BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Kota adalah pusat kegiatan, pelayanan, dan pemerintahan menjadi daya tarik bagi penduduk untuk melakukan urbanisasi. Urbanisasi merupakan salah satu permasalahan perkotaan, yang membuat kota menjadi pilihan dominan bagi penduduk di dunia untuk dihuni, termasuk Indonesia. Perkembangan kota kompleks melibatkan berbagai sektor yang saling berhubungan. Keterkaitan antar ruang dan sektor menjadi sebuah sistem perkotaan. Kondisi ini yang membuat perkembangan kota menjadi dinamis. Tekanan penduduk yang tinggi dengan lahan yang terbatas menjadi suatu permasalahan bagi perkotaan. Selain itu, kota juga tidak terlepas dari permasalahan permukiman, transportasi, penyediaan fasilitas publik hingga lapangan pekerjaan. Penyediaan sarana prasarana infrastruktur dan fasilitas pelayanan menjadi hal yang wajib diperhatikan di perkotaan. Menurut (Survey Most Livable City Index, 2011 dalam dalam http://www.iap.or.id), kondisi kotakota di Indonesia berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kondisi perkotaan yang mengkhawatirkan menjadi sebuah permasalahan yang mana perlu dicari solusinya, karena bagaimanapun kota merupakan ruang aktifitas manusia. Era kini banyak masyarakat kota mengeluhkan ketidaknyamanan lingkungan kota tempat tinggal mereka. Ketidaknyamanan dapat dijumpai dalam permasalahan lapangan pekerjaan, lingkungan/ ekologi, pemerataan, peran serta masyarakat dan energi (Budiharjo, 2009). Ketidaknyamanan sebuah kota menjadi sebuah masalah bagi sebuah kota yang terus berkembang. Oleh karena itu dibutuhkan konsep pembangunan perkotaan yang mempertimbangkan kelayakan huni bagi penduduk yang tinggal didalamnya. Kota layak huni atau The Livable City merupakan gambaran sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai 1
tempat untuk beraktifitas yang dilihat dari berbagai variabel baik fisik maupun non-fisik (Wheeler, 2004). Variabel fisik dapat berbagai penyediaan sarana prasarana yang lengkap di kota. Struktur ruang yang dapat menghubungkan berbagai lokasi dengan mudah. Pola ruang yang ditata sesuai dengan kemampuan dan potensi lahannya. Sedangkan variabel non-fisik dapat dilihat dari segi sosial dan budaya masyarakat kota. Kota yang layak huni menjadi tantangan bagi pemerintah, masyarakat dan pihak swasta untuk menciptakan kota yang layak huni (Livable City). Kota Tegal merupakan kota di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki posisi strategis dalam perkembangan perkotaan. Kota Tegal Terletak diantara 109°08’ 109°10’ Bujur Timur dan 6°50’ - 6°53’ Lintang Selatan, dengan wilayah seluas 39,68 km² atau kurang lebih 3.968 hektar. Luas wilayah Kota Tegal relatif kecil yaitu hanya 0,11 % dari total luas Provinsi Jawa Tengah. Kota Tegal berada di Wilayah Pantai Utara. Dilihat dari letak geografis, posisi Kota Tegal sangat strategis sebagai penghubung jalur perekonomian lintas nasional dan regional di Wilayah Pantai Utara Jawa (Pantura) yaitu dari barat ke timur (Jakarta-TegalSemarang-Surabaya) dengan wilayah tengah dan selatan Pulau Jawa (JakartaTegal-Purwokerto-Yogyakarta-Surabaya) dan sebaliknya. Kondisi
geografis
Kota
Tegal
memiliki
posisi
strategis
untuk
perkembangan kota secara optimal. Kota Tegal menjadi persinggahan yang potensial bagi masyarakat yang melakukan perjalanan Jakarta-Surabaya melalui jalur darat. Selain itu, kota ini memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan
secara
optimal,
diantaranya
sektor
pariwisata,
industri,
perdagangan, dan jasa. Kota Tegal yang terletak di pesisir Laut Jawa memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata dan pertanian perikanan. Kota Tegal bersinergis dengan Kabupaten Tegal dalam mengembangkan Indutri Kecil Menengah (IKM) yang mengembangkan sumber daya ekonomi lokal (Local Economic Development). Pemerintah Kota Tegal yang mencanangkan gerakan kebersihan dan keindahan yang dilandasi dengan semangat dan slogan “Tegal Keminclong Moncer Kotane” yang artinya kondisi bersih, aman, sehat, rapi dan beriman (Bahari), sesuai dengan Surat Keputusan Walikota Tegal Nomor 7 Tahun 2
2004. Tentu saja, slogan ini tidak menggusur predikat Kota Bahari yang telah lama melekat pada daerah ini. Bertolak belakang dari berbagai potensi yang ada di Kota Tegal, terdapat masalah-masalah yang timbul akibat potensi itu sendiri. Masalah dapat ditinjau dari segi pengembangan perkotaan yang memiliki dampak pada lingkungan kota. Lokasi Kota Tegal berada di wilayah pesisir yang mana memiliki potensi pengembangan wilayah pada sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang meliputi perikanan, hutan mangrove, Pusat Pendaratan Ikan (PPI), pelabuhan niaga, pariwisata, industri, dan lain-lain. Berbagai potensi tersebut menjadi suatu ancaman bagi wilayah apabila pengembangannya tidak memperhatikan aspek ekologisnya. Aktivitas perdagangan jasa yang berkembang, berefek pada aktifitas pengembangan permukiman di Kota Tegal. Selain itu, permasalahan yang merupakan dampak negatif dari pengembangan wilayah tersebut adalah kerusakan mangrove, abrasi pantai, dan pencemaran air (Diananto, 2006) Lokasi strategis Kota Tegal menimbukan perkembangan di sektor perdagangan dan jasa terus meningkat. Pembangunan permukiman juga semakin meningkat dengan mulai dibangunnya perumahan-perumahan elite dengan standar yang tinggi. Potensi yang dimiliki Kota Tegal akan mendukung perkembangan kota secara keseluruhan. Potensi kota menjadi daya tarik bagi penduduk untuk datang dan menempati suatu kota. Jumlah penduduk Kota Tegal berpotensi untuk mengalami peningkatan di tahun-tahun yang akan datang tentunya akan menimbulkan permasalahan bagi kenyamanan penduduknya. Oleh karena itu, kajian mengenai kota layak huni yang ditinjau dari aspek lingkungan hidup penting untuk dilakukan guna mendukung konsep sustainable development.
1.2. Perumusan Masalah Lokasi strategis Kota Tegal menimbulkan perkembangan pesat pada permukiman serta sektor perdagangan dan jasa terus meningkat. Potensi yang dimiliki Kota Tegal akan mendukung perkembangan kota secara keseluruhan. Lokasi dan potensi kota menjadi daya tarik bagi penduduk untuk datang dan menempati Kota Tegal. Lokasi Kota Tegal berada di wilayah pesisir yang mana 3
memiliki potensi pengembangan wilayah pada sumber daya alam, pelabuhan niaga, pariwisata, industri, hingga perdagangan dan jasa. Berbagai potensi tersebut menjadi suatu ancaman bagi wilayah apabila pengembangannya tidak memperhatikan aspek ekologisnya. Walaupun Kota Tegal memiliki lokasi yang strategis dan berbagai potensi wilayah, pengembangan kota perlu mempertimbangkan aspek dan dampak lingkungannya. Suatu
kota yang berkembang perlu mempertimbangkan
keberlanjutannya (sustainability) sehingga layak untuk ditinggali. Oleh karena itu dapat dirumuskan tingkat kelayakan huni Kota Tegal yang ditinjau dari aspek lingkungan hidup. Kemudian, bagaimana persepsi masyarakat Kota Tegal mengenai tingkat kelayakan huni yang ditinjau dari aspek lingkungan hidup di kota tersebut. Kajian “Kota Layak Huni” di Kota Tegal Jawa Tengah dari kriteria lingkungan menjadi sebuah kajian yang penting diteliti karena penelitian mengenai “The Livable City” sudah pernah dilakukan di kota-kota besar di Indonesia, namun belum untuk kota sedang seperti Kota Tegal.
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi kelayakan Kota Tegal yang yang ditinjau dari aspek lingkungan hidup. 2. Mengidentifikasi persepsi masyarakat Kota Tegal mengenai kelayakan huni yang ditinjau dari aspek lingkungan hidup di Kota Tegal.
1.4. Sasaran Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Tegal dengan melibatkan elemen pemerintahan untuk mendapatkan data sekunder dan elemen masyarakat untuk mendapatkan data primer.
4
1.5. Kegunaan Penelitian Manfaat
penelitian
untuk
pengembangan
ilmu
adalah
untuk
mengidentifikasi perkembangan perkotaan di masa yang akan datang. Tingkat urbanisasi yang terus meningkat di perkotaan, menyebabkan jumlah penduduk di perkotaan juga semakin tinggi, sehingga suatu kota perlu memiliki kelayakan untuk ditinggali oleh penduduknya. Identifikasi kota yang layak huni atau tidak dapat dijadikan sebagai evaluasi pengembangan kota menuju arah yang lebih baik. Pemecahan masalah-masalah terkait dapat diselesaikan melalui analisis terhadap identifikasi layak tidaknya suatu kota untuk dihuni. Identifikasi kota yang layak huni (the livable city) dapat digunakan sebagai saran pengembangan dan penyempurnaan sistem untuk perkembangan kota ke depannya. Pada penelitian ini, kajian mengenai kota layak huni difokuskan pada aspek lingkungan hidup.
1.6. Tinjauan Pustaka 1.6.1. Landasan Teori 1.6.1.1. Keilmuan Geografi Ilmu geografi merupakan studi tentang diferensiasi areal fenomena yang bertatutan di muka bumi dalam arti pentingnya bagi manusia. Lukerman (Minshul, 1970) juga menekankan bahwa perlunya fenomena yang bervariasi itu dapat dipandang sebagai suatu sistem yang kompleks di muka bumi. Dengan demikian orang akan mendapatkan pengertian mengenai arti lokasi suatu tempat, persebaran dan konsentrasi fenomena pada tempat-tempat tertentu, adanya saling ketergantungan secara luas antara sistem lingkungan alam dan kehidupan manusia. Selain itu, ada pula interaksi yang terjadi antara fenomena tertentu yang menjadi sasaran studi disiplin ilmu lain, adanya perubahan yang bersifat dinamis dalam hal tempat, fenomena, dan sumber daya yang penting. Terakhir, adanya bentang alam budaya sebagai hasil interaksi yang tak henti-hentinya antara manusia dan lingkungan sekitarnya (Minshul, 1970 dalam Suharyono, 2005: 3-6).
5
1.6.1.2. Pendekatan Geografi Konsep-konsep dasar geografi memiliki berbagai dimensi, yakni dimensi ruang, tempat, dan waktu, aspek manapun mendapat penekanan atau menjadi titik berat perhatian. Kajian geografi tidak akan terlepas dari ciri utama pendekatan kajiannya, yakni keruangan, lingkungan atau ekologikal, dan kewilayahan (regional) atau kompleks wilayah (Suharyono, 2005: 7-9). 1.6.1.3. Pengertian Kota Kota meliputi lahan geografis yang utamanya untuk permukiman, berpenduduk dalam jumlah relatif banyak; di atas lahan yang relatif terbatas luasnya; di mana mata pencaharian penduduk didominasi oleh kegiatan nonpertanian; sebagian besar merupakan kegiatan sektor tersier (perdagangan, transportasi, keuangan, perbankan, pendidikan, kesehatan, dan jasa lainnya), sektor pengolahan atau sektor sekunder (industri dan manufaktur, serta pola hubungannya antar individu dalam masyarakat dapat dikatakan lebih bersifat nasional, ekonomis, dan individualistis (Adisasmita, 2010: 49). Di Indonesia, di luar Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebuah kota dari segi hukum dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan (Sandy, 1983 dalam Yunus, 2005: 43), yaitu: (1) kotamadya; (2) kotamadya administratif; (3) kota administratif; (4) kota. Kotamadya adalah sebuah kota yang jelas batas hukum kewenangan pemerintah daerahnya. Mungkin sekali, tidak seluruh wilayahnya merupakan wilayah yang ‘terbangun’, artinya sebagian wilayahnya masih merupakan daerah perdesaan dalam penggunaan lahannya, seperti sawah, perkebunan, kolam ikan atau hutan. Kotamadya adalah tingkat II. Kotamadya administartif adalah sebuah kota yang tidak mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat. Kota administratif adalah sebuah kota yang meskipun dipimpin oleh seorang walikota, tetapi masih merupakan bagian dari pada sebuah daerah tingkat II. Kota administratif tidak mempunya dewan, tetapi batas-batas wilayah hukum walikotanya jelas ditetapkan. Sedangkan kota, seperti layaknya sebuah kabupaten, keberadaannya hanya ditandai oleh bagian-bagiannya yang sudah dibangun namun kewenangan hukum pemerintah daerahnya tidak terbatas pada daerah 6
terbangun saja tetapi termasuk wilayah yang belum terbangun yang berada dalam batas-batas wilayah yang sudah ditetapkan. 1.6.1.4. Permasalahan di Perkotaan 1.6.1.4.1. Urbanisasi Urbanisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan): pembangunan desa dapat membendung --; (2) perubahan sifat suatu tempat dr suasana (cara hidup, dan sebagainya) desa ke suasana kota. Perubahan sifat ini sama seperti yang dikemukakan oleh Giyarsih (2010), Urbanisasi dilihat dari kondisi non-fisik yang mana mengubah dimensi banyak orang dari segi ekonomi, sosial, budaya, polotik, dan perilaku dalam berteknologi, dari karakteristik perdesaan menjadi perkotaan. Kondisi non-fisik ini tidak lepas dari hubungannya dengan kondisi fisik yang berlangsung dalam proses yang panjang. 1.6.1.4.2. Tekanan Penduduk dan Pertumbuhan Kota Seiring dengan perkembangan waktu, kota juga terus bertumbuh. Penduduk yang datang dan tinggal di kota menghasilkan suatu permukiman sebagai sarana aktivitas. Permukiman dapat semakin luas jangkauannya apabila jumlah penduduk semakin banyak. Apabila suatu permukiman sudah mencapai tingkat kepadatan yang tinggi, maka dapat terjadi perembetan sifat perkotaan (urban sprawl) ke daerah pinggiran. Selain itu, terbentuknya permukimanpermukiman baru juga dapat terjadi di kota. Fenomena ini menyebabkan perubahan bentuk morfologi kota. Sementara batas administrasi kota relatif tidak mengalami perumbahan dari waktu ke waktu (Yunus, 1999). Terdapat tiga kemungkinan hubungan antara batas morfologi kota dengan batas administrasinya (Northarn, 1979 dalam Yunus, 1999) yaitu: (1) Sebagian besar batas fisik kekotaan berada jauh diluar batas administrasi kota. Kondisi kota yang mengalami situasi seperti ini disebut dengan “Under Bounded City”.
7
(2) Sebagian besar batas fisik kekotaan berada di dalam batas administrasi kota. Kondisi kota seperti ini disebut sebagai “Over Bounded City”. (3) Batas fisikal kota koinsiden dengan batas administrasi kota. Kondisi seperti ini disebut “True Bounded City”. Pada perencanaan tata ruang kota, kondisi semacam ini memudahkan pemerintah kota, karena seluruh areal kota berada dalam batas administrasinya. 1.6.1.4.3. Penyediaan Pelayanan Kota Permasalahan perkotaan terhadap penyediaan pelayanan masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Upaya untuk pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi sudah banyak mengalami peningkatan, namun perbaikan infrastruktur masih kurang baik. Cakupan pelayanan kota oleh pemerintah daerah yakni penyediaan air, transportasi, fasilitas pendidikan dan kesehatan, penanganan masalah sosial, termasuk kejahatan, konflik etnik serta bencana alam. Kerangka penyediaan pelayanan kota telah mengalami perubahan yang signifikan Undangundang No. 22/1999 dan PP No.25/2000 menetapkan kerangka institusional untuk perencanaan, pembangunan, penyediaan, dan pemeliharaan pelayanan kota. Pendekatan baru terhadap pemerintahan dan pengelolaan kota, partisipasi masyarakat, dan keuangan daerah yang diatur dalam undang-undang ini akan membawa dampak yang besar terhadap pendekatan dan metode yang digunakan (East Asia Infrastructure Department, 2003: 64-65). 1.6.1.4.4. Pembangunan Kota yang Berkelanjutan Para pakar mengidentifikasi tiga pandangan tentang pembangunan berkelanjutan yang berkembang dari tiga disiplin ilmu pengetahuan (Serageldin, 1994 dalam Kuswartojo, 2010: 32-33). Pandangan tersebut adalah: Pertama, pandangan dari sudut ekonomi, yang memfokuskan perhatiannya pada upaya peningkatan kemakmuran semaksimal mungkin dalam batasan ketersediaan modal dan kemampuan teknologi. Sumber daya alam merupakan modal yang akan menjadi langka dan kendala upaya meningkatkan kemakmuran. Sedang sumber daya manusia dengan kemampuan teknologinya akan menjadi tumuan harapan untuk melonggarkan batas dan mengubah kendala yang ada, sehingga perkembangan kemakmuran terus berlanjut. Kedua, pandangan dari sudut ekologi, 8
yang memandang terjaganya keutuhan ekosistem alami sebagai syarat mutlak untuk menjamin keberlanjutan perkembangan kehidupan. Ketiga, pandangan dari segi sosial yang menekankan pentingnya pemberdayaan, peran serta sebagai kunci untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. 1.6.1.5. Konsep “The Livable City” Kota layak huni atau Livable City adalah dimana masyarakat dapat hidup dengan nyaman dan tenang dalam suatu kota. Menurut Hahlweg (1997), kota yang layak huni adalah kota yang dapat menampung seluruh kegiatan masyarakat kota dan aman bagi seluruh masyarakat. “A Livable City is a city where I can have a healthy life and where I have the chance for easy mobility – by foot, by bicycle, by public transportation, and even by car where there is no other choice…The Livable City is a city for all people. That means that the Livable City should be attractive, worthwhile, safe for our children, for our older people, not only for the people who earn money there and then go and live outside in the suburbs and in the surrounding communities. For the children and elderly people it is especially important to have easy access to areas with green, where they have a place to play and meet each other, and talk with each other. The Livable City is a city for all.” Dalam mewujudkan konsep Livable City harus didukung dengan sustainable city, agar
perencanaan
ruang
kota
dapat
terwujud
sesuai
rencana.
Dalam konteks keberlanjutan adalah kemampuan untuk mempertahankan kualitas hidup yang dibutuhkan oleh masyarakat kota saat ini maupun masa depan, seperti yang dinyatakan oleh Salzano (1997): “Therefore a Livable City is also a ‘sustainable city’: a city that satisfies the needs of the present inhabitants without reducing the capacity of the future generation to satisfy their needs.” Livable City adalah kota dimana ruang umum yang merupakan pusat kehidupan sosial dan fokus keseluruh masyarakat (Salzano,1997). Konsep ini berhubungan 9
erat dengan infrastruktur jalan dan bangunan, vegetasi, musim, dan masyarakat/ penduduk, seperti yang dinyatakan oleh A.Palej (2000): “…there are those social groups for whom a Livable City is one where those elements have been preserved or renewed which have always been an integral part of people friendly places. These are, as Peter Smithson once beautifully said ‘relationships between streets and buildings, and buildings amongst themselves, and trees, and seasons of the year, and ornamentation, and events and other people.(A. Palej, 2000)” Konsep Livable City juga sangat berkaitan dengan lingkungan. Livable City harus berkesinambungan dengan sistem ekologi dan kenyamanan hidup bagi masyarakat kota. Pemulihan ekologi dapat memperbaiki lingkungan dalam Livable City dan sustainability. Livable City perlu menciptakan dan menjaga lingkungan yang bersih. Selain itu, kota yang layak huni juga menyediakan fasilitas pelayanan kota yang optimal, keamanan, dan budaya kota yang tetap dipertahankan. 1.6.1.6. Ukuran The Livable City Ukuran The Livable City menurut (Most Livable City Index, 2011 dalam http://www.iap.or.id), terdapat 9 kriteria yakni: tata ruang, transportasi, infrastruktur, ekonomi, sosial, lingkungan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan keamanan. Kriteria tersebut digunakan untuk survey tingkay kelayakan huni di 15 kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Denpasar, Makasar Manado, Surabaya, Semarang, Banjarmasin, Batam, Jayapura, Bandung, Palembang, Palangkaraya, Jakarta, Pontianak dan Medan. 1. Tata Ruang Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, ternpat rnanusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata 10
ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan 'penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pcngaturnn, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) adalah suatu rencana pemanfaatan ruang kota, yang berisikan rencana pembangunan kota yang terkait dengan ruang, sehingga tercapai tata ruang yang dituju dalam kurun waktu tertentu di masa yang akan datang. Rencana program pembangunan kota disusun untuk 20 tahun ke depan dan dibagi dalam lima tahapan. Dalam hal ini harus dipadukan pendeketan sektoral dan pedekatan regional (ruang). Sesuai dengan Keputusan Menteri PU No. 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, ada empat tingkatan Rencana Ruang Kota, yakni sebagai berikut: 1. Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan, menggambarkan posisi kota yang direncanakan terhadap kota lain secara nasional dan hubungannya dengan wilayah belakangnya. 2. Rencana Umum Tata Ruang Kota, menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara keseluruhan. 3. Rencana Deatail Tata Ruang Kota, menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara lebih rinci. 4. Rencana Teknik Ruang Kota, menggambarkan rencana geometri pemanfaatan ruang kota sehingga sudah bisa menjadi pedoman dalam penentuan site pembangunan/ konstruksi di kota. (Tarigan, 2005: 69-70). 2. Transportasi Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, orang melakukan aktivitas yang seringkali berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Perpindahan orang dari satu tempat ke tempat lain memerlukan sarana dan prasarana. Perpindahan tersebut dapat dilakukan dengan sarana transportasi, mulai dari 11
kendaraan roda dua dan empat serta dengan berjalan kaki. Kendaraan yang digunakan dapat kendaraan umum maupun pribadi. Jalan merupakan prasarana untuk orang melakukan pergerakan dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Jalan raya menjadi prasarana yang dilewati oleh kendaraan dari berbagai jenis, sehingga seharusnya dapat melayani atau memberikan akomodasi berbagai kendaraan yang melewatinya. Transportasi di jalan raya bukan hanya memungkinkan untuk orang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi juga memindahkan barang guna untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahan makanan, bahan bangunan, ternak, dan kebutuhan lain dari yang ringan sampai yang berbobot berat ditransport dengan kendaraan dari satu tempat ke tempat lain melalui jalan (Sudarmadji, 2013: 4) Menurut Keputusan Menteri PU No. 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, salah satu yang perlu direncanakan dalam RUTRK adalah sistem trasnportasi. Rencana sistem transportasi menyangkut perencanaan sistem pergerakan dan prasarana penunjang untuk berbagai jenis angkutan yang terdapat di kota, seerti angkutan jalan raya, angkutan kereta api, angkutan laut, angkutan sungai, danau, penyebrangan, serta angkutan udara. Untuk angkutan jalan raya perlu ditetapkan jaringan jalan berupa jalan arteri primer hingga jalan lokal sekunder, disertai dengan terminal, baik untuk penumpang maupun barang. Untuk kereta api ditetapkan jalur kereta api dan stasiunnya. Untuk angkutan laut, sungai, danau, dan penyebrangan diatur alur pelayaran dan lokasi pelabuhan untuk angkutan udara berupa lokasi lapangan terbang dan jalur penghubungnya ke inti kota. Luas dan kapasitas masing-masing terminal, pelabuhan, stasiun, dan lapangan terbang perlu direncanakan (Tarigan, 2005: 72). 3. Infrastruktur Pertumbuhan
ekonomi
tinggi,
namun
serapan
anggaran
untuk
pembangunan infrastruktur dinilai masih kurang. Hal ini menyebabkan pengembangan
infrastruktur di
sejumlha daerah
mengalami
kemoloran.
Pembangunan infrastruktur mampu menopang ekonomi nasional dari berbagai sisi. Jika infrastruktur tidak memadai, maka daya saing perekonomian di suatu wilayah akan berkurang (Bambang, 2012: 47-49)
12
4. Ekonomi Kondisi ekonomi menjadi kriteria dalam mengukur ketersediaan lapangan pekerjaan pada sebuah kota. Aksesibilitas kawasan perkantoran atau lokasi kerja juga dapat encerminkan kondisi ekonomi di suatu kota (MLCI, 2011 dalam http://www.iap.or.id). 5. Sosial Kondisi sosial meliputi interaksi antar masyarakat di dalam suatu kota. Selain itu, interaksi budaya masyarakat yang berpengaruh pada pola tingkah laku masyarakat
terhadap
sesama
dan
lingkungan
(MLCI,
2011
dalam
http://www.iap.or.id). 6. Lingkungan Menurut Keputusan Menteri PU No. 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, salah satu yang perlu direncanakan dalam RUTRK adalah lingkungan. Rencana penanganan lingkungan kota adalah langkah-langkah yang akan ditempuh untuk masing-masing lingkungan atau bagian kota baik untuk pengembangan maupun untuk menjaga kenyamanan lingkungan hidup perkotaan. Pada langkah awal sudah ditetapkan rencana pemanfaatan ruang kota untuk masing-masing bagian/ lingkungan kota. Pada langkah ini perlu dibuat rencana yang lebih rinci dan ditetapkan prioritas agar pemanfaatan ruang kota itu mengarah pada penggunaan yang ditetapkan. Hal ini juga bersangkut paut pada ketepatan/pengaturan/pengendalian dan melengkapi faktor pendukung agar penggunaan lahan menuju ke arah yang diinginkan (Tarigan, 2005: 74). 7. Fasilitas Pendidikan Menurut Keputusan Menteri PU No. 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, salah satu yang perlu direncanakan dalam RUTRK adalah rencana struktur pelayanan kegiatan kota. Pada pelayanan kegiatan kota ini terdapat perencanaan fasilitas pendidikan didalamnya. Berbagai fasilitas pendidikan perlu direncanakan penjenjangnya disertai lokasinya. Di dalam fasilitas pendidikan terdapat jenjang mulai dari TK, SD, SMP, SMA, akademi hingga perguruan tinggi. Perbandingan yang tepat antara jumlah fasilitas pendidikan di berbagai jenjang dan wilayah pengaruhnya (Tarigan, 2005: 71-72).
13
Menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, penyediaan fasilitas pendidikan berfungsi untuk melayani setiap unit pemerintahan baik formal maupun informal. Dasar penyediaan bukan semata-mata pada jumlah penduduk yang akan dilayani oleh sarana tersebut. Dasar penyediaan ini mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit dan kelompok lingkungan suatu kota. Sedangkan penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu. Perencanaan fasilitas pendidikan perlu didasarkan pada tujuan pendidikan yang akan dicapai, dimana meyediakan ruang belajar yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, serta sikap secara optimal. Oleh karena itu, di dalam perencanaan fasilitas pendidikan perlu memperhatikan: a) jumlah anak yang memerlukan fasilitas pendidikan pada area perencanaan; b) optimasi daya tampung dengan satu shift; c) efisiensi dan efektifitas kemungkinan pemakaian ruang belajar secara terpadu; d) pemakaian sarana dan prasarana pendukung; e) keserasian dan keselarasan dengan konteks setempat terutama dengan berbagai jenis sarana lingkungan lainnya. 8. Fasilitas Kesehatan Menurut Keputusan Menteri PU No. 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, salah satu yang perlu direncanakan dalam RUTRK adalah rencana struktur pelayanan kegiatan kota. Pada pelayanan kegiatan kota ini terdapat perencanaan fasilitas kesehatan didalamnya. Berbagai fasilitas kesehatan perlu direncanakan hierarki pelayanan disertai lokasinya. Di dalam fasilitas kesehatan terdapat jenjang hierarki pelayanan seperti puskesmas pembantu, puskesmas, rumah sakit tipe D, tipe C, tipe B, tipa A, dan rumah sakit khusus. Perbandingan yang tepat antara jumlah fasilitas pendidikan di berbagai jenjang dan wilayah pengaruhnya (Tarigan, 2005: 71-72). Menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, sarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat kota. Fasilitas kesehatan memiliki peran yang 14
sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat perkotaan Selain itu, fasilitas ini juga berfungsi mengendalikan pertumbuhan penduduk. Dasar penyediaan fasilitas ini adalah jumlah penduduk yang dilayani fasilitas tersebut. Penyediaan fasilitas kesehatan mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada di suatu kota. Sedangkan penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang perlu dipenuhi untuk melayani pada area tertentu. 9. Keamanan Keamanan dalam kota merupakan hal yang krusial apabila menginginkan penduduknya menyatu dengan ruang kota. Secara umum, kehidupan dan masyarakatnya ingin membuat sebuah kotanya menjadi lebih menarik dan aman. Terdapat berbagai isu keamanan kota (safe city issue) yang akan membuat kota menjadi aman. Dalam hal ini, terdapat dua sektor yang merupakan bagian dari keamaan di dalam ruang kota yakni keamanan berlalulintas (traffic safety) dan antisipasi kriminalitas (crime prevention). Keamanan berlalulintas dapat dilihat dari perencanaan sebuah kota, misalnya perencanaan jaringan jalan. Perencanaan lalulintas yang baik akan membuat rasa aman untuk berkendara di kota. Kedua, kriminalitas menjadi suatu permasalahan di perkotaan. Oleh karena itu, sebuah kota butuh melakukan berbagai hal untuk mencegah atau meminimalisisr tindakan kriminal.
1.6.1.7. Kriteria Lingkungan Kriteria lingkungan hidup menjadi landasan utama dalam penelitian kajian kota layak huni di Kota Tegal. Kriteria ini dipilih berlandaskan pada beberapa kajian. Pertama, KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 yang mengungkapkan bahwa pelestarian lingkungan hidup yang beraspek sosial ekonomi, oleh karenanya juga menuntut ditegakkannya keadilan global, pronsip “common but differentially responsibility” (tanggungjawab sama kewajiban berbeda). Prinsip besar “tanggungjawab sama tapi kewajiban berbeda” maksudnya adalah bahwa kerusakan bumi dan degradasi lingkungan hidup ini adalah tanggungjawab kita 15
bersama baik bangsa-bangsa utara maupun selatan. Namun dalam hal kewajiban untuk ikut menyembuhkan dan melestarikannya, berdasarkan sumbangan kadar perusakannya (industrialisasi bangsa-bangsa Utara lebih banyak dosanya). Bangsa-bangsa utara (the polluters should pay) wajib menyumbangkan teknologi dan pendapatannya jauh lebih besar (Third World Network, 2005). Kriteria lingkungan hidup juga merupakan bagian dari Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan tahun 2002. Menurut Third World Network (2005), bagian dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni lingkungan, ekonomi, dan sosial. Lingkungan hidup merupakan bagian dari kerangka kerja dan tujuan yang lebih luas dari penguatan Pembangunan Berkelanjutan Internasional sebagai bagian dari input Konferensi Dunia Pembangunan Berkelanjutan
atau World
Summit On Sustainable Development pada tahun 2002 di Johannesburg. Isu-isu di dalam manajemen perkotaan meliputi tiga hal, yakni urbanization, economic development, dan environmental problems (Cheema, 1993). Masalah lingkungan yang melanda perkotaan tentunya membutuhkan penanganan. Oleh karena itu, salah satu dari agenda perkotaan “promotting a safe and sustainable urban environment”. Suatu Kota perlu mendukung lingkungan perkotaan yang aman dan berkelanjutan (Joshi-Ghani, 2012). Dimensi lingkungan membahas mengenai kebersihan, polusi, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan lingkungan sosial (KA ANDAL Rencana Pembangunan Ballroom dan Hotel Tentrem, 2012). Polusi atau pencemaran terdiri dari polusi air dan udara. Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/I/1988 : Pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun
16
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
1.6.1.8. Konsep Analisis Dampak Lingkungan Analisis mengenai dampak lingkungan diatur dalam pasal 16 UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1986 (berlaku 5 Juni 1987). Konsep ADL mempelajari dampak pembangunan terhadap lingkungan dan dampak lingkungan terhadap pembangunan juga didasarkan pada konsep ekologi yang secara umum didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara mahkluk hidup dengan lingkungannya. ADL merupakan bagian dari ilmu ekologi pembangunan yang mempelajari hubungan timbal balik atau interaksi antara pembangunan dan lingkungan (Otto, 1988: 41-43). Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas. Aktifitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik maupun biologi. Aktifitas dapat pula dilakukan oleh manusia, misalnya pembangunan gedung dan sebagainya. Dalam konteks ADL, penelitian dampak dilakukan karena adanya rencana aktifitas manusia dalam pembangunan. Dampak pembangunan menjadi masalah karena perubahan yang disebabkan oleh pembangunan selalu lebih luas daripada yang menjadi sasaran pembangunan yang direncanakan. (Otto, 1988: 43). Secara umum dalam ADL, dampak pembangunan diartikan sebagai perubahan yang tidak direncanakan yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan. Di dalam ADL kita menjumpai dua jenis batasan tentang dampak, yakni: a. Dampak pembangunan terhadap lingkungan ialah perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang diprakirakan akan ada setelah ada pembangunan (Clark, 1978 dalam Otto, 1988: 44-45). b. Dampak pembangunan terhadap lingkungan ialah perbedaan antara kondisi lingkungan yang diprakirakan akan ada tanpa adanya pembangunan dan yang diprakirakan akan ada dengan adanya pembangunan tersebut (Munn, 1979 dalam Otto, 1988: 45).
17
1.6.2. Penelitian Terdahulu “The Livable City” Kajian kota layak huni ditinjau dari aspek lingkungan hidup di Kota Tegal mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Pertama dan kedua pada penelitian Most Livable City Index 2009 dan 2011 oleh Ikatan Ahli Perencana Indonesia. Pada penelitian tersebut menghasilkan indeks “livable city” di kota-kota besar Indonesia dengan 9 variabel penentu. Pada penelitian ini, indeks “livable city” diterapkan di kota menengah yakni Kota Tegal yang mana variabel yang digunakan hanya pada lingkungan hidup. Ketiga, Making a City Livable oleh Chan Huan Chiang yang dilakukan di Penang, Malaysia. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian tersebut sama dengan penelitian ini yakni analisa deskriptif. Namun, pada penelitian ini analisisnya berupa deskriptif kuantitatif. An Evaluation Approach for Livable Urban Environments di Taichung, Taiwan oleh Chia-Li Chiang dan Jeng-Jong Liang, bertujuan mengidentifikasi aspek dan faktor dari kelayakkan lingkungan perkotaan. Hasil dari penelitian tersebut digunakan sebagai acuan dalam menyurvei kelayakkan lingkungan di Kota Tegal. Tabel 1 dibawah ini selanjutnya akan dijabarkan secara rinci terkait penelitian-penelitian terdahulu. Tabel 1. Penelitian Terdahulu No
Judul Penelitian
1
Most Livable City Index (MLCI 2009) Oleh:Ikatan Ahli Perencana Indonesia
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Mengetahui tingkat kenyamanan kota-kota besar di Indonesia
Metode Analisa deskriptif kualitatif
Indeks “livable city” kota-kota besar di Indonesia.
Mengetahui tingkat kenyamanan kota-kota besar di Indonesia
Metode Analisa deskriptif kualitatif
2
Most Livable City Index (MLCI) 2011 Oleh: Ikatan Ahli Perencana Indonesia
Indeks “livable city” kota-kota besar di Indonesia.
18
No
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
3
Making a City Livable (2011)
Mengetahui bahwa pertumbuhan ekonomi menjadi dasar dalam permasalahan kenyamanan kota.
Oleh: Chan Huan Chiang
4
An Evaluation Aproach for Livable Urban Environments (2013) Oleh : Chia-Li Chiang dan Jeng-Jong Liang
5
6
A Summary of the Liveability Ranking and Overview 2014 Oleh: The Economist Intelligence Unit Limited Kajian Kota Manado sebagai Kota Layak Huni Berdasarkan Kriteria (IAP) Ikatan Ahli Perencanaan (2015) Oleh: Djunaidi Irwinsyah Darise
Mengidentifikasi aspek dan faktor dari kelayakkan lingkungan perkotaan. .
Menyurvey tingkat kelayakan huni 140 kota di dunia.
Mengidentifikasi kondisi Kota Manado sebagai kota layak huni (Livable City) berdasarkan kriteria Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) serta menganalisis kriteria yang berpengaruh pada penetuan kondisi kenyamanan Kota Manado saat ini
Metode Penelitian Metode Analisa Deskriptif kualitatif
Penelitian Survey : analisa hierarki proses dan Gray Relation Analysis (GRA) Penelitian Survey, metode campuran
Analisa Deskriptif Kuantitatif
Hasil Penelitian Pertumbuhan ekonomi menjadi dasar dalam permasalahan kenyamanan kota. Penang sebagai kota dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di Malaysia berupaya untuk menjadi livable city. Metode untuk mengevaluasi kelayakkan lingkungan kota dengan menjumlahkan setiap bobot aspek.
10 kota tertinggi dan terendah “livable city”
Kondisi Kota Manado sekarang mengalami penurunan tingkat kenyamanan kota, dari tahun 2009 hingga 2015. Kriteria yang berpengaruh pada penetuan kondisi kenyamanan yakni kualitas penataan kota.
Penelitian kelima berjudul A Summary of the Liveability Ranking and Overview bertujuan untuk menyurvey tingkat kelayakan huni 140 kota di dunia. Penelitian ini menggunakan metode survey kualitatif maupun kuantitatif. Menghasilkan kriteria 10 kota yang layah huni paling tinggi dan 10 kota yang paling rendah untuk kriteria layak huni. Penelitian terakhir adalah Kajian Kota Manado sebagai Kota Layak Huni Berdasarkan Kriteria (IAP) Ikatan Ahli Perencanaan. Kajian ini mengidentifikasi kondisi Kota Manado sebagai kota layak 19
huni (Livable City) berdasarkan kriteria Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) serta menganalisis kriteria yang berpengaruh pada penetuan kondisi kenyamanan Kota Manado saat ini. Penelitian ini menggunakan metode analisa deskriptif kuantitatif dan menghasilkan kondisi Kota Manado sekarang mengalami penurunan tingkat kenyamanan kota, dari tahun 2009 hingga 2015. Kriteria yang berpengaruh pada penetuan kondisi kenyamanan yakni kualitas penataan kota. Pada penelitian ketiga hingga kelima mengkaji lingkup negara sedangkan penelitian terakhir serta MLCI 2009 dan 2011 mengkaji kota-kota besar di Indonesia. Sementara pada penelitian ini mengkaji tingkat kota sedang di Indonesia.
1.6.3. Kerangka Teori Seiring berjalannya waktu, kota yang tumbuh dan berkembang tentunya akan memiliki berbagai masalah. Masalah perkotaan diantaranya urbanisasi, dampak lingkungan, permukiman, penyediaan transportasi, dan fasilitas publik. Suatu kota tentunya membutuhkan penanganan untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut. Penanganan masalah kota dapat diselesaikan dengan melihat beberapa kriteria di dalam manajemen perkotaan seperti variabel Most Livable City Index tahun2011. Kriteria-kriteria tersebut adalah tata ruang, transportasi, infrastruktur,
ekonomi,
sosial,
lingkungan,
fasilitas
kesehatan,
fasilitas
pendidikan, dan keamanan. Pada penelitian ini, penanganan masalah kota untuk menjadi kota yang layak huni memfokuskan pada kriteria lingkungan hidup, yang terdiri dari variabel polusi, RTH, lingkungan sosial, dan kebersihan. Suatu kota yang memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup tentunya menjadi sustainable city atau kota yang berkelanjutan. Kota yang berkelanjutan diharapkan dapat menjadi The Livable City atau kota yang layak huni. Kerangka penelitian dijabarkan melalui Gambar 1 berikut.
20
Kota
Masalah Perkotaan
Lingkungan
Urbanisasi
Permukiman
Transportasi
Fasilitas Publik
Penanganan Masalah Kota
Tata Ruang
Transportasi
Lingkungan
Kualitas udara dan Air (Abiotik)
Infrastruktur
Fasilitas Kesehatan
RTH (Biotik)
Kesehatan Masyarakat
Ekonomi
Fasilitas Pendidikan
Sosial
Keamanan
Lingkungan Sosial
Kota yang Berkelanjutan
“The Livable City”
Keterangan: Alur Penelitian Gambar 1. Kerangka Penelitian
21
1.7. Hipotesa 1. Kota Tegal belum layak untuk dihuni apabila ditinjau dari beberapa aspek lingkungan hidup yakni kualitas udara dan air serta kesehatan masyarakat. 2. Kota Tegal sudah layak untuk dihuni apabila ditinjau dari beberapa aspek lingkungan hidup yakni ruang terbuka hijau dan lingkungan sosial. 3. Masyarakat Kota Tegal merasa kotanya layak untuk dihuni berdasarkan aspek lingkungan hidup.
22