1
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Jalan layang Jombor terletak di Kabupaten Sleman, Yogyakarta merupakan simpang empat dengan kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi, karena merupakan salah satu jalur aksesibilitas luar kota menuju Magelang, Ambarawa, Salatiga, dan Semarang. Pembangunan jalan layang pada persimpangan jalan raya yang menerapkan sistem dua arah merupakan salah satu metode untuk mengurangi kemacetan pada persimpangan jalan raya di daerah perkotaan (Salatoom dan Taneerananon, 2015). Salah satu metode perawatan jalan layang Jombor dapat dilakukan dengan pengukuran as-built superelevasi. Pengukuran as-built superelevasi jalan layang Jombor dilakukan dengan pengukuran GNSS metode RTK radio. Pengukuran GNSS metode RTK radio memerlukan titik kontrol yang digunakan sebagai base station. Titik kontrol yang telah terpasang dan memiliki koordinat yang teliti selanjutnya dapat digunakan untuk pengukuran deformasi jalan layang Jombor. Pengadaan jaring kontrol horizontal dan vertikal di area jalan layang Jombor perlu dilakukan mengingat belum adanya jaring kontrol horizontal dan vertikal untuk pengukuran as-built superelevasi jalan layang Jombor. Pengukuran as-built superelevasi jalan layang Jombor diperlukan untuk memantau perubahan dan pergeseran jalan layang tersebut dalam jangka waktu tertentu. Penelitian ini merupakan bentuk lanjutan dari penelitian Alkindy (2016). Pada penelitian tersebut dihasilkan konfigurasi jaring quadrilateral setingkat orde 3 yang terdiri atas empat buah titik kontrol. Jaring kontrol yang sudah didesain oleh Alkindy (2016) diukur menggunakan teknologi GNSS metode relatif statik dan diolah secara teliti agar mendapatkan data yang akurat dan presisi karena kedepannya hasil penelitian digunakan untuk keperluan pengukuran deformasi. Kualitas koordinat titik-titik dalam suatu jaring kontrol dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti sistem peralatan yang digunakan untuk pengukuran atau pengamatan, geometri jaringan, strategi pengukuran atau pengamatan, dan strategi pengolahan data yang diterapkan.
2
Pengukuran dilakukan dengan metode relatif statik yang yang dilakukan dalam 3 buah sesi pengukuran sesuai hasil penelitian Alkindy (2016). Waktu pengukuran tiap sesi dilaksanakan dalam waktu ± 6 jam tiap sesi dan pengolahan data digunakan perangkat lunak ilmiah GAMIT dan GLOBK untuk mendapatkan ketelitian yang tinggi dan selanjutnya dapat digunakan untuk keperluan pengukuran deformasi. Titik kontrol yang sudah diukur diikatkan ke sejumlah stasiun IGS karena selanjutnya digunakan untuk melihat arah dan kecepatan pergerakan jalan layang Jombor dengan survei deformasi. Data stasiun IGS yang diunduh melalui situs http://igscb.jpl.nasa.gov tidak selalu tersedia pada tiap doy pengukuran. Titik kontrol yang mengikat ke sejumlah stasiun IGS membentuk suatu konfigurasi jaring IGS. Penelitian ini memerlukan koordinat dengan ketelitian optimal karena selanjutnya digunakan dalam pengukuran as-built. Dalalm pendefinisian titik kontrol, pemilihan jaring IGS dengan kekuatan jaring yang baik dan memenuhi kriteria kehandalan diperlukan untuk mendapatkan ketelitian posisi titik yang optimal sebagai langkah awal pengukuran as-built superelevasi jalan layang Jombor. Pengolahan dilakukan perbandingan beberapa konfigurasi jaring yang menggunakan stasiun IGS yang berbeda jumlahnya sebagai titik ikat. Konfigurasi-konfigurasi jaring tersebut diolah dan dilakukan analisis untuk menentukan konfigurasi yang paling handal dan menghasilkan ketelitian koordinat yang tinggi untuk titik kontrol yang digunakan dalam pengukuran as-built jalan layang Jombor dan selanjutnya dapat digunakan untuk keperluan survei deformasi. I.2. Identifikasi Masalah Prasarana transportasi yang berupa jalan layang pasti mengalami pegerakan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pergerakan tersebut dapat dipantau dengan melakukan pengamatan titik-titik superelevasi di atas jalan layang yang telah ditentukan. Pengamatan titik-titik superelevasi tersebut memerlukan jaring kontrol horizontal di sekitar jalan layang Jombor. Jaring kontrol horizontal untuk pengamatan titik-titik superelevasi jalan layang Jombor belum tersedia sehingga perlu adanya pengadaan jaring kontrol horizontal untuk pengamatan superelevasi jalan layang Jombor. Konfigurasi jaring berpengaruh dalam menghasilkan ketelitian yang optimal,
3
sehingga diperlukan evaluasi konfigurasi jaring berdasarkan kriteria kekuatan dan kehandalan jaring. I.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan
identifikasi
permasalahan
tersebut,
maka
pertanyaan
penelitiannya sebagai berikut : 1. Berapa nilai koordinat titik kontrol orde 3 untuk pengukuran superelevasi jalan layang Jombor? 2. Berapa nilai ketelitian koordinat titik kontrol orde 3 yang digunakan untuk pengukuran superelevasi jalan layang Jombor? 3. Berapa nilai faktor kekuatan jaring pada tiap konfigurasi yang digunakan? 4. Berapa nilai kehandalan dalam dan kehandalan luar konfigurasi jaring yang digunakan? 1.4. Cakupan Penelitian Penelitian ini dibatasi dalam hal berikut ini: 1. Pengukuran dilakukan selama ±6 jam per sesi. 2. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak ilmiah GAMIT/GLOBK. 3. Titik kontrol diikatkan ke sejumlah stasiun IGS dan dibentuk empat konfigurasi jaring IGS berbeda. 4. Evaluasi konfigurasi jaring dilakukan dengan menghitung nilai faktor kekuatan jaring, elips kesalahan titik kontrol, dan nilai kehandalan jaring. I.5. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Penyediaan titik-titik di lapangan berupa pilar sesuai dengan hasil evaluasi konfigurasi baseline jaring kontrol GNSS quadrilateral orde 3 oleh Alkindy (2016). 2. Penentuan nilai koordinat dan ketelitian koordinat stasiun jaring kontrol orde 3 yang sesuai untuk pekerjaan untuk pengukuran superelevasi jalan layang Jombor yang diikatkan pada titik ikat global. 3. Penentuan nilai faktor kekuatan jaring pada konfigurasi jaring yang digunakan yang sesuai dengan kriteria konfigurasi jaring yang optimal.
4
4. Penentuan nilai kehandalan dalam dan kehandalan luar konfigurasi jaring yang digunakan sesuai dengan kriteria redudansi individu dan kehandalan jaring. I.6. Manfaat Penelitian ini bermanfaat untuk penyediaan data koordinat titik kontrol untuk pengukuran as-built superelevasi jalan layang Jombor dengan konfigurasi jaring IGS yang optimal. 1.7. Tinjauan Pustaka Alkindy (2016) melakukan penelitian evaluasi konfigurasi baseline jaring kontrol dalam pengukuran as-built jalan layang Jombor. Wilayah penelitian berada di kawasan jalan layang Jombor, Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. Penelitian ini dimulai dengan membuat beberapa desain jaring kontrol yang berbentuk quadrilateral pada citra Google Earth. Akuisisi data pendekatan dengan GPS Garmin csx60, sedangkan akuisisi data koordinat ukuran dengan receiver GNSS Javad Triumph-1. Data hasil pengamatan dihitung dengan hitungan kuadrat terkecil dan digunakan untuk analisis konfigurasi baseline jaring kontrol GNSS. Hasil dalam penelitian tersebut adalah konfigurasi baseline jaring kontrol GNSS yang optimal adalah konfigurasi baseline 4. Konfigurasi baseline 4 menggunakan enam buah baseline serta membutuhkan tiga sesi pengukuran. Konfigurasi baseline 4 memiliki nilai faktor kekuatan jaring paling minimum, yaitu 9,3718E-38. Konfigurasi baseline 4 memiliki nilai kriteria akurasi paling minimum, yaitu A-Optimality = 7,1268E-05 m; D-Optimality = 5,58977E-48 m; E-Optimality = 2,7021E-05 m. Berdasarkan kriteria kehandalan, konfigurasi baseline 4 memiliki nilai redudansi individu paling optimal, yaitu 0,5. Konfigurasi baseline 4 memiliki kehandalan dalam dan kehandalan luar paling optimal. Cosser (2003) melakukan penelitian dalam monitoring jembatan dengan melakukan pengukuran GNSS pada sejumlah titik kontrol di sekitar jembatan dengan menggunakan receiver GNSS dual frequency. Penelitian dilakukan pada jembatan Wilford, Nottingham. Pengukuran GNSS menggunakan dua receiver GNSS dual frequency dengan metode relatif statik pada 3 day of year (doy). Jarak antar titik kontrol yang diukur sejauh 50 m. Titik kontrol pada penelitian tersebut diletakkan di
5
sekitar jembatan yang akan dilakukan monitoring. Ketelitian koordinat pada komponen horizontal yang dihasilkan dalam penelitian tersebut berkisar antara 2,67 mm hingga 5,5 mm. Ketelitian koordinat pada komponen vertikal yang dihasilkan pada penelitian tersebut berkisar antara 6,66 mm hingga 10,86 mm. Ardiyanto dan Ramadhan (2011) melakukan penelitian dalam pengaplikasian GPS geodetik dalam penentuan titik kontrol horizontal di kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP) bandara Kasiguncu, Poso. Penelitian ini bermaksud untuk menyajikan besaran koordinat (dalam sistem UTM) untuk keperluan titik kontrol KKOP yang memiliki ketelitian serta keakurasian tinggi dengan menggunakan 2 receiver GPS geodetik L1 Magellan Promark3. Pada survei penentuan koordinat titik pilar KKOP relatif terhadap titik ikat dilakukan secara radial positioning sedangkan pada survei GNSS untuk ujung-ujung landasan pacu pengamatannya bereferensi pada titik ARP yang te;ah diikatkan pada titik GPS nasional dan dilakukan secara static positioning. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa jarak ideal antara BM KKOP memiliki kerapatan sebesar 1 km agar masuk dalam toleransi baseline. Jarak terjauh dengan titik ikat Bakosurtanal sejauh 14 km mempengaruhi ketelitian baseline. Simpangan baku pada komponen horizontal yang dihasilkan < 0,07 m. Simpangan baku pada komponen vertikal yang dihasilkan < 0,09 m. Nursetiyadi (2015) melakukan penelitian dengan melakukan pengukuran tehadap tiga titik pantau di Kepulauan Sangihe dengan epoch 2014. Penelitian dilakukan dengan membandingkan bentuk geometri jaring dengan beberapa stasiun IGS sebagai titik ikat. Stasiun IGS tersebut tersebar di beberapa kuadran yang berbeda untuk dibandingkan bentuk konfigurasi jaring mana yang paling handal. Pengukuran dilakukan dalam 4 day of year (doy). Penelitian ini menghasilkan nilai koordinat 3 titik pantau geodinamika Kepulauan Sangihe epoch 2014 dalam sistem koordinat kartesi 3D. Hasil pengolahan menunjukkan ketelitian koordinat pada komponen horizontal (X, Z) sebesar 1 mm hingga 7 mm, sedangkan untuk ketelitian komponen vertikal (Y) sebesar 5 mm hingga 9 mm. Penelitian tersebut juga menghasilkan nilai faktor kekuatan jaring < 2,76 x 1038, nilai redudansi individu > 0,4, serta nilai kehandalan dalam dan luar jaring < 6. Hasil pengolahan pada tiap konfigurasi jaring menunjukkan konfigurasi jaring dengan stasiun IGS sebagai titik ikat yang tersebar pada empat kuadran dengan kekuatan jaring yang paling tinggi memberikan ketelitian koordinat
6
yang paling baik namun tidak signifikan secara stastistik dibandingkan dengan jaring dua atau tiga kuadran. Yosafat (2009) melakukan penelitian mengenai penambahan tujuh stasiun IGS yang dapat meningkatkan ketelitian posisi dalam fraksi 1/10 mm dan hanya meningkat pada fraksi 1/100 mm pada penggunakan sembilan stasiun IGS. Pada komponen Y, ketelitian posisi semua titik meningkat dalam fraksi 1/10 mm saat titik berjumlah empat dan meningkat pada fraksi 1/100 mm saat jumlah titik ikat menjadi sembilan. Rudianto dan Yuhanafia (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan jumlah titik ikat terhadap peningkatan ketelitian posisi titik pada survei GNSS. Penelitian tersebut dilakukan pada 6 titik kontrol yang telah diukur dengan receiver GNSS HI-TARGET HD 8200X single frequency metode relatif statik dengan lama pengamatan 4 jam dengan interval perekaman 5 detik. Titik-titik kontrol tersebut kemudian diikatkan pada sejumlah titik ikat yang berbeda jumlahnya. Ada 3 buah konfigurasi jaring yang dibentuk dengan jumlah titik ikat yang berbeda. Simpangan baku hasil pengolahan pada konfigurasi jaring yang mengikat pada satu titik ikat menghasilkan ketelitian horizontal rata-rata sebesar 1,1 cm. Simpangan baku hasil pengolahan pada konfigurasi jaring yang mengikat pada dua titik ikat menghasilkan ketelitian horizontal < 1,0 cm. Simpangan baku hasil pengolahan pada konfigurasi jaring yang mengikat pada tiga titik ikat menghasilkan ketelitian horizontal < 0,8 cm. Banyaknya jumlah titik ikat yang digunakan dalam proses perhitungan penentuan posisi pada survei GNSS akan meningkatkan ketelitian posisi titik kontrol tersebut. I.8. Landasan Teori I.8.1
As-built As-built didefinisikan sebagai gambar hasil pelaksanaan pekerjaan yang telah
dikerjakan dari suatu proyek (Anonim, 2008). Gambar yang dihasilkan dapat berupa hardcopy dan digital dengan menggunakan skala sesuai ketentuan. Tujuan dari as built ini untuk memperoleh satu bentuk standar gambaran otentik mengenai apa yang telah dikerjakan kepada pihak tekait. Hasil gambaran ini nantinya digunakan sebagai bahan pemeliharaan, evaluasi dan penanganan masalah yang terjadi jika hasil yang telah dikerjakan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan.
7
I.8.2 GNSS GNSS adalah sistem navigasi berbasis satelit yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca, didesain untuk memberikan posisi kecepatan tiga dimensi yang teliti dan juga informasi waktu, secara kontinyu di seluruh dunia (Wells, 1986). Satelit GNSS yang saat ini aktif memberikan layanan penentuan posisi adalah GPS, GLONASS, dan GALILEO. GPS sendiri memiliki nama formal NAVSTAR GPS yang mempunyai singkatan NAVigation System with Time and Ranging Global Poistioning System (Sunantyo, 2000) Sinyal GPS dapat dibagi atas 3 komponen yaitu komponen penginformasi jarak (kode), komponen penginformasi posisi satelit (navigation message), dan gelombang pembawa (carrier wave). Komponen penginformasi jarak menggunakan dua kode pseudo-random noise (PRN), yaitu kode P (P = Precise atau private) pada L1 dan L2 serta kode C/A ( Coarse Acquisition atau Clear Access) pada L1. Sinyal pembawa dipancarkan secara kontinyu pada 2 frekuensi L-band yang dinamakan L1 = 10.23 x 154 = 1575.42 MHz (panjang gelombang l1 ≈ 19.0 cm) dan L2 = 10.23 x 120 = 1227.6 MHz ( panjang gelombang l2 ≈ 24.4 cm). GNSS dibagi menjadi tiga segmen yaitu segmen satelit, segmen pengguna, dan segmen sistem kontrol. GNSS mengalami modernisasi mengikuti perkembangan teknologi dan zaman. Modernisasi ini meliputi ketiga segmennya. Segmen-segmen teknologi GNSS ditunjukkan dalam Gambar I.1.. GLONASS adalah sistem penentuan posisi yang berbasis di Rusia yang diatur dan dikelola oleh lembaga antariksa Rusia (Russian Space Force). GLONASS sangat mirip dengan GPS. Konstelasi satelit GLONASS terdiri atas 24 satelit. Satelit-satelit tersebut berada dalam tiga buah bidang orbit dengan inklinasi sebesar 64,8 derajat. Di ketinggian orbit 19100 km memiliki periode orbit 11 jam 15 menit (Witchayangkoon, 2000).
8
Gambar 1.1. Segmen GNSS (www.novatel.com, diakses tanggal 31 Agustus 2016)
Persamaan observasi pada GLONASS mirip dengan persamaan observasi GPS, kecuali identifikasi yang tepat dari frekuensi pembawa yang saat ini membutuhkan subscript untuk mengidentifikasi pembawa dan superscript untuk mengidentifikasi satelit. Sistem referensi dari broadcast ephemeris mengacu pada PZ90. Lebih dari 10 tahun terakhir dilakukan usaha keras untuk merelasikan antara PZ90 dan sistem koordinat WGS’84. I.8.3 Penentuan Posisi dengan GNSS Konsep dasar penentuan posisi dengan menggunakan GNSS adalah dengan pengikatan kebelakang (reseksi) secara simultan ke beberapa satelit yang diamat yang telah diketahui koordinatnya. Pengamatan simultan keempat satelit dibutuhkan untuk mendapatkan solusi tiga parameter posisi dan satu parameter koreksi waktu. Koordinat satelit diketahui dari informasi orbit (efemeris) yang terkandung dalam pesan navigasi, yang merupakan bagian dari sinyal satelit GNSS (Sunantyo, 1999). Posisi yang diberikan oleh GNSS adalah posisi tiga dimensi (X, Y, Z ataupun ϕ, λ, h) yang dinyatakan dalam datum WGS’84. Posisi titik dapat ditentukan menggunakan satu receiver GNSS terhadap pusat bumi dengan menggunakan metode absolute (point) positioning, ataupun terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya (stasiun referensi) dengan
9
menggunakan metode differential (relative) positioning yang menggunakan minimal dua receiver GNSS (Abidin, 2007). GNSS dapat menghasilkan berbagai tingkat ketelitian mulai dari yang sangat teliti (orde milimeter) sampai yang tidak teliti (orde meter), tergantungg pada metode pengukuran dan pengolahan yang digunakan. I.8.3.1 Pseudorange. Pseudorange adalah jarak semu antara satelit dengan receiver. Jarak semu tersebut diukur melalui pengukuran waktu pentransmisian sinyal GPS dari satelit ke antena receiver GPS. Pseudorange disebut jarak semu karena jarak yang didapatkan dari data kode ini masih dipengaruhi oleh kesalahan waktu (selisih waktu antara jam satelit dengan jam receiver). Waktu sinyal GPS ditransmisikan diukur melalui analisis korelasi tertinggi dari kode receiver dan sinyal GPS. Kode receiver berasal dari jam yang digunakan di dalam receiver GPS. Sinyal GPS dihasilkan oleh jam yang digunakan dalam satelit GPS. Jarak pseudorange yang terukur berbeda dengan jarak geometrik antara satelit dan antena receiver karena kesalahan yang ditimbulkan dari kedua jam (jam satelit dan jam receiver) dan pengaruh medium rambat sinyal. Jalur perambatan sinyal juga sedikit berbeda dari jalur perambatan secara geometrik. Medium perambatan sinyal tidak hanya melambatkan perjalanan sinyal namun juga membengkokkan jalur perjalanan sinyal. Tanpa mengabaikan efek ionosfer, efek troposfer, pasang surut, multipath, serta kesalahan yang masih tersisa, model pseudorange dapat ditulis pada Persamaan (I.1) : Rsr (t r , t s ) = dsr (t r , t s ) − (δt r , δt s )c + δion + δtro + δtide + δmul + ε …..…(I.1) Keterangan : Rsr
: pseudorange
tr
: waktu sinyal ditransmisikan oleh satelit
ts
: waktu sinyal diterima oleh receiver
dsr
: jarak geometrik satelit dan receiver
δt r
: kesalahan jam receiver
δt s
: kesalahan jam satelit
c
: kecepatan cahaya
δion
: efek ionosfer
δtro
: efek troposfer
10
δtide
: efek pasang surut air laut
δmul
: efek multipath
ε
: kesalahan yang masih tersisa
I.8.3.2 Carrier beat phase. Carrier beat phase adalah beda fase yang diukur oleh receiver GNSS dengan cara mengurangkan fase sinyal pembawa yang datang dari satelit dengan sinyal serupa yang dibangkitkan di dalam receiver. Hanya fase pembawa yang tidak penuh yang dapat diukur ketika sinyal satelit diterima dan jumlah integer gelombang penuh tidak diketahui dan ini disebut ambiguitas fase. Secara umum dapat diformulakan dalam persamaan I.2. (Djawahir, 1992): ϕij (tj) = ϕRij (tj) – ϕ Loj (tj) + nij ................................................................(I.2) Keterangan : ϕij (tj)
: beat phase (beda fase yang diukur)
ϕRij (tj)
: fase saat diterima
ϕLoj (tj)
: fase osilator receiver
nij
: jumlah cycle penuh
Perjalanan sinyal dari satelit ke receiver dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu refraksi ionosfer, troposfer, kesalahan orbit, multipath dan noise. Apabila kesalahan-kesalahan tersebut diperhitungkan maka persamaan 1.2. menjadi persamaan I.3. (Djawahir, 1992) : 𝜙ij (tj) = −𝑓. 𝜏ij (tj) + 𝜙ij𝑡𝑟𝑜 + 𝜙ij𝑐𝑙𝑜 + 𝜙ij𝑖𝑜𝑛 + 𝑏ij ……….……………..(I.3) 𝜏ij (tj) = 1/𝑐((𝑋𝑗 − 𝑋𝑖 )2 + ((𝑌𝑗 − 𝑌𝑖 )2 + (𝑍𝑗 − 𝑍𝑖 )2 ) ………………....(I.4) Keterangan : f
: frekuensi sinyal
c
: cepat rambat sinyal
𝜏ij (tj)
: waktu rambat sinyal
𝜙ij𝑡𝑟𝑜
: pengaruh refraksi troposfer
𝜙ij𝑐𝑙𝑜
: pengaruh variasi oscilator satelit dan receiver
𝜙ij𝑖𝑜𝑛
: pengaruh refraksi ionosfer
11
𝑏ij
: 𝑛ij + simpangan awal oscilator satelit dan receiver
Xi, Yi, Zi
: koordinat satelit
Xi, Yi, Zi
: koordinat receiver
I.8.3.3. Penentuan posisi metode relatif statik. Pengamatan GNSS dengan metode relatif statik merupakan pengamatan posisi satelit GNSS yang melibatkan beberapa receiver yang tak bergerak secara simultan merekam data dari sedikitnya 4 buah satelit selama sesi pengamatan yang biasanya berlangsung selama 30 menit hingga 2 jam. Pengamatan dengan metode relatif statik menghasilkan vektor baseline antara receiver statik yang digunakan dalam pengamatan. Pengamatan GNSS metode relatif statik mampu meningkatkan kepresisian pengukuran carrier phase. Penentuan posisi dengan metode relatif statik kesalahan-kesalahan yang sering terjadi antara reveiver seperti bias jam satelit, kesalahan efemeris, delay karena perambatan, dan kesalahan lain yang saat ini sedang dalam penelitian (Sickle, 2008). Ketelitian yang dihasilkan dengan metode relatif statik cukup tinggi, mencapai orde sentimeter bahkan milimeter. Hal ini disebabkan karena ukuran lebih pada suatu titik pengamatan yang diperoleh pada metode ini lebih banyak jika dibandingkan dengan penentuan posisi kinematik. Geometri penentuan posisi secara relatif diilustrasikan seperti pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2. Posisi pengamatan relatif 3D (Prasetya, 2007) Keterangan Gambar I.2 : O
: pusat sistem koordinat
N
: jari-jari kelengkungan vertikal utama titik pengamatan
12
φ, λ, h
: koordinat geodetik titik pengamatan
XP, YP, ZP
: koordinat kartesian 3D titik P
Xq, Yq, Zq
: koordinat kartesian 3D titik Q
Xi, Yi, Zi
: koordinat kartesian 3D satelit ke-i
R
: jarak dari receiver ke satelit P adalah titik yang diketahui koordinatnya, sedangkan Q adalah titik yang
belum diketahui koordinatnya, dan bPQ adalah vektor baseline. Dengan demikian vektor-vektor posisi Xp, Xq, yang berhubungan dapat diformulasikan pada persamaan I.5 (Sunantyo, 2000): Xq = Xp + bpq……………………………………….…………..………………….(I.5)
Komponen vektor baseline bpq, menjadi persamaan I.6 : bpq
Xq − Xp ΔXpq = [ Yq − Yp ] = [ ΔYpq ] ……………………………………………………..(I.6) Zq − Zp ΔZpq
Pada pengamatan GNSS dengan metode relatif statik reduksi data yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan ketelitian data sehingga nilai posisi yang diperoleh nantinya lebih teliti. Proses reduksi efektifitasnya sangat tergantung jarak antar dua stasiun pengamatan atau yang dikenal dengan baseline. Semakin pendek baseline maka ketelitian yang dihasilkan semakin tinggi dan sebaliknya. Selain panjang baseline, tingkat ketelitian posisi juga ditentukan oleh banyak sedikitnya satelit yang diamat. Semakin banyak satelit yang diamat yang juga berarti semakin baik geometri satelit, maka tingkat ketelitian posisi yang diperoleh juga semakin tinggi. Proses pengurangan data GNSS tersebut dapat memberikan dampak yang menguntungkan yaitu dapat mengeleminasi dan mereduksi kesalahan dan bias sehingga dapat meningkatkan ketelitian posisi yang dicari serta dapat mengurangi kuantitas data pengamatan sehingga mengurangi beban dari proses pengolahan data. Selain dampak menguntungkan, dari proses pengurangan data yang dilakukan meningkatkan level noise dari data pengamatan. Proses pengurangan ini juga membuat
13
data pengamatan menjadi berkorelasi secara matematis, untuk itu perlu diperhatikan penyusunan matriks varian kovarian pengamatan untuk proses hitungan. Banyaknya ukuran yang diperoleh pada suatu titik pengamatan berkaitan dengan lamanya waktu pengamatan yang dilakukan. Semakin lama waktu pengamatan yang dilakukan, maka data ukuran yang diperoleh semakin banyak. Pada pengamatan posisi statik, waktu minimal pengamatan yang diperlukan pada umumnya adalah selama satu jam. Lama pengamatan yang dilakukan tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut (Djawahir, 1992) : a. Ketelitian yang diinginkan. b. Panjang baseline yang diukur. c. Konstelasi satelit yang diamat. d. Kondisi atmosfer saat pengukuran. Penerapan metode relatif statik yang paling banyak dikenal antara lain pada survei GNSS untuk mennetukan koordinat titik kontrol pemetaan fotogrametri, pembuatan jaring kontrol geodesi, pemantauan deformasi dan geodinamika, dan untuk berbagai survei rekayasa. Secara umum ada beberapa cara dan strategi untuk menangani kesalahan dan bias GNSS, antara lain (Abidin, 2000) : a. Estimasi parameter dari kesalahan dan bias dalam proses hitung perataan b. Penerapan mekanisme differencing antar data c. Menghitung besar kesalahan/bias berdasarkan data ukuran langsung d. Menghitung besar kesalahan/bias berdasarkan model e. Strategi pengamatan yang tepat f. Strategi pengolahan data yang tepat Pada prinsipnya cara-cara penanganan bias dan kesalahan dapat diterapkan secara sendiri-sendiri atau dengan penerapan gabungan dari beberapa cara sekaligus.
I.8.4 Stasiun IGS IGS adalah sebuah layanan dari International Association of Geodesy (IAG) yang didirikan pada tahun 1993 dan secara resmi beroperasi pada tahun 1994 terutama
14
menunjang penelitian ilmiah yang berdasar pada pengamatan bumi yang berpresisi dan berakurasi tinggi menggunakan teknologi GNSS, terutama GPS (Neilan, 2009). IGS disusun dari 200 lokasi permanen yang tersebar secara global, tiga pusat data global, lima pusat data operasional atau regional, tujuh pusat analisisi, satu koordinator pusat analisis, dan satu biro sentral (Witchayangkoon, 2000). Setiap stasiun IGS pada jaringan global terdapat sebuah receiver GPS dual frequency yang melakukan pengukuran dengan interval perekaman data 30 detik. Jaringan stasiun IGS dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel I.1. Jaringan stasiun IGS (Witchayangkoon, 2000)
Precise ephemeris didapatkan dari stasiun IGS yang dirujuk ke ITRF. ITRF memiliki stasiun observasi yang terdistribusi di seluruh dunia dengan pengelolaan data yang efisien dan operasi analisisi yang terorganisir. IGS menyediakan orbit GPS dengan akurasi pada level 5 cm ( 1σ ) dan informasi jam satelit dengan akurasi yang
15
tinggi, yang disajikan dalam precise ephemeris (Witchayangkoon, 2000). Gambar 1.3 menunjukkan ilustrasi broadcast ephemeris dan precise ephemeris.
Gambar I.3. Precise ephemeris dan broadcast ephemeris (Witchayangkoon, 2000) Keakuratan produk IGS telah meningkat dari sekitar 1 meter (orbit) dan 1 mas (EOP) menjadi sekitar 5 sentimeter (orbit) dan sekitar 0,1 s.d 0,2 mas (EOP). Peningkatan ini menunjukkan data orbit yang direkam oleh stasiun IGS menjadi lebih akurat, stabil, dan dapat diandalkan. I.8.5 ITRF International Terrestrial Reference Frame (ITRF) merupakan realisasi dari International Terrestrial Reference Station (ITRS). ITRF merupakan suatu definisi, realisasi, dan bentuk pengelolaan dari Conventional Terrestrial System (CTS) yang dipantau oleh International Earth Orientation System (IERS). ITRF diwujudkan dengan koordinat dan kecepatan pergerakan dari sejumlah titik yang tersebar diseluruh permukaan bumi yang diukur dengan menggunakan metode-metode pengamatan Very Long Baseline Interferometry (VLBI), Lunar Laser Ranging (LLR), Global Positioning System (GPS), Sattelite Laser Ranging (SLR), dan Doppler Orbitography and Radiopositioning Integrated by Satellite (DORIS). ITRF menggunakan pusat massa bumi sebagai titik origin. I.8.6 Pengolahan Baseline Pengolahan baseline bertujuan untuk menghitung vektor baseline (dX, dY, dZ) yang menggunakan data fase sinyal GPS yang diamat pada dua titik baseline yang bersangkutan. Tujuan utama dari proses pengurangan data GPS atau differencing
16
adalah pengeleminasian dan pereduksian efek dari sebagian kesalahan dan bias pada data pengamatan yang dihasilkan. Dengan kata lain, data pengamatan hasil pengurangan menjadi relatif lebih teliti. Proses pengurangan ini juga mengurangi kuantitas dari data pengamatan, sehingga mengurangi beban dari proses pengolahan data nantinya. Disamping faktor-faktor yang menguntungkan tersebut, proses pengurangan ini di lain sisi meningkatkan level noise dari data pengamatan yang dihasilkan. Dalam hal ini semakin banyak jumlah pengurangan yang dilakukan semakin tinggi level noise yang dihasilkan. Secara matematis, proses pengurangan ini juga membuat data pengamatan menjadi berkorelasi. Dikenal beberapa teknik differencing, yaitu single difference, double difference, dan triple difference. Secara umum, tahapan pengolahan data fase untuk menghitung parameterparameter suatu baseline berdasarkan teknik pengamatan statik diferensial sebagai berikut (Sunantyo, 2003): I.8.6.1 Triple difference. Data pengamatan triple difference adalah selisih antara dua data pengamatan double difference. Terdapat delapan data pengamatan searah diubah menjadi satu data pengamatan triple difference. Pengamatan triple difference menggunakan dua receiver (receiver A dan receiver B) yang mengamati satu satelit secara simultan sebanyak 2 epoch, dapat dibuat persamaan I.7 s.d 1.9 berikut : 1
ΦpqΔAB(t1)= 𝜌pqΔAB(t1) + dTΔAB (t1)+ NpqΔAB + ΦΔABatmos……………….………(I.7) 𝜆
1
ΦpqΔAB(t2)= 𝜌pqΔAB(t2) + dTΔAB (t2)+ NpqΔAB + ΦΔABatmos………………….……(I.8) 𝜆
1
ΦpqΔAB(t2)= 𝜌pqΔAB(t12) + dTΔAB (t12)+ NpqΔAB + ΦΔABatmos……………….……(I.9) 𝜆
Keterangan : Φ
: jarak fase
λ
: panjang gelombang
𝜌
: jarak geometrik
t
: epoch pengamatan
dTA(t)
: kesalahan jam receiver
p dan q
: satelit yang digunakan
17
A dan B
: tempat kedudukan receiver
NPA
: bias cycle ambiguity
Φatmos
: kesalahan efek atmosfer I.8.6.2 Double difference float. Parameter yang diestimasi pada perhitungan ini
adalah koordinat titik non-reference dan parameter ambiguitas. Double difference float dibentuk dalam persamaan I.10 s.d I.11: ΦpqAB = 1/λ (ρBq – ρBp – ρAq + ρAp) + KpqAB……………………………………..(I.10) dengan : KpqAB = nBq – nBp – nAq + nAp…………………………………..…….…………..(I.11) Keterangan: Φ
: jarak fase
λ
: panjang gelombang
ρ
: jarak geometrik
n
: ambiguitas fase
p dan q
: satelit yang diamat
A dan B
: tempat kedudukan receiver
K
: model double difference ambiguity I.8.6.3. Double difference ambiguity fixed. Pada perhitungan double difference
ambiguity fixed ini digunakan persamaan yang sama dengan perhitungan double difference float. Pada tahap ini parameter yang dihitung hanya parameter posisi (X, Y, Z) saja. Nilai integer ambiguity harus diintegerkan terlebih dahulu sebelum memulai perhitungan. Double difference fixed merupakan penyelesaian yang paling baik pada baseline yang panjangnya kurang dari 16 km dengan waktu perekaman sekitar 60 menit pada receiver single frequency (L1). Untuk panjang baseline dengan jarak lebih dari 50 km, penyelesaian triple difference terbaik. I.8.7 Kontrol Kualitas Hasil Pengolahan Baseline GPS Pengecekan kualitas dari vektor baseline definitif yang diperoleh dari suatu proses pengolahan baseline GPS, ada beberapa indikator kualitas yang dapat dipantau, yaitu (Abidin, 2002) : 1. Sukses tidaknya penentuan vektor ambiguitas fase 2. Nilai simpangan baku dari koordinat ataupun vektor baseline
18
3. Nilai root mean square (rms), minimum, maksimum, serta simpangan baku dari residual pengamatan 4. Nilai vektor varian a posteriori 5. Hasil uji statistik terhadap residual maupun vektor baseline 6. Jumlah data yang ditolak 7. Jumlah cycle slips Untuk menguji kualitas suatu vektor baseline pada hasil pengamatan satelit GPS maka dilakukan perataan jaringan. I.8.8 Perataan Jaring Perataan jaringan dilakukan setelah perhitungan pada tiap vektor baseline. Vektor-vektor baseline tersebut dikumpulkan dan dilakukan perataan jaringan (network adjustment) untuk mendapatkan koordinat akhir tiap titik pada jaring GPS yang telah dilakukan pengukuran. Perataan ini disebut
secondary adjustment.
Tujuannya adalah untuk menghitung estimasi terbaik titik-titik dalam suatu jaringan (Sunantyo, 2003). I.8.8.1 Perataan jaringan bebas. Perataan jaringan tekendala minimal yaitu perataan dengan menggunakan satu titik kontrol (Anonim, 2002). Perataan jaring bebas dilakukan untuk mengecek kualitas dan konsistensi dari data vektor baseline. Salah satu konsep perataan jaring GPS dengan konsep hitung kuadrat terkecil dengan metode parameter (Abidin, 2002). Persamaan perataan pada jaring bebas dapat dituliskan sebagai persamaan I.12 : V + L = XB – XA…………………………………………………………..……..(I.12) Persamaan tersebut dapat disusun dalam bentuk matriks: V = [−I I] . [
XA ] + L ………………………………………………………….(I.13) XB
dengan I adalah matriks identitas berdimensi 3 x 3. Keterangan : V(Vx, Vy, Vz) : koreksi terhadap vektor baseline L(Lx, Ly, Lz)
: data ukuran vektor baseline hasil dari perhitungan baseline
19
XA dan XB
: nilai koordinat geosentrik dari titik A dan B yang akan ditentukan nilainya
I.8.8.2 Perataan jaring terikat. Perataan jaring terkendala penuh yaitu perataan dengan lebih dari satu titik ikat dan data ukuran yang kualitasnya dinyatakan baik oleh hasil analisis perataan jaring bebas (Anonim, 2002). Perataan jaring terikat berfungsi untuk mengetahui konsistensi data ukuran dengan titik ikat yang telah ada serta mengintegrasikan titik-titik jaringan baru yang telah ada yang mempunyai tingkat ketelitian yang lebih tinggi atau sebanding. Perataan jaring terikat dilakukan setelah perataan jaring bebas dianggap sukses. Koordinat titik-titik yang diperoleh dari perataan jaring terikat dan sukses melalui proses kontrol kualitas dapat dinyatakan sebagai koordinat yang final. Perataan jaring terikat disusun dalam vektor sebagai persamaan I.14 : V = [I] . [XB ] + [X A + L]………………………………..…………..…………..(I.14) Persamaan yang dibentuk untuk menyelesaikan sebanyak n baseline dan u parameter (dalam hal ini koordiinat) membutuhkan solusi kuadrat terkecil sebagai persamaan I.15: X = (AT.PL.A)-1.AT.PL.L ……………………………………………….……….(I.15) Keterangan : X
: matriks koreksi parameter
A
: matriks turunan fungsi pengamatan terhadap parameter
PL
: matriks bobot dari pengukuran
AT
: transpos matriks turunan fungsi pengamatan terhadap parameter
L
: selisih nilai pengamatan dengan nilai pendekatan
Bobot pengamatan (PL) dapat dieproleh dengan persamaan I.16: PL = QL-1 = 𝜎02 CL-1 …………………………………………………….………...(I.16) Keterangan : QL
: matriks kofaktor
𝜎02
: faktor varian apriori (biasanya ditetapkan = 1)
CL
: matriks kovarian pengukuran baseline I.8.8.3 Pengenalan GAMIT. GAMIT adalah paket analisis data GNSS yang
komprehensif yang dikembangkan oleh MIT untuk melakukan perhitungan posisi tiga
20
dimensi dan satelit orbit. GAMIT dikembangkan mulai tahun 1970-an ketika Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengembangkan receiver GNSS. GAMIT merupakan perangkat ilmiah fully automatic processing yang beroprasi dalam sistem operasi Unix yang menyertakan data stasiun-stasiun kontinyu di seluruh dunia diantaranya adalah IGS. Dalam pengolahannya, GAMIT membutuhkan delapan macam input data, antara lain adalah raw data pengamatan GPS, l-file,
file
station.info, file session.info, file navigasi, file sestbl, file sittbl, dan file GPS efemeris. Hasil akhir pengolahan data pengamatan GPS dengan GAMIT adalah q-file, h-file, dan autcln.summary-file. 1.8.8.4 Pengenalan GLOBK. GLOBK merupakan suatu program yang dapat mengkombinasikan hasil pemrosesan data pengukuran teristris maupun data pengukuran ekstra teristris. GLOBK dapat digunakan untuk mengkombinasikan hasil pengukuran yang dilakukan lebih dari sekali pengamatan untuk menghasilkan koordinat stasiun dan dapat digeneralisasi dalam bentuk data runut waktu (time series). GLOBK tidak dapat digunakan untuk membuat model linier, tidak dapat menghilangkan cycle slips, atmospheric delay modelling errors, data yang buruk, serta tidak dapat melakukan resolving ambiguitas fase. I.8.8.5 Perataan jaring pada GAMIT/GLOBK. Konsep perataan pada GAMIT adalah untuk pengecekan konsistensi terhadap sesama data ukuran. GAMIT menggunakan hitungan kuadrat terkecil parameter berbobot dengan teknik double difference dari pengamatan data fase untuk melakukan estimasi posisi dan orbital dari titik pengamatan. Pengolahannya berprinsip kepada koordinat stasiun observasi, koordinat stasiun titik ikat dan parameter orbit (King dan Bock, 2002). Hasil perataan pada GAMIT berupa loose constrained network dengan menggunakan free-network quasi-observation. Pendekatan yang dilakukan menggunakan perataan baseline dengan menggunakan matriks varian kovarian sebagai persamaan hitungan kuadrat terkecil parameter berbobot. Apabila dua buah receiver yang berada pada titik P dan Q dan mengamat dua buah satelit
maka persamaan double difference menjadi
persamaan I.17 dan I.18: 𝜌𝑃𝑎 = √[𝑋 𝑎 (𝑡) − 𝑋𝑃 ]2 + [𝑌 𝑎 (𝑡) − 𝑌𝑃 ]2 + [𝑍 𝑎 (𝑡) − 𝑍𝑃 ]2
…..…...…………(I.17)
21
𝜌𝑄𝑏 = √[𝑋𝑏 (𝑡) − 𝑋𝑄 ]2 + [𝑌𝑏 (𝑡) − 𝑌𝑄 ]2 + [𝑍𝑏 (𝑡) − 𝑍𝑄 ]2
……….…………(I.18)
Keterangan : 𝜌𝑃𝑎
: jarak geometri antara satelit A dan receiver pada titik P
𝜌𝑄𝑏
: jarak geometri antara satelit B dan receiver pada titik Q
𝑋 𝑎 (𝑡), 𝑌 𝑎 (𝑡), 𝑍 𝑎 (𝑡)
: koordinat satelit A pada epoch-t
𝑋 𝑏 (𝑡), 𝑌 𝑏 (𝑡), 𝑍 𝑏 (𝑡)
: koordinat satelit B pada epoch-t
𝑋𝑃 , 𝑌𝑃 , 𝑍𝑃
: koordinat receiver pada titik P
𝑋𝑄 , 𝑌𝑄 , 𝑍𝑄
: koordinat receiver pada titik Q
Koordinat stasiun P dianggap memiliki suatu pendekatan yaitu (𝑋𝑃0 , 𝑌𝑃0 , 𝑍𝑃0 ) sehingga diperoleh nilai XP, YP, ZP seperti pada persamaan (I.19), (I.20), (I.21) 𝑋𝑃 = 𝑋𝑃0 + 𝑑𝑋𝑃 …………………..………………………..………..…………...(I.19) 𝑌𝑃 = 𝑌𝑃0 + 𝑑𝑌𝑃 …………………..……………………………………….….…(I.20) 𝑍𝑃 = 𝑍𝑃0 + 𝑑𝑍𝑃 …………………..……………………………………...…..…..(I.21) Kemudian persamaan (I.17) dan (I.18) dibuat menjadi linier dan dilakukan substitusi sehingga menjadi sebuah penyelesaian double difference. Setelah dilakukan perataan jaringan, pengolahan dilanjutkan dengan pendefinisian kerangka referensi dari loose constrained network yang dilakukan dengan GLOBK. Hasil titik diberikan constraint yang sangat besar dan beberapa titik dianggap fixed (King dan Bock, 2002). I.8.9 Evaluasi Hasil Pengolahan Evaluasi hasil pengolahan dengan GAMIT dilakukan dengan memperhatikan parameter-parameter evaluasi pada output file GAMIT, yaitu postfit normalized root mean square (nrms), adjust, dan fract. Nilai-nilai tersebut terdapat pada q-file yang merupakan salah satu output hasil pengolahan GAMIT. Selain itu dilakukan evaluasi lain yaitu dengan menggunakan solusi ambiguitas fase yang dapat diselesaikan untuk
22
Wide Lane (WL) dan Narrow Lane (NL). Nilai posfit nrms ditentukan dengan persaman I.22:
potsfit nrms =√
x2 =
√x2 (n−u)
…………………...……………...……...……...(I.22)
̂2 σ σ2
Keterangan : σ2 ̂
: varian aposteriori untuk unit bobot
σ2
: varian apriori untuk unit bobot
n
: jumlah ukuran
u
: ukuran minimum
Nilai postfit nrms merupakan perbandingan varian aposteriori dan varian apriori untuk bobot. Nilai postfit nrms memiliki standar ± 0,25. Jika nilai posfit nrms lebih besar dari 0,5 mengindikasikan masih terdapat banyak efek cycle slip yang belum dihilangkan berkaitan dengan parameter bias ekstra atau terdapat kesalahan fract dalam pemodelan (Nursetiyadi, 2015). Nilai fract adalah perbandingan antara nilai adjust dan nilai formal. Nilai fract digunakan untuk menganalisisi apakah ada nilai adjust yang salah dan perlu tidaknya untuk dilakukan proses iterasi untuk mendapatkan nilai adjust yang bebas dari efek tidak linier. Nilai adjust merupakan besar perataan yang dilakukan pada parameter hitungan. Nilai formal merupakan suatu ketidakpastian pada pemberian nilai bobot untuk perhitungan hitung kuadrat terkecil. Nilai fract harus tidak boleh lebih besar dari 10. Nilai fract ditunjukkan pada persamaan I.23: 𝑎𝑑𝑗𝑢𝑠𝑡
fract = 𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙………………………………………………………………...…..(I.23) Evaluasi pengolahan dengan GLOBK dilakukan dengan melihat adanya data yang outliers. Kondisi yang outliers dapat diidentifikasi dari nilai weight root mean square (wrms) kurang dari 10 mm (Lestari, 2006).
23
I.8.10 Ketelitian Pengukuran Suatu pengukuran yang dilakukan tidak dapat sepenuhnya mutlak benar hasilnya. Kebenaran hasil suatu pengukuran hanya dapat mencapai batas tertentu saja. Hal itu karena adanya ketidakpastian yang tidak dapat dihilangkan. Derajat atau tingkat ketelitian suatu pengukuran tergantung pada metode pengukuran, instrumen yang digunakan dan kondisi alam sekitar tempat berlangsungnya pengukuran (Widjajanti, 2011). Dalam ilmu ukur tanah (surveying), simpangan baku dipakai sebagai kriteria untuk menilai ketelitian pengukuran. Ketelitian berhubungan dengan akurasi dan presisi. Akurasi adalah tingkat kedekatan dari nilai-nilai ukuran terhadap nilai sebenarnya. Apabila nilai-nilai ukuran semakin mendekati nilai sebenarnya maka penyimpangan atau kesalahannya semakinkecil sehingga semakin tinggi nilai akurasinya. Demikian pula sebaliknya, pengamatan dikatakan akurat apabila rata-rata kesalahan yang dihitung dengan kuadrat terkecil mendekati nol atau sama dengan nol. Presisi atau ketelitian adalah tingkat kedekatan dari nilai-nilai ukuran tersebut satu sama lain, yang dapat dihitung dari besar-kecilnya harga varian dari pengamatan. Apabila pengamatan mempunyai nilai varian yang kecil, berarti pengamatannya teliti (Basuki, 2011). I.8.11 Uji Statistik Uji statistik yang dilakukan yaitu uji signifikansi beda dua parameter yang digunakan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan antara dua parameter. Pengujian dilakukan dengan menghitung beda dua parameter dibagi dengan akar kuadrat masing-masing simpangan bakunya. Uji normal untuk sampel < 30 dapat dihitung dengan persamaan I.24 : x1 −x2 t= ……………………………..………………………………….(I.24) 2 2 √σX1 +σX2 Keterangan : t
: harga fungsi nornal baku
x1
: koordinat sampel project 1
x2
: koordinat sampel project 2
24
σ2X1
: varian koordinat sampel project 1
σ2X2
: varian koordinat sampel project 2 Nilai t didapatkan dengan nilai derajat kepercayaan (n-1) dan derajat kebebasan
(α) tertentu. Apabila H0 ditolak maka berarti kedua data sampel memiliki perbedaan nilai simpangan baku yang signifikan, sebaliknya bila H0 diterima berarti nilai simpangan baku kedua sampel tidak berbeda secara signifikan. I.8.12 Kekuatan Jaring Kontrol GNSS Geometri jaring yang digunakan dalam survei GNSS dapat dikarakterkan dengan beberapa parameter, seperti jumlah titik dan lokasi titik dalam jaringan (termasuk titik fix), jumlah baseline dalam jaringan (termasuk common baseline), konfigurasi baseline dan loop, serta konektivitas titik dalam jaringan (Abidin, 2000). Ada beberapa parameter dan kriteria yang digunakan dalam menentukan konfigurasi jaringan yang baik, salah satunya berdasarkan pada matriks varian kovarian parameter yang menggambarkan tingkat ketelitian koordinat titik-titik dalam jaringan. Vektor baseline dan vektor koordinat yang tidak homogen dan antar komponennya saling berkorelasi, digunakan matriks varian kovarian pengamatan dalam penentuan bilangan faktor kekuatan jaring. Faktor kekuatan jaring dapat dihitung dengan persamaan 1.25. Faktor kekuatan jaring
=
−1 −1 trace(AT CL A)
u
………..…………..(1.25)
Keterangan : trace(AT CL−1 A)−1
: jumlah komponen diagonal matriks (AT CL−1 A)−1
u
: jumlah parameter
CL
: matriks varian-kovarian ukuran
A
: matriks turunan fungsi pengamatan terhadap parameter
Semakin kecil nilai faktor kekuatan jaring yang dihasilkan maka semakin baik konfigurasi jaringan (strength of figure) jaring tersebut. Meskipun demikian kualitas hasil survei GNSS dengan konfigurasi yang digunakan tidak hanya bergantung pada faktor kekuatan jaringan, namun juga terdapat faktor lainnya yaitu ketelitian data hasil survei GNSS, strategi pengamatan, dan pengolahan yang digunakan. Menurut Abidin
25
(2000) secara geometrik terdapat beberapa hal yang dapat digunakan untuk memperkuat konfigurasi jaringan, yaitu : a. Penambahan jumlah titik fix, b. Penambahan jumlah ukuran baseline, c. Peningkatan konektivitas titik, d. Pengadaan common baseline, e. Penutupan rangkaian baseline dalam satu loop, f. Penambahan jumlah loop dalam jaringan (pengurangan jumlah baseline dalam satu loop). I.8.13 Elips Kesalahan dan Ketelitian Posisi Posisi dua dimensi pada sumbu X dan sumbu Y dalam jaring direpresentasikan oleh simpangan baku σx dan σy. Nilai simpangan baku ini tidak memberikan informasi kepresisian posisi titik pada semua arah melainkan hanya pada sumbu koordinat (Kuang, 1996). Koordinat (X, Y) diasumsikan memilki kesalahan (εx dan εy) pada sumbu x dan y serta proyeksi (εα) pada azimut α dapat dituliskan sebagai persamaan 1.26.
εα = εx sinα + εy cosα ……………………………………………………(1.26) Berdasarkan hukum perambatan kesalahan, simpangan baku pada azimut α dapat diturunkan sebagai persamaan 1.27. 𝜎𝛼 = √𝜎𝑥2 𝑠𝑖𝑛2 𝛼 + 𝜎𝑦2 𝑐𝑜𝑠 2 𝛼 + 2 ∝. 𝑠𝑖𝑛 ∝ 𝑐𝑜𝑠 ∝ …………………….(1.27) Nilai maksimum dari σα dicapai bila nilai α = 0 sehingga diperoleh persamaan 1.28. tan2α =
2𝜎𝑥𝑦 𝜎𝑥2 −𝜎𝑦2
………………………..…………………………………(1.28)
Nilai α adalah azimut dari σmax sedangkan azimut σmin adalah α + 90ᴼ. Simpangan baku maksimum dan minimum dapat dituliskan dalam persamaan 1.29 dan 1.30. 2 𝜎𝑚𝑎𝑥 =
1
2 𝜎𝑚𝑖𝑛 =
1
2
2
2
[𝜎𝑥2 + 𝜎𝑦2 + √(𝜎𝑥2 + 𝜎𝑦2 ) + 4𝜎𝑥𝑦 2 ] …………..………… (1.29) 2
[𝜎𝑥2 + 𝜎𝑦2 − √(𝜎𝑥2 + 𝜎𝑦2 ) + 4𝜎𝑥𝑦 2 ] …………...…………(1.30)
26
Keterangan :
εx
: kesalahan pada sumbu koordinat x
εy
: kesalahan pada sumbu koordinat y
εα
: kesalahan pada bidang proyeksi
α
: azimut
𝜎𝑥2
: varian absis
𝜎𝑦2
: varian ordinat
2 𝜎𝑚𝑎𝑥 : varian sumbu panjang elips kesalahan 2 𝜎𝑚𝑎𝑥 : varian sumbu pendek elips kesalahan
𝜎𝑥𝑦 2
: kovarian absis dan ordinat
I.8.14 Kehandalan Dalam dan Kehandalan Luar Kualitas jaring kontrol geodesi ditentukan oleh kehandalan dan kekuatan geometri jaring. Kehandalan dan kekuatan jaring adalah kemampuan jaring tersebut untuk mendeteksi dan tahan terhadap kesalahan kasar dalam pengukuran. Kehandalan dibagi menjadi dua yaitu kehandalan dalam dan kehandalan luar. Kehandalan dalam berkaitan dalam kemampuan jaring mendeteksi kesalahan pada saat pengujian hipotesis. Kehandalan luar berkaitan dengan kemampuan jaring dalam mendeteksi kesalahan yang berkaitan dengan efek kesalahan kasar yang terdeteksi pada estimasi parameter. Oleh karena itu, konsep dari kehandalan luar harus dikaitkan dengan deteksi dan penolakan terhadap data yang outlier dalam pengamatan (Seemkooei dalam Nursetiyadi, 2015). Kehandalan jaring bergantung pada bentuk geometri jaring serta keakurasian saat dilakukan pengukuran. Untuk mendapatkan geometri jaringan yang baik maka perlu dilakukan optimasi jaring untuk meminimalkan kesalahan kasar yang tidak terdeteksi dalam pengamatan dan efek tidak terdeteksinya pada estimasi parameter menjadi minimal. Kriteria kehandalan jaring dapat dilihat pada Tabel 1.2
27
Tabel 1.2 Kriteria kehandalan jaring pengukuran GPS (Yalçinkaya dan Teke 2006) Fungsi tujuan kehandalan
Nilai kritis
Redudansi individu
Z = rj = (Qvv )j Pj
Kehandalan dalam
Z = |∆0j | = m0 √P r0 j j
Z = rj > 0,4
w
Z = δ20j =
Kehandalan luar
1−rj rj
Z = ∆0j < 6 Z = δ20j < 6
w0
Keterangan : Z
: kehandalan
∆0j
: kehandalan dalam
δ20j
: kehandalan luar
Qvv
: matriks kovaktor residu
Pj
: matriks bobot pengamatan
rj
: redudansi individu
m0
: standar deviasi dari unit bobot
w0
: standar batas bawah untuk parameter Nilai w0 nilainya tergantung dari tingkat signifikan (α0) dan uji kekuatan
minimum (1-β0). Uji kekuatan dipilih sebesar 80% dengan level signifikan 0,01% (Kuang, 1996). Sedangkan matrik kofaktor residu Qvv dituliskan dengan persamaan 1.32. Qvv = Qii – A Qxx A T………………………………………………………..…..(1.31) Qii = invers Pj…………………………………………………………..……….(1.32) Qxx = (ATPA)-1……………………………………………………………..……(1.33) Nilai batas bawah dengan kekuatan uji 1-β0 dapat dilihat pada Tabel 1.3. Tabel 1.3. Nilai standar batas bawah dengan kekuatan 80% pada tingkat signifikan 0,05 dan 0,01 α 0,05
2 9,6
5 13,4
10 16,5
0,01
14
18,3
22,7
Derajat Kebebasan 20 30 40 21 25,3 28,5 29
34,5
39
50 32
85 40
42
50
28
I.8.15 Standar Nasional Indonesia Jaring Kontrol Horizontal Nasional Mengacu pada Standar Nasional Indonesia Jaring Kontrol Horizontal, maka terdapat beberapa spesifikasi teknis pengadaan jaring kontrol horizontal. I.8.15.1 Monumentasi. Seteleh dilakukan optimasi jaring dan lokasi titik di lapangan ditentukan, maka proses selanjutnya adalah monumentasi. Dalam monumenasi ada beberapa hal yang perlu dispesifikasikan, yaitu : a. Setiap monumen pada setiap titik harus dilengkapi dengan tablet logam yang dipasang pada tugu beton. b. Monumen harus dibuat dari campuran semen, pasir, dan kerikil (1:2:3). c. Untuk setiap monumen yang dibangun harus dibuat sketsa lapangan dan deskripsinya. Foto dari empat arah (utara, timur, selatan, dan barat) juga harus disertakan sehingga bisa didapatkan gambaran latar belakang lokasi dari setiap arah.
I.8.15.2. Metode dan strategi pengukuran jaring. Spesifikasi teknis pengukuean jaring titik kontrol horizontal orde 3 ditunjukkan dalam Tabel I.4. Tabel I.4. SNI pengukuran jaring kontrol horizontal orde 3 Metode pengamatan
Survei GPS
Lama pengamatan per sesi (minimum)
1 jam
Data pengamatan
Data satu frekuensi
Interval pengamatan
Jaring
Juamlah satelit minimum
15 detik
Elevasi satelit minimum
15ᴼ
I.8.15.3 Metode dan strategi pengolahan data. Spesifikasi teknis pengolahan data hasil pengamatan jaring kontrol horizontal orde 3 ditunjukkan dalam Tabel I.5.
29
Tabel I.5. SNI pengolahan data jaring kontrol horizontal orde 3 Tipe perangkat lunak yang digunakan Tipe orbit satelit yang digunakan Ambiguitas fase Eliminasi kesalahan dan bias Tahapan penentuan koordinat Mekanisme kontrol kualitas
Perangkat lunak komersial Broadcast Fixed Differencing Pengolahan baseline, perataan jaring bebas, perataan jaring terikat uji-uji statistik terhadap parameter ketelitian koordinat serta terhadap panjang common baseline
I.9 Hipotesis Berdasarkan penelitian Nursetiyadi dan Cosser, maka dapat diambil hipotesis bahwa dengan pengukuran GNSS metode relatif statik dalam 2 doy pada jaring kontrol horizontal orde 3 dan diikatkan terhadap sejumlah stasiun IGS didapatkan koordinat yang digunakan untuk pengukuran as-built superelevasi jalan layang Jombor dan didapatkan ketelitian horizontal > 2,67 mm dan ketelitian vertikal > 10,86 mm. Berdasarkan penelitian Yosafat dan Nursetiyadi desain konfigurasi jaring dengan mengikat pada 8 stasiun IGS yang tersebar dalam 4 kuadran menunjukkan nilai kekuatan jaring < 2,76 x 1038, nilai redudansi individu > 0,4, serta nilai kehandalan dalam dan luar < 6. Penambahan jumlah stasiun IGS sebagai titik ikat pada jaring kontrol yang ada meningkatkan ketelitian koordinat namun tidak signifikan secara statistik.