BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Kaum Aborigin sebagai penduduk pertama (first people) telah menduduki Australia selama sekitar 50.000 sampai 120.000 tahun yang lalu. Mereka hidup sebagai pemburu yang mampu beradaptasi dengan sangat baik dengan lingkungannya. Terdapat sekitar 300.000 kaum Aborigin yang hidup di Australia pada saat Inggris pertama kali datang membentuk koloni di wilayah tersebut yaitu pada tahun 1788. Kolonisasi Kulit Putih di Australia memberikan banyak pengaruh terhadap kehidupan kaum Aborigin. Sejak awal invasi Kulit Putih di Australia, proses kolonisasi telah berupaya untuk menghapuskan segala tanda kehadiran kaum pribumi Aborigin di wilayah tersebut. Kaum Kulit Putih mengganggap Australia sebagai wilayah ‘terra nullius’ dan kaum Aborigin tidak dianggap sebagai pemilik atas wilayah kesukuannya. Kaum Eropa yang memasuki wilayah baru Australia menganggap bahwa penduduk pribumi yaitu kaum Aborigin tidak mempunyai ketertarikan terhadap kepemilikan tanah berdasarkan pandangan mereka bahwa Aborigin lebih suka hidup nomaden, selalu berpindah-pindah serta tidak mengolah tanah untuk kepentingan hidupnya. Mereka percaya bahwa kaum Aborigin lebih suka untuk melakukan penjelajahan terhadap wilayah dengan hidup berpindah-pindah dan tidak menetap di satu wilayah tertentu (Day, 1996: 88).
1
2
Dengan dasar itulah Kulit Putih menciptakan beragam metode kolonial sebagai upaya untuk mengatur wilayah barunya tersebut. Sebagai salah satu metode untuk menjaga kepentingan Kulit Putih di wilayah barunya, mereka menciptakan aturan-aturan tentang kehidupan Aborigin. Berbagai aturan yang diterapkan Kulit Putih misalnya dengan politik isolasi dengan memindahkan Aborigin dalam suatu ruang tertentu mengakibatkan orang Aborigin hidup dalam tekanan yaitu berupa pembunuhan, penularan penyakit dari Kulit Putih, penggusuran, pemenjaraan dan politik aslimilasi. Dengan menganggap Australia sebagai wilayah yang hanya dimiliki oleh kaum Kulit Putih, maka terjadi usaha penghapusan terhadap tradisi kaum Aborigin. Keberadaan kaum Aborigin di Australia menjadi terancam dengan adanya kepentingan untuk membentuk sebuah identitas nasional yaitu identitas Kulit Putih. ‘White Australia’ menjadi sebuah visi utama untuk diwujudkan dalam masa depan bangsa Australia. Sebagai akibatnya, dominasi dilakukan dengan memaksa kaum Aborigin untuk meninggalkan tempat tinggal lamanya menuju tempat baru, serta terjadi pemaksaan terhadap penghapusan tradisi lama untuk menyesuaikan dengan peradaban Kulit Putih. Tidak hanya sebagai bentuk usaha untuk mempertahankan wilayah serta batas-batasnya, kolonial Kulit Putih berusaha membuat sebuah idealisasi baru terhadap objek-objek kolonialnya dengan menciptakan aturan-aturannya. Namun, kaum Aborigin tidak secara pasif menerima segala aturan baru yang diterapkan. Selalu muncul upaya-upaya resistensi terhadap aturan kolonial yang tidak memberikan ruang kebebasan bagi Aborigin. Resistensi muncul
3
sebagai upaya negosiasi atas aturan-aturan yang dikonstruksikan oleh kolonial. Oleh karena itu, konsep ruang dalam kajian pascakolonial menjadi konteks yang sangat penting dalam kajian pascakolonial untuk mendiskusikan isu-isu mengenai hubungan kekuasaan dan negosiasi atas identitas. Negosiasi atas ruang dilakukan untuk memunculkan kembali identitas masyarakat pascakolonial yang berusaha ditutupi dengan adanya batas-batas artifisial kolonial. Negosiasi atas ruang yang dilakukan oleh masyarakat pascakolonial dapat dibaca melalui teks-teks pascakolonial. Penulis-penulis pascakolonial berusaha untuk mengkritisi keadaan pascakolonial dengan membawa isu-isu politik ke dalam karya mereka. Kesusastraan selama ini dianggap sebagai strategi politik yang utama bagi masyarakat pascakolonial sebagai sebuah narasi yang menyajikan keadaan tempat yang dapat mengungkap jejak-jejak dan menunjukkan kekacauan yang terjadi dalam ruang karena dibangunnya tempat atau ruang dengan batas-batas. Sastra memiliki kapasitas untuk mampu menampilkan kompleksnya kepentingan dan sistem ideologi dan sekaligus mampu melakukan identifikasi terhadap kepentingan dan ideologi tersebut (Loomba, 1998:70). Sastra Aborigin menjadi sumber informasi yang paling signifikan untuk mengungkapkan dimensi historis kehidupan Aborigin dari sudut pandang kaum Aborigin itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh Shoemaker bahwa: “Aboriginal history is present in almost all Black Australian Literature” (Shoemaker, 1992: 128). Dalam tulisannya, mereka mengilustrasikan efek-efek kebijakan pemerintahan Australia yang koersif terhadap kaum Aborigin.
4
Berbeda dengan sastra nasional yang lainnnya, sastra Aborigin dengan jelas ditujukan kepada pembaca Kulit Putih. Sastra Aborigin bermula sebagai bentuk jeritan hati yang ditujukan kepada Kulit Putih untuk menuntut keadilan dan pemahaman atas keadaan mereka. Jika seni merupakan suatu seni sosial, maka tulisan-tulisan individu tersebut merepresentasikan keseluruhan suara kaum Aborigin, dengan kata lain, segala protes dari kaum Aborigin dapat terakomodasi dalam tulisan sastra tersebut (Narogin, 1990:1). Sastra Aborigin menjadi bentuk protes atau resistensi terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh kolonial Kulit Putih di Australia yang berupaya menciptakan keteraturan dalam ruangnya dengan melakukan dominasi terhadap kaum Aborigin melalui beragam aturan-aturan. Melalui tulisannya, kaum Aborigin mengkritisi ketidakadilan serta berusaha untuk menghidupkan kembali budaya Aborigin yang termarjinalkan. Salah satu penulis yang merupakan pionir dalam penggunakan sastra sebagai media untuk mengkritisi aturan Kulit Putih di Australia adalah Colin Johnson atau yang dikenal dengan nama Aborigin Mudrooroo Narogin. Terlahir dalam keluarga Aborigin yang selalu mendidik untuk selalu bangga atas kaumnya, Colin Johnson menulis beberapa karya fiksi untuk menghadirkan kembali narasinarasi sejarah yang selama ini telah ditutupi oleh kaum Kaum Kulit Putih. Banyak fiksi yang ditulis oleh Colin Johnson difokuskan pada upaya untuk menolak mitos-mitos serta aturan kolonial yang telah mengambil hak atas kedaulatan dari penduduk pribumi dengan paksa dan menjadikan hak kepemilikan dan kontrol atas Australia kepada kaum Kulit Putih.
5
Dengan melalui karya sastra yang ditulis oleh kaum Aborigin tersebut, pengalaman atau jejak-jejak kolonialisme dapat direpresentasikan dalam teks. Hal ini disebabkan karena teks merupakan ekspresi pengarang yang tidak terlepas dari sejarah dan latar belakang budaya yang mereka alami. Pembacaan terhadap sastra Aborigin merupakan cara untuk melakukan pemetaan kembali melalui sebuah negosiasi terhadap konsep ruang yang dikonstruksi oleh kolonial dalam sejarah Australia. Penggambaran terhadap suatu ruang dikonstruksi secara ideologis oleh kolonial, sehingga dengan pembacaan sastra Aborigin dapat mempertanyakan kembali secara kritis ketidakhadiran representasi pengalaman-pengalaman minoritas tersebut dalam sejarah kultural dari sebuah bangsa. Sastra Aborigin menawarkan sebuh koreksi terhadap penggambaran ruang pascakolonial yang merupakan produk totalisasi untuk menciptakan sebuah aturan yang tertata, sehingga sastra menjadi satu sarana untuk menolak formulasi batas-batas terhadap ruang. Penelitian ini membahas salah satu karya yang ditulis oleh Colin Johnson yaitu novel berjudul Doctor Wooreddy’s Prescription for the Ending of the World untuk menggambarkan konstruksi ruang kolonial Kulit Putih di Van Diemen’s Land atau yang selanjutnya dinamakan Pulau Tasmania, serta respon yang muncul sebagai bentuk negosiasi terhadap ruang yang dikontestasikan. Novel yang ditulis pada tahun 1983 ini merupakan sebuah novel historis yang menggambarkan tentang awal pendudukan Kulit Putih di Tasmania pada abad ke-19. Sejarah kolonisasi di Tasmania menjadi unik jika dibandingkan dengan wilayah kolonisasi lain di Australia karena sulitnya usaha penguasaan Kulit Putih terhadap wilayah
6
ini. Terdapat beragam metode kolonial yang dilakukan oleh Kulit Putih dalam upayanya menguasai wilayah Tasmania, beberapa diantaranya yaitu dengan melakukan barisan militer atau yang disebut dengan ‘Black Line’ yang secara radikal berusaha mengumpulkan pribumi serta melegalkan penembakan terhadapnya. Upaya lain yang dilakukan untuk pengusaan wilayah ini yaitu dengan melakukan misi atau yang disebut dengan ‘Friendly Mission’ yang dipimpin oleh George Augustus Robinson. Beragam cara lain juga tercatat dalam sejarah kolonisasi di Tasmania yang secara sepihak digambarkan dalam tulisantulisan Kulit Putih baik berupa buku, laporan-laporan maupun cerita perjalanan. Sastra Aborigin menjadi media penting untuk mengungkapkan sejarah kolonisasi Kulit Putih di Australia yang tidak dimunculkan dalam tulisan-tulisan Kulit Putih. Dengan mengambil novel Doctor Wooreddy’s Prescription for the Ending of the World ini sebagai objek, penelitian ini berusaha mengungkapkan sejarah kolonisasi di Tasmania dalam perspektif kaum Aborigin yang difokuskan pada membongkar upaya-upaya pembentukan ruang kolonial oleh Kulit Putih serta menjelaskan respon kaum Aborigin terhadap ruang yang dikonstruksikan tersebut serta penawaran kontruksi paskaruang yang lebih mampu untuk mengakomodasi kepentingan Aborigin yang selama ini diabaikan dalam konstruksi ruang oleh kolonial yang menyebabkan hilangnya identitas.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan masalah di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
7
1. Bagaimanakah ruang kolonial di Van Diemen’s Land dikonstruksikan oleh Kulit Putih yang direpresentasikan dalam novel Doctor Wooreddy’s Prescription for Enduring the Ending of the World? 2. Bagaimanakah respon spasial pascakolonial direpresentasikan dalam novel Doctor Wooreddy’s Prescription for Enduring the Ending of the World?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melakukan sebuah pembahasan dan analisis kritis terhadap sastra Aborigin yang menjadi sumber informasi tentang sejarah dan budaya kaum Aborigin di Australia untuk mengungkapkan bentuk-bentuk negosiasi yang dilakukan oleh kaum Aborigin terhadap ruang kolonial yang dikonstruksi oleh Kulit Putih di Australia. Dengan menganalisis karya sastra yang ditulis oleh kaum Aborigin diharapkan dapat memunculkan kembali fakta-fakta sejarah yang selama ini ditutupi untuk kepentingan mayoritas. Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi pembelajaran sastra, sejarah dan budaya Aborigin pada khususnya dan Australia pada umumnya.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai sastra Aborigin belum banyak dilakukan terutama di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Sebuah penelitian mengenai sastra Aborigin telah dilakukan oleh Sugi Iswalono dari Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul Aboriginal Land Rights Issues Recorded In Oodgeroo
8
Noonuccall's We Are Going yang dimuat dalam jurnal DIKSI Vol. II, No. I. Januari 2004. Dalam penelitian ini, peneliti membahas mengenai cara pandang kaum Aborigin terhadap tanah kelahiran mereka, serta perbedaannya dengan cara pandang bangsa koloni Inggris terhadap wilayah tersebut. Hasil dari penelitian ini Kaum Aborigin berjuang untuk mengambil kembali tanah mereka melalui beragam cara. Mereka melakukan protes terhadap Kulit Putih atas perebutan hak tanah mereka melalui demostrasi dan dengan media seni. Tanah bagi kaum Aborigin merupakan yang sakral yang harus mereka lindungi. Terdapat nilai spiritualitas yang terkandung dalam tanah, bukan hanya materi seperti dalam pandangan Kulit Putih. Puisi Noonuccal ini menggambarkan kesengsaraan yang dialami oleh kaum Aborigin atas perlakuan Kulit Putih yang telah mengambil hak-haknya. Sastra ini menjadi alat yang penting bagi perjuangan kaum Aborigin untuk melakukan protes terhadap ketidakadilan dan kebrutalan Kulit Putih. Meskipun demikian, isu-isu mengenai kepemilikan tanah oleh kaum Aborigin masih rumit karena kuatnya dominasi Kulit Putih. Penelitian lain mengenai sastra Aborigin dilakukan oleh Elly Susanty Rachman dari Universitas Indonesia dalam tesisnya yang berjudul Keterpenjaraan dalam Trilogi Novel Mudrooroo Wildcat Falling, Doin Wildcat, dan Wildcat Screaming. Dalam pembahasannya, peneliti mengungkapkan bentuk-bentuk keterpenjaraan yang dirasakan oleh kaum Aborigin akibat penindasan yang dilakukan oleh Kulit Putih yang digambarkan dalam ketiga novel tersebut. keterpenjaraan dalam novel-novel Mudrooroo mengalami perubahan.Perubahanperubahan yang terjadi merupakan bentuk pergeseran dalam perjuangan kaum
9
Aborigin terhadap Kulit Putih. Perubahan tersebut terjadi karena kuatnya dominasi Kulit Putih yang mereka lawan. Modrooroo dalam novelnya pada akhirnya berpendapat bahwa perjuangan kaum Aborigin dapat dilakukan dengan jalan mencerdaskannya. Penelitian yang pertama membahas bagaimana perbedaan persepsi kaum Aborigin dengan Kulit Putih terhadap tanahnya serta bagaimana usaha-usaha yang dilakukan oleh kaum Aborigin untuk mengambil kembali tanahnya yang direpresentasikan dalam puisi Odgeroo Noonuccal. Penelitian ini difokuskan pada permasalahan ‘Land Right’ yang merupakan masalah utama dalam kolonisasi di Australia. Penelitian yang kedua membahas mengenai penindasan yang dilakukan oleh Kulit Putih yang membuat keterpenjaraan kaum Aborigin serta bentukbentuk resistensi yang dilakukan untuk mengatasi keterpenjaraan tersebut. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari kedua penelitian diatas dengan memberikan dasar filosofis mengenai masalah “Land Right” dengan membahas konsep ruang kolonial dan Aborigin yang menyebabkan pertentangan mengenai kepemilikan tanah, serta secara praktis penelitian ini akan membahas respon kaum Aborigin terhadap konstruksi kolonial. Berbeda dengan kedua penelitian tersebut yang difokuskan pada perbedaan cara pandang Aborigin terhadap tanahnya serta bentuk-bentuk opresi dan perlawanan yang dilakukan oleh kaum Aborigin, melalui sudut pandang pascakolonial penelitian ini akan membahas sastra Aborigin yang direpresentasikan oleh novel Doctor Wooreddy’s Prescription for Enduring the Ending of the World untuk mengungkapkan konstruksi ruang kolonial di Van Diemen’s Land oleh Kulit Putih melalui metode kolonialnya,
10
respon kaum Aborigin terhadapnya, serta ruang pascakolonial yang ditawarkan oleh kaum Aborigin sebagai bentuk negosiasi atas konstruksi ruang oleh Kulit Putih di Australia.
1.5 Landasan Teori Untuk membahas mengenai konstruksi ruang kolonial serta pascakolonial yang digambarkan dalam novel ini, penelitian ini akan menggunakan teori poskolonial mengenai ruang. Penelitian ini akan difokuskan pada teori poskolonial oleh Sara Upstone yang lebih jauh memberikan gambaran mengenai konstruksi ruang kolonial serta pascakolonial, serta secara umum membahas mengenai jejak-jejak pascakolonial seperti dominasi dan resistensi melalui teori politik spasialnya.
1.5.1 Teori Poskolonial Poskolonial teori merupakan kumpulan konsep dan kajian yang dikembangkan sebagai sebauh cara untuk mengungkapkan produksi kultural dari masyarakat-masyarakat yang terjajah yang dipengaruh oleh fenomena historis kolonialisme (Ashcroft et al, 2000: 168). Kajian ini meninjau kembali jejak-jejak dan tantangan yang ditinggalkan dari proses pendudukan kolonial. Teori ini mencakup pembahasan mengenai entitas kultural, nilai, tindakan, politik, perdagangan, kepercayaan dan segala bentuk transformasi yang ditemukan dalam masyarakat yang pernah dijajah sebagai efek dari kolonisasi (Loomba, 1998: 712).
11
Teori poskolonial pada dasarnya mencakup kajian tentang kekuasaan dan representasi di dalam masyarakat terjajah. Teori ini juga memfokuskan pada penerapan wacana kolonial untuk membentuk pendapat dan kebijakan di dalam wilayah koloni (Ashcroft et al, 1998: 186). Kelanjutan dari penerapan ini berupa upaya pencapaian kekuasaan kolonial melalui proses pengrusakan dan pendekonstruksian budaya dan identitas masyarakat pribumi. Pandangan ini pertama kali digaungkan oleh Edward Said dalam bukunya Orientalisme. Said (1979) menyatakan bahwa pendudukan Eropa menciptakan wacana oriental dengan membentuk sebuah oposisi biner antara masyarakat pribumi dan kolonial Eropa. Said menggunakan istilah Orient dan Occident dalam pandangannya. Sistem oposisi biner mengenai pandangan dimana Occident merupakan superior dan Orient sebagai inferiornya merupakan sebuah hegemoni yang dihasilkan oleh pendudukan Eropa sebagai upaya atas penerapan kekuasaan, dominasi dan otoritas terhadap Orient (Said, 1979: 43-46). Wacana ini diperkenalkan dan dipaksakan sebagai wacana klasik proyek imperialisme, untuk melemahkan posisi masyarakat pribumi secara politis sehingga kolonial mampu mendapatkan keuntungan-keuntungan sebagai salah satu mandat dari sang Imperium (Loomba, 1998: 43-57). Dalam perjalanannya, pandangan ini dikembangkan oleh beberapa tokok poskolonial seperti Homi K. Bhabha, Gayatri Spivak dan Robert Young. Mereka memperluas pembahasan mengenai aspekaspek penguasaan kolonial meliputi pembahasan politik dan fitur-fitur ideologis dalam kajian poskolonial. Teori ini juga menyelidiki pembangunan institusiinstitusi kolonial serta penerapan nilai-nilai kolonial ke dalam masyarakat terjajah
12
melalui beberapa media, seperti sastra, seni, propaganda, pendidikan dan sebagainya. Selanjutnya, teori ini juga menginvestigasi segala percabangan dalam segala bentuk tindakan terhadap subjek kolonial terutama dalam hubungannya antara relasi dan kekuasaan (Ashcroft, 2001). In short, the Post-colonial theory mainly deals with the concepts utilized as the instrument of analysis of the domination, manipulation, exploitation and disenfranchisement that are inevitably involved in the construction of any cultural artifacts and/or relationship (Janmohamed, 1985: 78). Secara garis besar, poskolonial teori berhubungan dengan segala konsep yang digunakan untuk mengkaji dominasi, manipulasi, eksploitasi, dan penghapusan hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya membangun hubungan dan artefak kultural. Untuk memenuhi tujuannya untuk membongkar relasi kekuasaan antara kolonial dan subjek kolonialnya serta bentuk-bentuk transformasi identitas upaya penghapusan hak-hak yang terjajah, maka terdapat beberapa fitur dalam teori pascakolonial yang penting untuk dibahas. Teori tentang otherness dan place memberikan pandangan mengenai transformasi identitas kaum terjajah yang terjadi dalam proses kolonisasi. Selain itu, teori tentang hibriditas, mimikri, dan ambivalensi oleh Homi K. Bhabha mendasari pembahasan mengenai penciptaan bentuk-bentuk transkultural oleh subjek kolonial efeknya terhadap hubungan kekuasaan antara subjek kolonial dan kolonialnya. Teori lain yang muncul yaitu tentang ruang (space) oleh Sara Upstone yang memberikan dasar analisis politik spasial keruangan yang mencakup pembahasan mengenai pengkonstruksian ruang kolonial dalam wilayah jajahannya, kemungkinan-kemungkian resistensi yang memunculkan beragam alternatif ruang pascakolonial serta respon spasial yang
13
muncul sebagai bentuk negosiasi, yang selanjutnya akan dibahas dalam subbab berikutnya.
1.5.2 Teori Poskolonial tentang Ruang Kajian pascakolonial tentang ruang yang dilakukan oleh Sara Upstone memberi perhatian pada upaya-upaya kontrol dalam bentuk persetujuan atas pemikiran-pemikiran atau konsep-konsep yang ditanamkan oleh pihak penguasa kolonial sebagai strategi penguasaan dan pelestarian kekuasaan. Salah satu konsep penting yang digunakan untuk kepentingan kolonial adalah konsep batas. Pemahaman dan persetujuan tentang batas sangat vital untuk melakukan identifikasi atas wilayah teritori dan mempertahankan kekuasaan atas wilayah tersebut. Status wilayah teritori yang terpetakan dengan pasti dan jelas merupakan satu bagian yang integral dalam definisi tentang koloni, seperti juga yang tercantum dalam Oxford English Dictionary, yang mengartikan koloni bukan hanya mencakup sebuah komunitas masyarakat tertentu, namun juga wilayah dari komunitas tersebut (Upstone, 2009: 4). Konsep ruang berbatas ditanamkan pada masyarakat sebagai sesuatu yang tetap, terkontrol, absolut, dan natural. Faktanya, kondisi tersebut merupakan bentukan yang terkaburkan bersama dengan meresapnya konsep kolonial tersebut (Upstone, 2009: 4). Dengan adanya konsep batas yang tampak sebagai sesuatu yang absolut, tak dapat digoyahkan oleh kelompok-kelompok lokal, wilayah teritori dengan batas-batasnya menjadi sesuatu harus dihargai sebagai sebuah keberadaan
yang
sah
(legitimate
entity),
dan
statusnya
yang
absolut
14
menghancurkan berbagai preferensi dari masyarakat sebelumnya, serta praktikpraktik kesukuan yang telah ada (Upstone, 2009: 5). Konsep tentang batas yang ditanamkan pada masyarakat dan memiliki tujuan untuk melakukan kontrol, mempertahankan stabilitas, serta menghindarkan dari berbagai pertentangan, terjaga dengan adanya penerimaan dan persetujuan masyarakat terhadap konsep tersebut sebagai suatu hal yang alamiah. Dalam wilayah yang teritori dengan batas-batas yang jelas seperti yang tersebut di atas, hukum-hukum, agama, pendidikan, dan praktik-praktik kehidupan sosial yang dimiliki oleh penguasa kolonial menjadi superior (Upstone, 2009: 5). Berbagai persetujuan terhadap konsep-konsep yang menguntungkan penguasa kolonial dalam melakukan kontrol yang mengamankan kekuasaannya diupayakan tertanam dalam masyarakat dengan cara membentuk idealisasiidealisasi, harmonisasi-harmonisasi di kehidupan dalam berbagai aspeknya. Dengan tertanamnya konsep-konsep kolonial yang serupa, akhirnya masyarakat terbentuk menjadi homogen. Kondisi homogen ini makin memudahkan dalam upaya melakukan kontrol, menjaga stabilitas. Usaha-usaha penguasa kolonial menanamkan
berbagai
konsep
untuk
mengamankan
kekuasaan
dengan
menampilkannya sebagai sesuatu yang natural, dan melakukan homogenisasi masyarakat ternyata tak satu pun berhasil mencapai totalisasi secara menyeluruh. Usaha menyatukan berbagai perbedaan yang sebelumnya ada selalu akan meninggalkan jejak-jejak dari elemen masa lalu. Konsep baru yang ditanamkan oleh penguasa kolonial memang terlihat dipermukaan, namun tak dapat menghilangkan jejak-jejak masa lalu. Yang ada
15
hanyalah strategi untuk totalisasi, usaha untuk membuat konstruksi, sebuah tujuan, sebuah harapan, namun tak pernah mencapai totalisasi (Uptsone, 2009: 6). Apa yang telah ‘tertulis’ sebelumnya berusaha dikaburkan, digantikan dengan representasi baru, namun penghapusan tersebut selalu meninggalkan bekas (Upstone, 2009: 7). Jejak-jejak elemen masa lalu menjadi bagian yang diam dalam teks. Sara Upstone melihat pandangan pascastruktural sesuai untuk melihat keberadaan elemen-elemen masa lalu tersebut. Pascastruktural menawarkan pandangan tentang ketidakstabilan makna, ketidakmungkinan petanda yang stabil, serta melihat jejak-jejak dari yang pernah hadir, dan mempertanyakan apa yang selalu dianggap sudah jelas (Upstone, 2009: 7). Pandangan tersebut produktif untuk melihat pengaturan spasial dari penguasa kolonial, menggoyahkan sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran dengan jejak-jejak masa lalu yang tak dapat dihapuskan, melihat ketidakstabilan makna yang terus menerus mengarahkan pada sesuatu yang ditolaknya, serta memperlihatkan tanda-tanda perbedaan yang berusaha dikaburkan (Upstone, 2009: 7). Berbeda dengan harmonisasi dan idealisasi ala kolonial, ruang bersifat lebih cair dan chaotic/ kacau dalam imaji pascakolonial (Upstone, 2009: 11). Sara Upstone menawarkan gagasan bahwa dengan merebut kembali kecairan ruang yang telah ditolak oleh konsep kolonial dalam gagasan ruang berbatasnya, dan dengan memberi lokasi-lokasi fungsi-fungsi politis, penulis-penulis pascakolonial menciptakan ruang sebagai tempat berbagai kemungkinan dan resistensi (Upstone, 2009: 11). Upstone menggarisbawahi pandangan bahwa konsep/ aturan kolonial
16
bukan sesuatu yang natural, konsep tersebut sengaja disebarkan diberbagai wilayah untuk mengamankan kekuasaan penguasa kolonial. Konsep-konsep kolonial telah menutupi realita sebenarnya yang lebih kacau/ chaotic pada ruang. Dalam pandangan pascakolonial, tersingkapnya kembali kondisi chaos dapat dimanfaatkan untuk melakukan imajinasi ulang atas ruang. Penyingkapan chaos tersebut bukanlah ditujukan untuk menghilangkan semua stabilitas yang ada, namun lebih pada upaya pemanfaatannya dalam membongkar pandangan yang dianggap tetap dan menyematkan pola-pola pemahaman dan pengalaman-pengalaman yang baru (Upstone, 2009: 12). Pandangan ruang pascakolonial menolak konstruksi teritori, memberi penawaran bahwa seharusnya dilakukan reklamasi atas ruang, yang pada awalnya memiliki sifat mengandung berbagai pebedaan, dan melihat ruang di luar pemikiran kolonial, di mana ruang menjadi lokasi, bukan sebagai negasi atas apa yang telah berlalu sebelumnya, namun negosiasi (Upstone, 2009: 13). Berbeda dengan pandangan kolonial, pandangan pascakolonial melihat ruangan berisi suara-suara heterogen, berbagai pengalaman, yang member penekanan pada perbedaan dan subjektivitas (Upstone, 2009: 13). Kemudian, Sarah Upstone mengemukakan bahwa pandangan tentang ruang yang dijelaskan dalam bukunya Spatial Politics in the Postcolonial Novel, memberi gambaran bahwa Transformasi spatial tidak hanya berhenti dalam bentuk perubahan kesadaran, namun mulai ditunjukkan dalam resistensi aktif dan perubahan material (Upstone, 2009: 16). Pandangan tentang ruang ini melihat
17
chaos muncul dalam ruang secara konseptual, dan realisasinya dalam wujud material. Cara yang dilakukan untuk mempertahankan aturan kolonial adalah dengan penulisan kembali ‘overwriting’ tentang representasi ruang. Kalau digambarkan dalam bentuk teks, para kolonial melakukan penulisan kembali ‘overwriting’ segala sesuatu yang berhubungan dengan koloninya, apa yang sebelumnya tertulis ‘written’ tentang ruang ditulis kembali oleh kolonial dengan representasi baru yang menutupi representasi lama dan berusaha membuat totalisasi sesuai keadaan yang baru. Namun, karakteristik ruang yang heterogen dan terbuka tetap memberi celah terhadap subjektivitas di dalam ruang untuk selalu muncul. Teks-teks pascakolonial mengungkapkan segala isu dibalik aturan kolonial. Teks tersebut mengungkapkan bahwa aturan kolonial hanyalah berdasarkan pada mitos yang tidak muncul secara alamiah sehingga menyebabkan chaos. Salah satu yang dilakukan oleh teks pascakolonial adalah dengan mengungkapkan mitos-mitos aturan kolonial yang membuka kemungkinan untuk mengungkap intervensi kolonial dan membuka realitas yang sesunggguhnya. Melalui chaos tersebut, wacana pascakolonial mengungkapkan bentuk aturan baru dari ruang yang tidak lagi homogen dan memberikan ruang terhadap perbedaan dan subjektivitas. Sastra sebagai teks mempunyai peranan penting dalam upaya melakukan transformasi kekuasaan dan membuat pergeseran makna tentang ruang. Ada korelasi antara sastra dengan otoritas dalam suatu wilayah. Melalui strategi inilah
18
para penulis pascakolonial membuat refleksi baru tentang ruang dengan menghadirkan imaginasi baru tentangnya.
1.6 Hipotesis Penelitian Hipotesis pada dasarnya adalah kesimpulan sementara atau jawaban sementara yang ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian. Berdasarkan rumusan masalah dan landasan teori diatas dapat dirumuskan dua hipotesis dalam penelitian. Pertama, penulis dalam novel ini menghadirkan konstruksi ruang kolonial oleh kaum Kulit Putih di Van Diemen’s Land dengan memunculkan chaos dalam ruang lama diikuti upaya ordering dengan menciptakan batas-batas imajiner yang ditujukan untuk menciptakan sebuah keteraturan dan menjanjikan kenyamanan dalam ruang baru tersebut. Penerapan konsep ruang kolonial yang menekankan pada batas-batas dan keteraturan justru akan memunculkan chaos baru sebagai wujud perayaan heterogenitas yang ada dalam masyarakat pribumi yang dipaksakan untuk iatur menuju satu pusat tertentu dalam wacana kolonial. Sehingga, yang kedua, penulis memunculkan upaya negosiasi atas ruang kolonial oleh masyarakat pribumi Aborigin untuk mencari ruang-ruang alternatif yang lebih membebaskan dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap batas-batas yang dibangun kolonial. Ruang menjadi situs kontestasi yang akan terus dikonstruksi dan direkonstruksi sebagai respon spasial pascakolonial.
19
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian deskriptif-kualitatif dengan memanfaatkan studi kepustakaan. Penelitian kualitatif menjadikan prosedur analisis dan interpretasi sebagai teknik untuk memahami sampling yang bersifat nonstatistik-matematik untuk mendapatkan temuan atau teori. Hasil temuan diperoleh dari data-data material yang dikumpulkan yaitu berupa teks-teks sastra yang kemudian akan disajikan dalam bentuk tulisan deskriptif (bdk Strauss & Corbin, 2003: 4-7). Untuk menguji hipotesis yang muncul berdasarkan teori di atas, Faruk menyatakan perlunya data-data empirik yang dianggap representatif untuk kemudian dianalisis hubungan diantaranya (2012: 22). Langkah pertama adalah menentukan objek material dan objek formal. Objek material adalah “objek yang menjadi lapangan penelitian” (Faruk, 2012: 23). Dalam penelitian ini objek material yang menjadi lapangan penelitian adalah teks novel Doctor Wooreddy’s Prescription for Enduring the Ending of the World yang ditulis oleh Colin Johnson pada tahun 1987 yaitu versi asli yang dituliskan oleh penulis, bukan saduran atau terjemahan dalam bahasa lain. Sedangkan objek formal yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode pemahaman atau ‘penandaan’ (decoding) data melalui susut pandang poskolonial yang berkaitan dengan pengkonstruksian ruang kolonial serta respon spasial pascakolonial. Data-data yang terkumpul akan diinterpretasikan sebagai representasi kedua permasalahan tersebut.
20
Selanjutnya, metode penelitian dibagi menjadi dua, metode pengumpulan data dan metode analisis data. Metode pengumpulan data bertujuan untuk mengumpulkan fakta-fakta empirik yang terkait dengan masalah penelitian (Faruk, 2012: 25). Langkah-langkah penelitian dilakukan untuk mengumpulkan data yaitu dengan pembacaan secara cermat terhadap keseluruhan teks, serta melakukan pemilihan sampel atau data yang signifikan yang akan diteliti dengan penyesuaian terhadap masalah-masalah penelitian. Sementara metode analisis data oleh Faruk diartikan sebagai seperangkat cara sebagai hasil perpanjangan dari pemikiran manusia guna mengetahui hubungan antar data (2012: 25). Setelah dilakukan pengumpulan data-data yang signifikan di dalam teks, metode analisis data ini dilakukan dengan menghubungkan satuan-satuan data tersebut dengan teori yang digunakan yaitu teori poskolonial tentang ruang. Pertama-tama, peneliti menggambarkan konstruksi ruang yang dibangun kolonial beserta beragam aturan dan batasan yang diterapkan didalamnya yang dijanjikan akan menjadi konstruksi yang ideal yang lebih menyelamatkan. Ruang kolonial berserta aturan-aturannya dijadikan sebagai pusat melalui upaya absolutisme kolonial. Selanjutnya, peneliti menerapkan metode dekonstruksi yaitu metode yang digunakan dengan membaca cermat sebuah teks di mana peneliti, sesudah membaca teks dengan cermat, menginterogasinya dan menghancurkan pertahananya (Faruk, 2012: 217). Konsep mengenai ruang yang dijanjikan menjadi sumber kebebasan dan kehidupan yang lebih baik didekonstruksi dengan menghadirkan fakta-fakta baru yang membuktikan bahwa konsep ruang tersebut kontradiktif terhadap dirinya.
21
Selanjutnya, peneliti mencermati respon spasial poskolonial yang ditawarkan penulis dalam teksnya dengan menghadirkan kekacauan dan resistensi untuk membentuk suatu konstruksi ruang baru sebagai alternatif. Dengan metode analisis dekonstruksi pula akan dapat diketahui bahwa konstruksi ruang alternatif yang tawarkan sebagai post-space oleh penulis juga problematis yaitu dengan membongkar usaha-usaha penciptaan suatu pusat baru dalam ruang alternatif yang ditawarkan. Pada akhirnya, dengan metode ini akan disimpulkan bahwa ruang akan terus dikonstruksi dan didekonstruksi.
1.8 Sistematika Penyajian Penelitian ini terdiri dari empat bab sebagai berikut: Bab I berisi pengantar yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis penelitian, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi pembahasan mengenai konstruksi ruang kolonial yang direpresentasikan dalam novel Doctor Wooreddy’s Prescription for Enduring the Ending of the World. Bab III berisi pembahasan mengenai respon spasial pascakolonial terhadap konstruksi ruang kolonial yang direpresentasikan dalam novel Doctor Wooreddy’s Prescription for Enduring the Ending of the World. Bab IV merupakan kesimpulan dari hasil penelitian.