekolah menengah atas pada Kanwil Depdikbud perlu memperhatikan kecenderungan perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat.
3. Perencanaan kebutuhan tenaga guru sekolah menengah atas dihadapkan pada pengidentifikasian kedinamisan penduduk selama periode tertentu.
4. Perencanaan pendidikan pada Kanwil Depdikbud dihadapkan pada adanya kecenderungan kedinamisan ledakan arus murid
30
sebagai konsekuensi dari demokratisasi pendidikan.
5. Kebutuhan tenaga guru sekolah menengah atas terkait erat dengan tingkat kemampuan penyediaan tenaga guru oleh IKIP/FKIP.
6. Rencana kebutuhan tenaga guru sekolah menengah atas terkait erat dengan budget negara.
Bertolak dari beberapa asumsi tersebut, dapatlah disusun kerangka penelitian yang kemudian dijadikan kerangka acuan.
Secara skematik, kerangka penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
.dlkbud
Kanwil Dep-,
pada
PereneaaaanN Curu
Sekolah Kenengah Atas ?
kebutuhan tenaga
dldlkan pada Kanwil Dep dlkbud dapat aereepon
Apakah Perencanaan Pen—i
fiU .|.rTjCfflT»JBrii«m
oleh
IKIP/PKIP tahun 199 1225
.4
Tenaga Curu
Proyeksi Penyediaan
1990
IKIP/FKIP-tahun 1986
vTenaga Curu oleh
Kemampuan Penyediaan
hnn 1991-1995
Proyeksi Kebutuhan Tenaga Curu SUA Ta-
1nflf_ 1986
Gambar 1 kerangka penelitian
Penyediaan Tenaga Gul ru Sekolah Uenengah
Sekolah Kenengah Ataa
t Kebutuhan Tenaga Curu
.
Kebutuhan Tenaga GuSV1 Tahun Vat....* SMA 1990
* ru 1-11
Apakah Kebutuhan Tenaga-
dalam
tahun
dapat
naga Curu S»A untuk Ta hun 1991-1995
Proyeksi Penyediaan Te
SMA dl Sulawesi Utara 1
memenuhl kebutuhan guru
tahun 1986-1990
penyediaan tenaga guru
Apakah IKIP/PKIP
perlukan untuk
1991-199?
Proyeksi Kebutuhan Tena ga Curu apakah yang di
dapat teroenuh^ 7
Curu SKA tahun 1986 1990 di Sulawesi Utara
31