Bab I Pendahuluan
Life is gift, life is a precious journey
A. LATAR BELAKANG
"The World is a book, and those who do not travel read only a page," sebuah pernyataan dari Saint Agustine yang dikutip oleh Trinity1 dalam bukunya, The Naked Traveler 2 (2010). Buku adalah jendela dunia, perumpaan ini klise dan rasanya sudah terlalu usang namun selalu menjadi ungkapan yang tepat untuk mendiskripsikan buku. Sebagai jendela dunia, buku telah membantu kita dalam menginterpretasikan dunia. Dengan buku, kita bisa melihat, memahami dan menyerap apa saja yang ada di sekitar kita. Kita pun bisa mengetahui sesuatu hal yang sebelumnya tidak kita ketahui. Buku pula yang mencatat serta merekam setiap gerak peristiwa dan pengetahuan yang terjadi di muka bumi.2 Buku membantu kita untuk melihat dunia bahkan memberikan gambaran cukup jelas tentang dunia hingga memandu kita dalam menjelajah dunia secara nyata. Menurut Puthut EA (Sigit Susanto, 2005: xvi), di dalam buku terdapat perpaduan antara dua jenis perjalanan penting. Pertama, perjalanan imajinasi. Buku adalah sebuah peta, sebuah kendaraan sekaligus sebuah perjalanan. Seorang pembaca akan dibawa jauh mengembara, dengan tubuh yang tidak bergeser sedikit pun dari tempat duduknya. Sementara jenis perjalanan kedua adalah perjalalanan tubuh. Sebuah pengelanaan menuju tempat-tempat yang baru, mendapati hal-hal yang baru, kota asing, aroma tanah yang juga asing. Berdasarkan pandangan Puthut EA, maka buku 1
Seorang traveler yang bergaya independent traveler dan kini berprofesi sebagai fulltime traveler dan freelance tavel writer, penulis buku catatan perjalanan national bestseller The Naked Traveler 2 Terarsip dalam Imam Cahyono, "Buku, Ilmu, dan Peradaban 'Kacang Goreng'", Sinar Harapan, 13 September 2003
1
apa pun termasuk buku perjalanan mampu membujuk pembacanya untuk melakukan tindakan berupa pengelanaan secara nyata. Pada saat inilah buku mampu menyentuh khalayak. Ketika buku mulai menyentuh khalayak, maka buku menjadi sebuah media massa.3 Buku sebagai media mampu menjadi panduan maupun tuntunan bagi kita sebagai stimulan untuk memahami suatu gagasan ataupun pemikiran, pembentuk identitas, pengonstruk gaya hidup, representator fenomena, bahkan menjadi penggerak yang memotivasi kita untuk melakukan beragam aktivitas, termasuk didalamnya adalah aktivitas travelling ala backpacker. Buku bertema travelling tersebut dikenal dengan istilah travel writing Travel writing sebenarnya bukanlah tema yang baru dalam industri buku di Indonesia. Travel writing adalah sebuah upaya untuk mendokumentasikan perjalanan dalam bentuk yang lebih detail, yaitu foto dan reportase.4 Para pelakunya dikenal dengan sebutan travel writer.5 Di Indonesia sendiri, travel writing sebetulnya sudah mulai digemari di era tahun 1980-an dengan tokoh-tokohnya seperti HOK Tanzil, seorang profesor di bidang medis dan Norman Edwin, seorang pendaki gunung, pecinta alam legendaris, dan wartawan.
6
Kisah perjalanan HOK Tanzil
dipublikasikan dalam majalah Intisari.7 Norman Edwin sebagai seorang wartawan, mempublikasikan kisah perjalanannya di surat kabar Kompas.8 Kemudian pada akhir tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an, Balada si Roy, novel serial besutan Gol A Gong berhasil merebut perhatian khalayak hingga menjadi novel serial best seller pada masa itu. Pada masa itu, profesi penulis perjalanan yang tidak banyak dikenal orang. Hampir tidak ada orang Indonesia yang melakukan perjalanan sambil menulis, kecuali bila pelaku perjalanan tersebut adalah seorang wartawan yang difasilitasi 3
Samuel L. Becker and Churchill L. Roberts. 1992. Discovering Mass Communication (3rd edition). New York: Harper Collins Publisher. Hal. 79 4 Yudasmoro. 2012. Travel Writer. Solo: Metagraf, Creative Imprint of Tiga Serangkai, hal. x 5 Ibid. hal. xi 6 Ibid. hal. xi 7 Gol A Gong. 2012. Te-We (Travel Writer). Jakarta: KPG, hal. 11 8 Ibid. hal. 13
2
perusahaan atau lembaganya untuk melakukan ekspedisi dan menulis catatan perjalanan secara bersambung di majalah atau korannya. Gol A Gong (2012: 13) menyebutkan beberapa diantaranya adalah Emji Alif (Gadis), Daniel Chaniago (Kartini), Gerson Poyk (Sarinah), dan Norman Edwin (Kompas). Pada tahun 1980-an, belum banyak orang yang melakukan aktivitas perjalanan secara backpacking. Backpacking adalah cara untuk “menjelajah” dunia. Sebuah perjalanan mandiri yang diurus oleh diri sendiri, tidak bergantung pada event organizer atau travel agent. 9 Selain itu dari segi pembiayaan, backpacking merupakan upaya untuk menghemat semua lini pengeluaran selama perjalanan, baik biaya transpor, akomodasi, kalau bisa cari gratisan melalui berbagai komunitas backpacker di seluruh dunia yang membuka rumahnya untuk diinapi backpacker lain secara gratis, bahkan untuk konsumsi pun apa adanya saja. Dengan demikian biaya bisa dihemat agar bisa berjalan sejauh mungkin.10 Pelaku backpacking disebut backpacker. Backpacker adalah istilah untuk menyebut traveller dengan budget minim demi misi menjelajahi tempat-tempat menarik di dunia. Tas punggung atau backpack menjadi ciri khas yang menemani mereka.11 Pembawa ransel diasosiasikan sebagai orang yang "miskin, muda, dan kuat." Asosiasi ini membuat backpackers rentan dilecehkan saat masuk ke hotel bagus dan restoran mahal.12 Bila dirunut ke belakang, cikal-bakal perjalanan ala backpacker ini berkaitan dengan gerakan Hippie tahun 70-an yang mulai berkembang dari Boston sampai Seattle, Detroit sampai New Orleans. Ada juga kaum Hippie di Paris dan London, 9
Lihat Majalah Digital Info-Backpacker Edisi 7 terarsip dalam http://www.infobackpacker.com/makna-backpacking-dimata-elok-dyah-messawati.htm/feed diakses 19 Juli 2011 10
Ibid Lihat http://newspaper.pikiran rakyat.co.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=43686 terarsip dalam http://artsons.wordpress.com/impian-keliling-dunia/balada-backpacker-bag-2/feed/ diakses 15 Juni 2011. 12 Trinity. 2007. The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia. Yogyakarta: C | publishing. Hal. 156 11
3
New Delhi, dan Khatmandu di mana kaum Hippie Amerika melakukan trekking dan membuat jalur di Amsterdam sampai ke Bali, Kabul, Kashmir, dan Kathmandu untuk mencari hallucinogens drugs yang murah dan ajaran cinta kasih Buddha. Jalur ini dikenal dengan nama "Hippie trail" atau "hashish trail" (Dadang Rusbiantoro, 2008: 9). Beberapa backpackers saat ini mulai menghidupkan kembali jalur hippie tahun 1960-an dan 1970-an yang mengikuti bagian-bagian dari jalan sutera tua (jalur sutra kuno), meskipun dengan cara yang lebih nyaman, dengan tujuan mengkampanyekan gerakan "Go Green". Melihat jauh ke dalam sejarah, Giovanni Francesco Gemelli Careri oleh beberapa pengamat disebut sebagai salah satu backpackers pertama di dunia.13 Mayoritas kaum Hippie didominasi orang kulit putih yang berasal dari kelas menengah, remaja yang berpendidikan, berusia antara 17 sampai 25 tahun (meskipun ada juga yang berumur 50 tahun). Mereka ingin memberontak dari kehidupan sehari-hari yang hanya berorientasi pada kerja, pencapaian status sosial dan kekuasaan yang tiada henti. Mereka menghujat uang sebagai sumber segala sumber kejahatan serta menciptakan dunia utopia dengan membangun masyarakat di luar masyarakat dan melarikan diri dari komersialisasi kota.14 Konon gaya hidup ini sebagai bentuk ekspresi resistensi kaum Hippie terhadap kemapanan. Alih-alih memilih kemapanan dalam hidup, kaum Hippie memilih untuk hidup bebas secara nomaden alias berpindah-pindah dengan kelompoknya. Kaum Hippie sering pula disebut sebagai Flower Generation dan mereka inilah nenek moyang para backpackers. Perkembangan selanjutnya para pelaku perjalanan (traveler) dan penulis perjalanan (travel writer) didominasi oleh lelaki entah karena memang tidak ada perempuan yang menjadi petualang atau karena perempuan tidak tertarik membuat tulisan perjalanan. Hal ini membuat petualang dan penulis perjalanan identik dengan 13
Lihat http://idiotraveler.blogspot.com/2012/02/definisi-sejarah-dan-jenis-backpacker.html diakses 12 Maret 2012 14 Dadang Rusbiantoro. 2008. Generasi MTV. Yogyakarta: Jalasutra. Hal. 10
4
sosok lelaki dengan segala identitas maskulinnya yang cenderung kuat dan keras. Yudasmoro15 (2012) bahkan menyebut HOK Tanzil (Intisari) dan Norman Edwin (Kompas) sebagai Bapak Travel Writer Indonesia di era tahun 1980-an. Hal ini mempertegas bahwa aktivitas perjalanan dan penulis perjalanan identik sebagai aktivitas maskulin. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, di luar negeri para pelaku perjalanan sekaligus penulis perjalanan juga didominasi oleh para lelaki seperti Marcopolo dan Ibnu Batuta. Cerita backpacker tentunya tak lepas dari penggambaran petualang sepanjang masa Ernest Hemingway yang menginspirasi perjalanan para penduduk dunia. Inspirasi pelaku perjalanan lain diantaranya adalah Jack Kerouac, Nicolas Bouvier, Paul Theroux, dan Michael Palin dengan gaya perjalanan dan gaya penulisan perjalanan masing-masing.16 Menurut penuturan Gol A Gong (2012) dalam bukunya TE-WE (Travel Writer), pada era 80-an, petualang lelaki biasanya merasa semakin tertantang ketika sebuah kota yang dikunjunginya semakin asing. Justru semakin asing sebuah tempat, semakin seru perjalanannya. Wanita, sebaliknya, sering dianggap selalu mengeluh tersesat, "Di mana kita sekarang?" Hal ini menyiratkan sekaligus menegaskan bahwa aktivitas perjalanan terutama perjalanan bergaya backpacker merupakan aktivitas maskulin yang identik dengan sifat pemberani, percaya diri juga mandiri untuk menghadapi sebuah tempat yang asing. Di sisi lain, perempuan yang kerap distereotipkan inferior dengan sifat femininnya seperti lemah lembut, pemalu, penakut, menyukai rasa aman, menyukai kenyamanan, dan selalu bergantung hanya menjadi sosok pengeluh yang tidak menyukai suatu hal yang asing. Kemudian di tahun 2000-an, buku bertema travelling kembali populer. Adalah Trinity, The Naked Traveler, seorang perempuan pekerja kantoran biasa yang telah 15
Lelaki yang berprofesi freelance travel writer dan aktif menulis untuk beberapa media cetak papan atas seperti Garuda Inflight, Garuda Inflight-middle east, Jalan-Jalan dan Applaus the Lifestyle 16 http://www.mytravelnotes.web.id/2011/06/25/are-you-a-backpacker-flashpacker-tourist-traveler/feed diakses 12 Maret 2012
5
menjadi pelopor sekaligus fenomena kembali booming-nya travel writing serta turut mempopulerkan aktivitas perjalanan bergaya backpacker di Indonesia. Awalnya The Naked Traveler adalah travel blog di http://naked-traveler.com yang dibuat oleh Trinity pada tahun 2005. Trinity yang sedari kecil sudah senang jalan-jalan mulai menekuni hobi jalan-jalannya semenjak remaja. Dia juga mulai rajin menuliskan kisah perjalanannya meski hanya dalam bentuk catatan harian. Kemudian salah seorang temannya, mengusulkan agar tulisan Trinity dipublikasikan secara online melalui blog. Maka dibuatlah blog The Naked Traveler yang berisi tulisan merupakan pengalaman pribadi Trinity selama menjelajah berbagai pelosok baik dalam negeri maupun luar negeri dengan gaya bahasa ringan serta spontan alias ceplas-ceplos, "...seperti seorang teman yang baru pulang dari bepergian menceritakan kisahnya kepada kita," ungkap seorang pembaca blog The Naked Traveler. 17 The Naked Traveler kemudian menjadi finalis Indonesia’s Best Blog Award 2007 dalam “Pesta Blogger” pada tanggal 27 Oktober 2007 di Jakarta.18 Hingga pertengahan bulan Februari 2014, travel blog The Naked Traveler yang mulai aktif sejak tahun 2007 ini, telah mendapat pengunjung sebanyak 5.432.525. Trinity tak pernah menyangka bahwa blognya akan dikunjungi banyak orang dan mempunyai banyak penggemar bahkan menjadi hit. Kemudian sebuah penerbit yaitu Bentang Pustaka yang menyarankan Trinity membuat buku. Maka pada bulan Juni 2007 terbitlah The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia melalui C|publishing Bentang Pustaka, yang ternyata banyak disukai. Belum genap dua tahun terbit, The Naked Traveler telah terjual sekitar 40.000 kopi.19 Dan kini di tahun 2014, The Naked Traveler telah memasuki edisi cetak ke-25. The Naked Traveler pun menjadi national bestseller begitupun dengan The Naked Traveler 2 yang terbit tahun 2010 dan telah memasuki edisi cetak ke-10. Sampai kini, 17
http://www.bukukita.com/Non-Fiksi-Lainnya/Non-Fiksi-Umum/55105-The-Naked-Traveler---Catata n-Perjalanan-Seorang-Backpacker.html diakses 23 Oktober 2012 18 'http://naked-traveler.com/about diakses 17 Oktober 2012 19 Terarsip dalam http://travel.kompas.com/read/2009/05/16/11570172/Perucha.Hutagaol.Jelajahi.37.Negara
6
Trinity telah menulis 8 buku yang bercerita mengenai perjalanannya baik keliling nusantara maupun keliling dunia. Semenjak buku The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia terbit tahun 2007 dan populer di kalangan pembaca maupun pelaku perjalanan, mulai muncul buku-buku yang bertema serupa. Tak dapat dipungkiri kemunculan Trinity sebagai perempuan penulis kisah perjalanan di Indonesia pun menjadi fenomena baru di dunia kepenulisan di Indonesia. Sosok Trinity pun menjadi populer bahkan menjadi role model sebagai perempuan petualang. Munculnya perempuan sebagai travel writer sekaligus traveler, memunculkan penulis-penulis dan traveler perempuan lainnya. Sebut saja Marina Silvia K. dengan Keliling Eropa 6 Bulan Hanya dengan 1.000 Dolar Lewat Jalur Pertemanan (2008), Matatita dengan Tales From The Road: Mencicipi Keunikan Budaya dari Yogyakarta hingga Nepal (2009), Claudia Kaunang dengan Rp 2 Juta Keliling Thailand, Malaysia, & Singapura (2009), Elok Dyah Messawati dengan Backpacking Hemat ke Australia (2009), dan masih banyak lagi penulis perempuan lainnya yang meramaikan dunia penulisan buku bertema travelling sekaligus menjadi penggiat aktivitas perjalanan ala backpacker tersebut. Beberapa penulis perempuan tadi, selain menjadi backpacker atau independent traveler sekaligus travel writer mereka juga menjadi penggiat aktivitas dan komunitas perjalanan bergaya backpacker. Seperti Matatita menjadi penggiat aktivitas perjalanan bergaya backpacker melalui Matatours sebagai agen wisata perjalanan. Begitu pula dengan Claudia Kaunang yang kerap mengadakan perjalanan bergaya backpacker sembari wisata belanja bersama pembaca bukunya. Lain lagi dengan Marina Silvia K. yang mempopulerkan jaringan silaturahim Hospitality Exchange dalam perjalanannya selama 6 bulan di Eropa. Ada pula Nancy Margarita yang akrab dikenal dengan nama NoneSee adalah penulis sekaligus duta jaringan silaturahmi dunia couchsurfing. Couchsurfing merupakan komunitas backpacker terbesar di dunia yang memiliki situs di couchsurfing.com yang telah beranggota sekitar 2 juta
7
backpacker. Setelah hampir lima tahun Nancy berkampanye secara sukarela sejak 2005, tahun 2010 anggota couchsurfing di Indonesia mencapai 10 ribu orang dengan akun aktif 6.700. Mereka tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Ada pula Elok Dyah Messawati yang mendirikan Komunitas Backpacker Dunia melalui milis pada tanggal 5 September 2009 untuk datang saat launching. Kemudian komunitas ini terus berkembang di jejaring sosial Facebook hingga memiliki lebih dari 12.000 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun 2013. Dapat dikatakan maraknya aktivitas perjalanan bergaya backpacker turut pula mempopulerkan pula aktivitas maupun profesi travel writing sebagai sesuatu yang didambakan atau prestige bagi pelakunya. Maraknya aktivitas perjalanan saat ini turut didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Teknologi komunikasi memberi kemudahan untuk mengakses informasi sedangkan teknologi transportasi memberi kemudahan untuk mengakses tempat-tempat wisata di berbagai belahan dunia. Maraknya buku bertema travelling yang banyak digemari menunjukkan buku masih memiliki tempat di hati khalayak. Buku masih mampu menjadi media yang menyebarkan
gagasan
secara
massif
dan
memiliki
peran
penting dalam
mempopulerkan budaya, gaya hidup ataupun identitas melalui wacana didalamnya. Industri buku sebagai bagian dari industri media menjadi bagian penting dalam industri budaya, terutama budaya populer. Ketika buku menjadi media populer, buku pun menjadi komoditi. Buku tidak dapat pula lepas dari proses perkembangan budaya, ilmu, teknologi, dan sebagainya yang sering kali menciptakan segmen manusia sesuai dengan bidang atau spesialisasi.20 Lahirnya buku-buku populer pun sering kali tidak bisa dipisahkan dari ketersediaan buku-buku segmented tertentu, seperti booming-nya buku bergenre travel writing. Maka tidak hanya buku melahirkan pasar buku melainkan pasar buku melahirkan buku.21 20
Adhe. 2007. Declare Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007) Yogyakarta: Komunitas Penerbit Jogja. hal. xxxii 21 Ibid. hal. xxxiii
8
Fenomena travel writing yang dipelopori oleh Trinity telah membuat para perempuan
mulai berani menjelajah dunia. Hadirnya buku kisah perjalanan The
Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia yang ditulis perempuan telah menjadi angin segar di dunia kepenulisan perjalanan. Di sisi lain buku ini mengungkapkan bahwa perempuan pun dapat menjadi petualang alias traveler bergaya backpacker sekaligus mampu menuliskan kisah perjalanannya sebagai travel writer. Padahal selama ini perempuan kerap distereotipkan dengan tampilan sebagai sosok inferior dengan segala sifat femininnya yang cenderung lemah lembut, jauh dari gambaran sosok petualang yang pemberani sebagai traveler apalagi independent traveler dan pecinta kisah-kisah roman seperti chicklit. Erica Carter mengatakan, bahwa wanita marjinal dan subordinat di dalam bidang 'budaya kerja maskulin' (kelas pekerja) akan tetapi, mereka dibentuk oleh ideologi masyarakat patriarki untuk menjadi dominan di bidang subordinat, yaitu sebagai objek konsumsi atau objek tontonan dan sebagai 'subjek konsumsi' (konsumer). Pria identik dengan 'produksi' (pabrik, teknologi, manajemen), sedangkan wanita identik dengan 'konsumsi' (belanja, Mal, dapur). 22 Maka menarik untuk mengkaji bagaimana seorang perempuan "bernama" Trinity membingkai, mengkomunikasikan maupun merepresentasikan identitas dirinya berdasarkan pengalamannya selama perjalanan dalam buku The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia sebagai media populer.
B. RUMUSAN MASALAH Bagaimana representasi identitas perempuan sebagai penulis perjalanan dan pelaku perjalanan ala backpacker dalam buku The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia.?
22
Yasraf Amir Piliang. 1998 dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (editor). Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hal. xiii
9
C. TUJUAN PENELITIAN Untuk mengetahui representasi identitas perempuan yang berkembang saat ini melalui buku bertema travelling ala backpacker yang tengah populer.
D. MANFAAT PENELITIAN Mengetahui perkembangan representasi identitas perempuan melalui buku bertema travelling ala backpacker yang tengah populer saat ini.
E. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Buku sebagai Produk Budaya Populer dan Media Representasi Identitas McQuail, salah seorang ilmuwan komunikasi terkemuka, dalam bukunya berjudul McQuail's Mass Communication Theory (edisi kelima, 2005) mengungkapkan bahwa buku merupakan sebuah media. Sebagai media, menurut McQuail, buku mempunyai beberapa karakter, yaitu: technology of movable type, bound pages, codex form, multiple copies, commodity form, multiple (secular) content, individual in use, claim to freedom of publication, and individual authorship.23 Buku juga merupakan rekaman budaya dan produk intelektual yang memiliki kemampuan kultural kuat.24 Hal ini dikarenakan beberapa alasan, yakni: Buku adalah agen perubahan sosial dan budaya. Buku adalah tempat penyimpanan kultural yang penting. Buku adalah jendela masa lalu. Buku mampu merepresentasikan sejarah dengan lebih baik dibandingkan media elektronik. Buku menjadi sumber penting dalam pembangunan diri. Buku adalah sumber hiburan, pelarian, dan refleksi personal yang luar 23
Iwan Awaluddin dkk. Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Wendratama (editor) (Yogyakarta:PR2Media, 2010). hlm. 15 24 Stanley J. Baran. 2003. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture. New York: Mc Graw-Hill. Hal. 73
10
biasa. Membaca buku merupakan aktivitas yang lebih individual dan personal dibanding mengakses media massa lainnya. Buku adalah cermin kebudayaan. Bersama dengan media massa lainnya, ia merefleksikan budaya di mana ia diproduksi dan dikonsumsi. Buku pun menjadi kebanggan dan acuan dalam pengembangan budaya dan pengetahuan bangsa yang perlu dimasyarakatkan. Buku yang dimasyarakatkan tentu menyesuaikan dengan selera pasar alih-alih selera masyarakat. Maka tidak dapat dipungkiri buku pun menjadi komoditas seperti
yang
diungkapkan
oleh
McQuail
dalam
McQuail's
Mass
Communication Theory (2005), bahwa salah satu karakteristik buku sebagai media adalah berupa komoditi. Buku menjadi komoditas industri yang diperjualbelikan. Jika buku diterbitkan demi kepentingan pasar, maka wajah jagat perbukuan beralih rupa menjadi industri. Buku yang semula berwajah pendidikan dan pengetahuan beralih rupa menjadi wajah industri.25 Selain itu, buku sebagai komoditi mengungkapkan bahwa pasar buku mempunyai potensi untuk menganekaragamkan buku tapi juga mempunyai bahaya untuk menyeragamkan buku.26 Buku dapat pula melahirkan pasar buku dan pasar buku melahirkan buku. Buku sebagai produk budaya populer lekat dengan budaya populer. Ida (2011: 10) mengungkapkan, kata populer yang sering disingkat “pop”, mengandung arti “dikenal dan disukai orang banyak (umum)”, “sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya, mudah dipahami orang banyak, disukai dan dikagumi orang banyak”. Menurut Raymond William dalam Storey (2004: 10), istilah populer ini memiliki 4 makna: “banyak disukai orang”, “jenis kerja rendahan”, “karya yang dilakukan untuk 25
Imam Cahyono, "Buku, Ilmu, dan Peradaban 'Kacang Goreng'", Sinar Harapan, 13 September 2003 Adhe. Op. Cit., hlm. xxxiii
26
11
menyenangkan orang”, “budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri”. St Sunardi (dalam Adhe, 2007:xxxii) mengungkapkan bahwa buku populer merupakan buku yang dapat membawa kepuasan puncak (baca: menguntungkan) pada semua pihak yaitu penulis, penerbit dan pemilik toko buku juga pembaca tentunya. Memang buku sebagai produk budaya populer tidak dapat menghindar dari komoditi. Adhe (2007:257) mengungkapkan hakikat buku yang di pasar adalah juga produk dagangan, membuat buku sebisa mungkin menarik minat calon pembelinya. Buku sebagai media populer lekat dengan istilah bestseller. Bestseller merupakan istilah untuk mengukur tingkat penjualan buku terbesar. Sebagai komoditi, besaran pangsa pasar buku di Indonesia adalah 225 juta lebih dan 87 persen sudah melek baca, sementara buku hanya dicetak rata-rata antara 1.000 hingga 5.000 eksemplar per judul (di luar buku pelajaran). Akibatnya di Indonesia, buku yang terjual 10.000 eksemplar saja sudah masuk kategori bestseller (Adhe, 2007:133). Di sisi lain, pemakaian istilah best seller bagi para penerbit adalah semacam pancingan untuk meraup pembeli buku lebih banyak padahal tidak sebanding dengan oplah yang dicetak dan jumlah buku yang sudah terjual. Buku sebagai produk tidak dapat lepas dari selera pasar alih-alih selera masyarakat. Selera pasar yang seringkali berubah membuat buku tidak bisa menghindar dari tren. Tren buku pula yang mendorong lahirnya genre-genre baru atau ulangan dalam tema-tema buku seperti politik beraliran kiri, sastra wangi, genre chicklit, hingga tema travel writing yang kembali populer saat ini. Buku yang pada mulanya menjadi sumber pengetahuan tidak lagi dapat menghindar sebagai bagian dari produk budaya populer. Ketika buku merupakan produk industri yang menjadikan buku sebagai komoditas, maka buku pun sangat berkaitan dengan kebutuhan konsumen, ketepatan, dan kecepatan distribusi, efektivitas promosi, serta penentuan harga (Adhe,
12
2007:282). Buku sebagai produk budaya populer tak dipungkiri menjadi komoditas dengan potensi pasar yang menggiurkan. Media dalam hal ini adalah buku, merupakan cermin yang memiliki bingkai untuk menampilkan suatu gagasan maupun identitas. Media terkait dengan konten, memiliki peran dalam ranah produksi baik mengenai budaya maupun makna. Media membuat budaya sebagai upaya untuk membantu menciptakan pengalaman-pengalaman kebudayaan yang menjadi bagian dari aktivitas atau praktik sosial kita (Graeme Burton, 2008: 96). Sebagai contoh, media memaparkan beragam aktivitas untuk mengisi waktu luang juga memaparkan beragam objek wisata yang dapat dikunjungi untuk berekreasi dalam memanfaatkan waktu luang hingga bermunculan rubrik mengenai perjalanan di berbagai media. Misalnya, industri buku dapat pula merepresentasikan apa yang tengah digemari atau populer di tengah masyarakat seperti travel writing yang tengah marak. Dalam produksi, media juga membuat makna-makna tentang kehidupan kita, kepercayaan kita, hubungan kita dan seterusnya yang kerap diistilahkan sebagai representasi (Graeme Burton. 2008: 97). Media merepresentasikan makna yang dikaitkan dengan penampilan yang dikonstruksi. Representasi menyangkut pembuatan makna. Apa yang direpresentasikan kepada kita melalui media adalah makna-makna tentang dunia, cara memahami dunia. Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan.27 Buku tak hanya merupakan wadah untuk menampilkan gagasan mengenai budaya, gaya hidup maupun identitas tetapi juga sarana komunikasi. Apa yang ditampilkan oleh buku dapat dikomunikasikan 27
Lihat http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21260/5/Chapter%20I.pdf.
13
sekaligus disebarkan pada khalayak pembaca, tidak terbatas ruang dan waktu. Buku sebagai media populer tentunya memiliki peran penting dalam merepresentasikan budaya populer. Misal maraknya buku bertema travel writing tentu turut merepresentasikan budaya maupun gaya hidup travelling sekaligus sosok traveler-nya. Buku pun dapat merepresentasikan identitas juga subjektivitas perempuan sebagai traveler dalam budaya populer backpacking yang tengah marak dalam industri buku saat ini.
2. Subjektivitas dan Identitas Subjektivitas dan identitas adalah produk kultural yang spesifik dan tidak abadi. Subjektivitas sebagai proses menjadi seorang pribadi di mana seorang pribadi merupakan 'seluruh aspek' sosial dan kultural. Maka identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin 'eksis' di luar representasi kultural dan akulturasi. Identitas diekspresikan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali oleh orang lain dan diri sendiri. Identitas dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup. Identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan menandai bahwa diri sama atau berbeda dengan orang lain dengan bentuk-bentuk representasi (Chris Baker, 2004:174). Identitas merupakan hasil konstruksi diskursif, produk diskursus atau cara bertutur yang terarah tentang dunia ini (Chris Baker, 2004:12). Dengan kata lain identitas cenderung dibentuk, diciptakan daripada ditemukan, oleh representasi, terutama oleh bahasa. Diskursus membentuk, mendefinisikan dan memproduksi objek pengetahuan dengan cara yang dapat dipahami sambil pada saat yang sama memandang cara penalaran lain sebagai sesuatu yang tak dapat dipahami. Bagi Foucault, diskursus berkaitan dengan bahasa maupun praktik dan mengacu pada produksi pengetahuan yang tertata melalui bahasa yang memberikan makna pada objek materi dan praktik
14
sosial. Foucault merumuskan bahwa kekuasaan tersebar pada semua level formasi sosial, artinya kekuasaan memproduksi relasi-relasi sosial dan identitas (Chris Baker, 2004:21). Melalui bahasa pula identitas 'diciptakan' daripada 'ditemukan'. Identitas bukanlah benda melainkan suatu deskripsi dalam bahasa. Identitas adalah konstruksi diskursif yang berubah maknanya menurut ruang, waktu dan pemakaian.28 Argumen antiesensialisme mengungkapkan bahwa seorang individu atau subjek bukanlah entitas universal yang tetap, namun merupakan efek bahasa yang mengonstruksi 'Saya' dalam tata bahasa. Subjek yang bertutur tergantung pada eksistensi posisi subjek diskursif yang telah ada sebelumnya, ruang hampa atau fungsi dalam diskursus yang digunakan untuk memahami dunia. Pribadi yang hidup diharuskan 'memainkan' posisi subjek dalam diskursus agar dapat memahami dunia dan tampak koheren bagi orang lain (Chris Baker, 2004:22). Subjek diskursus, bagi Foucault adalah mengenai bagaimana subjek 'diarahkan untuk memusatkan perhatian kepada dirinya, menjelaskan, mengenali dan mengakui dirinya sendiri sebagai subjek hasrat' (1985:5) 29 ; artinya, bagaimana orang mengakui dirinya sendiri sebagai subjek bagi dirinya yang terlibat di dalam praktik pembentukan diri, pengakuan dan refleksi. Perhatian terhadap produksi diri sebagai suatu praktik diskursif ini terpusat pada pertanyaan tentang etika sebagai suatu cara untuk 'menyayangi diri sendiri' (Chris Baker, 2004:86). Subjek didefinisikan berkaitan dengan apakah subjek tersebut dan apakah yang bukan subjek tersebut, berkaitan dengan bagaimana subjek berbeda dengan contoh-contoh lain (Graeme Burton, 2008: 135). Subjek merujuk pada identitas sebagai pemahaman tentang citra-diri dan kepemilikan kelompok yang dianut oleh anggota budaya. Identitas datang 28
Dikutip dari Chris Baker. 2004. CULTURAL STUDIES Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana. hal. 175 29 Ibid. hal. 86
15
melalui representasi yang kebanyakan diwacanakan melalui media. Chris Baker (2004:12) mengungkapkan bahwa momen konsumsi menandai salah satu proses di mana kita dibentuk sebagai pribadi-pribadi, salah satunya adalah konsumsi media. Konsep menjadi pribadi tersebut dibentuk melalui subjektivitas dan identitas. Subjektivitas dan identitas terkait erat dan tak dapat dipisahkan. Subjektivitas mengenai apa artinya menjadi satu pribadi sedangkan identitas mengenai bagaimana kita mendeskripsikan diri kita kepada orang lain. Kedua konsep tersebut berupaya menjelaskan bagaimana kita diproduksi sebagai subjek dan bagaimana kita mengidentifikasi diri
kita (atau secara emosional
menanamkan diri kita) dengan deskripsi-deskripsi sebagai laki-laki atau perempuan, hitam atau putih, tua atau muda. Konsepsi yang kita yakini tentang diri kita bisa disebut dengan identitas-diri, sementara itu harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial (Chris Baker, 2004:173). Representasi dalam media, memberi seperangkat pertimbangan tentang nilai. Representasi dapat memperkukuh nilai-nilai tersebut. Representasi menyiratkan bahwa apa yang direpresentasikan didukung oleh alam, oleh tatanan alami terhadap berbagai hal. Tindakan ini mendukung berbagai ketidaksetaraan kekuasaan dalam hal gender, kelas sosial, dan seterusnya. Ketidaksetaraan kekuasaan dalam hal gender, salah satunya menyatakan bahwa perempuan 'secara alami' lebih baik daripada laki-laki dalam merawat anak. Representasi turut mendukung pula ide-ide tentang (Graeme Burton, 2008: 139): perempuan-perempuan itu emosional (lebih daripada laki-laki) emosi dipertentangkan dengan logika (laki-laki logis) keberlebihan emosi tidak diharapkan (apa pun tingkat keberlebihan tersebut) emosi adalah kelemahan (perempuan lemah, laki-laki tidak)
16
Representasi
merujuk
pada
pengkategorian
orang-orang
dan
pengkategorian ide-ide tentang mereka. Representasi dikonstruksi melalui cara bagaimana media digunakan, dan melalui cara kita melihat subjek tersebut. Media mengorganisasikan pemahaman kita tentang berbagai kategori orang lain dan tentang mengapa orang-orang tertentu hendaknya dimasukkan ke dalam kategori-kategori tertentu. Sebagai produk kultural, Hall (Chris Backer, 2004:185) berpendapat bahwa identitas kultural dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah, melainkan sebagai proses menjadi. Identitas kultural terus-menerus diproduksi di dalam vektor kemiripan dan perbedaan di mana posisinya terus-menerus berubah dengan titik perbedaan yang dapat menyebabkannya jadi beragam dan berkembang. Titik perbedaan itu beberapa diantaranya adalah identifikasi kelas, gender, seksualitas, umur, etnisitas, kebangsaan, agama, dan lain-lain. Masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak stabil. Makna feminitas, maskulinitas, laki-laki, perempuan, tua, muda, dan lain-lain, terikat kepada perubahan yang terus berlanjut karena makna tidak pernah berhenti atau selesai.30
3. Identitas dan Subjektivitas Perempuan Kenneth J. Gergen, penulis buku The Saturated Self: Dillemas of Identity in Contemporary Life (1991) mengungkapkan, "Kita memperoleh pandangan dan nilai-nilai dari seluruh sudut dunia. Kita juga mengambil banyak isyarat dari media. Sehingga identitas kita kini tengah terus berubah dan kembali diarahkan, sebagaimana kita bergerak mengarungi lautan hubungan atau relasi yang terus berubah. Manusia hanyalah sekadar satu unit yang sangat sederhana dari sebuah relasi atau hubungan. Kita menyadari apa dan siapa pun kita bukanlah merupakan hasil dari esensi kepribadian, 30
Ibid. hal. 186
17
melainkan bagaimana kita dikonstruksi di dalam masyarakat."31 Salah satu konsep identitas yang diungkapkan oleh Stuart Hall adalah subjek posmodern justru subjek yang terfragmentasi dan terdiri dari beberapa identitas yang kadangkala kontradiktif dan belum selesai (Hall, 1992:276). Subjek posmodern dapat dikatakan sebagai subjek yang tidak memiliki identitas yang tetap, esensial ataupun permanen. Identitas menjadi sebuah permainan yang dibentuk dan diubah terus menerus dalam hubungannya dengan cara subjek
direpresentasikan
dalam sistem budaya
yang
melingkupinya (Hall, 1992:277). Sedangkan dalam disiplin ilmu kajian budaya, identitas didefinisikan sebagai berikut: A temporary stabilization of meaning, a becoming rather than a fixed entity.
The suturing or stitching together of the discursive 'outside' with the
'internal' processes of subjectivity. Points of temporary attachment to subject position which
the
discursive practices constructs for us (Barker,
2000:386). Identitas di sini dilihat sebagai sebuah proses becoming daripada momen being. Untuk dapat 'menangkap' identitas maka diperlukan wacana yang mengkonstruksi identitas untuk kita. Oleh karena itu identitas dimaknai sebagai momen stabilisasi makna sementara yang dikonstruksikan melalui wacana. Begitupula identitas perempuan yang digambarkan sebagai proses becoming seperti yang diungkapkan oleh Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex bahwa "One is not born, but rather becomes, a woman". Menjadi perempuan bukanlah suatu keajegan melainkan suatu "proses menjadi" (becoming) yang tidak pernah selesai. Julia Kristeva menyebut proses menjadi subjek ini kurang lebih sebagai subject-in-process 31
Terlampir dalam Idi Subandy Ibrahim (ed.). 1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung:Mizan. Hal. xv
18
(Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2006:74). Identitas juga berarti bagaimana manusia memposisikan dirinya dan bagaimana manusia diposisikan oleh orang lain. Lebih singkatnya, identitas adalah masalah posisi, bukannya esensi, dan posisi ini dipengaruhi oleh faktor kesadaran diri (yaitu subjektivitas) dan interaksi sosial budaya dengan orang lain.32 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa identitas seseorang bersifat cair. Perempuan sebagai identitas kerap dikaitkan dengan konsep gender maupun seksual. Istilah identitas gender (gender identity) merujuk kepada persepsi diri individu sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Walaupun demikian, identitas gender seseorang mungkin sesuai atau mungkin juga tidak sesuai dengan keadaan (assigned) atau jenis kelamin biologis (biological sex) sebagaimana tertulis dalam surat keterangan lahir.33 Konsep gender dalam Kamus Oxford diartikan sebagai fakta menjadi laki-laki dan perempuan serta isu-isu yang berhubungan dengan perbedaan relasi dan peranan gender. Mary Wollstonecraft, teoritisi feminis yang dianggap sebagai pendiri feminisme modern, diakui sebagai orang pertama (1792) yang menyatakan gender sebagai suatu karakteristik sosial. 34 Gender diperoleh individu melalui proses interaksi dalam dunia sosial. Menurut Judith Butler (1990), 'gender is always doing'. Maskulinitas dan feminitas ditentukan oleh perbuatan, termasuk bagaimana seorang individu mengolah tubuhnya dalam penampilan. Perubahan tubuh berpengaruh kepada subjektivitas seseorang.35 32
Lihat Putri Ayuningtyas. 2009. Tesis Identitas Diri yang Dinamis: Analisis Identitas Gender Dalam Novel Breakfast On Pluto Karya Patrick Mccabe. Depok: Program Studi Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia terarsip dalam digital_20251276-RB00P38i-Identitas diri.pdf diakses 15 Mei 2013 33 Terarsip dalam http://dytofloreste.blogspot.com/2012/04/identitas-gender.html?zx=ce168945d47ae84 34 Lihat:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/2712/BAB%20II%20PENDEKATAN% 20TEORITIS.pdf?sequence=7 diakses 15 Mei 2013 35 Lihat Putri Ayuningtyas. 2009. Tesis Identitas Diri yang Dinamis: Analisis Identitas Gender Dalam Novel Breakfast On Pluto Karya Patrick Mccabe. Depok: Program Studi Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu
19
Selain identitas gender, identitas perempuan terkait pula dengan ekspresi gender, seks biologis, dan orientasi seksual. Ekspresi gender merupakan tentang bagaimana kita menunjukkan gender kita melalui cara bertindak, berpakaian, tingkah laku, berinteraksi secara disengaja atau tidak disengaja.36 Ekspresi gender biasanya diinterpretasikan oleh orang lain terutama masyarakat berdasarkan peran-peran gender tradisional yang diharapkan berkesesuaian dengan identitas seksual (misalnya laki-laki memakai jas, perempuan memakai gaun). Ekspresi gender merupakan sesuatu yang bisa berubah dari hari ke hari, kesempatan dan waktu-waktu tertentu. Karena ekspresi gender terkait dengan bagaimana kita mengekspresikan diri, apakah sejalan dengan ekspresi gender tradisional. Dan sama seperti identitas gender, ekspresi gender juga sangat fleksibel atau tidak kaku. Seks biologis sebagai identitas seksual perempuan identik dengan ciri biologis yang melekat pada tubuh perempuan yaitu mencakup keberadaan vagina, payudara, susunan kromosom XX, dominan hormon estrogen, dan memiliki rahim serta terjadinya menstruasi. Selain itu, perempuan pun lekat dengan pengagung-agungan stereotip keperawanan yang harus dijaga oleh perempuan untuk dinikmati laki-laki. Sedangkan laki-laki memiliki testis, penis, susunan kromosom XY, dan dominan hormon testosterone. Orientasi seksual menggambarkan tentang kepada siapa kamu tertarik secara fisik, spiritual, dan emosional. Jika kamu laki-laki dan tertarik pada perempuan maka kamu heteroseksual. Jika kamu laki-laki dan tertarik pada perempuan dan laki-laki maka kamu biseksual. Dan jika kamu laki-laki dan tertarik pada laki-laki maka kamu homoseksual, yakni gay. Berdasarkan penelitian Dr. Alfred Kinsey pada tahun 1920-an, pada kenyataannya, tidak ada yang benar-benar hereteroseksual eksklusif ataupun homoseksual Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia terarsip dalam digital_20251276-RB00P38i-Identitas diri.pdf diakses 15 Mei 2013 36 Lihat:http://fitaru.tumblr.com/post/16966677864/mendobrak-kebineran-gender-melalui-manusia-gen derbread diakses 15 Mei 2013
20
eksklusif.37 Sandra Bem dalam Mugniesyah (2005) mengidentifikasikan identitas gender, diantaranya mencakup identitas maskulin, feminin, dan androgini. Sandra Bem (1974) mempopulerkan suatu konsep psychology androginy yang
beranggapan
bahwa
seseorang
dapat
mengombinasikan
atau
'melumatkan' kedua identitas psikologis yang maskulin dan feminin. 38 Androgini adalah istilah dalam identitas gender dimana seseorang tidak termasuk dengan jelas ke dalam peran maskulin dan feminin yang ada di masyarakat, contohnya seseorang yang mempunyai sifat-sifat asertif, mandiri serta juga memiliki sifat hangat dan lemah-lembut. Berdasarkan Sandra Bem, individu androgini lebih fleksibel dan lebih sehat secara mental daripada individu maskulin atau feminin. Dalam sebuah hubungan, gender feminin dan androgini lebih diinginkan karena mereka lebih ekspresif dalam sebuah hubungan. Sedangkan, individu dengan peran maskulin dan androgini lebih diinginkan dalam bidang akademik dan pekerjaan karena mereka memiliki tuntutan untuk bertindak dan asertif.39 Selanjutnya Bem mengidentifikasi adanya empat orientasi psikologis individu, tiga diantaranya yang dominan berada pada psikologis seseorang:40 (a) Androgynous, berarti seseorang berasosiasi tinggi dengan kedua karakteristik stereotipe, maskulin dan feminin, seperti seseorang yang mempunyai kepemimpinan tinggi tapi dia juga sensitif terhadap kebutuhan orang lain. (b) Masculine, seseorang berasosiasi tinggi terhadap karakteristik stereotipe maskulin dan berasosiasi rendah terhadap karakteristik stereotipe 37
Ibid Lihat:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/2712/BAB%20II%20PENDEKATAN% 20TEORITIS.pdf?sequence=7 diakses 15 Mei 2013 39 Terarsip dalam http://ruangpsikologi.com/identitas-gender-androgini/ 40 Lihat:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/2712/BAB%20II%20PENDEKATAN% 20TEORITIS.pdf?sequence=7 diakses 15 Mei 2013 38
21
feminin; seperti orang yang mempunyai kepribadian tinggi dan tidak memiliki sifat iba atau kasihan pada orang lain. (c) Feminine, seseorang berasosiasi tinggi terhadap karakteristik stereotipe feminin dan berasosiasi rendah terhadap karakteristik stereotipe maskulin;
seperti seseorang yang sangat penolong tetapi tidak
mandiri. Skala peran gender dari Bem Sex Role Inventory (BSRI) disusun berdasarkan empat klasifikasi kepribadian menurut Sandra L. Bem pada tahun 1974 yang mencakup maskulin, feminin, androgini, dan tidak terklasifikasikan. Skala ini terdiri dari 60 kata sifat yang disusun berdsarkan tiga komponen karakteristik peran gender, yaitu : a. Karakteristik Maskulin, yang terdiri dari: 1) percaya diri 2) mempertahankan pendapat/keyakinan sendiri 3) berjiwa bebas/tidak terganggu pendapat orang 4) gemar berolahraga 5) tegas/berani bilang tidak jika memang tidak 6) berkepribadian kuat/teguh 7) bersemangat 8) berpikir analisis/melihat hubungan sebab-akibat 9) mampu memimpin, punya jiwa kepemimpinan 10) berani mengambil resiko 11) mudah membuat keputusan 12) dapat berdiri sendiri/mandiri 13) suka mendominasi/menguasai 14) maskulin, bersifat kelaki-lakian 15) punya pendirian, berani mengambil sikap 16) agresif
22
17) bersikap/bertindak sebagai pemimpin 18) bersifat individual/perorangan 19) kompetitif, siap untuk bersaing 20) berambisi, memiliki ambisi b. Karakteristik Feminin, yang terdiri dari : 1) mengalah 2) periang ceria 3) malu 4) penuh kasih sayang 5) merasa senang jika dirayu 6) hangat dalam pergaulan 7) setia 8) feminin, bersifat kewanitaan 9) menaruh simpati/perhatian pada orang lain 10) peka terhadap kebutuhan orang lain 11) penuh pengertian 12) mudah iba hati/kasihan 13) suka menentramkan hati orang lain 14) bertutur kata halus 15) berhati lembut 16) mudah terpengaruh 17) polos, naif 18) tidak menggunakan kata-kata kasar/tutur bahasa tidak kasar 19) senang pada anak-anak 20) lemah lembut c. Karkteristik Netral. Yang terdiri dari : 1) senang menolong 2) berhati murung/pemurung
23
3) berhati-hati/teliti 4) bertingkah laku yang dibuat-buat 5) bahagia 6) isi hati sukar ditebak oleh orang lain 7) dapat dipercaya 8) iri/cemburu 9) jujur 10) suka menyembunyikan perasaan/pikiran 11) berhati tulus 12) angkuh/merasa tinggi hati 13) menyenangkan, mudah disukai orang lain 14) serius 15) ramah, bersahabat/mudah berteman 16) tidak efisien, boros 17) mudah/dapat menyesuaikan diri 18) tidak sistematis, asal-asalan 19) bijaksana 20) berpikiran kuno Dari ke 60 kata sifat tersebut, 20 diantaranya menunjukkan karakteristik maskulinitas (instrumental), 20 berikutnya menunjukkan karakteristik feminitas (ekspresif) dan sisanya menunjukkan karakteristik netral yang tidak berkaitan dengan peran gender namun diharapkan oleh masyarakat untuk dimiliki oleh tiap individu. Bagi Judith Butler41, seorang teoretikus postfeminisme, subyek selalu dalam proses yang dibentuk oleh tindakan performative. Subyek dalam pikiran Butler adalah sebagai aktor yang memainkan perannya (perform their identity) di atas panggung. Sedangkan identitas itu sendiri merupakan suatu 41
Lihat Paramitha Wardhani. The Unnatural Sexual Orientation: LGBT dan Queer Theory Judith Butler dalam http://www.academia.edu/3812962/teori_queer_judith_butler diakses 17 November 2014
24
rangkaian proses yang tidak akan pernah berakhir. Identitas subyek dilihat dari setiap tindakan performatifnya, namun tidak dapat dikatakan bahwa tindakan ini mengikuti pendahulunya, atau selalu ada pelaku di setiap tindakan, tidak seperti itu. Melainkan, menurut Butler, tindakan ini membentuk pelaku. Bagi Butler, satu-satunya dasar bagi identitas, gender, dan seksualitas adalah tindakan. Karena tindakan selalu berubah, maka identitas selalu berubah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, subjektivitas merupakan kesadaran diri sebagai subjek yang berdiri sendiri di antara masyarakat atau golongan. Pembicaraan mengenai subjektivitas menyentuh makna manusia sebagai subjek independen, akan tetapi Giles dan Middleton dalam Studying Culture: A Pratical Introduction (1999) 42 juga menyebutkan bahwa subjektivitas menyentuh isu 'a sense of being subject to, under the control of, something external to ourself...'. Maka kondisi eksternal seperti lingkungan sosial dan kultural turut pula mempengaruhi kesadaran diri manusia akan dirinya. Pemikiran terbaru mengungkapkan sisi lain dari subjektivitas, yaitu kaitan subjektivitas dengan tubuh. Tubuh tidak lagi dilihat sebagai entitas yang terpisah dari pikiran dan perasaan, melainkan sebagai bagian yang turut berperan dalam pembentukan identitas manusia. Tubuh menjadi sarana bagi manusia untuk merefleksikan subjektivitasnya, dan manusia mengolah tubuhnya sebagai bagian dari identitas diri. Identitas dan juga subjektivitas berkaitan dengan konsep representasi, seperti diungkapkan Hall (1996) dalam Question Cultural Identity bahwa identitas adalah perkara merepresentasikan diri. Melalui representasi, misalnya otobiografi, seseorang berusaha menampilkan siapa dirinya melalui sebuah narasi. Giles dan Middleton mengatakan bahwa otobiografi adalah 42
Lihat Putri Ayuningtyas. 2009. Tesis Identitas Diri yang Dinamis: Analisis Identitas Gender Dalam Novel Breakfast On Pluto Karya Patrick Mccabe. Depok: Program Studi Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia terarsip dalam digital_20251276-RB00P38i-Identitas diri.pdf diakses 15 Mei 2013
25
salah satu cara untuk merepresentasikan jati diri (1999), dan oleh karena itu otobiografi dapat dibaca sebagai sebuah usaha untuk mengkonstruksi dan menyajikan identitas diri.43 Salah satunya berupa travelogue yang berisi catatan perjalanan tentang pengalaman penulis dalam suatu perjalanan seperti The Naked Traveler yang ditulis oleh Trinity.
4. Travelogue sebagai Sastra Populer dalam Budaya Populer Travelogue merupakan buku bergenre perjalanan. Menurut Wikipedia, tulisan-tulisan tentang travel (travel writing) setidaknya dibagi menjadi beberapa jenis: (1) guide book; (2) travel book; (3) travel literature; dan (4) travel journal. Namun buku bertema perjalanan yang banyak beredar di Indonesia kebanyakan berupa guide book dan travel literature, yang kini lebih populer disebut travelogue. Buku panduan perjalanan tentu saja berisi panduan untuk melakukan perjalanan yang akan membimbing pembaca secara lebih detail. Buku jenis ini biasanya mencantumkan alamat lokasi objek wisata secara lengkap, disertai detail anggaran yang harus disiapkan dalam perjalanan untuk menginap, transportas, makanan maupun membeli oleh-oleh. Buku panduan perjalanan internasional yang terkenal adalah Lonely Planet Series. Buku panduan ini Buku terbitan Lonely Planet sangat detail, termasuk denah dan peta. Data-data dan informasi di dalamnya juga diperbarui (kalau tak salah) setiap dua tahun: apakah restoran dan hotelnya sudah pindah atau bangkrut, apakah tarif transportasinya masih sama atau sudah naik, apakah rute kereta apinya sudah dihapus atau masih ada, dan sebagainya. Sedangkan buku panduan perjalanan lokal cukup detail dan cukup fantastis dalam melabelkan anggaran yang perlu disiapkan seperti Rp 2 Juta Keliling Thailand, Malaysia, & Singapura namun jarang sekali diperbarui.
Buku
bergenre perjalanan berupa memoar penulisnya adalah travel literature yang 43
Ibid
26
sering pula disebut travelogue. Buku ini lebih menceritakan pengalaman personal yang dialami penulisnya dengan beragam gaya penulisan, dari penulisan bergaya sastra seperti Selimut Debu hingga penulisan bergaya pop seperti The Naked Traveler. Buku perjalanan jenis travelogue ini memiliki beberapa definisi seperti berikut ini: The guidebook developed from the published personal experiences of aristocrats who traveled through Europe on the Grand Tour (http://en.wikipedia.org/wiki/Guide_book) A film or piece of writing that describes travel in a particular country, or a
particular
person's
travels
(http://www.ldoceonline.com/dictionary/travelogue) A description of someone's travels, given in the form of narrative, public lecture, slide
show
or
motion
picture.
(http://en.wiktionary.org/wiki/travelogue)
Sastra populer merupakan salah satu produk budaya populer atau pop culture, dalam Pengantar Menuju Budaya Populer, St. Sunarti (2003) mengatakan bahwa budaya populer adalah budaya yang lahir atas kehendak media. Alan O'Connor (Idi Subandy Ibrahim, 1997:xix), salah seorang pengkaji budaya, saat menyoroti topik "popular culture," menjelaskan bahwa terma ini mengacu pada "proses budaya yang berlangung di antara masyarakat umumnya (general public). "Popular culture, especially, is organized around the contradiction: the popular forces versus the power-bloc," demikian peringatan Stuart Hall (Idi Subandy Ibrahim, 1997:xxxi). Lebih jauh dalam Note on Deconstructing the Popular (1981) menurut Hall, "The cultural industries do have the power constantly to rework and reshape what they represent; and by repetition and selection, to impose and implant such definitions of ourselves as fit more easily into the
27
descriptions of the dominant or preferred culture"44. Secara singkat, Stuart Hall menyatakan bahwa budaya populer merupakan medan pergulatan yang mencakup
muncul
dan
bertahannya
hegemoni.
Sedangkan
Fiske
mengungkapkan budaya populer merupakan sebuah wujud alat perlawanan terhadap budaya dominan, menempatkan budaya populer sebagai budaya perjuangan.45 Budaya populer yang identik dengan budaya massa berupaya menyeragamkan produk budaya sebagai "proyek penyeragaman selera dan cita rasa" (homogenization of state). Salah satu wujud kebudayaan yang dihasilkan dengan adanya keterlibatan media massa adalah kebudayaan massa atau mass culture dan kebudayaan popular atau pop culture. Berbagai wujud pop culture ada disekitar kita seperti gaya berbusana, makanan, music, film, dan buku berupa sastra populer. Menurut Herbert J. Gans yang dikutip oleh Ashadi Siregar (dalam Idi Subandy Ibrahim, 1997:13-14) hiburan massa seperti sastra populer tidak dapat dilepaskan dari pola rekreasi masyarakat sebagai media rekreasi yang memfasilitasi warga masyarakat mendapatkan produk budaya massa yang memiliki fungsi kepuasan (satisfaction) dengan konsumen yang menggunakan produk kebudayaan untuk tujuan psikologis atau sosial dan produsen media rekreasi sebagai individu atau institusi yang menciptakan atau sebagai fasilitator yang melakukan pendistribusian produk budaya. Secara sederhana produk budaya populer dan budaya massa seperti sastra populer berfungsi untuk menghibur dan didukung sistem massal dalam pendistribusiannya. Bila sastra populer seperti chicklit menawarkan pengalaman
imajinatif
namun
travelogue
mewarkan
pengalaman
kemanfaatan sosial seperti petunjuk (guidance). Pada dasarnya media
44
Idi Subandy Ibrahim. 1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komidtas Indonesia. Bandung: Mizan. Hal. 345 45
Terarsip dalam http://derrymayendra.blogspot.com/2011/10/budaya-populer.html
28
rekreasi membawa khalayak ke dunia subjektif dalam pengalaman imajinatif, dunia dalam (inner world) dari konsumennya sebagai pembaca sastra populer. Menurut Umar Kayam (dalam Idi Subandy Ibrahim, 1997:42) sastra populer muncul dalam pusat-pusat urban Indonesia sebagai litratur massa. Sebagaimana sastra populer maka travelogue pun dapat menjadi literatur kaum muda di kota, dalam arti bahwa jenis sastra ini bersifat populer, eksperimental, komersial, menyelidik dan tanpa henti. Kebudayaan massa di Indonesia berada dalam kondisi dan posisi yang sangat cair. Sifat mudah berubah ini erat sekali hubungannya dengan pusat urban yang senantiasa tumbuh selaku garis penerimaan migrasi pedesaan yang bergerak terus-menerus. Ia juga erat sekali hubungannya dengan pergerakan dunia kebudayaan pada umumnya, dalam mana pencarian solidaritas kebudayaan Indonesia yang baru, berada di tengah-tengah proses 'menerima dan memberi' antara nilai-nilai masyarakat zaman dahulu dan sistem nilai yang baru, politik ekonomi liberal pemerintah, di mana negara ditempatkan pada posisi yang terbuka untuk merangkul produk komersial kebudayaan dunia, telah mempercepat cara hidup baru di dalam negeri (khususnya di kalangan generasi muda) dan telah mempercepat pergerakan kebudayaan massa di pusat-pusat urban. Bila kita amati berbagai wujud pop culture yang ada disekitar kita memang tidak lepas dari peran media massa dalam mentransmisikan informasi mengenai pop culture tersebut dan juga adanya trendsetter atau orang atau kelompok sosial tertentu yang memopulerkan wujud budaya popular tersebut. Seperti budaya populer sekaligus gaya hidup yang tengah populer saat ini yaitu travelling tengah marak ditampilkan dalam media populer melalui sastra populer berupa catatan perjalanan yang disebut travelogue. Aktivitas travelling dan travel writer ini didukung pula oleh
29
komunitas yang concern didalamnya seperti Komunitas Backpacker Dunia maupun Travel Book Lovers, keduanya merupakan grup Facebook yang dibuat saat buku bertema perjalanan mulai populer dan booming di tahun 2009 hingga 2012.
5. Identitas dan Subjektivitas Perempuan sebagai Backpacker Identitas dan subjektivitas perempuan yang ditampilkan dalam buku catatan perjalanan seperti travelogue The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Keliling Dunia tentu dipengaruhi pula gaya dan identitas seorang backpacker. Menurut Matatita:46 Backpacker itu merupakan salah satu style atau pilihan cara melakukan perjalanan. Style ini dimungkinkan jika kita melakukan perjalanan secara independent, bukan dikelola oleh travel agent. Mulai dari ngurus tiket, mencari tempat menginap, hingga itinerary semua dilakukan sendiri oleh si pejalan. Para pejalan yang mengelola sendiri perjalanannya biasanya sangat mencermati budget. Semakin ngirit biaya yang dikeluarkan, semakin menyenangkan perjalanan yang bakal dilakukan. Perjalanan ngirit (on shoestring) dengan berbagai keterbatasan akan memberikan pengalaman dan petualangan yang sangat mengesan. Itu sebabnya kenapa para backpacker punya semboyan “it’s not the destination, but the journey”. Para pejalan yang menggunakan style ini biasanya memiliki simbol-simbol tertentu yang melekat pada dirinya, yang paling menonjol adalah ransel di gendongan.47 Philip Pearce adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah backpacker ke dalam ranah ilmiah, yaitu tahun 1990. Dalam studinya tentang fenomenan backpacking di Australia, Pearce
48
mengatakan bahwa
backpacking lebih baik didefinisikan secara sosial daripada secara ekonomos
46
Matatita merupakan internet nickname dari Suluh Pratitasari. Seorang Antropolog dan juga penulis buku “Tales from the road” Buku yang sarat pengalaman berharga sang penulis saat berada di beberapa sudut belahan dunia. 47 http://www.infobackpacker.com/arti-backpaker-menurut-matatita.htm 48
Seperti yang dikutip oleh Sarani Pitor Pakan. 2013. BACKPACKING DAN BACKPACKER DI INDONESIA Studi mengenai Gaya Hidup dan Budaya Massa. Depok: Program Studi Sosiologi FISIP UI terarsip dalam http://digital_20347832-S47722-Sarani Pitor Pakan.pdf
30
atau demografis. Menurut Pearce, menjadi backpacker adalah sebuah pendekatan untuk melakukan perjalanan dan liburan daripada sebuah kategorisasi yang berdasar pada uang yang dikeluarkan atau usia seseorang. Maoz dalam Backpacker's motivations: The role of culture and nationality (2007) mendefinisikan backpacker sebagai wisatawan mandiri yang berkunjung ke banyak tempat tujuan wisata dan mempunyai rencana perjalanan yang fleksibel.49 Mereka pencari pengalaman dengan mengikuti cara hidup penduduk lokal, berusaha terlihat lokal, dan kunci motivasi mereka adalah bertemu banyak orang. Kegiatan rekreasi backpacker terfokus pada kegiatan alam, budaya, dan petualangan untuk mencari pengalaman yang autentik. Singkatnya, istilah backpacker oposisi biner dari turis sedangkan backpacking kontra dari turisme arus utama. Turisme berorientasi pada liburan untuk penyegaran dari rutinitas, sedangkan perjalanan backpacker berorientasi pada eksploratif. Penolakan secara simbolik terhadap turis membuat backpacker mengenal sekumpulan nilai dan ideal yang tidak tertulis yang mengikat backpacker. Kelima pilar ideologi backpacker tersebut, antara lain: berpergian dengan anggaran rendah; bertemu dengan orang-orang yang berbeda; menjadi (atau merasa) bebas, independen, dan berpikiran terbuka; mengatur perjalanan secara individual dan independen; dan berpergian selama mungkin.50 Karakteristik backpacker seperti yang dijelaskan di atas, tentunya berseberangan dengan strereotip maupun identitas gender perempuan yang kerap ditampilkan dalam media populer pada umumnya. Karekteristik backpacker cenderung aktif sedangkan identitas dan subjektivitas perempuan kerap direduksi sekadar menjadi objek pemanis. Perempuan kerap menjadi objek baik dalam tulisan maupun tontonan. Perempuan dilekatkan pula 49 50
Ibid Ibid
31
dengan gender stereotip yang membuat mereka tampak lemah, bergantung, pasif, penakut, dan inferior bahkan subordinat dari lelaki. Perempuan pun dianggap 'liyan' dan tak dianggap sebagai subjek yang esensial.
6. Penulis Perempuan Akhir-akhir ini para penulis perempuan mulai bermunculan. Kalau selama ini perempuan menjadi objek representasi penulis laki-laki dengan berbagai biasnya, kini saatnya para penulis perempuan menulis tentang dirinya, tentang laki-laki, tentang hubungan perempuan-laki-laki, dan tentang dunia dari perspektifnya sendiri. Munculnya para penulis perempuan ini harus diakui sebagai babak baru dalam dunia kepenulisan di Indonesia terutama di bidang sastra. St, Sunardi51 mengungkapkan, dalam kaitannya dengan gerakan perempuan atau feminisme, gerakan perempuan di Indonesia jangan berbangga diri sebelum memasuki wilayah sastra. Masalah diskriminasi bukan hanya masalah sosial dan hukum, melainkan juga masalah kesadaran dan imajinasi. Penulis perempuan ini menggunakan novel untuk mendobrak cara bicara tentang berbagai tabu seperti seks yang paling mengemuka hingga muncul istilah "sastrawangi" 52 bukan hanya sebagai identitas para pengarang perempuan tetapi juga menandai karya mereka yang cenderung "berbau seks" bahkan ada yang menyebutnya sebagai "sastra selakangan"53 karena berkutat di sekitar organ intim di daerah selakangan. 51
Terlampir dalam Katrin Bandel. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra. Hal. xi Disebut sebagai sastra wangi karena merujuk pada karya sastra yang diciptakan kaum perempuan (Lampung Post, Soroso). Tetapi hal yang lebih dasar lagi dari sastra wangi adalah seringnya diwarnai tema seks yang bahkan sedikit vulgar, namun ada semangat feminisme, dengan setting dengan latar belakang yang menggambarkan kehidupan mereka sehari-hari (terutama kelas ekonomi atas) dibarengi dengan tumbuhnya individualisme dan ego yang tinggi. Seperti yang pernah ditulis oleh Saut Situmorang dalam ”Politik Kanoniasi Sastra 3” sastra wangi banyak mengangkat seksualitas, dan itu dijadikan sebagai isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi. Terarsip dalam http://reyyudhistira.blogspot.com/2010/09/sastra-wangi-aroma-selangkangan.html 53 Taufik Ismail menyebut karya mereka sebagai sastra selakangan, karena banyak mengungkap bagian ”jeroan” (organ intim) begitu vulgar—tanpa dinding pembatas. Seperti menyebutkan alat 52
32
Begitu banyak pengarang perempuan baru bermunculan dalam beberapa tahun terakhir ini, dan tidak sedikit dari mereka mendapat sambutan yang luar biasa, baik dari segi respons media, penghargaan sastra, maupun jumlah buku yang terjual. Dua diantaranya yang fenomenal adalah Ayu Utami dan Dewi Lestari. Novel Saman (1998) karya Ayu Utami memenangkan penghargaan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998 dan berhasil terjual sebanyak 55.000 eksemplar dalam waktu tiga tahun54. Sebuah capaian luar biasa untuk ukuran novel sastra saat itu. Novel Saman karya Ayu Utami (1998) menjadi titik awal trend sensasi seputar pengarang perempuan yang berlangsung sampai sekarang. Bila Ayu Utami dengan Saman-nya menceritakan keempat tokoh perempuan, Shakuntala, Laila, Yasmin, dan Cok dengan seks menjadi tema utama. Maka menurut Bandel (2006: 78) Dewi Lestari melalui novel pertamanya yaitu Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh berupaya mengemukakan filsafat hidup atau pengalaman spiritual dalam bentuk fakta yang merujuk kepada berbagai macam teori fisika dan diterjemahkan ke dalam "kemasan yang populis supaya bisa dibaca banyak orang". Novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh telah terjual sebanyak 12.000 dalam waktu 35 hari55 dan telah difilmkan pada akhir tahun 2014. Fenomena perempuan yang menulis ini pun terus berlanjut hingga kini terutama dalam media populer yang memunculkan beragam genre seperti novel populer berupa chicklit maupun teenlit juga yang akhir-akhir ini muncul adalah kembali maraknya genre travel writing berupa travelogue yang ditulis oleh perempuan.
7. Subjektivitas dalam Sastra Perjalanan Travelogue Aktivitas membaca dan menulis seringkali menjadi kegiatan yang kelamin bahkan menjelaskannya secara detil 54 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Ayu_Utami 55 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Lestari
33
mewah bagi seorang perempuan, terlebih aktivitas berlibur mengunjungi tempat-tempat menarik dengan gaya berlibur ala backpacker. Namun hal itu seakan sirna ketika buku-buku berisi catatan perjalanan yang bercerita mengenai pengalaman perjalanan perempuan semakin marak beredar. Bermula dari terbitnya The Naked Traveler yang booming dan menjadi national best seller hingga terbitnya beragam jenis buku bertema serupa sampai saat ini. Bagi Aquarini, seorang feminis, mengungkapkan bahwa perempuan berhak mengeksplorasi pengalamannya. Salah satu bentuknya adalah melalui penulisan catatan perjalanan yang memaparkan pengalaman perjalanan perempuan. Upaya perempuan untuk mengeksplorasi pengalamannya ini mampu memposisikan diri perempuan sebagai subjek hingga mereka dapat mengembangkan tidak hanya identitas namun juga subjektivitas diri mereka. Maka buku mengenai catatan perjalanan yang ditulis oleh perempuan dipandang mampu merepresentasikan identitas dan subjektivitas perempuan. Sastra perjalanan selayaknya juga penuh dengan narasi dan percakapan. Inilah yang kemudian menjadikan sumber penulisan sastra perjalanan yang orisinil dan berbeda dengan laporan ilmiah antropologi. Penulis Jan Morris56, yang sudah menulis sekitar 40 buku mengenai sejarah dan perjalanan, dalam tulisannya di situs Smithsonian Magazine, mengatakan bahwa eksplorasi kreativitas bernarasi tak mesti menempatkan penulis dalam ide yang fiksi. Menurutnya, subjektivitas narasi dalam sastra perjalanan adalah gabungan antara ilmu pengetahuan dan sensasi, kealamiahan dan intelektualitas, pandangan dan interpretasi, insting dan logika. “Ini lebih nyata dari fiksi dan juga lebih otentik dari fakta yang umum,” tulis Morris.
56
http://cabiklunik.blogspot.com/2009/10/oase-budaya-subjektivitas-sastra.html Mei 2014
34
F. METODOLOGI PENELITIAN 1. Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan analisis terhadap konstruksi wacana identitas perempuan yang terepresentasikan dalam buku catatan perjalanan The Naked Traveler. Penulis menggunakan analisis wacana untuk hubungan antara teks dalam media cetak yaitu buku berupa feature, sebagai proses produksi dan reproduksi makna melalui bahasa, dengan wacana dan konteks sosialnya. Bahasa dalam penelitian ini dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa, terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat57. Analisis wacana juga melihat hubungan yang penting antara teks dengan praktek wacana dan praktek sosio-kultural (discourse and sociocultural practice)58. Teks berupa kumpulan feature dalam buku catatan perjalanan The Naked Traveler dianggap sebagai sebuah wacana yang dibangun di atas sebuah struktur atau dimensi tertentu yang terdiri dari berbagai tingkatan dan harus dianalisis di semua tingkatan tersebut dari mulai kata, proposisi dan kalimat hingga keseluruhan teks. Sebuah teks tidak hanya dilihat dari isi teks tersebut tetapi bagaimana cara teks itu disusun dalam struktur tertentu, diproduksi melalui perangkat-perangkat wacana tertentu, dengan tujuan-tujuan tertentu pula. Analisis wacana merupakan satu cara untuk mempelajari makna pesan yang tersembunyi atau laten. Analisis semacam ini dibutuhkan karena pesan tidak hanya cukup dari apa yang terlihat atau tertulis, akan tetapi lebih penting untuk mengetahui maksud utama dari komunikator yang justru tidak dikatakan dengan
57
Disarikan dai Eriyanto, hal. 6 Sebagaimana dinyatakan oleh Norman Fairclough dalam Norman Fairclough, Media DiscourseI, Edward Arnold, London, 1995, hal. 5 yang dikutip oleh Rosalina Agustin Avianti dalam skripsi Analsis Wacana Media tentang Wanita Indonesia Modern, hal. 62
58
35
nyata. Dalam menganalisis suatu teks, analisis wacana juga melihat "bagaimana" (how) dari pesan suatu teks, tidak hanya "apa" (what) dari teks tersebut. Proses analisis ini melalui kata, frasa, kalimat, metafora mengenai bagaimana teks tersebut disampaikan, dan dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks. Penelitian ini didasarkan pada paradigma kritis dengan menganalisa sebuah wacana menggunakan analisa kritis untuk mengetahui bagaimana konstruksi identitas yang terepresentasikan. Berikut adalah karakteristik analisis wacana kritis menurut Teun A. Van Dijk, Fairclough, dan Wodak (Eriyanto, 2009:8): a. Tindakan, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagia suatu tindakan yang bertujuan, terkontrol, dan dilakukan dengan kesadaran. b. Konteks, analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. c. Historis, wacana ditempatkan dalam konteks tertentu agar dapat dipahami. Salah satu konteks yang penting dan mudah dipahami adalah konteks historisnya. d. Kekuasaan, setiap wacana yang muncul tidak dipandang secara alamiah. Namun, selalu ada asumsi bahwa terdapat campur tangan kekuasaan di balik pesan tersebut. e. Ideologi, produk media adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu.
2. Objek Penelitian Objek penelitian yang akan dikaji berupa buku berisi catatan perjalanan yang populer dengan istilah travelogue, berjudul The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia karya Trinity yang
36
bernama asli Soraya Perucha Hutagaol. Travelogue ini merupakan buku catatan perjalanan pertama terbitan Bentang Pustaka yang menjadi pioneer maraknya buku bertema catatan perjalanan. Dalam buku ini, terdapat 68 cerita perjalanan berupa feature yang ditulis oleh Trinity dalam blognya The Naked Traveler periode 2005-2007. The Naked Traveler kemudian menjadi salah satu serial buku perjalanan terlaris di Indonesia. Buku pertamanya laku sebanyak 30.000 eksemplar hanya dalam kurun waktu empat bulan setelah terbit. Buku pertamanya telah cetak ulang hingga belasan kali dan menjadikannya sebagai national bestseller. Dan kini buku pertama bersama keempat seri The Naked Traveler lainnya telah diterbitkan ulang dengan cover yang berbeda untuk menyegarkan kembali para pembaca. Buku catatan perjalanan sebenarnya bukan hal baru di Indonesia namun kini buku tersebut seakan menemukan kembali momen yang tepat untuk kembali populer. Daya tarik buku The Naked Traveler terletak pada kepopulerannya sekaligus kontennya sebagai buku catatan perjalanan yang berisi artikel berupa feature. Hal inilah yang membuat buku tersebut begitu ringan dan renyah hingga The Naked Traveler menjadi buku catatan perjalanan pertama yang mengusung genre pop. Di sisi lain, animo masyarakat terhadap aktivitas melancong ala backpacker pun semakin besar dan massif. Maka menarik untuk mengkaji buku The Naked Traveler sebagai bagian dari media populer yang mengusung tema yang tengah populer saat ini yaitu traveling ala backpacker sebagai bagian dari budaya populer. Terlebih lagi buku ini ditulis oleh seorang perempuan yang berdasarkan stereotip selama ini rasanya tidak mungkin seorang perempuan berani melakukan perjalanan secara independent yaitu mandiri tanpa travel agent bahkan menjadi bacpacker yang identik sarat petualangan dan penuh ketidaknyamanan. Kontras dengan citra perempuan selama ini yang senantiasa mendambakan kenyamanan sekaligus keamanan. Selanjutnya penulis akan menulis TNT untuk menyebut buku catatan perjalanan The Naked Traveler.
37
Trinity adalah seorang wisatawan independen, yang berarti berwisata sendiri tanpa terikat dengan sistem tur grup. Ia juga memberi penjelasan bahwa berwisata tidak hanya sekedar foto-foto dan berbelanja di tempat wisata, juga bukan ke luar negeri atau ke kota-kota besar yang banyak terdapat pusat perbelanjaan. Sedangkan ia lebih suka mengunjungi tempat-tempat yang "jarang diketahui orang" dan terpencil sehingga menciptakan keindahan alam yang masih asri dan sepi. Di bukunya, ia menulis suka duka berjalan-jalan ke tempat-tempat yang dikunjungi dan tip-tip penting, baik untuk tempat di dalam atau luar negeri.59 Dalam buku catatan perjalanan TNT terdapat kumpulan cerita ringan perjalanan yang dapat dikategorikan sebagai feature, pengertian feature menurut Riyono Pratikno adalah:
"Suatu tulisan kreatif, terikat pada dasar-dasar jurnalistik dan juga sastra; dapat mengabaikan segi aktualitas; menyajikan kebenaran/obyektivitas, tetapi kadang-kadang bisa subyektif; cenderung mengandung segi-segi human interest; terutama bersifat ringan, menghibur, menyenangkan; merangsang dan menimbulkan rasa emosional, perasaan, imajinasi pembaca; memberi, menambah dan meningkatkan informasi tentang kejadian atau peristiwa, masalah, gejala, proses, aspek-aspek kehidupan termasuk juga latar belakang."60 Melalui feature tersebut, buku catatan perjalanan ini memberi informasi, persuasi maupun hiburan bagi pembacanya. Data-data yang akan menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah artikel berupa feature-feature yang ada dalam buku catatan perjalanan tersebut. Pemilihan feature ditentukan berdasarkan tema-tema yang berhubungan dengan konstruksi identitas perempuan baik sebagai pelaku perjalanan maupun sebagai penulis perjalanan. Dalam penelitian 59
http://id.wikipedia.org/wiki/Trinity_%28penulis%29 diakses Juni 2014 Riyono Pratikno, "Kreatif Menulis Feature" seperti yang dikutip oleh Sri Dewi Susanty, Identitas Kultural Masyarakat Urban pada Majalah Indonesia, Analisis Semiotik Mengenai Identitas Kultural Masyarakat Urban Indonesia pada Majalah neo- Edisi Party, Affair, Celebrity, dan Hi-tech — Lo-tech, Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, 2001, hal. 54
60
38
ini, peneliti memilah ke- 68 feature yang akan dianalisis dari keseluruhan artikel yang ada dalam buku travelogue The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia berdasarkan tema yang berkaitan dengan identitas perempuan baik sebagai pelaku perjalanan ala backpacker maupun sebagai penulis perjalanan. Alasan dan mekanisme pemilihan sampel akan lebih jauh dijelaskan pada bagian analisa data.
3. Teknik Pengumpulan Data Di dalam penelitian sosial, dikenal beberapa metode untuk mengumpulkan data, yaitu angket, wawancara, observasi, dokumenter dan test. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode dokumentasi melalui penelaahan feature-feature dalam buku catatan perjalanan TNT edisi pertama yang diterbitkan pada tahun 2007. Selain itu, data-data lain dikumpulkan juga melalui sumber-sumber tertulis seperti buku, majalah, jurnal, surat kabar maupun karya ilmiah untuk memahami latar belakang penelitian. Peneliti juga melakukan wawancara dengan penulis secara langsung dan melakukan wawancara dengan pembaca buku TNT dalam beberapa acara talkshow yang diikuti oleh Trinity dan diselenggarakan oleh penerbit Bentang.
4. Metode Penelitian Penelitian ini menitik beratkan isi teks sebagai objek kajian sekaligus menempatkan isi teks sebagai wacana. Keterkaitan isi teks sebagai wacana, maka memungkinkan bagi penelitian ini untuk menggunakan analisis wacana yang termasuk dalam metode penelitian kualitatif. Dalam kasus ini, calon peneliti merasa analisis wacana model van Dijk dapat digunakan untuk meneliti wacana tentang travelling ala backpacker dalam merepresentasikan identitas perempuan dalam buku bertema travelling yang dipilih sebagai objek penelitian. Banyak penelitian yang berkaitan dengan isi teks sebagai wacana
39
menggunakan analisi wacana model van Dijk. Hal ini kemungkinan karena van Dijk mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis (Eriyanto, 2001: 221). Ada tiga dimensi penting dalam model van Dijk yaitu teks, kognisi sosial dan konteks. Akan tetapi model van Dijk ini cenderung identik sebagai model kognisi sosial yang berdasar pada pendekatan psikologi sosial untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus diamati. Model van Dijk ini mengharuskan kita untuk melihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga diperoleh suatu pengetahuan mengapa terbentuk teks semacam itu. Penelitian ini berupaya pula untuk tidak sekadar melihat teks tapi juga ingin mengetahui apa yang terjadi di sekitar teks dan bagaimana teks tersebut dapat muncul sebagai wacana. Model dari analisis van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut:
Teks Kognisi Sosial Konteks Tabel I.1. Hubungan teks, kognisi sosial, dan konteks Dalam model van Dijk, antara bagian teks dilihat saling mendukung, mengandung arti yang koheren satu sama lain.61 Hal ini karena semua teks dipandang van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat, dan 61 Stephen P. Littlejohn, Theories of Human Communication, Fourth Edition, Belmont, California, Wadsworth Publishing Company, 1992, hal. 93-94
40
proposisi yang dipakai. Pernyataan/tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita tidak cuma mengerti apa isi dari suatu teks dalam suatu media, tetapi juga elemen yang membentuk teks tersebut, kata, kalimat, paragraf, dan proposisi. Kita tidak hanya mengetahui apa yang dipaparkan oleh media, tetapi juga bagaimana media melalui penulis mengungkapkan peristiwa ke dalam pilihan bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat retorika tertentu. Maka struktur teks dapat digambarkan sebagai berikut:
Struktur Makro Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangkat oleh suatu teks. Superstruktur Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya atau metafora yang dipakai oleh suatu teks. Tabel I. 2. Tingkatan struktur teks dalam analisis van Dijk Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi
41
wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi tesk berita yang melibatkan kognisi individu dari pembuat teks. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah.
Kerangka Analisis Model Teun A. van Dijk Struktur
Metode
Teks
Crtical linguistic
Menganalisis wacana
bagaimana
yang
menggambarkan
strategi
dipakai
untuk
seseorang
atau
peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual
yang
dipakai
untuk
menyingkirkan atau memarjinalkan suatu
kelompok,
gagasan,
atau
peristiwa tertentu. Kognisi sosial Menganalisis pembuat
teks
Wawancara dan studi pustaka bagaimana dalam
kognisi
memahami
seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis. Analisis sosial
Studi pustaka, penelusuran sejarah
Menganalisis bagaimana wacana yang berkembang proses
dalam
produksi
seseorang
atau
dan
masyarakat, repoduksi peristiwa
digambarkan. Tabel I.3. Kerangka analisis model van Dijk
42
Inti model van Dijk sesuai dengan apa yang ingin dijawab dari penelitian ini, yaitu konstruksi identitas remaja perempuan dalam novel. Hal ini akan menjawab pertanyaan bagaimana penulis memproduksi teks? Apakah dipengaruhi oleh kognisi sosial dan konteks sosial tertentu sehingga menghasilkan teks yang demikian?
5. Analisa Data (1) Tahapan pertama Memilih objek dan mengumpulkan data objek, yaitu 68 feature dalam buku travelogue populer TNT. Secara umum, peneliti mengelompokkan feature yang akan dianalisis dalam dua tema besar yaitu: a.
Identitas perempuan sebagai pelaku perjalanan Tema ini akan dibagi lagi menjadi dua subtema yaitu: a.1. Identitas perempuan sebagai backpacker a.2. Identitas perempuan dalam aktivitas rekreasi di perjalanan
b. Identitas perempuan sebagai penulis perjalanan Selanjutnya, feature-feature yang telah dikelompokkan tersebut akan diulas dengan konsep identitas gender Sandra Bem, diantaranya mencakup identitas maskulin, feminin, dan androgini. Sandra Bem (1974) mempopulerkan suatu konsep psychology androginy yang beranggapan bahwa seseorang dapat mengombinasikan atau 'melumatkan' kedua identitas psikologis yang maskulin dan feminin hingga memunculkan identitas androgini. Skala peran gender dari Bem Sex Role Inventory (BSRI) disusun berdasarkan empat klasifikasi kepribadian menurut Sandra L. Bem pada tahun 1974 yang mencakup maskulin, feminin, androgini, dan tidak terklasifikasikan. Skala ini terdiri dari 60 kata sifat yang disusun berdasarkan tiga komponen karakteristik peran gender, namun untuk penelitian ini hanya akan digunakan dua karakteristik peran gender sebagai berikut :
43
Tabel I. 4. Karakteristik peran gender oleh Sandra Bem
Karakterstik Maskulin
Karakterstik Feminin
1) percaya diri
1) mengalah
2) mempertahankan
2) periang ceria
pendapat/keyakinan
3) malu
sendiri
4) penuh kasih sayang
3) berjiwa
bebas/tidak 5) merasa senang jika
terganggu pendapat orang
dirayu
4) gemar berolahraga
6) hangat
5) tegas/berani
dalam
bilang pergaulan
tidak jika memang tidak
7) setia
6) berkepribadian
8) feminin,
kuat/teguh
kewanitaan
7) bersemangat
9) menaruh
bersifat
8) berpikir analisis/melihat simpati/perhatian pada hubungan sebab-akibat 9) mampu
memimpin, 10) peka
punya jiwa kepemimpinan 10) berani
kebutuhan orang lain
12) mudah
iba
membuat hati/kasihan
keputusan 12) dapat
terhadap
mengambil 11) penuh pengertian
resiko 11) mudah
orang lain
13) suka menentramkan berdiri hati orang lain
sendiri/mandiri
14) bertutur kata halus
13) suka
15) berhati lembut
mendominasi/menguasai
16) mudah terpengaruh
14) maskulin,
bersifat 17) polos, naif
44
kelaki-lakian 15) punya
18) tidak menggunakan pendirian, kata-kata
kasar/tutur
berani mengambil sikap
bahasa tidak kasar
16) agresif
19) senang
17) bersikap/bertindak
anak-anak
sebagai pemimpin
20) lemah lembut
pada
18) bersifat individual/perorangan 19) kompetitif, siap untuk bersaing 20) berambisi,
memiliki
ambisi
(2) Tahapan kedua Data yang telah terkumpul akan dianalisis menggunakan struktur dari metode analisis wacana van Dijk dengan kerangka analisis teks, kognisi sosial, dan analisis sosial. (a) Teks Berdasarkan struktur penelitian teks berita oleh Teun A. van Dijk skema adalah struktur utama dalam teks yang dianalisis. Berita dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu summary dan story. Inti dari bagian summary adalah ringkasan atau garis besar berita yang diwakili oleh headline dan lead. Headline menunjukkan judul yang menjadi kepala garis besar pada berita, yaitu tema yang ingin disampaikan. Sedangkan lead menunjukkan pengantar yang biasanya merupakan ringkasan
pada berita. Pada umumnya, lead dapat berupa ringkasan yang telah
mencakup
unsur 5W+1H, yaitu what, why, when, who, where, dan how. Lead
juga dapat
berupa pertanyaan pemantik untuk mengantar pembaca pada isi
berita. Pembaca akan tahu isu atau garis besar berita yang ditulis hanya dengan
45
membaca judul dan leadnya. Bagian story adalah isi dari berita, dapat berupa situation atau keadaan yang berupa fakta, dapat juga berupa comment yang merupakan opini, misalnya quote atau narasi yang bersifat opini. Bagian situation dibagi lagi menjadi dua subbagian, yaitu episode dan background. Episode adalah peristiwa yang terjadi dan background adalah bagian yang menjelaskan mengapa dan bagaimana peristiwa tersebut bisa terjadi. Comment juga dibagi lagi menjadi dua subbagian yaitu verbal reactions dan conclusions. Verbal reactions merupakan comment langsung yang hadir sedangkan conclusions adalah kesimpulan yang dirangkai sendiri oleh wartawan dari berbagai quote. Bagian situation dan comment ini menyebar di seluruh isi berita yang sesuai dengan tema yang ingin dianalisis. Untuk buku, struktur skematik yang dianalisis membutuhkan adaptasi yang sesuai dengan pemahaman di atas. Dalam menganalisis novel sebagai karya, headline atau judul akan tetap diwakili oleh judul buku karena judul buku tentu berkaitan dengan tema dan garis besar cerita. Lead akan diwakili oleh resensi sampul belakang karena pada intinya kedudukan dua bagian ini kurang lebih sama, yaitu sebagai suatu pengantar yang pada umumnya berupa ringkasan, mengandung 5W+1H. Pembaca akan dapat menangkap isi dari buku hanya dengan membaca resensi belakang sampulnya. Sedangkan story, sama dengan berita menyebar di seluruh isi buku yang berupa situation atau comment. Selain dianalisis secara struktural atau skematik melalui summary dan story, elemen struktur mikro akan ditambahkan untuk menganalisis tekanan-tekanan yang terdapat pada bagian isi buku, untuk melihat apa saja elemen struktur mikro yang digunakan, dapat dilihat bagan analisis van Dijk yang telah diterjemahkan oleh Eriyanto. Berikut ini adalah struktur analisis model Teun A. van Dijk yang sudah diterjemahkan oleh Eriyanto (Eriyanto, 2009: 228-229) dan telah disesuaikan
46
dengan buku travelogue TNT sebagai objek penelitian: Hal yang Diamati
Elemen Berita
Elemen Buku
Tematik Tema/topik dikedepankan suatu berita
Topik pada berita yang Topik pada buku yang dari yang disimpulkan dari ringkasan disimpulkan dalam berita yang dipahami. ringkasan bab-bab tertentu yang menjadi perhatian sesuai tema. Skematik Summary: judul dan lead Summary: Bagaimana bagian dan Story: bagian isi berita yang Judul sebagai urutan berita terbagi menjadi dua bagian pengganti headline diskemakan dalam teks yaitu situation dan comment. dan resensi halaman berita atau buku belakang sebagai populer pengganti lead. Story: Bagian isi buku yang dapat dikategorikan sebagai situation dan comment. Semantik Isi buku: Latar (background), Isi buku: Latar Makna yang ingin Detail, Maksud, Praanggapan (background), Detail, ditekankan dalam teks yang dapat dikategorikan Maksud, Praanggapan berita. Misalnya sebagai situation atau yang dapat dengan memberi detail comment dikategorikan sebagai pada satu sisi atau situation atau membuat eksplisit satu comment sisi dan mengurangi detail sisi lain Sintaksis Isi berita: Bentuk kalimat, Isi buku: Bentuk Bagaimana kalimat koherensi, kata ganti yang kalimat, koherensi, (bentuk, susunan) yang dapat dikategorikan sebagai kata ganti yang dapat dipilih situation atau comment dikategorikan sebagai situation atau comment Stilistik Isi berita: Leksikon yang Isi buku: Leksikon Bagaimana pilihan kata dapat dikategorikan sebagai yang dapat yang dipakai situation atau comment dikategorikan sebagai situation atau comment Retoris Isi berita: Metafora, Ekspres Isi buku: Metafora, Bagaimana dan dengan yang dapat dikategorikan Ekspres yang dapat cara apa penekanan sebagai situation atau dikategorikan sebagai
47
dilakukan
comment
situation atau comment Tabel I. 5. Struktur analisis model Teun A. van Dijk disesuaikan dengan buku travelogue TNT Berikut ini adalah struktur wacana dan elemen-elemen wacana yang akan digunakan untuk menganalisis teks artikel dan feature dalam buku travelogue TNT: 1. Tematik: mengenai apa yang dikatakan dalam feature TNT. a.
Topik: ide umum atau gagasan umum dari Trinity yang ingin
disampaikan pada pembaca. 2. Skematik: mengenai penyusunan dan perangkaian pendapat dalam feature TNT b. Skema: kerangka untuk menyusun pendapat dalam feature TNT 3. Semantik: mengenai makna yang ingin ditekankan dalam feature TNT c.
Latar: sudut pandang yang dijadikan alasan pembenar dan pendukung
pendapat yang diajukan dalam feature TNT dan menyediakan dasar hendak kemana makna teks dibawa dengan memberi latar belakang peristiwa d. Ilustrasi: mengontrol komunikasi dengan pemberian contoh tertentu e.
Penalaran: alur atau pola berpikir logis yang digunakan komunikator
untuk mengarahkan persepsi khalayak guna mendukung gagasan-gasannya. f.
Detail: kontrol informasi yang ditampilkan dalam feature TNT, detail
yang panjang dan lengkap merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak g.
Maksud: elemen untuk melihat informasi yang menguntungkan penulis
akan diuraikan secara eksplisit dan jelas, sebaliknya informasi yang merugikan penulis akan di uraikan secara implisit, samar dan tersembunyi dalam feature TNT h. Praanggapan:
pernyataan
yang
dipandang
terpercaya
sehingga
digunakan untuk mendukung makna suatu teks dalam feature TNT
48
i.
Nominalisasi: elemen yang dapat memberi sugesti adanya generalisasi
dalam feature TNT 4. Sintaksis: mengenai bagaimana pendapat disampaikan dalam feature TNT yang diatur menurut aturan-aturan kalimat tertentu j.
Koherensi: pertalian atau jalinan antar kata, proposisi atau kalimat dalam
feature TNT sebagai jalinan antar kata atau kalimat dalam teks yang dipandang sebagai sebab akibat, berhubungan atau saling terpisan dan biasanya secara mudah diamati dengan penggunaan kata hubung k.
Bentuk kalimat: segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir
logis yang menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat dalam feature TNT yang ditandai dengan susunan kalimat pasif, aktif, subyek, predikat dan obyek l.
Kata ganti: elemen yang dipakai untuk menunjukkan di mana posisi
pihak yang terlibat dalam feature TNT, yaitu penggunaan kata saya, kami, aku, kita, mereka dan sebagainya. 5. Stilistik: mengenai pilihan kata yang dipakai dalam feature TNT m. Leksikon: elemen ini berhubungan dengan strategi untuk memaknai peristiwa tertentu dengan menamai obyek dan peristiwa dengan kata-kata tertentu di dalam feature TNT atau menandakan bagaimana penulis melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata-kata yang digunakan menunjukkan sikap-sikap tertentu 6. Retoris: mengenai cara menyampaikan pendapat dalam feature TNT atau gaya bahasa yang diungkapkan ketika seseorang berbicara n. Gaya: berhubungan dengan teknik yang dipakai penulis untuk menekankan arti tertentu dalam feature TNT kepada pembaca (kata-kata yang berlebihan), gaya repetisi (pengulangan) atau gaya ironi (ejekan) o. Interaksi: berhubungan dengan bagaimana penulis menempatkan atau memposisikan dirinya dengan pembaca, apakah dengan gaya formal,
49
informal atau santai yang menunjukkan kesan bagaimana ia menampilkan dirinya dalam feature TNT p. Ekspresi: elemen untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan dalam suatu teks. Misalnya melalui suara, intonasi pada kata-kata tertentu (pada teks audio visual), ukuran huruf, grafis, gambar atau mungkin tabel untuk mendukung gagasan yang ingin disampaikan dalam feature TNT q. Metafora: kiasan atau ungkapan yang dimaksudkan sebagai ornamen atau bumbu dari suatu berita dalam konteks ini berupa feature, namun bisa juga justru berfungsi sebagai petunjuk utama untuk memahami sebuah teks. (b) Kognisi Sosial Kognisi sosial merupakan hal yang paling penting pada model analisis van Dijk. Menurutnya, tidak ada hubungan langsung antara struktur wacana dengan struktur sosial secara nyata. Namun, kedua hal tersebut dapat dihubungkan dengan kognisi personal atau kognisi sosial. Kognisi inilah yang dibutuhkan pada CDA untuk menghubungkan dan menunjukkan bahwa struktur sosial atau konteks sosial bisa jadi mempengaruhi struktur wacana (van Dijk, 1998: 265-266). Kognisi sosial terutama dihubungkan dengan proses produksi berita.Menurut van Dijk, titik kunci dalam memahami produksi adalah dengan meneliti proses terbentuknya teks. Dalam proses produksi berita, wartawan akan menulis peristiwa yang dilihatnya ke dalam bentuk laporan berupa fakta, kemudian dilakukan pengeditan oleh editor dan disampaikan kepada khalayak. Proses ini berhubungan dengan kognisi penulisnya. Bagaimana kognisi penulis sehingga melatarbelakangi penulisan wacana dalam berita. Sama halnya dengan berita, buku catatan perjalanan pun ditulis oleh penulis buku. Penulis ini akan menuliskan naskahnya sesuai dengan kognisi sosial yang ia pahami, melihat dan meresapi dari struktur keadaan sosial yang terjadi berdasarkan fakta langsung dan realitas umum yang dipahami penulis. Namun,
50
yang terpenting pada elemen ini adalah proses produksi yang melibatkan kognisi penulis. Bagaimana pun juga proses menulis adalah sebuah proses pengumpulan data-data yang dapat didapat secara langsung maupun tidak langsung dan dipengaruhi oleh pemahaman kognisi. Untuk menganalisis kognisi sosial penulis buku dapat dilakukan dengan wawancara. (c) Analisis Sosial Hal ini berkaitan denga konteks yang terjadi di masyarakat. Bagaimana wacana yang sedang diteliti tersebut berkembang di masyarakat. Salah satu tujuan dari analisis wacana adalah untuk mengetahui bangunan wacana yang berkembang di masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan. Titik penting dari analisis konteks sosial ini adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati bersama. Tentang bagaimana makna dapat dipahami, maka kita harus membahas tentang konteks. Konteks terbagi menjadi dua, yaitu konteks sosial dan konteks situasional. Konteks sosial dapat dilihat dari sistem makna yang hidup di tengah-tengah khalayak terkait dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Sedangkan konteks situasional adalah konteks yang berkaitan dengan kehidupan sosial, budaya, dan politik yang melatarbelakangi sebuah peristiwa (Lihawa, 2009: 35)62. Penulisan buku catatan perjalanan pun tidak lepas dari konteks sosial yang mendasarinya, karena buku catatan perjalanan adalah produk wacana. Analisis yang digunakan adalah menggali keadaaan sosial pada saat buku catatan perjalanan tersebut diproduksi dan mencocokkannya dengan teks buku catatan perjalanan. Ini dapat dilakukan dengan penelusuran literasi dan mengamati realitas nyata dengan wawancara narasumber misalnya. Dari penelusuran tersebut dapat dipahami apakah ada kaitannya antara isi buku catatan perjalanan dengan 62
Skripsi: Lihawa, Verawaty. 2009. Media Massa dan Konstruksi Realitas Analisis Wacana Surat Kabar Harian Gorontalo Post dalam Mengkonstruksi Kandidat Gubernur Fadel Muhammad pada Berita-berita Kampanye Pilkada Gorontalo Edisi 10-24 November 2006. Yogyakarta: Fisipol UGM.
51
kondisi sosial tersebut dan bagaimana bisa terjadi sedemikian rupa.
Tabel I. 6. Unit Analisis Struktur Wacana Struktur
Elemen Wacana Teks
Unit Analisis
Tematik
Topik/Tema
Teks
Skematik
Summary : Headline dan Lead Story : Situasi (episode dan latar) dan komentar (reaksi dan kesimpulan penulis dari berbagai komentar) Latar : Konteks dan History Komentar:Harapan, Evaluasi, dan Kesimpulan Latar, detil, ilustrasi, maksud, pranggapan, dan penalaran Koherensi, nominalisasi, kata ganti, dan bentuk kalimat Leksikon
Teks
Kalimat proposisi Kata
Gaya, interaksi, metafora
Kalimat Proposisi
Makro Superstruktur
Semantik Struktur Mikro
Sintaksis Stilistik Retoris
ekspresi,
Paragraf
52