BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin nyata menjadi masalah
W D
kesehatan utama di seluruh dunia (UNAIDS, 2007)
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS, 2013) sampai akhir tahun 2012 sebanyak 35.3 juta orang dimana angka ini meningkat dibandingkan tahun 2001 yang
K U
dilaporkan sebanyak 29.4 juta orang. Peningkatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) berkaitan dengan menurunnya kasus infeksi baru dan jumlah kematian akibat AIDS yang merupakan dampak dari terapi anti Retroviral
©
(ARV) pada beberapa tahun terakhir. Jumlah kasus infeksi HIV baru sampai akhir tahun 2012 dilaporkan sebanyak 2.3 juta orang dimana angka ini 33% menurun dibandingkan tahun 2001 yaitu 3.4 juta orang Di Indonesia sendiri menurut data dari
Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan. Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM dan PL Depkes RI), secara kumulatif total pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS dari 1 Oktober 1987 sampai 31 Desember 2008 sebesar 22.664 yang terdiri dari 6.554 infeksi HIV dan 16.110 kasus AIDS. (P2MPL Depkes RI, 2010)
1
2
Pada tahun 2010, diperkirakan 1juta-5juta kasus infeksi HIV di Indonesia, dari jumlah tersebut diperkirakan ada sekitar 100.000 ODHA membutuhkan ART (Antiretroviral Therapy) segera. (PHcareODHA, 2006) Beberapa propinsi mempunyai prevalensi HIV cukup tinggi. Peningkatan ini terjadi pada kelompok orang yang berperilaku beresiko tinggi tertular HIV yaitu para pekerja seks komersial, dan pengguna narkotika psikotropoka dan
W D
zat adiktif lainnya (NAPZA) suntikan di 6 propinsi : DKI Jakarta, Papua, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur. (PHcareODHA, 2006)
HIV menyerang limfosit subjenis T helper atau disebut juga sebagai limfosit CD4. Fungsi CD4 ini sangat penting dalam menjaga imunitas tubuh,
K U
yaitu untuk mengatur dan bekerjasama dengan komponen sistem kekebalan tubuh yang lain. Sehingga, jika tubuh terserang virus HIV, maka akan mudah sekali terinfeksi penyakit, karena rusaknya sistem pertahanan tubuh. (Djoerban, 1999)
©
Sistem pertahanan tubuh rusak secara perlahan-lahan, dari tidak ada gejala sampai terjadi gejala ringan seperti; (diare, pembesaran kelenjar getah bening, penurunan berat badan, sampai sariawan), sampai terjadi gejala berat AIDS. Dari semua yang terinfeksi HIV, menunjukkan gejala AIDS pada 3 tahun pertama infeksi hanya sedikit jumlahnya, 50% terjadi setelah 10 tahun infeksi, dan setelah 13 tahun hamper semua orang yang terinfeksi menujukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal. (Djoerban, 1999) Karena rendahnya tingkat imunitas, maka tubuh akan mudah sekali terserang penyakit. Infeksi yang terjadi karena rendahnya imunitas, disebut
3
infeksi oportunistik. Berdasarkan laporan dirjen pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan (P2PL) tahun 2010, proporsi infeksi yang terbanyak adalah Tuberculosis (TBC) (11.513 kasus), diare kronis (6.567 kasus), kandidiasis orofaringeal (6.605 kasus), dermatitis generalisata (1.676 kasus) dan Limfodenopati generalisata persisten (778 kasus) Terapi Antiretroviral berarti mengobati infeksi HIV dengan obat-obatan.
W D
Obat tersebut tidak membunuh virus itu, namun dapat memperlambat penyakit HIV. Karena HIV adalah retrovirus, maka obat-obatan ini disebut sebagai antiretroviral (ARV). (Spiritia, 2006 : 414)
Prognosis infeksi HIV telah mengalami perbaikan secara dramatis setelah
K U
ditemukannya Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) atau kombinasi antiretroviral (ARV) yang mempunyai aktivitas tinggi pada tahun 1996. (Jensen-Fangel, 2004)
©
Tujuan utama terapi antiretroviral adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan terhadap jumlah virus, pemulihan atau pemeliharaan fungsi imunologik, perbaikan kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas dan mortalitas HIV. (Yasin, 2011)
Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi jauh lebih baik. Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi jauh lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lainnya yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakterium aptikal, dapat disembuhkan. Pneumonia, pneumocystis carinii pada ODHA yang hilang timbul, biasanya mengharuskan ODHA minum obat infeksi agar tidak kambuh.
4
Namun sekarang, dengan ARV teratur, banyak ODHA yang tidak memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia. (Yasin, 2011) Keberhasilan program terapi ARV bisa dicapai dengan diikuti kegiatan pemantauan. Salah satu diantaranya adalah pemantauan respon terapi ARV yang berguna untuk mengetahui apakah pengobatan ARV yang diberikan berhasil atau tidak dalam menekan jumlah virus sampai pada tingkat yang tidak
W D
terdeteksi dan dalam menaikkan fungsi kekebalan tubuh. (Yasin, 2011)
Respon terhadap terapi ARV ditunjukkan dengan adanya perbaikan Surrogate marker (petanda pengganti) perkembangan penyakit HIV/AIDS, diantaranya adalah jumlah CD4 dan berat badan (Carey, 1998). Pada akhirnya,
K U
ketahanan hidup (survival) ODHA merupakan outcome klinis dari pengobatan ARV (Jensen-Fangel, 2004) 1.2 Masalah Penelitian
©
1. Apakah ada peningkatan CD4 dan berat badan pada pasien HIV/AIDS setelah di terapi ARV?
2. Bagaimana ketahanan hidup pasien setelah mendapat terapi ARV? 3. Apa saja infeksi oportunistik yang di alami pasien? 4. Apakah ada hubungan antara umur,CD4 awal, kenaikan berat badan terhadap kenaikan CD4?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum Untuk mengetahui bagaimana respon pemberian ARV (Anti retroviral) pada pasien dengan HIV/AIDS selama 12 bulan di RS. Bethesda
5
1.3.2
Tujuan khusus -
Untuk mengetahui jenis-jenis obat ARV yang digunakan
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Bagi peneliti Penelitian ini menjadi sarana bagi penulis untuk menerapkan dan mengaplikasikan kemampuan pengumpulan data dan analisis hasil serta
W D
memperdalam pengetahuan tentang efek terapi dan respon terapi ARV 1.4.2
Bagi masyarakat
Bagi masyarakat, khususnya yang beresiko tinggi, dan penderita HIV/AIDS penelitian ini diharapkan dapat menyadarkan mereka untuk
K U
melakukan pengobatan secara teratur sehingga mendapatkan hasil dan prognosis yang baik. 1.4.3
Bagi rumah sakit
©
Mengingatkan kembali untuk pentingnya memotivasi pasien dengan HIV/AIDS untuk melakukan pengobatan secara teratur, selain itu masukan untuk rumah sakit agar dapat melakukan pelayanan yang lebih baik
6
1.5 Keaslian Penelitian Peneliti
Metode
Subjek
Hasil
Analitik Prisilia Nurul Fajrin, Retrospektif 2011
Semua kasus ko infeksi TB/HIV di RS ciptomangunkusumo sebanyak 111 kasus
Peningkatan berat badan serta jumlah CD4 setelah melakukan terapi ARV.peningkatan berat badan rata-rata 5,12 kg, peningkatan jumlah CD4 ratarata sebesar 200,44 sel/mm3
desain penelitian cross sectional study Rancangan Nanang penelitian Munif Yasin, non2011 eksperimental dan bersifat deskriptif
32 orang penderita HIV/AIDS yang tergabung dalam Lantera Minangkabau Support Padang Subyek penelitian adalah pasien HIV/AIDS rawat jalan maupun rawat inap yang menjalani terapi ARV di sebuah rumah sakit pendidikan di Yogyakarta yang memenuhi kriteria inklusi memulai terapi ARV pada tahun 20052008
ada hubungan yang bermakna atau signifikan antara kepatuhan ODHA dengan keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV).
seluruh pasien HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di Rumah Sakit Dr.H. Marzoeki Mahdi-Bogor yang memenuhi kriteria inklusi.
empat kombinasi Antiretroviral yang terdiri dari Lamivudin + Zidovudin+ Nevirapin, Lamivudin + Zidovudin + Evapirenz, Lamivudin+Stavudin+ Nevirapin dan Lamivudin+Stavudin+ Evapirenz : Meningkatkan jumlah CD4 pada pasien yang patuh minum obat selama waktu pemeriksaan CD4.
Syafrizal, 2008
W D
©
K U
Siti Mariam, Desain Penelitian 2010 adalah rancangan studi potong lintang (Cross Sectional)
Persentase pasien yang mengalami peningkatan jumlah CD4 setelah 6, 12, dan 24 bulan terapi ARV adalah 92,80%, Persentase pasien yang mengalami peningkatan berat badan setelah 6, 12, dan 24 bulan terapi ARV adalah 72,72% . Ketahanan hidup pasien selama 6, 12 dan 24 bulan setelah mulai terapi ARV adalah sebesar 100%