BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Industri telepon seluler mengalami perkembangan yang pesat dalam dua dekade terakhir ini, baik di negara maju ataupun sedang berkembang. Di Indonesia pun telepon seluler telah mengubah peta industri telekomunikasi secara radikal. Dimana telepon yang dulunya merupakan barang mewah, sehingga hanya kelompok tertentu yang bisa menikmatinya, sekarang dengan mudah mendapatkannya, murah lagi, baik dalam sarana telekomunikasi fixedline wireline ataupun fixedline wireless serta seluler. Semua lapisan masyarakat memiliki akses untuk dapat menggunakan sarana telekomunikasi untuk berbagai keperluan, baik untuk urusan bisnis, keluarga, ataupun keperluan lainnya. Liberalisasi industri telekomunikasi di Indonesia yang dimulai dengan penerbitan Undang-undang Telekomunikasi Nomer 36 tahun 1999 telah membuka babak baru bagi perkembangan industri telekomunikasi. Apalagi sejak 2002 pemerintah sudah membuka lebar masuknya operator baru dalam pasar telekomunikasi di Indonesia untuk mengatasi masalah rendahnya teledensiti selama ini yang banyak tergantung hanya pada PT Telkomsel dan PT Indosat sebagai operator yang merupakan perusahaan milik negara. Hingga kini Pemerintah merupakan pemegang saham mayoritas dan pengendali di kedua perusahaan tersebut, khususnya dalam menentukan arah kebijakan perusahaan maupun dalam rencana ekspansi. Karena itu pemerintah memegang fungsi strategis dalam mendorong ekspansi yang lebih dinamis dimasa mendatang. Disadari bahwa keterbatasan dana untuk ekspansi ataupun investasi menyebabkan infrastruktur telekomunikasi kurang berkembang dibandingkan
potensi dan kebutuhan masyarakat. Hingga saat ini di Indonesia telah hadir 10 operator yaitu Telkom, Telkomsel, Indosat, Excelcomindo (XL), Hutchison (3), Sinar Mas Telecom,Sampoerna Telecommunication, Bakrie Telecom (Esia), Mobile-8 (Fren), dan Natrindo Telepon Selular (sebelumnya Lippo Telecom). Dari jumlah ini, pelanggan fixed phone sekitar 9 juta dan pelanggan selular 64 juta pada tahun 2006. Kalau dibagi berdasarkan platform yang digunakan, pemakai GSM selular sebanyak 88%, CDMA selular 3%, dan CDMA fixed wireless access (FWA) 9%. Namun dari sepuluh operator itu hanya 3 operator yang memiliki pangsa pasar lebih dari 5% yaitu Telkomsel, Indosat dan Excelcomindo. Hal ini menyebabkan tingkat persaingan antar operator di Indonesia mengalami peningkatan. Dan para pelanggan telepon seluler juga menikmati manfaat dari persaingan tersebut. Dimana dalam persaingan bisnis selular yang ketat membuat para operator selular harus terus berinvestasi guna memperluas jaringannya. Hal tersebut mutlak harus dilakukan oleh tiap operator karena potensi yang dimiliki bisnis ini sangat besar mengingat pangsa pasar yang besar dengan keadaan geografis dan struktur demografis yang sangat membutuhkan teknologi komunikasi yang memadai untuk mengakomodasi kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh dari situs majalah SWA dapat diketahui bahwa untuk tahun 2005 PT. Telekomunikasi Selular menganggarkan dana sebesar US$ 600 juta untuk perluasan dan peningkatan kualitas jaringannya. PT. Indosat menganggarkan sebesar US$ 640 juta, sementara PT. Excelcomindo Pratama menyiapkan dana sebesar US$ 250 juta. Anggaran yang disiapkan PT. Telekomunikasi Indonesia adalah sebesar Rp. 1,7 trilyun, PT. Bakrie Telecom menganggarkan sebesar US$ 500 juta, dan yang terakhir PT. Mobile-8 Telecom sebesar US$ 400 juta. Berdasarkan regulasi pemerintah yang mendasari diberikannya lisensi kepada beberapa operator baru membuat kompetisi antar operator selular menjadi sangat terbuka.
Operator-operator selular berbasis GSM (Global System for Mobile Communication) yang selama ini menguasai pasar harus menyiapkan strategi pemasaran yang lebih efektif dan efisien. Hal tersebut dikarenakan operator-operator selular berbasis CDMA (Code Division Multiple Access) telah meramaikan persaingan dalam industri ini dengan potensi pengembangan teknologi yang lebih menjanjikan jika dibandingkan dengan teknologi GSM. Kondisi ini mengakibatkan setiap operator harus mampu mengeksploitasi pasar potensial yang ada di industri ini hingga pencapaian optimal demi menjaga kelangsungan hidupnya. PT. Bakrie Telecom yang menampilkan produk Esia dengan basis CDMA mencoba melihat peluang untuk merebut pasar operator selular di Indonesia. Selanjutnya dalam perkembagan persaingan bisnis telekomunikasi telah memaksa operator selular berbasis GSM yang terdiri dari 3 Operator besar (Telkomsel, Indosat, XL) yang sempat merajai pasar komunikasi tanah air kini perlahan tapi pasti mulai terusik oleh pergerakan gerilya dari 4 operator CDMA yang semakin gencar dalam mengambil alih pasar telekomunikasi. Dua operator CDMA yang salah satunya telah berani menerjunkan dua produknya sekaligus (Bakrie Telecom) dan dua produk CDMA yang masing-masing berasal dari dua operator telekomunikasi yang lebih dulu hadir di Indonesia akan ikut serta dalam perang tarif ini (Telkom dan Indosat), sehingga jumlah produk CDMA yang akan turun dalam perang tarif kali ini adalah sebanyak 5 produk. Adapun kelima produk CDMA tersebut adalah: Esia dan Wifone dari Bakrie Telecom, Fren dari Mobile 8, Flexi dari Telkom, dan Starone dari Indosat. Dalam penelitian ini akan lebih menitik beratkan pada operator selular Esia yang telah menjadi fenomena di industri telekomunikasi. Hal dilatar belakangi pada Esia yang merupakan produk CDMA pertama yang dilahirkan oleh Bakrie Telecom. Senjata utamanya terletak pada tarifnya yang luar biasa murah untuk sesama jaringannya yaitu hanya Rp.50/menit atau Rp.1000/jam. Untuk Arena Sesama Jaringan yang memegang rekor paling
optimal untuk lokal dan interlokal adalah Esia, karena selain tarifnya yang murah meriah, jangkauannya pun sudah mulai merambah ke daerah-daerah pelosok. Berbeda dengan strategi pemasaran yang cukup unik dari operator lain seperti Fren yang menawarkan harga Rp.5 untuk pemakaian menit ke 3 dst, dengan catatan menit ke-1 dan ke-2 masing-masing dipatok Rp. 300. Dengan kata lain pelanggan dipaksa untuk membayar Rp. 600 untuk 2 menit pertama sebelum bisa menikmati tarif murah tersebut. Sementara itu pada tarif telepon ke GSM, Esia menawarkan harga yang paling optimal untuk menelpon ke HP selular baik lokal maupun interlokal. Sedangkan Flexi, walau memasang harga sama dengan Esia untuk Lokal, namun lebih mahal untuk penggunaan interlokal. Pilihan alternatif jatuh pada mobile-8 yang memasang harga flat Rp.20/detik atau Rp.1200/menit ke semua operator selular kapan pun dan dimanapun. Dalam arena SMS sepertinya duo Esia dan Wifone kembali merajai. Hal ini terbukti dari tarif sesama jaringannya yang paling murah, yaitu hanya Rp. 50/SMS, dan Rp. 250 untuk SMS ke operator lainnya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan membahas Esia sebagai studi, karena mengacu pada jumlah pengguna dan tarif yang ditawarkan. PT. Bakrie Telecom, tbk adalah perusahaan operator telekomunikasi berbasis CDMA di Indonesia. Bakrie Telecom memiliki produk layanan dengan nama produk Esia serta Wifone. Esia adalah merek layanan operator yang dikeluarkan oleh PT. Bakrie Telecom Tbk, operator telekomunikasi yang berbasis teknologi CDMA 2000 1x dengan layanan Limited mobility, maksudnya adalah layanan mobilitas jaringan tanpa kabel yang dibatasi dalam satu kode area. Dengan menyandang gelar The Best Tariff dan The Best Brand 2009, gebrakan komersial yang dilakukan oleh Esia selalu mengejutkan, inovatif dan spektakuler, serta dapat diwujudkan dan sukses dipasaran. Saat semua operator telekomunikasi menyatakan tarif teleponnya yang paling murah, Esia malah mempersilahkan pelanggan prabayarnya untuk mencoba tarif GSM manapun dari
nomor Esianya tanpa perlu mengganti kartu. Ditambah bonus discount 10%. Melalui program ”EsiaBisPak; Bisa Pake Tarif Manapun”, Esia ingin membuktikan dan meyakinkan pelanggannya
untuk
mencoba
tarif
GSM
manapun
sesuai
keinginannya
dan
membandingkannya dengan tarif Esia. Uniknya lagi tarif GSM yang akan diterapkan selalu mengikuti setiap perubahan tarif yang dilakukan GSM yang dipilih oleh pelanggan. Untuk bisa mencoba program EsiaBisPak, seluruh pelanggan pra bayar Esia yang lama maupun yang baru cukup mengetik kode huruf awalan dari nama produk operator GSM yang bersangkutan (B,A,S,M,I). Lalu kirim sms ke nomor 212 . Setiap aktivasi Esia BisPak, pelanggan akan dikenai biaya Rp 50,- per sms (plus PPN) dan biaya peralihan tarif ke tarif GSM sebesar Rp 2000,- (plus PPN). Sedangkan untuk kembali ke tarif Esia tidak dikenakan biaya apapun. Program ini dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan teknologi dalam berkomunikasi yang lebih baik lagi bagi para pelanggan Esia (www.bakrietelecom.com). Disamping soal keinginan untuk mendorong eratnya komunikasi pelanggan Bakrie Telecom dengan rekan dan keluarga, program ini juga dibuat untuk menunjukkan konsistensi Bakrie Telecom dalam mengeluarkan produk-produk inovatif berdasarkan kebutuhan masyarakat. Tantangan dalam industri telekomunikasi semakin tajam dan persaingan semakin ketat. Para operator dituntut untuk selalu berfikir dan bertindak inovatif sekaligus mampu memberikan yang terbaik bagi pelanggannya. Dalam hal ini, PT. Bakrie Telecom, Tbk memiliki semangat Disruptive Innovations yang menjadikannya selalu berbeda dengan operator lain dan mampu memberikan yang terbaik bagi pelanggan, terutama berhubungan dengan kenyamanan dan penghematan biaya komunikasi (www.bakrietelecom.com). Sehingga, dapat mencapai tingkat kepuasan pelanggan dalam menggunakan produk Esia pada program ”Esia Bispak”. Seperti kita ketahui bahwa struktur pasar biasanya akan mempengaruhi perilaku
pelaku pasar. Dimana semakin tingginya persaingan karena semakin banyaknya pelaku usaha seperti dalam industri telekomunikasi mengakibatkan meningkatnya kegiatan periklanan, penurunan harga, dan munculnya berbagai ragam layanan yang ditawarkan operator, sehingga pengguna menikmati rendahnya harga, kualitas layanan yang lebih baik, dan beragam pilihan jasa. Beberapa hal tersebut dapat menjadi faktor yang menentukan di dalam mencapai tingkat kepuasan pelanggan dan membentuk loyalitas pelanggan pada suatu produk atau jasa. Disisi lain, Loyalitas konsumen secara umum dapat diartikan kesetiaan seseorang atas sesuatu produk, baik barang maupun jasa tertentu. Loyalitas konsumen merupakan manifestasi dan kelanjutan dari kepuasan konsumen dalam menggunkan fasilitas maupun jasa pelayanan yang deberikan oleh pihak perusahaan, serta untuk tetap menjadi konsumen dari perusahaan tersebut. loyalitas adalah bukti konsumen yang selalu menjadi konsumen, yang memiliki kekuatan dan sikap positif atas perusahaan itu. Kesetiaan konsumen terhadap suatu barang atau jasa merek tertentu tergantung pada beberapa faktor : besarnya biaya untuk berpindah ke merek barang atau jasa yang lain, adanya kesamaan mutu, kualitas atau pelayanan dari jenis barang atau jasa pengganti, adanya resiko perubahan biaya (switching cost) akibat barang atau jasa pengganti dan berubahnya tingkat kepuasan yang didapat dari produk atau jasa baru dibanding dengan pengalaman terhadap merek sebelumnya yang pernah dipakai. Konsumen dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya, akan membeli produk atau jasa tertentu. Apabila suatu produk atau jasa yang dipilih konsumen itu dapat memuaskan kebutuhan dan keiginannya, maka konsumen akan memiliki suatu ingatan yang dalam terhadap produk atau jasa tersebut. dalam keadaan semacam ini kesetiaan konsumen akan mulai timbul dan berkembang. Dan dalam pembelian yang berikutnya, konsumen tersebut akan memilih produk atau jasa yang telah memberinya kepuasan, sehingga akan terjadi
pembelian yang berulang-ulang terhadap merek tersebut. Loyalitas dapat dicapai melalui dua tahap : (1) perusahaan harus mempunyai kemampuan dalam memberikan kepuasan kepada konsumennya agar konsumen mendapatkan suatu pengalaman positif, berarti pembelian ulang diprioritaskan pada penjualan sebelumnya. (2) perusahaan harus mempunyai cara untuk mempertahankan hubungan yang lebih jauh dengan konsumennya dengan menggunakan strategi Forced Loyalty (kesetiaan yang dipaksa) supaya konsumen mau melakukan pembelian ulang, (Kotler and Armstrong, 2001). Lebih lanjut lagi, definisi customer loyalty menurut Johnson et.al (2001) yaitu “Customer loyalty is a predisposition toward purchasing and or using a particular product, manufacturer or service provider again.” Yang artinya dapat dikatakan bahwa loyalitas konsumen adalah suatu kecenderungan untuk membeli dan atau menggunakan lagi suatu produk atau jasa. Hal terpenting yang harus dilakukan untuk memenangkan persaingan adalah memuaskan konsumen. Perusahaan yang berhasil menjaga agar konsumennya selalu puas akan lebih mudah untuk mempertahankan bahkan mengembangkan usahanya karena konsumennya lebih setia, sehingga konsumen tersebut kerapkali melakukan pembelian ulang dan rela membayar lebih. (Johnson, 1997). Memuaskan konsumen merupakan hal yang terbaik dalam menghadapi persaingan. Badan usaha yang berhasil menjaga agar konsumen selalu puas menyebabkan konsumen menjadi lebih setia, dalam arti konsumen tersebut lebih sering membeli, rela membayar lebih banyak untuk menggunakan layanan badan usaha itu dan akan tetap menjadi konsumen meski badan usaha itu sedang mengalami kesulitan. Loyalitas konsumen tidak terbentuk dalam waktu yang singkat, tetapi melalui suatu proses belajar dan berdasarkan pengalaman masa lalu dari konsumen itu sendiri dalam melakukan penggunaan layanan yang konsisten sepanjang waktu. Bila dari pengalaman tersebut konsumen tidak mendapatkan layanan yang memuaskan maka konsumen tidak akan berhenti untuk mencoba jasa-jasa layanan lainnya sampai mendapatkan layanan yang
memenuhi kriteria. Konsumen yang mempunyai loyalitas jasa terhadap suatu merek yang tinggi dapat dilihat dari penggunaan suatu jasa tertentu secara terus-menerus meskipun ada layanan jasa pesaing yang ditawarkan dengan harga, kenyamanan dan bentuk yang lebih baik. Loyalitas konsumen seperti itu harus dibina dan ditingkatkan secara konsisten, sehingga loyalitas konsumen tidak hanya pada satu layanan untuk satu merek yang sama, tetapi dapat juga setia pada layanan lain. Untuk mengetahui apakah konsumen setia atau tidak terhadap konsumen, maka perlu suatu pengukuran loyalitas konsumen. Ada beberapa cara untuk menciptakan dan memelihara loyalitas konsumen, menurut Aaker (1996), yaitu : “Treat to customer right, stay close to the customer, manage customer satisfaction, creating switching cost, provides extras”, yang artinya bahwa memperlakukan konsumen dengan baik, dekat dengan konsumen, menciptakan kepuasan konsumen, menciptakan switching cost dan menyediakan fasilitas ekstra. Menciptakan switching cost dapat menjadikan konsumen mempersepsikan bahwa biaya untuk memilih produk yang baru adalah lebih besar dibandingkan dengan potensial benefit yang diperoleh konsumen. Switching cost ini biasanya dipengaruhi oleh pengaruh psikologi konsumen pada saat melakukan pemilihan suatu produk. Dalam proses transaksi, yang dimasukkan dalam benefit adalah atribut produk, kualitas produk, kualitas pelayanan dan ragam pilihan produk. Sementara yang dikategorikan dalam pengorbanan adalah bunga yang harus dibayar, biaya kredit, waktu yang terbuang, dan biaya transportasi. Switching cost didefinisikan sebagai persepsi konsumen terhadap waktu, uang dan usaha yang diperlukan untuk mengganti merek/perusahaan. Switching cost dapat meliputi search cost, learning cost, relationshipspecific investments, dan sebagainya. Burnham et al. (2003) menyatakan bahwa switching cost didefinisikan sebagai biaya-biaya yang dihubungkan dengan proses perpindahan dari satu suplier ke suplier lain. Lebih lanjut, Burnham menyatakan bahwa ada tiga tipe switching
cost: 1. Procedural switching cost yang meliputi risiko ekonomi dan biaya evaluasi dan melibatkan penggunaan waktu dan usaha. 2. Financial switching cost yang melibatkan hilangnya benefit dan sumberdaya keuangan. 3. Relational switching cost yang berhubungan dengan hilangnya hubungan personal dan hubungan dengan merek, yang melibatkan ketidaknyamanan psikologikal dan emosional karena hilangnya identitas dan putusnya hubungan. Salah satu alasan program insentif keuangan berkembang adalah bahwa program ini tidak sulit untuk ditiru dan menghasilkan profit dalam jangka pendek. Tetapi insentif keuangan ini tidak memberikan keuntungan jangka panjang kepada perusahaan kecuali dikombinasikan dengan strategi relasional yang lain. Dalam jangka panjang, insentif ini tidak membedakan perusahaan dengan pesaingnya. Pada beberapa tahun terakhir, kepuasan pelanggan menjadi tujuan utama bagi perusahaan bisnis sejak dinilai dapat mempengaruhi retensi pelanggan dan suatu perusahaan. Kepuasan pelanggan dilihat dari kurangnya sensitif harga, kurangnya pengaruh dari kompetitor lain, membeli beberap produk baik jasa maupun barang dan menjadi loyal untuk jangka waktu yang lama. Dinamika yang terjadi pada sektor jasa terlihat dari perkembangan berbagai industri seperti perbankan, asuransi, penerbangan, telekomunikasi, konsultan dan pengacara. Menurut Monroe (2003) dalam Andreas Hermann (2007), pada umumnya saat konsumen menerima keuntungan atau manfaat yang ditawarkan dari suatu produk maka mereka akan melakukan pengorbanan yang seimbang, sehingga konsumen akan menerima bahwa harga produk yang diberikan cukup adil. Konsumen akan menilai suatu harga yang dibayarkan dengan produk atau jasa yang diperolehnya. Apabila konsumen menilai bahwa harga dan produk yang ditawarkan dapat diterima, maka konsumen akan puas menggunakan produk tersebut.
Konsepsi switching cost telah dipelajari terutama dalam konteks pelayanan berbasis relasional. Penelitian ini membuat suatu upaya untuk memahami dampak switching cost dalam proses pembentukan kepuasan pada loyalitas pelanggan, serta dampak relasional switching cost pada hubungan loyalitas dan kepuasan oleh suatu pemasok-ke-produsen. Oleh karena itu, relasional mengenai switching cost, kepuasan, dan loyalitas pelanggan adalah faktor penting. Dalam hal ini, akan ditinjau dari perusahaan jasa layanan Provider terkemuka di Indonesia.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka didapatkan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah terdapat pengaruh antara switching cost terhadap kepuasan konsumen (Customer Satisfaction)? 2. Apakah terdapat pengaruh antara switching cost terhadap loyalitas pelanggan (Customer Loyalty)? 3. Apakah terdapat pengaruh antara kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction) terhadap loyalitas pelanggan (Customer Loyalty)? 4. Apakah terdapat pengaruh antara switching cost pada kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction) dalam membentuk loyalitas pelanggan (Customer Loyalty)? 5. Seberapa besar tingkat pengaruh dari switching cost pada kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction) dalam membentuk loyalitas pelanggan (Customer Loyalty)?
1.3
Pentingnya Penelitian
Perkembangan usaha pada sektor telekomunikasi pada 5 tahun terakhir ini semakin meningkat, masing-masing peerusahaan telekomunikasi (Provider) saling bersaing untuk mempertahankan basis pelanggan dengan memberikan berbagai program dalam rangka membentuk loyalitas pelanggan (Customer Loyalty) melalui pengaruh switching cost pada kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction), yang merupakan kunci untuk mempertahankan suatu merek dalam jangka panjang. Dalam hal ini, untuk mencapai tujuan tersebut, dapat diukur dan diidentifikasi pengaruh dari biaya perpindahan (Switching Cost) yang menjadi salah satu variabel moderasi. Sehingga penelitian ini penting untuk melihat keterkaitan dari ketiga variabel tersebut.
1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian dengan judul “Pengaruh Switching Cost Pada Customer Satisfaction Dalam Pembentukan Customer Loyalty”, bertujuan untuk mengetahui apakah switching cost memiliki pengaruh dalam proses pembentukan kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan. Sementara itu, penelitian ini kiranya dapat bermanfaat dalam memperluas wawasan yang berkaitan mengenai Customer Satisfaction dalam proses membentuk Customer Loyalty, yang salah satu faktor pembentuknya adalah moderasi switching cost. 1. Mengetahui tingkat pengaruh antara switching cost dengan kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction). 2. Mengetahui pengaruh dari switching cost terhadap loyalitas pelanggan (Customer Loyalty). 3. Mengetahui tingkat pengaruh dari switching cost pada kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction) dalam membentuk loyalitas pelanggan (Customer Loyalty).
1.5
Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah megenai strategi pemasaran (marketing), dimana mencoba melihat perilaku konsumen terhadap pelayanan jasa yang diberikan oleh suatu perusahaan.