BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Secara umum dapat dikatakan bahwa sejarah pedesaan di Bali telah lama mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat dalam beberapa aspek.Perubahan yang menyolok terutama sejak pemerintahan orde baru yang mengadakan perubahan yang mendasar dalam bidang pertanian yang sering disebut revolusi hijau (Green Revolution).Perubahan-perubahan tersebut seperti penggunaan traktor, penggunaan pupuk buatan, penggunaan bibit unggul.Dalam bidang manajemen dilakukan perbaikan pemasaran hasil-hasil pertanian.Mendirikan pranata-pranata ekonomi di pedesaan seperti Koperasi Unit Desa (KUD), inovasi-inovasi dalam bidang pertanian.Hubungan kerja tidak lagi gotong royong, tetapi kerja upahan.Kebijakan dalam bidang pertanian sering disebut revolusi teknologi pertanian.1 Namun demikian strategi secara umum dalam bidang pertanian belum beranjak dari orientasi pertumbuhan.Pada masa akhir-akhir orde baru yang kemudian masa-masa sesudahnya sudah mengalami peningkatan.Pada masa reformasi misalnya peningkatan yaitu pertahian yang lebih besar pada partisipasi masyarakat yang merupakan penyempurnaan terhadap strategi, pembangunan
pertanian.Dengan
strategi
pembangunan
partisipasi
ini
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan peningkatan taraf hidup 1
Lihat Murasa Sarkanipura, “Kesempatan Kerja, Aneka ragam Tanaman dan Koperasi”, dalam Agro Ekonomica, No. 15 Th. VIII / 1981 pp. 59-81.
1
2
masyarakat petani pedesaan. Strategi semacam ini pada hakekatnya penggabungan antara top down dan bottom up.2 Sejak jaman orde baru, apa yang disebut trickle down effects dari model pertumbuhan (growth model) yang berdasarkan kriteria kapital atau out-put ratio tidak banyak membawa hasil dalam menaikkan taraf hidup masyarakat pedesaan. Untuk itu diperlukan model lain yang lebih berorientasi kepada rakyat bawah (bottom-up). Dengan jelas dapat dilihat sekarang masih dapat dilihat sifat tata hubungan antara sektor desa dengan sektor kota belum seimbang. Para ahli sering menyebut hubungan tersebut sebagai hubungan eksploitatif.Adanya hubungan semacam itu barangkali salah satu sebab yang perlu dipertimbangkan. Ini menyebabkan terjadinya disparatis pendapatan antara penduduk desa dengan penduduk kota. Dalam hubungan aset produksi terjadi distribusi pemilikan dan penguasaan alat produksi terjadi distribusi pemilikan dan penguasaan alat produksi tidak merata.Gejala yang tampak jelas hampir pada semua aset produksi dikuasai oleh sekelompok orang (golongan).Mereka jelas lebih kuat dan biasanya kurang memperhatikan masyarakat kecil apalagi membimbingnya.Akibatnya masyarakat yang tadinya sudah miskin dan minim pendidikan tidak mampu berbuat banyak.Dengan demikian praktis kondisi hidupnya tidak berubah.Dalam hal ini kelompok yang mempunyai aset produksi (kekuatan ekonomi) menempatkan dirinya sebagai leading position tidak memperdulikan rakyat kecil. Perbedaan ini tidak saja tampak dalam bidang ekonomi, kesempatan menikmati pendidikan, 2
I Gde Suyatna,Pembangunan Pedesaan, dalammakalah dibawakan dalam Seminar Pembangunan di Denpasar, 1992, p.139.
yang
3
melainkan juga dalam bidang-bidang yang lain. Pendekatan top-down dari atas cenderung melalaikan masalah-masalah kemerataan.3 Sebetulnya kita tidak perlu mempertentangkan antara yang mampu dan yang kurang mampu dan juga tidak perlu menolak modal dari luar. Justru kita
harus
mengundang
modal
untuk
mempercepat
pemberdayaan
masyarakat.Tetapi untuk meningkatkan ekonomi rakyat perlu diciptakan iklim saling membantu dan saling ketergantungan.Mereka yang mampu harus memberi bantuan pada yang lemah dan sambil jalan pemerintah harus memberi perhatiannya. Tetapi yang perlu digaris bawahi, rakyat harus betul-betul dibimbing dalam segala aspek, supaya pemberdayaan dapat terwujud. Pendekatan yang memadai untuk mengatasi hal ini antara lain dengan menangkap perspektif yang cukup luas dari kehidupan. Tanpa memanfaatkan kemampuan masyarakat setempat dan sistem pengaturan sosial, maka perubahan masyarakat akan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal, yang pada gilirannya masyarakat akan terasing dari “dunianya”. Dalam
UUD
1945
telah
ditegaskan
bahwa
pembangunan
harus
berkeprimanusiaan.Dengan demikian arah dan cita-cita menggerakkan pembangunan
harus
berarti mempertinggi martabat
manusia,
bukan
sebaliknya.Pembangunan yang dilakukan tanpa partisipasi rakyat, peningkatan taraf hidup sukar dicapai, karena pertumbuhan penduduk masih terlalu pesat.Usaha-usaha pembangunan dari bawah yang dijalankan dengan
3
Murasa Sarkanipura, op.cit., p.59.
4
sungguh-sungguh dan efektif dapat memperkecil jurang antara mereka yang mampu dan kurang mampu. Hubungan antara pemberdayaan masyarakat dan pembangunan yang bersifat partisipasif sangat erat.Pemberdayaan masyarakat kurang lebih berarti warga masyarakat dapat ikut serta atau diikut sertakan dalam memikirkan kehidupan mereka.Bagaimana mereka dapat berpartisipasi, kalau mereka tidak mempunyai keberadaan.Pemberdayaan pada intinya bisa menyampaikan pemikiran
(lain).Tidak
sekedar
pasrah,
“manut”,
“patuh”,
bahkan
“nrimo”.Tidak sekedar menunggu komando.Upaya mengentaskan kemiskinan dan kemampuan golongan miskin untuk berpartisipasi dalam pembangunan sekarang ini merupakan tantangan yang kompleks dan mahal.Sejauh mana para pemimpin sanggup memberikan motivasi untuk mengembangkan peluang yang ada, ini menjadi sangat penting.Salah satu upaya dalam rangka ini adalah berusaha sedapat mungkin memangkatkan potensi, eksistensi, etos kerja dan dorongan-dorongan semangat yang hidup dalam masyarakat. Hidayat
banyak
membahas
pembangunan
yang
berdasarkan
pendekatan sumber daya manusia.Pembangunan yang berdasarkan pendekatan sumber daya manusia mengatakan manusia sebagai motor penggerak pembangunan sehingga sasaran pembangunan pada hakikatnya mengubah manusia menjadi berkualitas.Pendekatan ini secara konsepsial serasi dengan situasi
kondisi pembangunan masyarakat desa
Belimbing.Masyarakat
5
Belimbing megnalami dan menghayati ide-ide pembangunan, sehingga mampu berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan.4 Barangkali tidak terlalu jauh kalau kita mengacu kepada pemahaman apa yang disebut holistik. Pemahaman ini melihat gejala atau fenomena sebagai satu kesatuan yang lebih dari sekedar totalitas individu yang membentuknya.Karena itu tindakan individu dalam beberapa hal ditentukan oleh masyarakat secara keseluruhan dimana yang bersangkutan menjadi salah satu bagiannya. Pertanyaannya, mengapa terjadi kemiskinan?. Adalah masalah histori dari ketimpangan hubungan tadi.Masalah itu merupakan pertanyaan klasik oleh karena adanya disparatis distribusi, bukan masalah ekonomi ansich. Bagaimana kita bisa mengentaskan kemiskinan kalau hanya diberi “ikan” saja atau “kail” saja, jika tidak ada “tempat” mancing. Artinya iklim maupun kondisi masyarakat tidak disiapkan atau tidak kondisional tentu tidak banyak manfaatnya.Dalam konteks sejarah seorang ekonom Belanda, Boeke sejak lama menemukan adanya ketimpangan struktur ekonomi di Indonesia.Oleh karena itu restrukturisasi atau barangkali modifikasi hubungan yang transparan perlu diciptakan. Proses pembangunan khususnya pembangunan pedesaan, pada dasarnya dapat dilihat sebagai transformasi dari ketergantungan menuju kemandirian. Dalam hubungan ini pembangunan dapat dilihat sebagai suatu perubahan sosial. Dalam proses ini perubahan yang diharapkan tidak hanya pada taraf kehidupan masyarakat, tetapi peranan unsur-unsur yang terlibat 4
Hidayat, Model Pembangunan Berdasarkan Pendekatan Sumber Daya Manusia,(Prisma,1979), p. 25.
6
dalam proses pembangunan. 5 Suatu pembangunan dikatakan berhasil tidak hanya apabila pembangunan itu dapat menimbulkan kemauan dan kemampuan itu sendiri maupun prakarsa dari luar,6 sehingga betul-betul masyarakat Desa itu otonom dan mandiri.7 Pendekatan kemandirian ini menempatkan manusia dan masyarakat sebagai subyek dan sumber utama kemandirian. Kemandirian masyarakat akan tumbuh dan meningkat jika lingkungan masyarakat adalah kunci kemandirian. Dengan kata lain pembangunan kemandirian pada hakekatnya adalah pembangunan yang partisipatif8. Model atau kerangka pembangunan semacam ini hanya akan terwujud apabila tercipta suatu kondisi kebijaksanaan atau perencanaan dari atas (top-down) dan dari masyarakat sendiri (buttom-up), yang berjalan beriringan secara harmonis, menghindari ketergantungan tetapi menumbuhkan ketergantungan
yang progresif.
9
Prof.
Sartono
lebih
menekankan pendekatan dari bawah, yang menurut sejarawan ini merupakan pendekatan alternatif-alternatif dari pendekatan dari atas, yang diharapkan pula dapat menumbuhkan konsep kewaspadaan, terutama dalam hubungan dengan proses transformasi struktural masyarakat pedesaan dan modernisasi
5
Lukman Soetrisno. “Negara dan Perannya Dalam Menciptakan Pembangunan Desa yang Mandiri”, dalam Prisma, 9 September, 1988.p.13 6 Ibid. 7 Karl Witfogel, Oriental Dispotasi : A Comparative Study of Total Power,(London : Yale University Press, 1973), p.20. 8 Sri Edi Swasono, Top-Down dan Bottom-up yang Harmonis, Kunci kemandirian Wilayah, Dalam Prisma, No. 9 Jakarta : LP3ES, 1988. p.87. 9 Ibid.
7
pada umumnya. Karena pada hakekatnya tujuan pembangunan itu sendiri adalah “kewaspadaan” masyarkat.10 Apa yang disinyalir oleh Boeke : bahwa ekonomi pedesaan Indonesia bersifat dualistis tidak terbukti. 11 Ekonomi pedesaan Indonesia barangkali boleh dikatakan bersifat plural, baik dlaam tingkat perkembangan maupun kelembagaan sehingga sukar untuk mengadakan generalisasi secara nasional dan makro. Penelitian terhadap sejarah perekonomian pedesaan yang kongkrit akan menunjukkan betapa variasi itu ada dan betapa keunikan-keunikan terdapat ditingkat lokal seperti Desa Belimbing. 12 Teori Geertz tentang involusi pertanian mungkin sedikit benar dan antropologi ini membedakan pertanian menjadi dua yaitu : pertanian basah dan pertanian kering. 13 Menurut Smelser, ada tiga macam kemungkinan dalam hubungan dengan perubahan yaitu : Perubahan dalam proses sosial, Segmentasisegmentasi, dan perubahan struktur yang ada secara kwalitatif. Perubahan struktur dapat terjadi dengan masuknya industri, transportasi baru dan sebagainya. Perubahan itu akan mempengaruhi masalah tenaga kerja, akumulasi kapital, perubahan demografis.14 Sungguhpun demikian, tidak semua tipe kemajuan teknologi mempunyai saham untuk berperan lebih besar dalam distribusi pendapatan.
10
Sartono Kartodirdjo, Beberapa Segi Perubahan Struktural Dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan, (Yogyakarta :UGM,1986), p.97. 11 J.H. Boeke, Ekonomi Dualistik.(Jakarta : Bhatara,1972), p.1-10. 12 Kuntowijoyo, “Menuju Perekonomian Pedesaan”, Dalam Prisma No. 8, 1980 p.63. 13 Clifford Geertz, Involusi Pertanian.(Jakarta:Bhratara, 1983), p.23. 14 Kuntowijoyo, op.cit, p.75.
8
Sangat jelas terlihat bahwa tanpa inovasi tingkat pendapatan masyarakat Desa Belimbing akan terus menurut karena tekanan pertumbuhan penduduk dan terbatasnya lahan pertanian seperti yang dikonsepkan oleh Clifford Geertz tentang involusi Pertanian. 15 Namun penggunaan teknologi modern, tanpa memperhatikan
lingkungan
akan
mengakibatkan
ketidakserasian
dan
ketidakadilan dalam struktur agraris. Dengan demikian distribusi fasilitas dan pendapatan yang tidak merata akan menciptakan pelapisan sosial dalam masyarakat petani. Apabila kesenjangan antara lapisan terlalu besar akan menimbulkan ketimpangan sosial dalam masyarakat petani. Apabila kesenjangan antara lapisan terlalu besar akan menimbulkan ketimpangan sosial yang menyebabkan munculnya masalah sosial. Demikian halnya masyarakat Desa Belimbing yang penduduknya terbagi dalam spectrum yang terdiri dari berbagai sub atau lapisan petani, dari pekerja sampai pemilik, sampai kepada tuan tanah yang tidak ikut bercocok tanam, mendapatkan hasil sesuai dengan hak mereka atas pemilikan tanah. Menurut Hans-Dieter Evers, masalah pertambahan penduduk (ledakan penduduk) merupakan suatu proses yang rumit, yang mencakup inovasi dalam segala aspek kehidupan masyarakat pedesaan.
16
Di Desa Belimbing
nampaknya terjadi pergeseran untuk mengatasi pertumbuhan penduduk yaitu pergeseran dari sektor pertanian ke sektor non pertanian, akibat adanya dua
15
Geertz, op.cit, p.35. Hans-Dieter Evers & Tilman Schiel,Kelompok-kelompok Strategis (Jakarta:Yayasan Obor, 1983),p.15. 16
9
kekuatan yaitu dari dalam (intern) masyarakat itu sendiri dan kekuatan dari luar (ekstern) yaitu kehidupan ekonomi modern. Selama ini kabupaten Tabanan sepertinya memiliki “grand design” pembangunan yang jelas, yaitu pembangunan pertanian.Oleh karena itu selama ini Tabanan dikenal bisa menyatukan budaya dan pertanian (culture and agriculture).Oleh karena itu Tabanan harus dipertahankan menjadi satusatunya tumpuan Bali dalam urusan pangan.Jika roh Tabanan tidak benarbenar dirawat dan dijaga, Tabanan bisa kehilangan orientasi dan ciri khasnya. Apalagi sekarang Tabanan dibayang-bayangi persoalan alih fungsi lahan pertanian. Dengan pendekatan budaya pertanian, masyarakat Tabanan, khususnya Desa Belimbing akan menjadi lebih bersemangat mengolah tanah yang subur agar lebih produktif. 17 Yang tidak kalah pentingnya dalam pertanian di Desa Belimbing adalah industri pasca panen yang berbasis pada pertanian sudah digalakkan untuk mendukung semangat agriculture baru. Tidak akan ada kekhawatiran harga akan anjlok pasca panen. Mekanisme industri berbasis pertanian akan menjamin kesejahteraan para petani. Memang sesungguhnya sudah lama, bahkan sejak orde baru, terjadi perubahan yang mendasar petani di Desa Belimbing yaitu orientasi untuk kebutuhan dasar menjadi kebutuhan ekonomi (nilai) ekonomi, orientasi petani, tidak semata-mata sub sistem, tetapi sudah untuk kepentingan ekonomi pasar. Jadi sesungguhnya telah terjadi perubahan
17
Hasil wawancara dengan Bapak I Gusti Nyoman Omardani, umur 42 Th. Pekerjaan Anggota DPRD Tabanan, Alamat Desa Belimbing, wawancara 20 Februari 2014.
10
sosial di pedesaan kita meminjam pemikiran Talcat Paison tentang orientasi nilai (person) yaitu perbedaan-perbedaan ekonomi dari perekonomian tradisional yang sub sistem ke arah perekonomian pasar modern. Tahun 1990 an masuknya pariwisata di Desa Belimbing, menambah nuansa perubahan sosial di tingkat Desa tersebut. Pariwisata yang akan dikembangkan di Kabupaten Tabanan adalah pariwisata yang berbasis budaya dan pertanian.18Desa Belimbing adalah salah satu dari 8 desa wisata yang akan dikembangkan kedepan adalah daerah pariwisata yang kualitatif, bukan kuantitatif dalam arti yang ditekankan bukan jumlah kunjungan, tetapi kunjungan yang menopang pariwisata dan pertanian secara kualitatif. Investasi pariwisata di Tabanan Desa Belimbing khususnya diutamakan adalah orang lokal. Pariwisata di Desa Belimbing digarap dengan membangkitkan potensi lokal yang ada seperti panorama persawahan, panorama pegunungan, air terjun,tracking dan wisata spiritual Pura Mekori sebuah Pura yang menghargai sejarah yang panjang. Semangat budaya pertanian
tetap
menjadi
basis
dan
roh
pembangunan
pariwisata
kerakyatan.19Pariwisata kerakyatan, dimana rakyat lokal yang berperan dalam pariwisata, sehingga Tabanan nanti akan menjadi contoh daerah hijau dengan spirit budaya pertanian. Petani Desa Belimbing akan mempertahankan profesinya sebagai petani. Mereka makin bangga menjadi petani. Sepertinya
18 19
SK Bupati No. 470 / 1998. Bali Post, 6 Oktober 2007.
11
revolusi mental nilai terbangun di Tabanan dan Desa Belimbing. Citra Tabanan sebagai lambang padi akan tetap makin bergelora.20 Kehidupan pariwisata dan modernisasi pertanian di Desa Belimbing menyebabkan kota dan desa terasa makin dekat. Desa makin terbuka bagi pembaharuan dan unsur-unsur budaya kita dan akibatnya telah membawa kecenderungan masyarakat pedesaan untuk lebih berorientasi keluar (out ward oriented) dari pada berorientasi ke dalam (inward-oriented). Perubahanperubahan tata nilai, orientasi kehidupan mempengaruhi perubahan-perubahan sikap dan gaya hidup masyarakat. Perubahan-perubahan fisik dapat dilihat seperti dalam bentuk rumah (arsitektur modern). Penelitian sosial-budaya pada masyarakat Bali yang memakai pendekatan
sejarah
(historical
approach)
diharapkan
akan
mampu
menganalisis secara rinci dan mendalam tentang hal-hal yang emperik dan rasional, khususnya tentang perubahan sosia dan ekonomi pedesaan. Dalam kerangka pendekatan historis kita harus memahami dengan baik, kondisi sosial atau struktur masyarakat Bali.Di sini perlu diketahui kecenderungan (trend) yang ada dalam masyarakat dalam jangka panjang atau yang oleh Mere Block dikatakan longitudional.
21
Dengan naratifisme, sejarawan akan
bungkam, tidak dapat menangkap trend-trend yang ada. Ilmu-ilmu sosial lain di luar sejarah, tentunya mempunyai banyak konsep dan teori untuk membantu 20
Wawancara dengan, I Wayan Kusuma, umur 82 Tahun Pekerjaan Petani dan Kelian Adat Desa Belimbing, wawancara pada tanggal 20 Februari 2014 21 Emmanuel Le Roy Ladurie,The Territory of The Historion Chicago, Chicago Press, 1980.), Passim.
12
memahami hal ini. Sejarawan dengan gayanya yang “baru” dapat menangani atau paling sedikit memberikan pandangan historis terhadap fenomena sosial masyarakat Bali masa kini.Sehubungan dengan hal ini, ilmu-ilmu sosial telah mengembangkan penjelasan yang diangkat dari gejala-gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat Bali seperti struktur, proses, perubahan dan sebagainya. Dalam kerangka yang lebih luas, seperti apa yang dikatakan oleh Gunar Myrdal bahwa, tanpa transformasi yang mendalam dalam struktur masyarakat, sedikit sekali harpaan untuk memperoleh kemajuan. Dalam kasus Bali memang terjadi perubahan mendasar dan drastis sejak tahun 1969-an sejak Pelita-pelita dilaksanakan. Dalam kerangka Longdure atau jangka panjang, sejarawan ingin mencari benang merah perubahan itu, sejauh mana transformasi terjadi, apa yang menyebabkan, dan bidang-bidang mana saja baik secara kuantitas maupun kualitas. Dengan demikian, kajian ini akan meliputi bidang politik, mulai awal abad ini, sejak masuknya kekuasaan Belanda di Bali. Konflik-konflik sosial keagamaan yang terjadi khususnya di Bali Utara tahun 1930-an, transformasi keagamaan dari agama Hindu Bali, menjadi agama Hindu (Indonesia). Demikian juga perubahan-perubahan dalam bidang ekonomi, dengan masuknya ekonomi uang dan komiditi ekspor di Bali sejak tahun 1870-an; Perubahan-perubahan karena Pariwisata dan munculnya kelas menengah yang lebih independen dan mandiri sebagai agen pembaharuan.22
22
I Gusti Ngurah Bagus dkk, Sejarah Sosial Masyarakat Bali abad ke-20 : Transformasi dari Masyarakat Agraris ke Industri,(Laporan Penelitian:Unud,1993),p.2.
13
Akibat adanya pembangunan dan pengembangan masyarakat, masyarakat dan kebudayaan Bali mengalami suatu perubahan dari waktu ke waktu.Ditambah lagi dengan masuknya industri pariwisata, perubahan dan pengembangan masyarakat Bali semakin luas, cepat, dan kompleks.Dengan demikian masyarakat Bali telah mengalami “dinamika” yang relatif cepat dari satu tahapan ke tahapan lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat Bali bukan saja mengenai bidang budaya dan lingkungan fisik, namun juga jelas telah merambat ke bidang-bidang atau unsur-unsur sosial ekonomi yang lain, kendatipun dalam arti yang masih sedikit dan terbatas. Umpamanya perubahan dan perkembangan telah merambat ke unsur yang lain seperti bidang ekonomi dan industri yang lainnya.23 Pada hakikatnya pembangunan mengandung makna perubahan yang direncanakan, ditatalaksanakan, ditujukan dan disasarkan pada satuan waktu yang dipilahkan dibatasi. Pembangunan berlangsung, berproses, dan bergerak dalam dan melalui rentang waktu. Dalam kelangsungannya pembangunan yang bermakna perubahan itu senantiasa tanpa disadari secara renik. Secara singkat permasalahan yang muncul dan perlu mendapat penjelasan yaitu sebagai berikut :
23
Ibid.
14
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang dipaparkan diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu : 1) Bagaimana Sejarah sosial masyarakat Desa Belimbing 2) Sejak kapan dan bagaimana terjadinya perubahan dalam masyarakat pedesaan di Desa Belimbing 3) Bagaimana kehidupan pariwisata di Desa Belimbing
1.3 Tinjauan Pustaka Ada beberapa studi yang akan ditelaah dalam tinjauan pustaka ini, yaitu :I Gusti Ngurah Bagus,24 dalam sebuah artikelnya berjudul : “Tantangan Ilmu Sosial dan Humaniora Dalam Masyarakat Pasca-Tradisional”, dimuat dalam Majalah Widya Pustaka Fakultas Sastra Unud (Melangkah Menuju Masa Depan) Tahun VI Edisi Khusus Oktober 1988. Mengemukakan bahwa, setiap masyarakat di muka bumi ini pasti mengalami perubahan. Pada zaman ini tidak satupun masyarakat yang mampu menghindarkan diri dari arus tersebut, terlebih lagi dalam situaswi peranan Iptek yang semakin memperkecil dunia dari arus tersebut, terlebih lagi dalam situasi peranan Iptek yang semakin memperkecil dunia kita ini. Akan tetapi dalam sejarah manusia yang membedakan perubahan itu adalah kualitas perubahan pada masyarakat masing-masing.Menurut
penulis
mengukur
kualitas
tersebut
haruslah
ditentukan bersangkutan.Di dalam kriteria ini kita mendapatkan sektor
24
I Gusti Ngurah Bagus “Tantangan Ilmu Sosial dan Humaniora Dalam Masyarakat Pasca Tradisional”, dalam Widya Pustaka, Oktober 1988. Pasim.
15
pertanian, sektor industri, dan sektor jasa. Kriteria lain adalah melihat derajat dari perubahan itu, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Selanjutnya juga dijelaskan, bahwa masyarakat Bali mengalami perubahan-perubahan tersebut.Bali mengalami perubahan-perubahan yang mendasar yaitu ketika terjadinya pertanian menetap serta mengembangkan kolektif desa, kelompok tani dengan sistem subak. Kemudian pada zaman datangnya agama Hindu dan Budha dan masa selanjutnya mengalami perubahan besar, karena terjadinya proses Indianisasi. Selain itu pada saat Indonesia mengalami dan menerima pengaruh Barat dan pengaruh ide nasionalisasi, ternyata masyarakat Bali pada hakikatnya belum berubah dan masih sebagai petani yang tradisional. Setelah orde baru, yaitu dengan diadakannya pelaksanaan Pelita I, Pelita II, Pelita III, dan Pelita IV, terjadilah perubahan besar
yang telah mulai merobohkan sendi-sendi masyarakat
tradisional. Berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi yang jelas tampak pada pelaksanaan Pelita I sampai Pelita IV dengan persentase 8,65%, 9,43%, 14,04%, dan 9,18%, maka terjadilah perubahan struktur pada sektor pertanian ke sektor industri. Walaupun terjadi perubahan seperti itu Bali dan Indonesia pada umumnya belumlah terklasifikasi memasuki sektor industri. Berkaitan dengan hal tersebut, Sosrodihardjo dalam sebuah bukunya berjudul : “Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri”, Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1986. Mengemukakan bahwa, menurut GBHN dalam waktu dekat Indonesia akan lepas landas menuju ke arah negara industri. Kecuali peningkatan dan pengetahuan transformasi dari masyarakat
16
agraris ke masyarakat industri membutuhkan beberapa syarat yang harus dipenuhi.Dalam rangka ini, maka perubahan dalam kebiasaan agraris ke arah perubahan dalam kebiasaan agraris ke arah perubahan kebudayaan modern merupakan suatu keharusan. Selanjutnya Mochtar Lubis dalam sebuah bukunya berjudul : “Transformasi Budaya Untuk Masa Depan”, Penerbit CV. Haji Masagung, tahun 1988, Jakarta. Mengemukakan bahwa, jika kita hendak melihat negara dan bangsa kita tertinggal terus menerus dan akhirnya menjadi kuli asing di rumahnya sendiri. Untuk itu harus ada kemauan, keberanian, dan pemikiran yang tepat untuk melakukan suatu tranformasi budaya, jika kita menghendaki manusia Indonesia terutama generasi-generasi berikutnya, dapat berkembang menjadi manusia yang sanggup menjawab tantangan abad ke-21, abad yang ditandai oleh berkembangnya berbagai ilmu teknologi tinggi, yang secara mendalam akan mengubah kebiasaan kita bekerja selama ini. Lagi pula akan menimbulkan berbagai dampak positif maupun negatif masyarakat.
1.4 Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini secara garis besarnya mempunyai dua tujuan.Tujuan pertama yaitu tujuan ilmiah yang hasilnya dapat diharapkan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan sosial.Karena masih kurangnya kajian secara khusus membahas sejarah sosial di Bali.Kajian ini diharapkan memberikan sedikit sumbangan yang berguna dalam usaha menambah pengetahuan kita tentang masalah-masalah perubahan sosial dan budaya di Bali pada saat ini.Tujuan yang kedua, tujuan praktikal yaitu untuk
17
memperoleh jawaban atas masalah-masalah perubahan sosial, yang dapat membantu pemerintah dalam hal menuju modernisasi yang diharapkan. Dengan demikian tujuan pokok yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : (1) Untuk mendiskripsikan tentang proses terjadinya transformasi masyarakat Bali, terutama dalam masyarakat agraris menuju masyarakat industri. (2) Untuk melihat tentang jaringan-jaringan sosial yang ada, munculnya kelompok-kelompok baru seperti kelas menengah dan kelompokkelompok lama makin berkurang.
1.5 Manfaat Hasil Penelitian Temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut: (1) Memberikan sumbangan atau informasi teoritis berupa tambahan khasanah keilmuan dalam bidang sosial-budaya. (2) Dapat digunakan sebagai titik tolak untuk penelitian lebih mendalam
1.6 Metodologi yang Digunakan Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodologi sejarah, metodologi yang digunakan adalah metodologi sejarah pariwisata, dalam penulisan sejarah pariwisata terdapat beberapa kaidah dalam penulisan sejarah pariwisata, adapun kaidah-kaidah dalam penulisan sejarah pariwisata adalah fakta,
sejarah
harus
memiliki
fakta-fakta
yang
kebenarannya
bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya terutama berupa fakta yang bersifat otentik, kaidah yang kedua adalah sejarah bersifat diakronis, yang dimana
18
sejarah tersebut terikat oleh ikatan waktu yang berbeda dengan ilmu sosial yang hanya terikat oleh ikatan ruang (wilayah atau tempat) hanya saja rentang waktunya lebih pendek, yang dimana ilmu sosial lebih bersifat sinkronis, selain itu sejarah bersifat ideologis maksud dari sejarah yang bersifat ideologis adalah sejarah yang mampu melukiskan atau menggambarkan, memaparkan serta menceritakan suatu pariwisata sedangkan ilmu sosial itu bersifat nomotetis yang artinya ilmu sosial berusaha mengemukakan hukumhukumnya, dan sejarah juga bersifat unik karena peristiwa sejarah hanya terjadi hanya sekali dalam perjalanan hidup seseorang atau tempat (wilayah) dan sejarah yang bersifat unik tersebut hanya berlaku hanya di waktu itu sehingga peristiwa sejarah yang unik tersebut tidak bisa diulang kembali hal yang memungkinkan untuk diulang hanyalah pola-pola dari alur sejarahnya bukan peristiwanya. Kaidah berikutnya dalam penulisan sejarah adalah sejarah tersebut harus bersifat empiris. Empiris berasal dari bahasa Yunani yaitu emperia yang artinya pengalaman, jadi sejarah yang bersifat empiris adalah sejarah yang bersandar pada pengalaman manusia yang sungguh-sungguh dan benar-benar terjadi dalam kehidupannya. Sejarah yang bersifat diakronis dan ilmu sosial yang bersifat sinkronis digabungkan, maka akan menjadi konsumen teori sosial, sementara itu unsurunsur kaidah ideografis dan unik dalam sejarah masih tetap ada. Dalam ilmu sosial, pendekatan sejarah selalu ada, seperti dalam penelitian politik, sosial dan ekonomi, sedangkan akhir-akhir ini ada kecenderungan sejarah yang bersifat naratif, sehingga sejarah cenderung lebih mirip pada novel sejarah,
19
oleh karena itu dalam penelitian sejarah pariwisata diperlukan pendekatanpendekatan sejarah kebudayaan yang penulis gunakan dalam mengkaji mengenai perkembangan pariwisata, karena penulisan sejarah pariwisata pendekatan yang dipilih adalah pendekatan kebudayaan karena menyoroti pariwisata dari berbagai aspek termasuk simbol, nilai dan perilaku. Menurut Johan Huzinga dalam “The Task of Cultural History”, Men and Ideas a History, The Middle Ages, The Rennaisance ialah mencari pola-pola kehidupan, kesenian dan cara berfikir secara bersama-sama dari suatu zaman. “Secara bersama-sama” artinya tidak terpisah antara satu dengan yang lainnya. 25 Penelitian ini lebih bersifat analisis deskriptif, dengan demikian utnuk mengumpulkan data-data akan dipergunakan beberapa teknik penelitian lain : (1) Studi kepustakaan, publikasi yang relevan dengan masalah, terutama utnuk memahami
lingkup
materi,
konsep-konsep,
kerangka
teoritis
dalam
mempermudah analisis dan sekaligus sebagai sumber primer. (2) Observasi, melihat langsung ke lapangan tentang berbagai aktivitas sosial, terutama yang terjadi antara suatu kelompok dengan kelompok lain, baik yang tradisional maupun yang modern. (3) Wawancara, untuk mendapatkan informasi yang jelas dan data yang akurat tentang pokok masalah. Agar wawancara dapat berlangsung lancar, pedoman data kualitatif seperti organisasi, sejarah perkembangan, sedangkan data kuantitatif seperti kependudukan dan statistik lainnya misalnya juga dimasukkan. (4) Analisis. Dalam analisis data, 25
p.157.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2003),
20
dipergunakan analisis sejarah (historicalanalysis).Semua informasi dan data yang dikumpulkan selama di lapangan, wawancara dan studi kepustakaan diolah dan diramu dalam laporan secara rinci. Pendekatan interdisipliner kiranya paling cocok diterapkan dalam studi ini. Dalam arti bahwa pendekatan ini akan berusaha melihat fenomena pedesaan dari berbagai konsep ilmu-ilmu sosial. Beberapa teori dan konsep perlu
ditelaah
dan
diuji
coba
dalam
menganalisis
fenomena
pedesaan.Pembatasan metodologi dalam studi ini ialah bahwa dilakukan analisa yang lebih kualitatif sehingga beberapa fenomena pedesaan tidak dapat ditampilkan secara konkrit dan eksak.
1.7 Kerangka Konseptual dan Teoritis 1.7.1 Konsep Sejarah Sosial Pendekatan ilmu-ilmu sosial semakin tampak fungsinya dalam mengkaji Sejarah Sosial Desa Belimbing di Kabupaten Tabanan, sejarah sosial mengandung arti gejala baru dalam penulisan sejarah sejak sebelum Perang Dunia II, tetapi sebagai sebuah gerakan yang penting baru mendapat tempat sekitar tahun 1950-an. Di Perancis aliran penulisan sejarah Annales yang dipelopori oleh Lueien Febvre dan Marc Bloch menjadi modal bagi generasi baru penulisan sejarah sosial yang semakin kuat kedudukannya dalam dunia penulisan sejarah. Sejak tahun 1958 dengan terbitnya majalah Comparative Study on Society and History lengkaplah sudah pengaruh aliran Annales
21
terutama di Amerika.26 Barangkali tradisi sejarah sosial yang berbeda muncul di Inggris, sebagai sumber inspirasi yang kuat dalam penulisan sejarah di luar daratan Eropa, tetapi kehormatan terbesar sebagai pelopor sejarah sosial rupanya masih saja dipegang oleh sarjana-sarjana Perancis itu. Sejarah sosial mempunyai bahan garapan yang sangat luas dan beraneka-ragam.Kebanyakan sejarah sosial juga mempunyai hubungan yang erat dengan Sejarah ekonomi, sehingga menjadi semacam sejarah sosial-ekonomi. Tulisan Marc Bloch, French Rural History, mislanya, bukan sematamata sejarah dari petani, tetapi juga masyarakat desa dalam arti sosialekonomi. Tradisi tulisan semacam ini, yang menjadikan masyarakat secara keseluruhan sebagai bahan garapan, hanyalah salah satu macam saja dari sejarah sosial. Claudine Salnon & Denys Lombard.Pengamat Maskot Annales menolak dominasi unsur-unsur politik dalam sejarah. Penganut Mashub Annales tidak hanya percaya pada “Sejarah peristiwa-peristiwa” semata, tetapi juga mendorong kajian holistikmasa lalu dengan memanfaatkan berbagai disiplin seperti geografi, linguartik, antropologi, ekonomi dan sebagainya.27
1.7.2 Konsep Pariwisata Secara etimologi, kata pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kata yaitu pari dan wisata. Pari berarti “banyak” atau “berkeliling”, sedangkan wisata “pergi” atau “bepergian”. Atas dasar itu, jadi 26
I Ketut Suwena,Ilmu Pariwisata (Denpasar:Udayana Press, 2011),pp.1-
27
Ibid.
11.
22
kata pariwisata seharusnya diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar, dari suatu tempat ke tempat lain, yang dalam bahasa Inggris disebtu dengan kata “tour”, sedangkan untuk pengertian jamak, kata “Kepariwisataan” dapat digunakan kata “toursime” atau “tourism”.28 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa pariwisata adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan perjalanan rekreasi.Istilah pariwisata pertama kali digunakan pada tahun 1959 dalam Musyawarah Nasional Turisme II di Tretes, Jawa Timur.Istilah ini dipakai sebgai pengganti kata Turisme sebelum kata pariwisata diambil dari bahasa Sansekerta. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Memberikan suatu batasan tentang penyebaran kata-kata sebagai berikut : Wisata
: perjalanan; dalam bahasa Inggris dapat disamakan dengan perkataan “travel”.
Wisatawan
: orang yang melakukan perjalanan; dalam bahasa Inggris dapat disebut dengan istilah “travellers”.
Para wisatawan
: orang-orang yang melakukan perjalanan dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan istilah “travelers” (jamak).
Pariwisata
: perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain dan dalam bahasa Inggris disebut “tourist” (jamak).
Para pariwistawan : orang yang melakukan perjalanan tour dan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “tourism”.
28
I Ketut Suwena, op.cit. pp. 1-11.
23
Kepariwisataan
: hal-hal yang berhubungan dengan pariwisata dan dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “tourism”.
Menurut Herman V/ Schulalard (1990), kepariwisataan merupakan sejumlah kegiatan, terutama yang ada kaitannya dengan masuknya, adanya tempat tinggal dan bergeraknya orang-orang asing keluar masuk suatu kota, daerah, atau negara. Menurut E. Guyer Freuler, pariwisata dalam arti modern merupakan fenomena dari jaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan pergantian hawa, penilaian yang sabar dan menumbuhkan kecintaan yang disebabkan oleh pergaulan berbagai bangsa dan kelas masyarakat.
1.8 Metode Penelitian dan Sumber Tujuan studi ini adalah untuk menggambarkan kembali fenomena dari Sejarah Sosial Desa Belimbing di Kabupaten Tabanan tahun 1966-2014 dalam bentuk historiografi. Metode sejarah adalah sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis, yang dimana dimaksudkan adalah untuk memberikan bantuan secara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesa dari pada hasil-hasilnya (yang biasanya berbentuk tulisan).Proses metode sejarah terbagi dalam empat tahap, pertama adalah Heuristik ialah proses mencari untuk menemukan sumber-sumber atau pengumpulan sumber-sumber yang terkait dengan studi ini. Heuristik adalah suatu teknik dalam mencari jejak-jejak material masa silam yang dapat diperoleh di museum-museum yang katalognya dapat dipergunakan sebagai alat-alat heuristic.
24
Tahapan pengumpulan dan menemukan sumber dilakukan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan (library research) dalam rangka mencari untuk menemukan sumber tertulis serta mengumpulkan sumber-sumber tertulis yang mendukung setiap permasalahan dalam studi ini.Sumber-sumber tertulis yang telah terkumpul diperoleh berupa majalah atau artikel serta buku yang membahas megnenai pariwisata di desa Belimbing Tabanan itu sendiri dan gambar serta foto-foto mengenai aktivitas dari pengusaha pariwisata tersebut. Selain itu sumber tertulis lainnya didapatkan dari perpustakaan daerah,
perpustakaan
fakultas
sastra,
perpustakaan
jurusan
sejarah,
perpustakaan S-2 dan S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana, departemen kebudayaan dan pariwisata, serta balai pelestarian sejarah dan nilai tradisional Bali. Sumber-sumber tersebut diantaranya adalah buku, Koran dan majalah yang semuanya berkaitan dengan penulisan skripsi ini.Selain itu, sumbersumber tertulis juga diperoleh dari website (internet) yang di-download berupa berita online dan tulisan-tulisan lainnya yang terkait pada permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Terbatasnya sumber-sumber tertulis, disiasati dengan cara melakukan pengumpulan sumber dengan menggunakan kerangka sejarah lisan yang diawali dengan mencari informan di lapangan. Informan dibagi menjadi dua, yaitu informan kunci (key informan) dan informan pendukung.Informan kunci yang dapat diwawancarai adalah para pelaku usaha pariwisata, kedua adalah
25
masyarakat desa itu sendiri. Informan pendukung yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini adalah orang-orang yang terlibat secara langsung maupun secara tidak langsung dalam kegiatan dari usaha pariwisata, serta mengetahui kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para pelaku pengusaha pariwisata. Sehingga dapat melengkapi dan mengimbangi informasi yang didapat agar lebih lengkap. Proses yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah dengan menggunakan metode wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang disusun secara rinci dengan terlebih dahulu membuat beberapa daftar pertanyaan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dan menyangkut informasi yang dibutuhkan guna mendapatkan data yang sebanyak-banyaknya, terpimpin dan disesuaikan dengan keadaan atau kondisi setempat.29 Kedua, melakukan tahap kritik, yaitu dengan melakukan kritik terhadap sumber yang dikembangkan kembali menjadi dua kritik, yaitu kritik ekstern dengan membuktikan keaslian dan keotentikan sumber.Kritik ekstern ini adalah kritik terhadap penampakan dari luarnya atau kebendaan sumber tersebut.Selanjutnya kritik intern, dalam studi ini juga ditekankankan pada kritik intern, sebab dalam kritik intern ini adalah meneliti kekredibilitasan sumber yang diperoleh. Kritik intern ini juga digunakan dalam penyeleksian sumber-sumber yang diperoleh dari internet yang biasanya muatannya bersifat obyektif. Ketiga, tahap interpretasi yaitu suatu tahapan menafsirkan
29
Lihat Koentjaraningrat dan Donald K.Emmerson, Aspek Manusia Dalam Penelitian Masyarakat. (Jakarta:Yayasan Obor, 1985), Bagian Pendahuluan.
26
keterangan sumber-sumber setelah adanya fakta-fakta sejarah dan bertujuan untuk mencari makna yang terkandung di dalam sumber-sumber untuk kemudian dirangkaikan menjadi tulisan sejarah.Keempat, tahap yang terakhir yaitu historiografi penulisan sejarah yang bertujuan untuk merangkaikan fakta-fakta sejarah yang diurut secara kronologis dan menjelaskannya dalam bentuk historiografi
30
, mengenai “Sejarah Sosial Desa Belimbing di
Kabupaten Tabanan Tahun 1966-2014”.
1.9 Sistematika Penulisan Penulisan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Sejarah Sosial Desa Belimbing Kabupaten Tabanan Tahun 1966 – 2014.
Kerangka penulisan
sebagai berikut. Bab I pendahuluan. Pada bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi yang digunakan kerangka konseptual dan teoritis, dan metode penelitian. Bab II gambaran umum. Pada bab ini menguraikan lokasi serta sejarah muncul dan potensi pariwisata di Desa Belimbing Tabanan. Bab III pembahasan. Pada bab ini menguraikan tentang kehidupan Pertanian dan Perkebunan di Desa Belimbing dan diuraikan juga proses berkembangnya sektor pertanian dan menjelaskan bentuk dari pertanian yang dijadikan unggulan oleh masyarakat di Desa Belimbing Tabanan. 30
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer: Suatu Pengalaman. (Jakarta:Yayasan Intidayu, 1978), pp.10-12.
27
Bab IV Kehidupan pariwisata dan dampaknya bagi masyarakat Desa Belimbing. Pada bab ini menguraikan tentang kehidupan pariwisata masyarakat di Desa Belimbing dan faktor-faktor apa saja yang ditimbulkan dari perkembangan pariwisata bagi kehidupan masyarakat di Desa Belimbing Tabanan. Bab V kesimpulan. Dalam bab ini berisikan kesimpulan secara menyeluruh tentang sebab akibat dan pandangan masyarakat di Desa Belimbing Tabanan mengenai pertanian dan perkembangan pariwisata.