BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Dunia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan semua aspek kehidupan turut mengalami perubahan. Arus teknologi dan informasi sedemikian berpengaruh terhadap kehidupan serta kebutuhan di masyarakat. Pemenuhan kebutuhan hidup kini tidak lagi hanya terfokus kepada kebutuhan pangan, sandang dan perumahan saja, namun sudah mencakup kebutuhan sekunder bahkan tersier. Demikian juga dengan kebutuhan terhadap kesehatan, masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan kesehatannya tidak hanya membutuhkan keakuratan terapi, namun juga kemudahan akses, kenyamanan, pelayanan yang menyenangkan dan kecanggihan alat kini sudah menjadi pilihan sebagian masyarakat dalam memenuhi kesehatannya. Sesuai dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2009 kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam Universal Declaration of Human Right tahun 1948 pasal 25 ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.”.
2
Pada tahun 2005 negara-negara anggota WHO menyetujui sebuah resolusi agar setiap negara mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan dengan tujuan menyediakan Universal Health Coverage (UHC) untuk memastikan semua orang secara adil dapat memiliki akses kepada pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, serta tidak mendapatkan kesulitan keuangan ketika membayar layananlayanan tersebut. WHO juga menyepakati bahwa suatu sistem pembiayaan kesehatan merupakan bagian yang sangat penting dalam tercapainya Universal Health Coverage. Dalam resolusi World Health Assembly (WHA) tanggal 9 Mei 2011 dan berdasarkan rekomendasi dari World Health Report 2010 “Health systems financing: The path to universal coverage”, WHO memberikan dukungan secara penuh kepada negaranegara yang mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan dan dapat membawa negara tersebut mencapai Universal Health Coverage (WHO, 2015). Di Indonesia sendiri pada tahun 2003 pemerintah telah menyiapkan dan mensosialisasikan rancangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem ini mencakup beberapa jaminan seperti kesehatan, kematian, pensiun, kecelakaan kerja, termasuk juga pengangguran yang kehilangan pekerjaan dan Kementrian Kesehatan kemudian bertanggung jawab menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bekerjasama dengan PT. Askes (Muninjaya, 2012). JKN diselenggarakan dengan mekanisme asuransi sosial yang mana kepesertaannya bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia. Kemudian pada tahun 2011 UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN dilengkapi dengan UU BPJS (Badan Penyelengara Jaminan Sosial) Kesehatan dan telah dijalankan sejak tanggal 1 Januari 2014. Sesuai salah satu prinsip JKN yang diamatkan melalui UU No 40 Tahun 2004 yaitu gotong royong maka, seluruh peserta berkewajiban untuk membayar iuran atau dibayarkan iurannya oleh pemerintah. Kemudian melalui sistem Budget Poling
3
yang dihimpun, BPJS menjamin terjadinya subsidi silang dari peserta berpendapatan tinggi ke peserta berpendapatan lebih rendah, karena pada prinsipnya pelaksanaa JKN adalah mengubah pembayaran kesehatan secara individu menjadi kolektif. Masyarakat dengan ekonomi yang lebih baik wajib membayar iuran bulanan BPJS, sedangkan untuk masyarakat miskin akan dibayar oleh negara. Hasil pengelolaan dana jamian sosial kemudian dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesarbesarnya untuk kepentingan peserta (Muninjaya, 2012). Berdasarkan data dari BPJS Kesehatan, jumlah peserta per tanggal 8 Januari 2016 telah mencapai 158.288.622 orang dari 249,8 juta penduduk Indonesia per tahun 2013 menurut data WHO Statistical Profile : Indonesia (WHO, 2015). Sedangkan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan berdasarkan data BPJS Kesehatan tanggal 1 Januari 2016 yaitu sebanyak 9799 puskesmas, 720 klinik TNI, 571 klinik Polri, 3280 klinik pratama, 4441 dokter praktek perorangan, 1148 dokter gigi, 10 rumah sakit kelas D pratama, 1752 rumah sakit, 95 klinik utama, 1894 apotek dan 921 optik. Dalam UU No.24 tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan pasal 15 ayat (1) tertuang bahwa pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS Kesehatan sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. Undang-undang ini menjadi dasar bagi pihak atau perusahaan swasta untuk segera mendaftarkan perusahaan dan karyawannya kepada BPJS Kesehatan. Selain mengatur kewajiban, dalam undang-undang ini juga diatur mengenai sanksi administratif yang akan dikenakan bagi pemberi kerja bukan penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan. Ketentuan umum peserta jaminan kesehatan terkait pekerja penerima upah dan pemberi kerja juga diatur dalam Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 pasal 1 ayat (7 )dan (9), dimana pekerja
4
penerima upah yang dimaksudkan adalah setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah. sedangkan pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya. Pada pasal 4 ayat (2) disebutkan juga pegawai swasta sebagai salah satu pekerja penerima upah. Adanya Peraturan Presiden dan Undang-Undang tentang Jaminan Kesehatan Nasional tentunya memberi pengaruh terhadap perusahaan swasta terutama bagi karyawannya sebagai pengguna langsung dari layanan kesehatan. Perusahaan yang sebelumnya bekerja sama dengan pihak asuransi swasta maupun menanggung sendiri biaya kesehatan karyawannya saat ini mengalami masa transisi dan penyesuaian terhadap adanya JKN. Hotel Melia Bali Indonesia salah satunya. Sebagai perusahaan yang bergerak dibidang jasa perhotelan, selama ini pihak perusahaan juga berperan sebagai health financing atau penyandang dana kesehatan bagi karyawannya. Sejak mulai berdiri Hotel Melia Bali Indonesia mengelola pembiayaan pelayanan kesehatannya sendiri melalui sistem asuransi IKS (Ikatan Kerjasama) dengan menyediakan klinik bagi karyawan di hotel, bekerja sama dengan rumah sakit penyedia layanan kesehatan, laboratorium serta farmasi dengan sistem fee for service dan apabila tidak ada kerjasama dengan penyedia layanan kesehatan yang digunakan maka dapat diterapkan reimbursement system. Sesuai dengan peraturan pemerintah maka sejak bulan Januari tahun 2015 secara bertahap Hotel Melia Bali Indonesia telah mendaftarkan perusahaan dan seluruh karyawannya kepada BPJS Kesehatan. Pada bulan Mei 2015 Klinik Melia Bali Indonesia telah ditetapkan menjadi salah satu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) BPJS Kesehatan dan pada bulan Agustus 2015 seluruh karyawan sudah terdaftar dan sudah dapat memanfaatkan layanan JKN.
5
Tabel 1.1 Jumlah Peserta terdaftar Program JKN oleh BPJS Kesehatan Hotel Melia Bali Indonesia dengan Faskes I Klinik Melia Bali Indonesia. Peserta
Jumlah
Karyawan Istri Anak Suami Jumlah Sumber : Health Consultant Hotel Melia Bali Indonesia (2015)
481 312 621 38 1452
Bergabungnya Hotel Melia Bali Indonesia sebagai salah satu perusahaan swasta dengan program JKN menjadi suatu tanda yang baik. Hal ini tentunya dapat menjadi contoh dan menarik minat bagi perusahaan swasta lainnya yang belum bergabung dengan program JKN. Tabel 1.2 Jumlah Pemanfaatan JKN dan IKS oleh Karyawan Hotel Melia Bali Indonesia Bulan Agustus-Desember 2015
Bulan
Jumlah Pemanfaatan JKN
IKS
208 240 218 177 154 Total 997 Sumber : Health Consultant Hotel Melia Bali Indonesia (2015)
Agustus September Oktober November Desember
366 262 374 467 412 1881
Berdasarkan data hingga bulan Desember 2015, jumlah pemanfaatan JKN oleh karyawan dan keluarga cenderung masih rendah dibandingkan denigan pemanfaatan jaminan IKS perusahaan. Dengan jumlah pemanfaatan JKN yang masih rendah dan penggunaan IKS yang tetap tinggi tentu menimbulkan peningkatan biaya kesehatan
6
yang harus dibayarkan perusahaan, iuran JKN yang dibayar tetap dan pembiayaan fee for service jaminan IKS yang jumlah tetap tinggi. Hal ini berbeda jauh dengan harapan manajemen perusahaan yang berharap keikutsertaan perusahaan dalam program JKN dapat menciptakan pembiayan kesehatan yang adil untuk karyawan dan mengurangi beban pembiayaan kesehatan dalam jaminan IKS. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian terkait gambaran pemanfaatan pelayanan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama program Jaminan Kesehatan Nasional dan Jaminan Ikatan Kerjasama oleh karyawan Hotel Melia Bali Indonesia.
Rumusan Masalah Pemerintah telah membuat program Jaminan Kesehatan Nasional yang di selenggarakan oleh BPJS Kesehatan sebagai bentuk komitmen untuk mencapainya Universal Health Coverage. Dalam undang-undang telah diamatkan bahwa setiap pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS Kesehatan. Hal ini juga telah diterapkan oleh Hotel Melia Bali Indonesia yang telah mengikutsertakan seluruh karyawannya dalam BPJS Kesehatan.. Namun ternyata sejak awal terdaftar hingga bulan Desember 2015 pemanfaatan JKN masih lebih rendah dibandingkan dengan pemanfaatan jaminan IKS perusahaan. Penggunaan dua jaminan kesehatan justru meningkatkan beban biaya kesehatan di perusahaan dan hal ini berbeda dengan yang diharapkan manajemen perusahaan sebelum mengikut dalam program JKN.
7
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan
penelitian
berdasarkan
rumusan
masalah
diatas
adalah
“Bagaimanakah gambaran pemanfaatan pelayanan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama program Jaminan Kesehatan Nasional dan Jaminan Ikatan Kerjasama oleh karyawan Hotel Melia Bali Indonesia?”
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran pemanfaatan pelayanan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama program Jaminan Kesehatan Nasional dan Jaminan Ikatan Kerjasama oleh karyawan Hotel Melia Bali Indonesia. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui angka kesakitan karyawan dalam tiga bulan terakhir di Hotel Melia Bali. 2. Untuk mengetahui gambaran jenis jaminan kesehatan yang digunakan oleh karyawan dan keluarga. 3. Untuk mengetahui gambaran mengenai alasan karyawan dalam memanfaatkan salah satu jaminan kesehatan yang dimiliki. 4. Untuk mengetahui secara umum bagaimana pendapat karyawan mengenai kualitas salah satu jaminan kesehatan yang telah dimanfaatkan. 5. Untuk mengetahui gambaran pemanfaatan JKN dan IKS oleh karyawan berdasarkan karakteristik karyawan meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, jabatan, penghasilan dan jarak tempat tinggal kesehatan dengan tempat layanan kesehatan.
8
Manfaat Penelitian 1.5.1
Manfaat Teoritis 1. Peneliti
memperoleh pengetahuan tambahan
serta meningkatkan
kemampuan dan keterampilan peneliti dalam hal meneliti pemanfaatan pelayanan jaminan kesehatan. 2. Memperoleh informasi mengenai pemanfaatan pelayanan jaminan kesehatan oleh karyawan di Hotel Melia Bali Indonesia. 1.5.2
Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan bahan perencanaan serta pengambilan keputusan mengenai sistem pembiayaan kesehatan bagi pihak manajemen Hotel Melia Bali Indonesia. 2. Hasil penelitian ini dapat memperkaya bidang ilmu pengetahuan dan dapat dikembangkan serta digunakan sebagai referensi dalam melakukan penelitian terkait oleh peneliti selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yang terkait dalam hal pembiayaan dan kebijakan masyarakat. Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada Upaya pencapaian Universal Health Coverage di Indonesia melalui Program JKN yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dengan melihat Gambaran Pemanfaatan Pelayanan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Program Jaminan Kesehatan Nasional dan Jaminan Ikatan Kerjasama Oleh Karyawan Hotel Melia Bali Indonesia.
9