BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai
wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal perkebunan, pertambakan, dan untuk areal pemukiman. Kondisi ini sangat membahayakan karena akan berdampak pada peningkatan abrasi pantai. Berdasarkan data satelit terakhir, hutan mangrove Indonesia kini adalah seluas 3,1 juta hektar, atau nomor dua terbesar di dunia setelah Brasil. Luas hutan mangrove Indonesia ini adalah 22.6% dari keseluruhan hutan mangrove yang tersisa di dunia. Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI berdasarkan Direktoral Jendral Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Dephut (2000) luas potensial hutan mangrove di Indonesia adalah 9.204.840,32 ha dengan luasan yang berkondisi baik 2.548.209,42 ha, kondisi rusak sedang 4.510.45,1 ha dan kondisi rusak 2.14.174,29 ha. Hutan mangrove merupakan suatu persekutuan hidup alam hayati yang terdapat di daerah pasang surut kawasan tropika dan didominasi oleh spesies yang khas. Terbentuknya ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah gerakan gelombang air yang minimal (curren wave), salinitas, dan ketebalan lumpur. Tanaman mangrove kurang mampu beradaptasi dengan gerakan gelombang yang tinggi, salinitas yang cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah
1
salinitas payau, tinggi rendahnya ketebalan lumpur juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara dan bahan organik yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang sangat unik. Dikatakan sebagai ekosistem yang unik karena disusun oleh berbagai macam kehidupan dengan makhluk hidup dan vegetasi yang khas didalamnya. Vegetasi mangrove harus memiliki tingkat adaptasi tinggi, karena habitatnya memiliki kadar garam yang tinggi dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Bentuk perakan vegetasi mangrove juga tergolong unik karena pada umumnya akar mangrove adalah akar nafas (Pneumatophore roots) dimana akarnya menjulang ke atas sebagai bentuk adaptasi terhadap lumpur yang kandungan oksigennya sedikit serta agar dapat berdiri tegak di daerah lumpur yang sifatnya sangat lunak. Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati / penting yang dominan, yang termasuk dalam empat family: Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia) danMeliaceae (Xylocarpus).
2
Jika dilihat dari fungsinya ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang multifungsi. Bukan hanya berfungsi dalam hal meningkatkan perekonomian masyarakat, namun juga sebagai jasa lingkungan. Terjaganya keutuhan mangrove tidak hanya penting bagi kepentingan produksi ikan dan sumberdaya pesisir dan laut lainnya, melainkan juga penting untuk perlindungan lingkungan hidup dari bencana alam. Bagi pulau-pulau kecil yang rawan terhadap badai dan kerusakan, hutan mangrove sangat bermanfaat untuk melindungi pulau-pulau dari kerusakan, utamanya sebagai penahan gelombang tsunami, mengurangi intrusi air laut, dan mengurangi potensi banjir akibat meningkatnya tinggi muka air laut. Kerusakan habitat mangrove disebabkan karena adanya kegiatan eksploitasi yang memanfaatkan sumberdaya hutan secara berlebihan tanpa memikirkan dampaknya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 tahun 1990 tentang kehutanan bahwa sumberdaya alam merupakan segala sesuatu yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia, namun dalam pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana dan memikirkan dampak jangka panjang agar sumberdaya alam tersebut dapat dipakai dimasa sekarang dan dimasa yang akan datang. Ekosistem hutan mangrove di kawasan SM Karang Gading Langkat Timur Laut III merupakan sumberdaya alam yang sangat berpotensi karena berfungsi sebagai hutan penyangga atau benteng dari abrasi pantai dan dapat berperan sebagai nursery ground sekaligus tempat habitat biota laut sehingga perlu dikelola dengan perencanaan yang baik. Perkembangan proses rehabilitasi harus tetap dipantau agar terbentuknya ekosistem yang stabil terjadi dalam waktu yang tidak lama. Salah satu
3
cara pemantauannya adalah dengan mengetahui kondisi ekosistem saat ini, antara lain mengetahui karakteristik habitatnya. Karakteristik habitat ini sangat membantu dan menentukan pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, penelitian tentang karakteristik habitat di hutan mangrove SM Karang Gading Langkat Timur Laut ini sangat tepat dilakukan guna memberi informasi terhadap kegiatan rehabilitasi mangrove, sehingga diharapkan mampu mengurangi tingkat kegagalan
rehabilitasi dan terbentuknya
ekosistem yang stabil terjadi dalam waktu yang tidak lama. 1.2
Rumusan Masalah Rusaknya hutan mangrove di kawasan SM Karang Gading Langkat Timur
Laut III menyebabkan rusaknya ekosistem sebagai sistem penyangga kehidupan. Pada konteks ini, maka gejala yang berjalan dan terjadi kemungkinan merupakan permasalahan konservasi. Beberapa contoh paling nyata yang sudah terjadi adalah berkurangnya produksi ikan, peningkatan bencana banjir dan kerusakan pesisir akibat badai. Pemerintah Daerah telah bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I Medan sejak tahun 2002 telah melakukan upaya-upaya penyelesaian permasalahan yang terjadi seperti kegiatan RHL (Rehabilitasi Hutan dan Lahan) mangrove secara bertahap. Selain penanaman juga dilakukan upaya pembersihan dan pemeliharaan mangrove. Berdasarkan permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik habitat perairan di kawasan SM Karang Gading
4
Langkat Timur Laut III. Oleh sebab itu maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimana struktur dan komposisi vegetasi penyusun di hutan mangrove alami dan hutan mangrove rehabilitasi di di kawasan SM Karang Gading Langkat Timur Laut III?
2.
Berdasarkan faktor fisik-lingkungan (Ketebalan lumpur, suhu perairan, pH, salinitas, DO, dan keragaman plankton dan nekton) apakah ada perbedaan yang sgnifikan antara mangrove alami dan rehabilitasi sebagai bentuk keberhasilan kegiatan rehabilitasi mangrove?
1.3
Tujuan penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui perbedaan struktur dan komposisi vegetasi penyusun hutan mangrove alami dan hutan rehabilitasi mangrove SM Karang Gading Langkat Timur Laut III.
2.
Mengetahui perbedaan kondisi fisik-lingkungan mangrove yang meliputi: ketebalan lumpur, suhu, pH, oksigen terlarut, salinitas, dan kepadatan plankton serta nekton di SM Karang Gading Langkat Timur Laut III terkait keberhasilan kegiatan rehabilitasi mangrove.
5
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan: 1.
Data dan informasi terbaru tentang karakteristik habitat kawasan hutan mangrove SM Karang Gading Langkat Timur Laut III.
2.
Data dan informasi terbaru yang dapat digunakan sebagai dasar konservasi untuk pengelolaan kawasan dan upaya rehabilitasi hutan mangrove di SM Karang Gading Langkat Timur Laut III.
6