ABORIGIN : PENDUDUK ASLI YANG “TERBUANG” Abstrak: Suku Aborigin sebagai penduduk asli Australia kini kian terdesak keberadaanya. Kedatangan bangsa asing terutama bangsa Eropa menjadi pemicunya. Bangsa Eropa yang memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi memandang suku Aborigin sebagai makhluk yang boleh diburu. Sejak awal kedatangan bangsa asing Suku Aborigin dijadikan budak dan pekerja oleh bangsa asing. Diskriminasi dan penucilan selalu terjadi pada masyarakat aborigin. Tahun 1971 seorang aborigin mendirikan tenda di depan Gedung parlemen Australia menuntut diakuinya penderitaan mereka di masa lalu, serta menuntut pemerintah Australia untuk meminta maaf kepada masyarakat Aborigin. Ketika Kevin Rudd trpilih sebagai Perdana Mentri Australia dia melakukan permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat Aborigin. Kata Kunci : Aborigin, Penindasan, Kevin Rudd Perkenalan pertama orang Aborigin dengan dunia luar bukanlah dengan orang kulit putih akan tetapi dengan orang Indonesia. Menurut Dr. Ian Crawford, kurator antropologi dan arkeologi Museum Australia Barat, orang Indonesia itu adalah para nelayan dan pelaut musiman dari Makasar yang mencari tripang di pantai utara Australia, diperkirakan mereka telah mengenal Australia semenjak abad ke 16 (Kitley,1994,380). Semanjak itu orang-orang Aborigin mulai mengenal dan bahkan menyerap unsur-unsur budaya luar. Hal ini seperti yang terlihat dalam beberapa bentuk tradisi budaya seperti seni, musik, keagamaan juga dalam hal perpakaian. Kontak awal orang-orang Indonesia dengan orang-orang Aborigin ini berawal dari kegiatan pencarian Tripang yang dilakukan oleh pelaut-pelaut Makasar (Bugis). Tripang adalah merupakan sejenis ikan laut yang berbentuk mentimun yang sangat laku dijual kepada saudagar-saudagar Cina. Karena pencarian Tripang inilah orang-orang Bugis mampu mengharungi lautan hingga mencapai pantai bahagian utara benua Australia dengan terlebih dahulu singgah di pulau-pulau kecil di ujung Timor (Kitley,1994;413). Kisah pencarian Tripang ini kemudian berlanjut menjadi kontak budaya antara penduduk Aborigin dengan pendatang-pendatang Bugis. Kontak ini berlangsung wajar meskipun kadang-kadang terjadi konflik, namun hubungan-hubungan yang lebih intim tidak jarang juga terjadi di antara mereka. Salah seorang sejarawan Australia, Peter G. Spillet pernah mencatat tidak kurang dari 250 suku kata Bugis Makasar dan Melayu masuk ke dalam perbendaharaan kata orang-orang Aborigin (Kitley,1994;414). Bahkan di beberapa daerah di
bahagian utara Australia terdapat nama-nama Makasar, seperti Kayu Jawa (sebutan untuk Kimberley), Teluk Mangko (teluk North West), Teluk Mangngelai (teluk Grays), Kampung Bapa Paso ( Father Nail di pulau Woodah). Kunjungan-kunjungan nelayan-nelayan Bugis ini biasanya hanya di wilayah-wilayah pantai dan menetap untuk beberapa waktu. Persinggahan ini berlangsung sejak lama, hingga pada tahun 1907 dimana pemerintahan Australia melarang masuknya nelayan-nelayan asing ke Australia.
Kedatangan Bangsa Kulit Putih Kedatangan pertama bangsa kulit putih ke Australia pertama kali dirintis oleh William Jansen dari Belanda. Ia dengan ekspedisi Duyfken mendarat di Cape York pada tahun 1605. Lebih kurang sepuluh tahun kemudian menyusul Dirk Hartock yang mendarat di pantai barat Australia. Abel Tasman mengunjungi Tasmania dan Selandia Baru pada tahun 1642. Sedangkan pelaut Belanda terakhir yang mencapai Australia adalah Willem de Vlamingh. Ia mendarat di Perth pada tahun 1696.
Pelaut Inggris yang pertama kali mengunjungi Australia adalah William Dampier. Ia mendarat di pantai barat Australia pada tahun 1688. James Cook, salah seorang perwira Angkatan Laut Inggris, yang secara resmi diperintahkan oleh pemerintahan Inggris untuk menemukan "Terra Australis Incognita" suatu daratan luas yang membentang di dekat kutub selatan. Pada tahun 1769 ia dapat mencapai New Zealand. Dari sinilah pada tahun berikutnya ia melanjutkan perjalanan ke benua Australia. Ia mendarat di pantai timur Australia pada tahun 1770, suatu pantai yang sebelumnya tidak pernah dikunjungi oleh pelaut-pelaut Inggris. Daerah pertama yang dikunjungi itu kira-kira terletak antara New South Wales dan Victoria sekarang. Daerah ini pada mulanya dinamakan dengan Stingray Harbour, tetapi kemudian dirobah namanya menjadi Botany Bay (Siboro,1990;24). Orang Inggris yang pertama kali yang memberi nama benua baru ini dengan Australia adalah Matthew Flinders, dia pulalah yang pertama kali berhasil mengelilingi benua Australia pada tahun 1798 dan membuat peta Australia untuk pertama kalinya (Sabari, 1991;71).
Kedatangan orang-orang Eropa ke benua Australia pada awalnya tidak didasari oleh pengetahuan yang memadai tentang kehidupan masyarakat yang menghuni benua ini. Mereka
mengenal benua ini sebagai "Terra Australis Incognita" atau daratan selatan yang belum dikenal. Kenyataan ini menjadikan mereka merasa "asing" sewaktu menemukan penghuni benua ini ; merasa asing ketika melihat pola kehidupan masyarakat di wilayah ini, dan malah menganggap penduduk asli itu sebagai tidak berbudaya, kotor dan jorok. Sikap yang diperlihatkan oleh pendatang-pendatang 'putih' ini telah meninggalkan kesan awal yang tidak simpati bagi penduduk setempat, mereka antipati dan malah sakit hati dengan kedatangan bangsa kulit putih ini. Sehingga tidak jarang diantara kedua suku bangsa ini terjadi konflikkonflik yang tidak habis-habisnya.
Pada saat Inggris mulai menjadikan Australia sebagai wilayah pembuangan para tahanan mereka, maka dibukalah daerah-daerah koloni baru di benua ini. Yang pertama dijadikan sebagai koloni tahanan (penal colony) adalah New South Wales. Di daerah ini dibentuk masyarakat baru yang terdiri dari mayoritas para tahanan dan bekas tahanan di bawah pimpinan seorang gubernur Inggris pertama di sini yaitu Arthur Philip. Ia menggerakkan pembangunan koloni baru itu dan dengan memakai tenaga kerja para tahanan, dibukalah pemukiman-pemukiman baru, jalan-jalan, lahan-lahan pertanian serta fasilitas-fasilitas umum lainnya.
Keadaan serta suasana pembukaan wilayah pemukiman baru ini telah mengganggu tatanan kehidupan masyarakat asli (Aborigin). Border-border wilayah suku-suku mereka yang selama ini dijaga dengan baik menjadi berantakan. Apalagi pula wilayah-wilayah itu kemudian dikuasai pemilikannya oleh para pendatang secara paksa tanpa mempertimbangkan keberadaan pemilik awalnya. Seiring dengan pertambahan penduduk dan bertambahnya jumlah para tahanan Inggeris yang dibuang ke wilayah ini, maka makin luas pula wilayah-wilayah yang harus dibuka. Ini berarti juga semakin berkurangnya wilayah-wilayah suku Aborigin. Mereka semakin terdesak ke wilayah pedalaman.
Kehilangan 'tanah suku' bagi orang Aborigin adalah hal yang paling menyakitkan, karena -seperti sudah dikemukakan- tanah bagi mereka adalah pusat kehidupan dan bahkan hubungan mereka dengan wilayah pemukiman lebih dari sekadar tempat tinggal, namun bersifat spritual (Strelein (ed.),1998;6). Karena itu kedatangan orang-orang Eropa serta sikap-
sikap mereka dalam penguasaan wilayah, telah mengobrak-abrik kehidupan orang-orang Aborigin yang selama ribuan tahun telah berjalan dengan harmonis, daerah perburuan dan sumber makanan mereka juga semakin sempit dan mereka kehilangan bahagian yang sakral dari kehidupan mereka. Kenyataan inilah yang untuk masa-masa selanjutnya menjadi sumber konflik yang berkepanjangan antara penduduk asli dengan pendatang-pendatang Eropa, bahkan hingga saat ini.
Benturan Tradisi Hadirnya orang-orang kulit putih di benua Australia tidak saja telah mengacaukan border-border suku Aborigin, tetapi juga telah memporakporandakan sistem budaya serta tradisi-tradisi masyarakat pribumi ini. Dalam kehidupan orang Aborigin, antara pemilikan tanah dengan tradisi budaya dan kepercayaan sangat terkait erat. Oleh karena itu bilamana salah satunya terganggu berarti akan sangat berpengaruh terhadap yang lainnya. Kehadiran bangsa kulit putih di wilayah ini, yang meskipun dengan peradaban yang maju, namun sama sekali tidak membawa dampak yang baik bagi peradaban masyarakat setempat, setidaknya hal itu menurut pandangan Aborigin sendiri. Ini sangat mungkin disebabkan oleh perbedaanperbedaan pandangan antara kedua suku bangsa yang sangat jauh bertolak belakang dalam melihat alam serta kehidupan itu sendiri.
Perbedaan pandangan ini telah menjadi sumber ketegangan-ketegangan antara kedua belah pihak yang pada dasarnya menyulut konflik-konflik yang tak terselesaikan. Akar dari semua itu adalah benturan-benturan tradisi yang berseberangan serta prilaku-prilaku yang kurang akomodatif dari pendatang terhadap keberadaan tradisi masyarakat yang telah mapan di wilayah ini. Benturan yang dimaksudkan adalah sikap-sikap budaya yang kontradiktif antara kedua suku bangsa ini, seperti dalam memandang 'tanah'. Orang-orang Aborigin cendrung melihat dan memperlakukan tanah sebagai bahagian dari kehidupan mereka dan malah dianggap sakral. Tanah harus dijaga kelestarian dan keberlangsungan produktifitasnya dengan tidak merusaknya. Sementara pandangan Eropa terhadap tanah sebagai suatu unit produksi bagi kehidupan mereka yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin tanpa mempersoalkan keseimbangan ekologinya. Benturan ini juga terlihat dari sistem pemilikan. Dalam masyarakat Aborigin secara tradisional berlaku sistem pemilikan bersama (common ownership) terhadap
tanah dan hasil produksinya seperti hasil buruan dan makanan. Sedangkan sistem pemilikan dalam masyarakat Eropa, seperti yang juga dianut oleh pendatang putih ini adalah pemilikan perorangan (individual ownership). Benturan-benturan tradisi yang kontradiktif ini lebih dilengkapi lagi dengan perbedaan rasial antara kedua suku bangsa serta perasaan superioritas barat yang dimiliki oleh orangorang Eropa yang memandang kehidupan timur sebagai kehidupan yang terkebelakang, seperti kesan awal yang mereka dapatkan pada saat pertama kali datang ke wilayah ini. Kenyataankenyataan itu telah menciptakan jurang yang dalam pada proses assimilasi kedua budaya tersebut. Malah dalam perkembangannya telah melahirkan konflik-konflik yang panjang dan sukar untuk dapat disatukan dalam kehidupan bersama yang harmonis.
Diskriminasi Rasial Semenjak kedatangan orang-orang Eropa ke wilayah Australia hingga saat terbentuknya koloni-koloni tahanan sampai pada terbentuknya pemukiman-pemukiman baru orang-orang Eropa, yang dialami oleh orang-orang Aborigin tidak lebih hanyalah penggerogotan hak-hak mereka. Sumber alamnya dikeruk, namun kehidupan mereka makin terisolir ke wilayah pedalaman atau didesak untuk hidup dalam koloni yang berkembang tetapi dengan perlakuanperlakuan yang diskriminatif. Jumlah penduduk negara Australia pada waktu-waktu terakhir ini sebanyak lebih kurang 21 juta jiwa. Diantara jumlah itu hanya 460.000 orang penduduk asli (Aborigin). Jumlah itu hanya mengalami kenaikan sekitar 50 porsen dari jumlah Aborigin pada saat kedatangan orang-orang Eropa. Ini artinya merupakan gambaran yang buruk bagi pertumbuhan suatu populasi, hal ini sekaligus juga memperlihatkan betapa pola kehidupan bersama dalam masyarakat Australia terdapat ketidak seimbangan hak antara orang-orang kulit putih dengan penduduk asli, terutama dalam perlakuan-perlakuan, sikap-sikap dan sebagainya yang ditunjukkan oleh pemerintahan. Kalaupun kesempatan pekerjaan diberikan kepada mereka, itupun terbatas pada lapangan pekerjaan rendahan dengan upah yang sangat rendah pula. Pengalaman-pengalaman yang panjang dengan keadaan yang disebutkan, telah membisikkan rasa ketidakadilan ke telinga mereka. Kenyataan itu pulalah yang menyebabkan komunikasi antara orang-orang Aborigin dengan orang-orang Eropa menjadi sangat terganggu, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari, meskipun
Kantor Urusan Penjajahan di London telah menginstruksikan agar hak-hak orang Aborigin harus dijaga sesuai dengan hak-hak yang didapat oleh orang-orang Inggris (Kitley,1994;353). Hal itu ternyata tidak mempengaruhi hubungan kedua belah pihak. Kehidupan Aborigin semakin jauh terpisah dengan kehidupan orang-orang Eropa modern. Reaksi-reaksi yang mereka lakukan terhadap orang Eropa semakin memperlihatkan rasa ketidak adilan yang mereka terima. Mereka melakukan perang-perang gerilya dan membunuhi hewan-hewan peliharaan musuh. Apa yang digambarkan diatas belumlah seberapa dibandingkan dengan nasib yang mereka terima pada saat mereka diusir, dibunuh dan dipreteli hak-hak hidupnya. Setidaknya sampai tahun 1967, kehidupan suku-suku Aborigin makin terisolir dari kehidupan masyarakat Eropa di wilayah ini, bahkan keberadaan mereka tidak dianggap sebagai warga negara Australia dan tidak masuk dalam konstitusi. Kemudian atas desakan orang-orang Aborigin dan sebahagian orang Eropa yang sadar, maka diadakanlah referandum untuk mengubah konstitusi yang menyangkut hak-hak Aborigin. Akhir tahun itu dibentuklah Kantor Urusan Aborigin untuk merumuskan hal hal yang selayaknya dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan. Namun upaya itu tidak memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Reaksi menolak upaya ini justru muncul dari pemerintahan wilayah Queensland, di mana orang-orang Aborigin lebih banyak hidup dengan perlakuan-perlakuan yang tidak wajar. Pemerintahan wilayah ini ingin mempertahankan kekuasaan kolonialnya yang rasial. Bahkan di negara bahagian ini pernah muncul gagasan diskriminatif etnis terhadap Aborigin untuk mengisolasi mereka ke salah satu wilayah di pantai barat laut Australia. Sehingga dengan demikian lebih mudah mengendalikan dan menjalankan kebijaksanaan terhadap mereka. Sementara itu kaum peranakan Aborigin yang hidup ditengah-tengah bangsa kulit putih harus disterilkan sehingga dengan demikian populasi mereka di tengah-tengah masyarakat kulit putih dapat dihambat. Penuntutan hak-hak Aborigin mulai dilancarkan kepada pemerintahan Australia secara resmi pada tahun 1971, pada saat orang-orang Aborigin mendirikan tenda di depan gedung Parlemen Nasional Australia sebagai Kedutaan Besar mereka. Inti dari tuntutan itu pada dasarnya ialah pengakuan atas penderitaan masa lalu mereka atas perlakuan orang-orang kulit putih. Hak-hak mereka atas tanah yang telah diobrak abrik dan dipreteli serta kehidupan sukusuku Aborigin yang dalam prakteknya selalu didiskriminasi. Oleh karenanya yang sangat diidamkan oleh orang-orang Aborigin pada dasarnya bukanlah persamaan hak dengan orang-
orang Eropa dalam hal kesempatan kerja dan perolehan pendapatan dari hasil produksi semata, akan tetapi pengembalian hak atas tanah mereka, sehingga keberlanjutan tradisi Aborigin dapat tetap terpelihara. Namun hingga saat ini apa yang diimpikan itu masih jauh dari harapan. Sehingga kehidupan Aborigin di wilayah mereka seperti tersisih.
DAFTAR RUJUKAN
Shamad,Irhash.A.2009. Politik dan Kebudayaan Etnik : Pengalaman Suku Aborigin Australia (Online),http://irhashshamad.blogspot.com/2009/03/hegemoni-politik-dan-resistensibudaya.html, Diakses 22 november 2012
Rickad, J, (1988). AustraliaA Cultural History, New York : Longman Inc.
Siboro, J, 1974. Sari kuliah sejarah. Bandung : IKIP. The official bicentennial Diary 1988