BAB I1 KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODE ANALISIS Keran~kaPemikiran Mengenai Kembkinan dan Pembanmnan Ekonomi Wilavah 1. Kemiskinan Rumahtangga Kemiskinan penduduk atau rumahtangga dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor dari dalam masyarakat sendiri (faktor-faktor internal), seperti rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang meyebabkan rendahnya tingkat upah dan gaji. Tetapi, kemiskinan dapat pula merupakan akibat dari faktor-faktor dari luar masyarakat (faktor-faktor eksternal), seperti buruknya prasarana dart sarana transportasi sehingga menyulitkan masyarakat dalam memasarkan produk-produk yang dihasilkan, rendahnya aksesibilitas terhadap modal, rendahnya kualitas sumberdaya alam ,penggunaan teknologi yang terbatas, atau sistem kelembagaan yang kurang sesuai dengan kondisi masyarakat, sehingga menyebabkan rendahnya pendapatan yang diterirna oleh penduduk atau rumahtangga di suatu wilayah. Pada sisi yang lain, dapat juga terjadi bahwa terdapat semacam efek sirkular antara faktor-faktor internal dengan faktor-faktor eksternal; atau antara hasil-hasil pembangunan wilayah dan kemiskinan wilayah dengan kemiskinan rumahtangga. Karena rendahnya pendidi kan penduduk di suatu wilayah, maka pelaksanaan bantuan modal yang akan dilaksanakan di wilayah tersebut menjadi terhambat. Hal ini tentu akan menyebabkan, katakan, program yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi tidak be rjalan, sehingga penduduk tetap miskin. Pada sisi yang lain, miskinnya masyarakat setempat menyebabkan tidak tersedianya, misaln ya, kemampuan sumberdaya rnanusia yang memadai, sehingga nilai tambah yang diciptakan relatif rendab dan haI ini menyebabkan pendapatan wilayah bersangkutan juga relatif tidak meningkat. Demikian juga, suatu wilayah yang miskin dapat menyebabkan miskinnya rumahtangga di wilayah bersangkutan karena tidak terdapat sumberdaya wilayah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat
untuk dapat menghasilkan pendapatan; atau karena intensitas pembangunan di wilayah tersebut tidak dapat memacu masyarakat setempat untuk meningkatkan pendapatan. Penyebab kemiskinan dapat juga ditimbulkan oleh adanya kegagalan kelembagaan. Misalnya, Amartya Sen, seorang ahli ekonomi yang meneliti masalah kemiskinan di Benggala, India, menemukan bahwa walaupun ketersediaan beras berlimpah di sana, tetapi kemiskinan dan kelaparan masih tetap terjadi. Sehingga, menurut Sen, masalah kemiskinan di India bukan masalah kekurangan ketersediaan
(supply) bahan makanan, tetapi merupakan masalah kegagalan kelembagaan, yaitu karena tidak berjalannya proses yang dia sebut sebagai entitlement, yaitu kemampuan seseorang dalam hal menjual atau memperdagangkan sumberdaya yang dimilikinya atau yang dapat diproduksinya untuk dapat memperoleh sejumlah barang yang diinginkan.
Karena proses tersebut tidak bejalan, maka penduduk tidak dapat
memperoleh pendapatan yang cukup untuk dapat membeli semua kebutuhan hidup mereka (dikutip kembali dari Sjahrir, 1990). Demikian juga, Schmid (1987) melihat bahwa kemiskinan merupakan suatu masalah (kegagalan) kelembagaan . Menurut Sch mid, pendapatan (income) seseorang merupakan biaya (costs) bagi orang lain. Seseorang yang memiliki keterampilan atau modal berarti dia mempunyai hak terhadap orang lain sehingga menimbulkan biaya bagi orang lain tersebut. Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai atau mempunyai sedikit sekali hak sehingga tidak dapat menimbulkan biaya terhadap orang lain yang mengakibatkan pendapatan orang miskin relatif sedikit. Sehingga, menurut Schmid, dalam upaya pengentasan kemiskinan, masalah kelembagaan seperti masalah hak (property right) bagi penduduk miskin menjadi penting karena dengan hak tersebut mereka dapat memperoleh pendapatan (lihat juga Pakpahan dan Hermanto, 1992). Pada sisi yang lain, kemiskinan dapat juga ditinjau secara sosiologis seperti yang telah diamati oleh Arief (1990). Arief melihat keterbelakangan dan kemiskinan sebagian besar rakyat Indonesia sebagai akibat proses eksploitasi terhadap penduduk miskin yang pada gilirannya menyebabkan ketergantungan dan kemiskinan. Proses
eksploitasi, menurut Arief, mengarnbil bentuk-bentuk sebagai berikut: a. Pertukaran yang tidak adil dalarn proses tukar-menukar komoditas; b. Pembayaran yang tidak adil atas jasa-jasa mereka. Penilaian yang serupa telah pula dinyatakan oleh Soedjatmoko (1980):
.... tampaknya golongan yang paling miskin ini terpenjara oleh struktur-struktur sosial eksploitatif yang melanggengkan ketergantungan dan Mumpuhannya. Sehingga, menurut Arief, masalah kemiskinan di Indonesia tidak hanya merupakan fenomena kemelaratan materi, tetapi te1a.h merupakan suatu fenomena sosio-kultural yang lebih komplek. Penduduk miskin merasakan bahwa kemiskinan merupakan suatu atribut permanen untuk mereka sehingga kemiskinan mereka tidak perlu dipersoalkan lagi. Oleh karena itu, menurut Arief, salah satu ha1 yang penting dalam masalah pengentasan kemiskinan adalah dengan memahami kondisi masyarakat tersebut dengan memperhatikan sumberdaya manusia yang ada, misalnya, pendidikan, keterampilan, modal, dsb. Dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pada kelompok miskin ini , maka mereka diharapkan akan mampu meningkatkan usaha-usaha yang mereka lakukan yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan mereka. Disamping itu, perlu juga untuk menyertakan pendekatanpendekatan sosio-kultural untuk meningkatkan mentalitas penduduk miskin dalam upaya meningkatkan pendapatan mereka. 2. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah
Kemiskinan diperkirakan mempunyai hubungan dengan kondisi wilayah atau dengan hasil-hasil pembangunan ekonomi wilayah. Suatu wilayah terbentuk karena proses alam. Ada suatu wilayah yang terbentuk dengan sumberdaya dam yang subur; dan oleh karena itu, penduduk yang tinggal di sekitar wilayah tersebut dapat menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk memperoleh atau untuk meningkatkan
penghasilan atau pendapatan. Sebaliknya, ada suatu wilayah yang merupakan kawasan
yang kurang subur sehingga tidak memungkinkan masyarakat di sekitar kawasan tersebut untuk dapat menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk memperoleh apalagi untuk meningkatkan pendapatan mereka sehingga mereka menjadi miskin. Oleh karena itu, pada satu sisi, dapat dikatakan bahwa kemiskinan dapat disebabkan
karena kondisi suatu wilayah secara pisik (kondisi alam). Tetapi dapat juga terjadi bahwa di sekitar suatu wilayah yang subur ternyata terdapat penduduk yang miskin.
Keadaan itu dapat berarti: a. Sumberdaya dam di sekitar wilayah tersebut belum digunakan oleh penduduk setempat secara optimal; b. Penduduk di sekitar wilayah tersebut tidak mempunyai kemampuan yang cukup (seperti keterampilan, modal dsb) untuk dapat mengolah sumberdaya alam untuk menghasilkan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan mereka;
c. Sumberdaya alam yang diolah di wilayah tersebut tidak dapat dinikmati oleh penduduk atau masyarakat setempat karena adanya kebocomn regional (regional leakages). Kemiskinan yang terdapat di suatu wilayah dapat juga merupakan akibat dari in tensitas pembangunan di wilayah bersangkutan, yang tergantung kepada kepemilikan sumberdaya ekonomi wi layah bersangkutan, seperti tenagakerja dan modal. Pada beberapa kasus, terdapat wilayah (propinsi) yang memiliki kemampuan sumberdaya ekonomi yang relatif cukup sehingga dapat secara cepat mengikuti irama pertumbuhan ekonomi; tetapi sebaliknya terdapat wilayah yang tidak memiliki kemampuan sumberdaya ekonomi yang cukup sehingga tertinggal dari wilayah-wilayah yang lain dalam ha1 pembangunan ekonomi. Akibatnya, terdapat beberapa wilayah (propinsi) yang dapat berkembang menjadi suatu wilayah yang maju, sedang berkembang, dan yang kurang maju. Dengan perkembangan sedemikian, permasalahan kesenjangan pendapatan (income dispariry) atau permasalahan kemiskinan antar wilayah menjadi muncul.
Penelitian Meneenai Kemiskinan vang Pernah Dilakukan dan Ukuran-Ukuran Kemiskinan Penelitian mengenai kemiskinan sebenarnya telah banyak dilakukan oleh
berbagai pihak. Penelitian kemiskinan tersebut biasanya menelaah kerniskinan dalam pengertian absolut (absolute powrry) dan kemiskinan dalam pengertian relatif atau ketidakmerataan pendapatan (income inequality).
Kedua pengertian kerniskinan
tersebut merupakan dua konsep yang berbeda; dan dengan demikian ukuran kerniskinan yang digunakan juga berbeda.
Kemiskinan dalarn pengertian absolut
dapat dikaitkan dengan harta atau penghasilan (penclapatan), atau kecukupan pada tingkat tertentu dalam konsumsi pangan. Misalnya, World Bank menggunakan pendapatan per kapita sebesar US$75 per tahun sebagai ukuran kemiskinan atau yang biasa juga disebut sebagai batas miskin atau garis kemiskinan (poverty line) (dikutip kembali dari Chenery et al, 1974); Sayogyo menggunakan ukuran ekivalen beras 240 kilogram dan 360 kilogram per kapita per tahun sebagai garis kerniskinan untuk masing-masing daerah pedesaan dan daerah kota (dikutip kembali dari Arief, 1990); sedangkan BPS (1992b) menggunakan ukuran konsumsi energi minimum sebanyak 2100 kilokalori per kapita per hari sebagai batas miskin. Seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut diklasifikasikan sebagai penduduk atau rumahtangga miskin. Dengan indikator-indikator kemiskinan tersebut, maka banyaknya penduduk miskin dapat diperkirakan. Sementara itu, masalah kemiskinan dalam ukuran relatif lebih mendekati kepada permasalahan ketidakmerataan pendapatan, yaitu suatu ukuran yang membandingkan penerimaan atau pendapatan seseorang atau sekelompok orang dengan orang atau kelompok yang lain (Atkinson, 1975 dan 1987). Ukuran-ukuran
atau indikator-indikator yang biasa digunakan adalah ratio Gini (disebut juga sebagai koefisien atau indek Gini) atau ukuran World Bank (Todaro, 1987).
Indek Gini dirumuskan sebagai:
G = 1-CPi(Qi+Qi,,)
..... (2.1)
dimana
G
= Indek Gini
Pi
= Jumlah penduduk kelompok ke-i
Qi
= Jumlah pendapatan yang diterima oleh penduduk kelompok ke-i
,
+
Qi+ = Jumlah pendapatan yang diterima oleh penduduk kelompok ke-(i 1) Indek Gini mempunyai s e b g nilai antara 0 dan 1. Bila indek Gini bernilai 0 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat merata; sedangkan bila bernilai 1 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat tidak merata. Biasanya, indek Gini jarang sekali mempunyai nilai 0 atau pun 1. Oleh karena itu Todaro (1987) menyatakan bahwa: a. Bila koefisien Gini berada diantara 0,2 sampai dengan 0,35, maka distribusi pendapatan disebut sebagai rnerata; b. Bila koefisien Gini berada diantara 0,35 sampai dengan 0,5, maka distribusi pendapatan disebut sebagai tidak merata;
c. Bila koefisien Gini berada diantara 0,5 sampai dengan atau lebih dari 0,7, maka distribusi pendapatan d isebut &gai
sangat tidak merata.
Sedangkan ukuran World Bank menganalisa masalah ketidakmerataan pendapatan dengan membagi penduduk menjadi 3 bagian, yaitu: a. 40 persen berpendapatan rendah; b. 40 persen berpendapatan menengah; dan
c. 20 persen berpendapatan tinggi. Bila 40 persen penduduk berpendapatan rendah:
a. Menerima kurang dari 12 persen dari total pendapatan, maka ketidakmerataan
pendapatan disebut sebagai tinggi; b. Menerima 12 persen sampai dengan 17 p e r m dari total pendapatan, maka ketidakmerataan pendapatan disebut sebagai sedang; c. Menerima lebih dari 17 persen dari total pendapatan, maka ketidakmerataan
pendapatan disebut sebagai rendah (Todaro, 1987). Salah satu hasil penelitian mengenai kemiskinan adalah seperti yang dilaporkan oleh KS Propinsi NTT (1992a) clan BPS (1992b). Kedua penelitian tersebut meneliti mengenai kemiskinan dan distribusi pendapatan di propinsi NTT dan di propinsi Riau dengan menggunakan ukuran konsumsi energi sebanyak 2 100 kilokalori per kapita per hari dan indek Gini masing-masing sebagai ukuran kemiskinan absolut dan ukuran kemiskinan relati f.
Hasil-hasil yang ditemukan, antara lain, menyatakan bahwa
jumlah penduduk miskin di propinsi IWT pada tahun 1990 diperkirakan sebanyak 718,4 ribu orang (atau sekitar 22,25 persen dari jumlah seluruh penduduk); sedangkan di propinsi Riau diperkirakan sebanyak 451,8 ribu orang (atau sekitar 13,66 persen dari jumlah seluruh penduduk). Pada sisi yang lain, penelitian tersebut juga melaporkan bahwa secara umum distribusi pendapatan baik di propinsi NTT maupun di propinsi Riau pada tahun 1990 berada pada tingkat yang merata; atau dengan perkataan lain, ketidakmerataan pendapatan di kedua propinsi tersebut berada pada tingkat yang relatif rendah. Hal ini ditunjukkan oleh porsi pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk miskin di kedua propinsi tersebut yang diperkirakan telah mencapai lebih dari 17 persen menurut ukuran World Bank, yaitu diperkirakan bahwa 40 persen penduduk miskin di propinsi NTT menerima sekitar 21,94 persen dari total pendapatan wilayah bersangkutan; sedangkan di propinsi Riau diperkirakan sekitar 24,25 persen; maupun oleh indek Gini yang juga diperkirakan lebjh kecil dari pada 0,35, yaitu sebesar
0,296 di propinsi NTT dan 0,256 di propinsi Riau.
SNSE Sebagai Kerangka Keria Analitis Penelitian mengenai kemiskinan yang seperti yang dijelaskan di atas dengan menggunakan ukuran-ukuran kemiskinan yang ada baru dapat menjelaskan mengenai perkiraan banyaknya penduduk miskin atau mengenai keadaan distribusi pendapatan di suatu wilayah, merata atau tidak merata. Suatu penelitian kemiskinan tentu saja tidak bermaksud untuk berhenti sampai di situ saja, tetapi berupaya untuk mengetahui lebih jauh mengenai kemiskinan yang dihadapi oleh penduduk atau rumahtangga, misalnya,
mengenai penyebab
kemiskinan,
hubungan kemiskinan dengan
pembangunan ekonomi wilayah, dsb. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memperdeh pengetahuan mengenai kemiskinan yang dihadapi oleh penduduk atau rumahtangga secara lebih jelas sehingga suatu solusi atau preskripsi untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan dapat diusulkan dalam upaya mencapai tujuan pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan sebagaimana yang diharapkan dalam Repelita VI (mengenai ha1 ini, lihat Departemen Penerangan, 1994). Untuk dapat memahami permasalahan kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah (propinsi), kerangka SNSE akan digunakan sebagai kerangka data dan analisis. SNSE merupakan suatu kerangka data yang bersifat keseimbangan umum
(general equilibrium) yang dapat menggambarkan perekonomian suatu wilayah dan dapat menghubungkan berbagai aspek sosial dan ekonomi dalam wilayah bersangkutan, seperti kemiskinan, distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi, secara terpadu dan komprehensif. Kerangka SNSE dibentuk dengan dasar 2 pilar utama: a. Sebagai suatu sistem klasifikasi data yang konsisten dan komprehensif; b. Sebagai suatu sistem kerangka data yang bersifat modular yang dapat menghubungb variabel-variabel atau pun subsistem-subsistem yang terdapat di dalamnya secara terpadu. Karena kerangka SNSE dibentuk dengan dasar kedua pilar utama tersebut, maka kerangka SNSE dapat berperan sebagai suatu sistem koordinasi terhadap
berbagai jenis data sosial dan ekonomi yang ada dalam suatu wilayah ke dalam suatu sistem data yang kompak dan terintegrasi sehingga analisis yang diperoleh dari kerangka SNSE sudah mencerminkan keseimbangan umum diantara berbagai variabel sosial clan ekonomi yang ada. Dari kerangka SNSE dapat diberikan gambaran umum
(makro) mengenai struktur ekonomi clan sosial suatu wilayah pada suatu tahun tertentu; dan juga, dengan sistem seperti itu, subsistem-subsistem atau neraca-neraca
dalam suatu kerangka SNSE dapat dihubungkan satu dengan yang lainnya sehingga dapat menjelaskan keterkaitan berbagai aspek sosial dan ekonomi yang w a d i di suatu wilayah secara komprehensif dan terpadu. 1. Dasar Pemikiran Pembentukan Kerangka SNSE
Kerangka SNSE dibentuk dengan maksud agar dapat menggambarkan keterkaitan antara: a. Kegiatan atau struktur produksi; b. Distribusi nilai tambah atau distribusi @ndapatan faktorial;
c. Kemiskinan dan distribusi pendapatan rumahtangga; dan d. Konsumsi, tabungan, dan investasi; dalam suatu wilayah secara terpadu dan komprehensif. Hal ini dimulai dari kenyataan bahwa masyarakat mempunyai kebutuhan dasar
(basic needs and wants) yang hams dipenuhi melalui pembelian sejumlah paket (bundle) komoditas. Total permintaan efektif terhadap paket komoditas tersebut kemudian dipenuhi oleh sektor-sektor produksi yang menghasilkan berbagai output (komoditas-komoditas). Untuk dapat menghasilkan output tersebut, sektor produksi, selain membutuhkan input antara (intemdiate inputs) seperti bahan baku, juga membutuhkan faktor-faktor produksi (seperti tenagakerja, dan modal). Permintaan turunan (derived demand) terhadap faktor-faktor
produksi tersebut kemudian
menghasilkan pendapatan faktorial (fihccorialincome) yang diterima oleh rumahtangga yang menyedialcan jasa faktor-faktor produksi tersebut. Pendapatan ini merupakan
salah satu sumber penerimaan rumahtangga yang mempengaruhi pola distribusi pendajmtan rumahtangga dan permasalahan kemiskinan rumahtangga. Makin besar kepemilikan faktor-faktor produksi tersebut oleh suatu rumahtangga, maka makin
besar pendapatan yang diterima oleh rumahtangga bersangkutan; dan demikian juga sebalilmya, Pendapatan tersebut oleh rumahtangga kemudian dibelanjakan kembali untuk konsumsi; dan demikian seterusnya, proses siklus ekonomi tersebut berjalan
&lam suatu wilayah sehingga menimbulkan berbagai kebutuhan-kebutuhan dan kegiatan-kegiatan yang lain, seperti kebutuhan investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor, dan sebagainya. Diagram sistem modular SNSE yang menjelaskan keterkaitan tersebut disajikan oleh gambar 2.1. 2. Bentuk Dasar Kerangka SNSE
Tabel 2.1 menunjukkan bentuk dasar kerangka SNSE.
Kerangka dasar
tersebut berbentuk matrik dengan ukuran 4x4. Lajur ke samping (menurut baris) menunjukkan penerimaan; sedangkan lajur ke bawah (menurut kolom) menunjukkan pengeluaran. Dalam SNSE berlaku ketentuan bahwa total penerimaan (total baris) harus sama dengan total pengeluaran (total kolom). Dalam SNSE terdapat 4 neraca utama, yaitu: a. neraca faktor produksi; b. neraca institusi;
c. neraca sektor produksi; dan d. neraca lainnya (rest of the world). Masing-masing neraca tersebut menempati lajur baris dan lajur kolom. Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca yang lain memberikan arti tersendiri, tetapi tidak semua perpotongan antar neraca mempunyai arti. Tabel 2.2 memberikan
arti secara singkat dari masing-masing perpotongan tersebut. Pada tabel 2.1 dan tabel 2.2 perpotongan antar neraca yang tidak memberikan arti ditunjukkan oleh simbol 0. Pada tabel 2.1 notasi Ti.,digunakan untuk menunjukkan matrik transaksi yang
diterima oleh neraca baris ke-i dari neraca kolom ke-j. Sedangkan notasi 4 menunjukkan total penerimaan neraca ke-i; dm t'j menunjukkan total pengeluaran neraca ke-j. Dalam suatu kerangka SNSE, ti harus sama dengan t'j untuk setiap i =j.
Kebutuhan Dasar
Pengeluaran Rumahtangga
I
&
Permintaan Akhir I
t
Investasi dan Konsumsi Pemerintah
Distribusi Pendapatan Rumahtangga h
I
t
I
t
Pemerintah
, Ekspor, Impor, dan Neraca Pembayaran
1
PDRB dan Distribusi Pendapatan Faktorial
Gambar 2.1 Diagram Sistem Modular SNSE (Dikutip diri Pyatt dm T h o h k e , 1976)
Tabel 2.1 Kerangka Dasar SNSE Pengeluaran Peneri maan
Faktor Produksi
Institusi
Sektor Produksi
Neraca Lainnya
Faktor Produksi Institusi Sektor Produksi Neraca Lainnya t' 1 t'2 t'3 Total Sumber: Pyatt dan Round (penyunting, 1985)
t'4
Total
Tabel 2.2 Arti Hubungan Antar Neraca Dalam Kerangka SNSE Pengeluaran Penerimaan
Faktor Produksi
Faktor Produksi
Institusi
Sektor Produksi
Neraca Lainnya
Total
0
0
Alokasi Nilai Tambah ke faktor produksi
Pendapatan FWr Produksi dari Luar Negeril Wilayah
Distribusi Pendapatan Faktorial
Transfer
Distribusi Pendapatan Institusional
-
Institusi
Alokasi Pendapatan faktor produksi ke Institusi
Sektor Produksi
0
Neraca Lainnya
Aiokasi Pendapatan Faktor Produksi ke Luar NegeriJ Wilayah
0
Transfer An tar Institusi
dari Luar
Negeril Wilayah
Permintaan Domestik
Perminta- Ekspor+ an Antara Investasi
Total Output Sektoral
Tabungan
Impor dan Pajak Tidak Langsung
Total Peneri maan Neraca lainnya
Sumber: Pyatt dan Round (penyunting, 1985)
Transfer Lainnya
23
Penjelasan singkat mengenai arti kerangka SNSE sebagaimana disajikan oleh tabel 2.1 maupun oleh tabel 2.2 adalah sebagai berikut:
Baris 1:
Baris ini menjelaskan mengenai pendapatan yang diterima oleh faktorfaktor produksi, seperti tenagakerja dan modal, sebagai akibat adanya proses ekonomi dalam suatu wilayah.
Perpotongan antara baris 1
dengan kolom 3 menunjukkan alokasi nilai tambah (Produk Domestik Bruto atau PDB) kepada faktor-faktor produksi.
Sub-matrik ini
disebut juga sebagai sub-matrik distribusi pendapatan faktorial @torial income distribution) yang menjelaskan mengenai distribusi pendapatan yang diterima oleh berbagai faktor produksi dari berbagai sektor produksi. Perpotongan baris 1 dengan kolom 4 menjelaskan mengenai pendapatan faktor produksi yang diterima dari luar negeri. Baris 2:
Baris ini menjelaskan mengenai pendapatan berbagai institusi (Aah satu adalah rumahtangga). Salah satu pendapatan rumahtangga adalah yang berasal dari upah dan gaji serta pendapatan kapital (seperti bunga, surplus usaha, sewa rumah). Upah dan gaji serta pendapatan kapital merupakan pendapatan rumahtangga yang berasal dari balas jasa terhadap faktor-faktor produksi tenagakerja dan kapital yang diberikan oleh rumahtangga.
Hal ini telah digambarkan oleh
perpotongan antara baris 1 dengan kolom 3 sebagaimana dijelaskan di atas.
Pendapatan berupa upah dan gaji serta pendapatan kapital
tersebut kemudian dibawa kepada rumahtangga dari mana faktor produksi tersebut berasal, Distribusi pendapatan upah dan gaji serta pendapatan kapital ini digambarkan oleh perpotongan baris 2 dengan kolom 1. Dengan perkataan lain, sub-matrik ini merupakan mapping dari sub-matrik pendapatan faktor-faktor produ ksi (upah dan gaji serta
pendapatan
kapital) kepada berbagai golongan rumahtangga.
Perpotongan antara baris 2 dengan kolom 2 dan dengan kolom 4 masing-masing menjelaskan transfer yang diterima oleh institusi
(seperti rumahtangga) dari institusi lain dan dari luar negeri. Penjumlahan semua pendapatan pada baris 2 menjelaskan total pendapatan yang diterima oleh rumahtangga.
Pada tingkat
rumahtangga (sebagai bagian dari institusi), sub-matrik ini disebut juga sebagai sub-matrik distribusi pendapatan rumahtangga. Baris 3:
Baris ini rnenjelaskan, antara lain, mengenai penerimaan berbagai sektor sebagai akibat dari penjualan barang clan jasa yang dihasilkan kepada konsumen.
Penerimaan ini dapat berasal dari: a. hasil
penjwlan barang dan jasa kepada konsumen akhir di dalam negeri (digambarkan oleh perpotongan antara baris 3 dengan kolom 2); b. dari hail penjualan barang dan jasa sebagai input antara (intermediate
inpws) di dalarn negeri yang akan diolah kembali untuk menghasilkan barang dan jasa lainnya (digambarkan oleh perpotongan antara baris 3 dengan kolom 3); dan c. hasil penjualan barang clan jasa ke luar negeri atau ekspor atau pun penggunaan barang yang dihasilkan sebagai barang modal (digambarkan oleh perpotongan antara baris 3 dengan kolom 4). Penjumlahan seluruh sub-matrik ini menunjuMran total output yang dihasilkan oleh suatu wilayah. Baris 4:
Perpotongan baris 4 dengan kolom-kolorn l , 2 , 3 , dan 4 menunjukkan bermacam-macam pengertian.
Hal ini disebgbkan karena n e m
lainnya (bans 4) merupakan neraca gabungan yang sebenarnya dapat dirinci sesuai dengan kebutuhan . Pada kerangka SNSE regional kedua propinsi kasus (NTT dan Riau) neraca ini dibagi atas 3 bagian, yaitu
pertama adalah neraca kapital, kedua adalah neraca pajak tidak langsung neto, clan ketiga adalah neraca luar negeri.
Dengan
demikian, arti perpotongan antara baris 4 dengan kolom-kolom 1, 2,
3, dan 4 adalah sebagaimana dijelaskan oleh tabel 2.2. 3. Kerniskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah Dalarn SNSE Dengan memahami arti kerangka SNSE sebagaimana telah dijelaskan di atas,
maka kerangka SNSE dapat digunakan sebagai kerangka data clan analisis yang dapat menjelaskan, an tara lain, mengenai: a. Kinerja atau keragaan pembangunan ekonomi suatu wilayah, seperti PDRB, tabungan wilayah; b. Distribusi pendapatan faktorial, yaitu distribusi pendapatan yapg dirinci menurut faktor-faktor produksi, seperti pendapatan yang diterima tenagakerja berupa upah dan gaji, dan yang diterima oleh faktor produksi modal, seperti, berupa bunga, surplus usaha, sewa rumah; c. Distribusi pendapatan dan kerniskinan rumahtangga yang dirinci menurut berbagai golongan rumahtangga. Kinerja Perekonomian Wilayah Kinerja perekonomian suatu wilayah ditunjukkan oleh, misalnya, besarnya PDRB yang dapat dihasilkan oleh wilayah bersangkutan. Hal ini dapat diperoleh dengan cara mencari besarnya nilai tambah yang ditimbulkan oleh berbagai sektor ekonomi di wilayah bersangkutan dan kemudian menjumlahkannya. Seperti telah ditunjukkan oleh tabel 2.2 bahwa neraca T,, menunjukkan alokasi nil& tambah dari berbagai sektor produksi ke faktor-faktor produlcsi, yaitu faktor produksi tenagakerja dan faktor produksi modal. Dengan perkataan lain, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, neraca ini menggambarkan distribusi niiai tambah menurut sektor dan sekaligus mencerminkan besarnya PDRB (atas dasar harga faktor) yang dapat
26
dihasilkm oleh wilayah
bersangkutan.
Besarnya PDRB suatu wilayah
menggambarkan salah satu hasil pembangunan ekonomi wilayah bersangkutan pada
suatu tahun tertentu.
Bila PDRB suatu wilayah dikurangi dengan berbagai
pengeluaran untuk pembangunan, maka dugaan mengenai tabungan wilayah dapat diperoleh yang memberikan gambaran mengenai salah satu ketersediaan sumberdaya wilayah dalam melaksanakan pembangunan. Distribusi Pendapatan Faktorial Distribusi pendapatan faktorial pada kerangka SNSE ditunjukkan oleh neraca pertama pada kerangka umum mengenai SNSE (lihat kembali tabel 2.1 atau tabel 2.2 dan penjelasan mengenai ha1 tersebut pada bagian sebelumnya).
Seperti telah
,
dijelaskan bahwa neraca T, menunjukkan alokasi nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor produksi ke faktor-faktor produksi, yaitu sebagai balas jasa dari penggunaan faktor-faktor produksi tersebut oleh berbagai sektor ekonomi, seperti upah dan gaji sebagai balas jasa terhadap penggunaan faktor produksi tenagakerja; surplus usaha, bunga, dividen, sewa rumah, dsb sebagai balas jasa terhadap penggunaan faktor produksi modal. Neraca T,,, seperti dijelaskan oleh tabel 2.2, menunjukkan pendapatan faktor produksi yang diterima dari luar negeri oleh berbagai faktor produksi. Total kedua penerimaan (neraca) ini, yaitu T,,, dan T,,, menunjukkan distribusi pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi atau distribusi pendapatan faktorial
t to rial
income distriburion). Dari hasil analisis dengan rnenggunakan neraca ini dapat ditunjukkan, antara lain, perbedaan tingkat upah dan gaji yang diterima oleh berbagai sektor ekonomi. Perbedaan tingkat upah dan gaji antar sektor diperkirakan akan mempunyai korelasi dengan kemiskinan rurnahiangga.
Diiribusi Pendapatan dan Kerniskin Rumahtangga
Distribusi pendapatan dan kemiskinan rumahtangga pada kerangka SNSE ditunjukkan oleh baris neraca kedua pada kerangka umum mengenai SNSE (Iihat kembali tabel 2.1 atau tabel 2.2). Seperti telah dijelaskan sebelumnya @hat juga
tabel 2.2) bahwa neraca %menunju kkan alokasi pendapatan faktor produksi yang diterima oleh berbagai institusi (diantaranya adalah rumahtangga).
Neraca ini
merupakan mapping dari neraca TI, ke neraca T,.,. Dengan perkataan lain, neraca ini menjelaskan mengenai mapping distribusi pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi (tenagakerja dan modal) kepada (sebagian) distribusi pendapatan rumahtangga. Dengan pengertian ini, maka total isian neraca TI, hams sama dengan
-=-
* G.,.
Sementara itu, neraca T,, menunjukkan pembayaran transfer (tram$ier payment) antar institusi, misalnya subsidi dari pemerintah kepada rumahtangga (masyarakat), atau subsidi dari perusaham kepada rumahtanggalmasyarakat, atau pengiriman uang dari suatu rumahtangga kepada rumahtangga yang lain. Neraca T2, menunjukkan transfer payment yang diterima oleh institusi dari luar negeri. Jumlah ketiga neraca T,.,, T,,, dan T2, menggambarkan distribusi pendapatan institusi (rumahtangga) atau household income distribucion. Dengan menggunakan ketiga neraca ini, masalah distribusi pendapatan dan kemiskinan rumahtangga dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan perbandingan pendapatan antar golongan rumahtangga dapat diketahui siapa (atau golongan rumahtangga mana) yang menerima pendapatan yang paling rendah atau yang disebut sebagai rumahtangga miskin. 4. Analisis dengan Menggunakan Kerangka SNSE
Salab satu analisis yang dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka SNSE
adalah analisis pengganda neraca (accounting multiplier analysis). Analisis ini mirip dengan analisis tabel 1-0 yang menjelaskan mengenai dampak perubahan yang terjadi terhadap neraca endogen sebagai akibat perubahan pada neraca eksogen. Dalam
Diiribusi Pendapatan dan Kerniskinan Rumahtangga
Distribusi pendapatan dan kemiskinan rumahtangga pada kerangka SNSE ditunjukkan oleh baris neraca kedua pada kerangka umum mengenai SNSE (Iihat kembali tabel 2.1 atau tabel 2.2). Seperti telah dijelaskan sebelumnya (Xihat juga
tabel 2.2) bahwa neraca &menunjukkan alokasi pdapatan faktor produksi yang diterima oleh berbagai institusi (diantaranya adalah rumahtangga). Neraca ini merupakan mapping dari neraca Tia3ke neraca T,.,.
Dengan perkataan lain, neraca
ini menjelaskan mengenai mapping distribusi pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi (tenagakerja dan modal) kepada (sebagian) distribusi pendapatan rumahtangga. Dengan pengertian ini, maka total isian neraca Ti, hams -=-
* &.,.
sama dengan neM
Sementara itu, neraca T,, menunjukkan pembayaran transfer (trawer payment) antar institusi, misalnya subsidi dari pemerintah kepada rumahtangga (masyarakat), atau subsidi dari perusahaan kepada rumahtangga/masyarakat, atau pengiriman uang dari suatu rumahtangga kepada rumahtangga yang lain. Neraca T,, menunjukkan transferpayment yang diterima oleh institusi dari luar negeri. Jumlah ketiga neraca T,.,, T,,,
dan T2, menggambarkan distribusi pendapatan institusi
(rumahtangga) atau household income distribution. Dengan menggunakan ketiga neraca ini, masalah distribusi pendapatan dan kemiskinan rumahtangga dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan perbandingan pendapatan antar golongan rumahtangga dapat diketahui siapa (atau golongan rumahtangga mana) yang menerima pendapatan yang paling rendah atau yang disebut sebagai rumahtangga miskin. 4. Analisis dengan Menggunakan Kerangka SNSE
Salab satu analisis yang dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka SNSE
adalah analisis pengganda neraca (accounting multiplier analysis). Analisis ini mirip dengan analisis tabel 1-0 yang menjelaskan mengenai dampak perubahan yang kjadi terhadap neraca endogen sebagai akibat perubahan pada neraca eksogen. Dalam
28
analisis ini, biasanya neraca lainnya (rest of the world accoms), termasuk neraca pemerintahan, dianggap sebagai neraca eksogen. Analisis ini merupakan suatu analisis
statis yang memberikan solusi bukan-optimal (mn-optimal solution). Dalam disertasi ini, analisis pengganda neraca digunakan untuk menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan perubahan dalam distribusi pendapatan rumahtangga yang dijelaskan pada bab 111. Penjelasan lebih lanjut mengenai metode
analisis pengganda neraca dapat dilihat pada lampiran D dalam disertasi ini.