1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit di Indonesia semakin menarik untuk dikembangkan dan dibudidayakan, mengingat semakin tingginya permintaan hasil olahan pohon kelapa sawit dari tahun ke tahun. Ada banyak perkebunan kelapa sawit yang tersebar di pulau-pulau besar di Indonesia seperti pulau Sumatera dan Kalimantan, salah satu yang terkenal adalah daerah Muara Wahau. Muara Wahau merupakan salah satu wilayah perkebunan kelapa sawit yang menjadi pionir sawit di daerah Kutai Timur, Kalimantan Timur. Dengan bukti bahwa daerah tersebut berkembang pesat adalah peredaran uang di masyarakat setiap bulannya mencapai puluhan miliar rupiah. Dalam konservasinya untuk mempertahankan kualitas, maka dibutuhkan sebuah informasi yang menyeluruh dan detil terhadap perkembangan tiap pohon sawit setiap tahunnya.Salah satu yang sangat esensial untuk diperhatikan yakni kesehatan pohon sawit. Untuk mendukung kegiatan pemantauan kesehatannya, saat ini telah berkembang teknologi penginderaan jauh yang semakin canggih berupa kombinasi Lidar dan Foto Udara Multispektral 4 band. Dengan kombinasi tersebut, kualitas kesehatan pohon sawit dapat dipetakan dengan cepat dalam area yang luas dan dianalisis dalam resolusi spasial yang tinggi, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan citra satelit. Hasil keluarannya dapat digunakan dalam pengambilan keputusan penanganan berikutnya secara efektif dan efisien. Kesehatan tanaman dapat dilihat dan diinterpretasi dari beberapa bagian dari tanaman tersebut yang mampu terekam oleh kamera dari udara misalnya kanopi pohon, tinggi pohon dan warna daun. Kanopi merupakan kumpulan tajuk yang terbentuk oleh cabang-cabang dan dedaunan pohon-pohon hutan yang ratarata mempunyai ketinggian 30 meter dari atas tanah dan tumbuhnya rapat serta tumpang tindih sehingga tajuknya saling bertautan membentuk kesinambungan serta menjadi atap hutan (Buttler 2008, dalam Cendramadi 2011). Secara alamiah
2
(pertumbuhan liar di hutan), tinggi batang pohon kelapa sawit dapat mencapai 30 m, tetapi secara komersial (dalam budi daya perkebunan) jarang sekali tinggi tanaman kelapa sawit melebihi ketinggian 15 - 18 m. Hal ini berhubungan dengan kemudahan pelaksanaan panenan buah dan pemeliharaan lainnya, misalnya pemangkasan daun (Setyamidjaja 1991). Menurut Risanda (2008), daun kelapa sawit yang sehat dan segar berwarna hijau tua sedangkan yang terindikasi terkena penyakit, warna daun akan menjadi kuning pucat, adapula yang berwarna abuabu mengkilap, bercak kecokelatan serta merah keunguan yang disebabkan oleh kekurangan beberapa unsur hara. Tanaman kelapa sawit yang terindikasi penyakit sangat penting dan perlu untuk dipetakan karena akan sangat membantu para pemilik kebun kelapa sawit untuk melihat distribusi tanaman yang terindikasi tidak normal dalam areal yang luas. Selain itu, dapat diketahui pula dengan tepat posisi - posisi tanaman yang terkena penyakit melalui koordinat yang disajikan di peta. Dengan adanya peta distribusi, maka akan dapat diambil keputusan penanganan secara tepat dan cepat. Data foto udara multispektral yang telah diproses menjadi ortofoto multispektral dan dibuat mosaik, akan mampu memberikan gambaran secara visual, persebaran tanaman sawit yang terindikasi penyakit atau tidak normal. Dengan kemampuan multispektralnya serta resolusi spasial yang tinggi sampai ke fraksi
sentimeter,
seorang
interpreter
akan
dengan
cepat
dapat
mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan tanaman sawit yang sehat dan yang sakit hanya dengan mengkombinasikan band NIR dengan band RGB membentuk keluaran CIR yang memberikan perubahan warna asli menjadi warna semu sehingga nampak perbedaan kesehatan tanamannya lebih jelas terlihat. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan pada proyek ini meliputi : 1. Data yang digunakan adalah data foto udara multispektral dengan rincian band : a. Band Biru ( λ = 0,4 μm – 0,5 μm dan DN = 0 - 65535) b. Band Hijau ( λ = 0,5 μm – 0,6 μm dan DN = 0 - 65535)
3
c. Band Merah ( λ = 0,6 μm – 0,7 μm dan DN = 0 - 65535) d. Band NIR ( λ = 0,7 μm – 0,95 μm dan DN = 0 - 61966) yang diakuisisi pada tanggal 8 April 2013. Akuisisi data dilakukan dengan menggunakan alat Airborne LiDAR ALS70 Leica dan kamera udara digital RCD30 yang terintegrasi dan dipasang pada pesawat Pilatus Porter PC6. 2. Lokasi penelitian adalah di kawasan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur. 3. Tanaman yang diteliti dalam proyek ini adalah pohon kelapa sawit yang dewasa. 4. Data masukan yang digunakan dalam pemrosesan ortofoto hanya menggunakan data lidar (*.las). 5. Unsur tanaman sawit yang menjadi parameter indikasi penyakit secara visual yakni warna daun. 6. Asumsi nilai NDVI yang digunakan sebagai indikator kesehatan tanaman sawit dalam proyek ini adalah dari 0,1 - 0,2 dikelaskan sebagai sawit terindikasi penyakit dan 0,2 - 0,9 sebagai sawit yang sehat. I.3. Tujuan Proyek Tujuan dari dilaksanakannya proyek ini adalah membuat peta distribusi tanaman sawit terindikasi penyakit dari ortofoto multispektral. I.4. Manfaat Proyek Pelaksanaan proyek ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain : 1. Untuk bidang akademik, yaitu diharapkan dapat dijadikan bahan referensi mengenai pengolahan raw foto udara multispektral hingga menjadi ortofoto multispektral.
4
2. Manfaat lainnya adalah untuk bidang agronomi, yakni sebagai alternatif pelengkap data dalam mengkaji dan melakukan konservasi terkait dengan kesehatan pohon kelapa sawit. I.5. Landasan Teori I.5.1. Foto Udara Multispektral Proses pemotretan udara dengan menggunakan pesawat terbang dipengaruhi oleh cuaca seperti kecepatan angin, tekanan udara, dan suhu sehingga mempengaruhi attitude terbang pesawat yang akan memiliki efek terhadap jalur terbang pesawat dan proses pengambilan foto. Semakin kuat efek yang diterima pesawat, maka jalur terbang pesawat akan menjadi tidak stabil dan foto yang dihasilkan pun kurang memiliki kualitas yang sesuai dengan standar. Oleh karenanya, sebelum melakukan pengambilan foto, perlu diketahui karakteristik terbang pesawat, alat yang sudah dikalibrasi., dan kondisi cuaca yang mendukung sehingga pemotretan udara menjadi efektif dan efisien serta mampu menghasilkan data foto udara digital dengan kondisi baik.
Gambar I.1. Variasi pergerakan pesawat di udara serta pengaruhnya terhadap foto yang dihasilkan (Sumber : Habib 2007, dalam Hastuti 2014)
5
Umumnya, foto udara dihasilkan dalam warna pankromatik karena menggunakan saluran lebar. Foto udara multispektral merupakan foto udara yang diperoleh pada tempat dan ketinggian yang sama dengan menggunakan lebih dari satu spektrum elektromagnetik. Biasanya digunakan satu kamera berlensa empat dengan menggunakan saluran biru, hijau, merah, dan inframerah dekat. Proses perekamannya dilakukan secara serentak sehingga pada setiap sekali pemotretan, dihasilkan empat foto yang saluran elektromagnetiknya berbeda. Kelebihan foto udara multispektral terletak pada kemampuannya untuk mempertajam perbedaan rona antara dua obyek atau lebih. Penajaman rona pada foto udara multispektral dapat dimanfaatkan untuk pengamatan visual tanpa perubahan, pengamatan visual dengan pemotretan kembali, dan paduan warna aditif dengan alat pengamat (Liliesand dan Kiefer 2000). Pada foto udara multispektral, tiap saluran mempunyai keunggulannya sendiri. Berikut ini adalah keunggulan dan manfaat saluran merah, hijau, biru dan inframerah menurut Rehder (1985) dalam Liliesand dan Kiefer (2000) : 1. Saluran biru (0,4 μm – 0,5 μm) Saluran biru merupakan saluran yang peka terhadap pantulan air sehingga sering digunakan dalam mengindera kelembaban atmosfer, kedalaman air, dan kekeruhan air. 2. Saluran hijau (0,5 μm – 0,6 μm) Saluran hijau dapat digunakan untuk membedakan tanaman sehat dan tanaman sakit. 3. Saluran merah (0,6 μm – 0,7 μm) Saluran merah merupakan saluran yang baik untuk membedakan vegetasi dan bukan vegetasi. 4. Saluran inframerah dekat (0,7 μm – 0,95 μm) Saluran inframerah bermanfaat untuk mendeteksi tanaman ataupun hutan yang mengalami gangguan. Dengan saluran ini, juga dapat memudahkan untuk membedakan tanah dengan vegetasi, tanah dengan air, menggambarkan badan air ,dan mengidentifikasi tanaman pertanian.
6
Gambar I.2. Panjang gelombang spektrum elektromagnetik (Sumber : https://tests.capnhq.gov/ops/archer_training/archer_hsi_tech/Electromagnetic%20Radiation.c fm)
I.5.2. Orientasi dalam Orientasi dalam merupakan proses mencari hubungan antara sistem berkas dengan sistem foto, yang biasanya secara manual disebut centering foto, dengan memasukkan data kalibrasi kamera. Setiap pemotretan udara dengan mengggunakan foto udara digital akan menghasilkan foto dalam sistem koordinat piksel (kolom, baris) yang memiliki titik origin pada pojok kiri atas. Agar dapat menghasilkan model dalam bentuk geometris yang tepat maka perlu dilakukan proses transformasi dari koordinat piksel menjadi koordinat foto (x,y) yang memiliki titik origin pada pusat foto. Unsur-unsur yang diperlukan untuk proses orientasi dalam diantaranya panjang fokus kamera, ukuran negatif film atau CCD pada kamera digital. Model matematis yang dapat digunakan untuk proses transformasi koordinat citra ke koordinat foto adalah sebagai berikut (Harnanto 2012, dalam Pranadita 2013) : x = a1 + a2 u + a3 v................................................... (I.1) y = a4 + a5 u + a6 v................................................... (I.2) Keterangan : x,y
= Sistem koordinat foto
7
u,v
= Sistem koordinat piksel
a1, .... , a6 = Parameter transformasi Parameter transformasi diperoleh dari hasil hitungan rumus (I.1) dan (I.2) yaitu dengan menentukan koordinat minimal tiga buah tanda tepi kamera dalam sistem koordinat piksel. Jika diketahui lebih dari tiga tanda tepi maka dapat dilakukan perhitungan kuadrat terkecil untuk dapat menentukan parameter interior orientasi kamera. I.5.3. Direct Georeferencing Georeferencing adalah proses penentuan posisi sensor kamera udara ke sistem koordinat tanah. Georeferencing terdiri dari dua jenis yakni indirect georeferencing dan direct georeferencing. Perbedaan dari kedua proses tersebut disajikan dalam tabel I.1. berikut. Tabel I.1. Perbedaan Indirect dan Direct Georeferencing Indirect Georeferencing
Direct Georeferencing
Penentuan sensor kamera dilakukan
Penentuan sensor kamera secara
dengan proses AT (aerial
langsung dengan menggunakan
triangulation)
peralatan tambahan (IMU dan GPS)
Membutuhkan titik kontrol tanah dan
Dapat meminimalisir jumlah titik
titik ikat (tie point) yang banyak
kontrol tanah sehingga dapat mempercepat proses pemetaan selain menghemat biaya keseluruhan
Tidak terlalu memperhatikan kesalahan
Memperhitungkan kesalahan sistematik
sistematik Metode direct georeferencing dapat menghasilkan proses penentuan eksterior orientasi dengan ketelitian tinggi, dengan persyaratan pemilihan peralatan, metode akuisisi dan proses pengolahan dilakukan dengan tepat sehingga dapat ditambahkan dalam proses AT. Koreksi antara jarak pusat GPS di
8
pesawat harus diperhitungkan dengan jarak pusat foto dan jarak baseline antara GPS di tanah dengan GPS di pesawat harus diperhitungkan karena akan berpengaruh terhadap ketelitian posisi. Metode ini masih dalam tahap pengembangan sistem kalibrasi boresight (perbedaan sudut yang terbentuk antara IMU dan sensor kamera) dan juga dapat mengukur kesalahan sistematik sensor kamera (nilai focal length). Untuk lebih jelas dapat diperhatikan Gambar I.3. dan I.4. di bawah ini.
GPS pada pesawat sebagai
Metode
roving
diferential Kinematik, Menentukan
Kamera udara untuk
INS/IMU
merekam
untuk
Koordinat
mengukur nilai
objek di atas permukaan
X, Y, Z
omega, phi, kappa
bumi GPS pada ground/ta nah sebagai base atau station referensi
Gambar I.3. Visualisasi sistem direct georeferencing GNSS antenna phase centre
zb
X
GPS b
e
C am y b X b
Inertial Measurement Unit
xb X
O perspective centre y cp Camera / Sensor
xc
P‘ image point
X0
b 0
zc
( Rp )
Z P object point
Y Object coordinate system
X
X
Gambar I.4. Sistem direct georeferencing dalam bentuk geometrikal
9
Transformasi koordinat dari koordinat foto ke koordinat tanah dengan parameter sensor frame foto dapat dibentuk dengan persamaan (Fritsch 2014) :
X Xl0 R lb R bCam xPCam XbCam XbGPS
..............(I.3)
Data GPS/IMU harus dihubungkan dengan sensor kamera yang telah diorientasikan, yang prosesnya disebut dengan koreksi boresight alignment dengan parameter : : : I.5.4. Triangulasi Udara Triangulasi
udara
merupakan
bagian
dari
tahapan
pemrosesan
fotogrametri yang cukup kompleks. Dengan adanya transisi foto udara dari konvensional ke digital, maka muncul istilah triangulasi udara digital. Pekerjaan identifikasi, pemilihan transfer, dan pengukuran titik ikat foto dilakukan secara digital juga. Dalam sudut pandang yang lebih sempit, triangulasi udara terbagi atas 4 fase (Schenk 1996) yakni persiapan, transfer titik, perhitungan titik, dan bundle block adjustment. Bundle block adjusment merupakan proses yang dilakukan untuk menghubungkan secara langsung sistem koordinat foto menjadi sistem koordinat tanah, tanpa melakukan proses orientasi relatif dan orientasi absolut. Secara umum bundle adjusment dapat digambarkan dengan menggunakan persamaan transformasi sebangun tiga dimensi.
Keterangan : X,Y,Z
= Posisi titik pada koordinat tanah
λ
= Faktor skala
ωϕϏ
= Parameter rotasi
x,y,z
= Posisi titik pada koordinat foto
xo,yo,zo
= Posisi pusat proyeksi kamera pada sistem koordinat foto
10
Apabila dilihat secara visual hubungan antara sistem koordinat foto dengan sistem koordinat tanah dapat dilihat pada Gambar I.4.
Gambar I.5. Hubungan koordinat foto dengan koordinat tanah (Sumber : Harintaka dkk 2008, dalam Pranadita 2013) Dengan mendistributifkan antara parameter yang berada pada gambar I.5 dengan rumus I.4 maka persamaan konform tiga dimensi dapat dibentuk menjadi rumus I.5.
Keterangan : r11,r12,...,r33
= Parameter rotasi terhadap setiap sumbu
xp,yp,zp
= Koordinat titik pada sistem koordinat foto
Xp,Yp,Zp
= Koordinat titik pada sistem koordinat tanah
Xo,Yo,Zo
= Posisi pusat proyeksi kamera pada tanah
11
Untuk menunjukkan bahwa posisi sebuah obyek yang berada di foto, dipermukaan tanah dan pusat proyeksi berada dalam satu garis lurus maka dapat dibangun sebuah persamaan kolinier atau persamaan kesegarisan, yaitu dengan cara membagi baris ke-1 dan baris ke-2 dengan baris ke-3, sehingga diperoleh persamaan I.6 dan I.7.
Persamaan I.6 dan I.7 merupakan persamaan non linear dan masih memiliki enam parameter yang belum diketahui nilainya yaitu Xo, Yo , Zo, ω, ϕ, Ϗ. Karena persamaan I.6 dan I.7 bukan persamaan linear maka dilakukan proses linearisasi dengan menggunakan deret tailor yaitu dengan menurunkan persamaan I.6 dan I.7 ke masing-masing parameter, sehingga diperoleh persamaan I.8 dan I.9.
Berdasarkan persamaan I.7 dan I.8 maka akan diperoleh parameter eksterior orientasi yang dapat digunakan untuk membangun model stereo. Hasil statistik perataan dari proses triangulasi udara harus memenuhi ketentuan berikut (KAK Pemotretan Udara dari BIG 2014) : - Sigma naught < ukuran piksel (mikron) - RMSE titik minor < 0,5 x ukuran piksel (mikron) - Nilai residual maksimal titik minor < 1,5 x ukuran piksel (mikron) - RMSE titik kontrol < 0,5 meter - Nilai residual maksimal titik kontrol < 1 meter Apabila ditemukan hasil yang tidak memenuhi persyaratan diatas, maka
12
pelaksanaan Triangulasi Udara harus diulang dengan mengeliminasi kesalahan yang muncul dan dihitung ulang sampai hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. I.5.5. Ortofoto Ortofoto adalah foto udara yang memiliki proyeksi orhtogonal sehingga memiliki keseragaman skala dan tidak memiliki kesalahan pergeseran relief sehingga bisa digunakan dalam pemetaan (Habib 2007, dalam Pranadita 2013). Pada dasarnya
sebuah foto memiliki karakteristik tertentu di antaranya, memiliki proyeksi perspektif, skala tidak seragam pada keseluruhan obyek yang tergambar, terdapat perbedaan bentuk antara obyek tergambar dengan obyek di lapangan. Gambaran karakteristik foto dapat dilihat seperti Gambar I.6. e d
c
b a
Foto Udara
Titik pusat proyeksi
A
B
D
C
E
A B C’ D Gambar I.6. Proyeksi pada foto
E
Datum
Sedangkan karakteristik peta: terproyeksi secara orthogonal, skala yang sama, dan tidak adanya perbedaan bentuk antara obyek tergambar dengan obyek di lapangan. Karakteristik peta dapat dilihat seperti Gambar I.7. a
A A
b
B B’
c
C C’
Gambar I.7. Proyeksi pada peta
d
D
e
Peta
E D’
E’
Datum
13
Menurut Habib (2007), dalam Pranadita (2013) dengan dibentuknya ortofoto maka akan diperoleh beberapa keuntungan dalam pekerjaan yang dilakukan, di antaranya: 1. Hasil ortofoto akan memiliki karakteristik yang sama seperti peta tetapi dengan lebih banyak fitur. 2. Pengguna dapat menggambar garis dan mengukur jarak tanpa memerlukan stereo-plotters. 3. Salah satu alternatif pembuatan peta dengan biaya rendah karena ortofoto dapat dilakukan secara otomatis. Pembuatan ortofoto membutuhkan waktu yang lebih singkat dan biaya yang lebih murah apabila dibandingkan dengan pembuatan peta vector. Foto yang dijadikan ortofoto dapat dimanipulasi sehingga kualitas foto dapat ditingkatkan dengan melakukan perubahan konsistensi, kontras, sharpening, filtering dan lain sebagainya (Habib 2007, dalam Pranadita 2013). Ortofoto dibuat dengan menggunakan data EO dan DTM. DTM yang dihasilkan minimal memiliki resolusi 32 bit dengan sampling space 2,5 meter x 2,5 meter. Tahapan pembuatan ortofoto adalah sebagai berikut (KAK Pemotretan Udara dari BIG 2014) : a. Persiapan data meliputi foto udara, hasil AT dan DEM (dengan ketelitian dan resolusi yang sesuai untuk pembuatan ortofoto skala 1: 5.000). b. Proses ortorektifikasi foto udara menggunakan hasil AT dan DEM. c. Mosaik foto per blok, meliputi pembuatan seamline dan tone/color balancing. d. Cropping mosaik foto per NLP. e. Export ke format GeoTIFF resolusi 15 cm. Ortofoto yang telah dibuat harus diperiksa ketelitiannya dengan mengukur koordinat premark pada ortofoto. Ketelitian yang disyaratkan adalah ketelitian horizontal 1 m. Ortofoto yang dihasilkan kemudian dibuat mosaik. Secara detil Wolf (1983) dalam Lillesand and Kiefer (2000), menyatakan mosaik foto udara merupakan gabungan dari dua atau lebih foto udara yang saling
bertampalan
sehingga
terbentuk
paduan
citra
(image)
yang
berkesinambungan dan menampilkan daerah yang lebih luas. Foto yang telah
14
dimosaik tidak akan terlihat lagi frame-frame fotonya yang bertampalan karena telah terintegrasi menjadi satu bagian (seamless). I.5.6. Koreksi Radiometrik Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki kualitas visual dan memperbaiki nilai- nilai pixel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya (Arhatin 2010). Proses koreksi radiometrik mencakup koreksi efek - efek yang berhubungan dengan sensor untuk meningkatkan (enhancing) setiap piksel (picture element) dari foto, sehingga objek yang terekam mudah diinterpretasikan atau dianalisis untuk menghasilkan data yang benar dan sesuai dengan keadaan di lapangan. Beberapa contoh metode yang dapat dipakai dalam koreksi radiometrik, diantaranya adalah metode penyesuaian histogram dan metode penyesuaian regresi. I.5.7. Interpretasi Foto Udara Wolf (1983), JARS (1993) dalam Lillesand and Kiefer (2000), menyatakan ada 8 kunci yang dipergunakan untuk melakukan klasifikasi obyek secara visual, yaitu bentuk, ukuran, pola, tone, bayangan, rona atau warna, tekstur dan asosiasi. Pada awalnya kunci interpretasi sangat cocok diterapkan pada citrafoto udara pankromati, tetapi dapat diterapkan pada citra satelit. Jika citra memiliki saluran multispektral maka dapat dibuat warna natural sehingga kenampakan obyek dapat digunakan teknik filtering dengan menggunakan filter yang sesuai. Berapa jenis filter digunakan untuk mengekstrak titik, garis, dan sisi obyek pada citra digital. I.5.8. Skema Klasifikasi Skema adalah alur atau tahapan pelaksanaan suatu kegiatan sedangkan klasifikasi adalah penggolongan objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan kriteria tertentu (Kartini 1999). Pemilihan skema klasifikasi merupakan rencana untuk memilih kategori-kategori yang akan dipakai untuk mengelompokkan nilai piksel kedalam kelas-kelas tertentu. Ada berbagai macam skema klasifikasi penggunaan
15
lahan yang bisa digunakan. Dalam penelitian ini digunakan skema klasifikasi berdasarkan nilai digital hasi dari NDVI yang terbagi menjadi tiga kelas yakni non vegetasi, sehat, dan terindikasi sakit. Dengsn indikatornya secara visual adalah warna daun yang diamati dalam foto CIR serta rentang nilai NDVI yang dibagi menjadi 3 kelas yakni dari -1 sampai 0,1 sebagai non vegetasi, 0,1- 0,2 sebagai sawit terindikasi penyakit, 0,2 - 0,9 sebagai sawit sehat. Foto Multispektral
Non Vegetasi
Sawit
Terindikasi sakit
Sehat
Gambar I.8. Skema klasifikasi yang akan digunakan dalam proyek I.5.9. Analisa Spektral Pantulan Energi dari pantulan dan pancaran gelombang elektromagnetik dari obyek dipermukaan bumi yang diterima oleh sensor, dimanfaatkan oleh sistem penginderaan jauh untuk memperoleh nilai spektral dari suatu obyek. Nilai spektral dari obyek dipermukaan bumi berasal dari nilai energi yang diterima oleh sensor tersebut. Setiap obyek memiliki karakteristik dan respon yang berbeda terhadap suatu
panjang
gelombang
elektromagnetik,
dan
panjang
gelombang
elektromagnetik tertentu memiliki respon yang berbeda ketika berinteraksi dengan obyek, sehingga dapat ditemukan obyek yang sama akan memiliki respon spektral yang berbeda jika berada pada kondisi yang berbeda. Respon spektral obyek dipermukaan bumi dipengaruhi oleh azimut matahari, sudut ketinggian matahari, arah relatif sensor terhadap nadir dan kondisi obyek tersebut. Sudut
16
azimuth matahari adalah sudut yang terbentuk antara arah utara dengan matahari. Sudut ketinggian matahari adalah sudut vertikal yang terbentuk antara permukaan dengan arah matahari. Karakteristik pantulan spektral dari vegetasi dipengaruhi oleh kandungan pigmen daun, material organik, air dan karakteristik struktural daun seperti bentuk daun dan luas daun (Huete 2012). Vegetasi memiliki karakter spektral yang unik bila dibandingkan dengan obyek tanah maupun air pada saluran panjang gelombang tampak maupun pada panjang gelombang inframerah. Nilai pantulan vegetasi pada saluran panjang gelombang tampak memiliki nilai pantulan yang rendah pada panjang gelombang biru dan merah hal ini disebabkan oleh serapan klorofil untuk fotosintesis, vegetasi memiliki nilai yang tinggi pada panjang gelombang hijau, hal ini menyebabkan vegetasi terlihat berwarna hijau. Pada panjang gelombang infra merah dekat, nilai pantulan dari vegetasi lebih tinggi dari pada panjang gelombang tampak hal ini disebabkan oleh struktur daun. Pada panjang gelombang inframerah pendek pantulan daun meningkat seiring dengan menurunnya kadar air pada daun, untuk itu saluran inframerah pendek dapat digunakan untuk melihat vegetasi yang sakit. Pada panjang gelombang inframerah tengah pantulan vegetasi menurun yang disebabkan oleh serapan yang kuat oleh air.
Gambar I.9. Pantulan spektral vegetasi. Tanda panah menunjukkan panjang gelombang sensor optik terhadap vegetasi. A : Saluran Biru, B : Saluran Hijau, C : Saluran Merah, D : Inframerah dekat, E : Inframerah pendek (Sumber : http://www.crisp.nus.edu.sg/~research/tutorial/optical.htm)
17
I.5.10. NDVI Formula Indeks Vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah formula NDVI. NDVI merupakan salah satu indeks vegetasi yang tertua, terbanyak, dan paling sering digunakan untuk membedakan vegetasi. Nilai NDVI ditentukan dalam persamaan : NDVI = Saluran inframerah dekat (NIR) – saluran merah (RED)...................(I.10) Saluran inframerah dekat (NIR) + saluran merah (RED) NDVI mempunyai nilai antara -1 yang menunjukkan daerah dengan tingkat kerapatan sangat rendah, hingga nilai +1 yang menunjukkan daerah dengan tingkat kerapatan sangat tinggi (Danoedoro 1996). Prinsip dari NDVI adalah bahwa tumbuhan hidup akan menyerap gelombang matahari untuk melakukan proses fotosintesis. Pada tanaman berklorofil, visible light (RGB) akan diserap sampai dengan setengahnya sedangkan gelombang inframerah (0,7 – 1,1 µm) akan dipantulkan. Sehingga pada tanaman yang sehat, daun-daunnya akan menyerap gelombang visible paling banyak dan memantulkan inframerah dekat paling banyak juga (Zhang dkk 2009, dalam Priyani 2013). Pada citra inframerah dekat yang berwarna hitam putih, menandakan hitam adalah NIR paling banyak diserap, sedangkan putih adalah NIR paling banyak dipantulkan. Lebih jelasnya disajikan dalam Gambar I.8. berikut. NIR 60 %
Visible
18 %
Sawit Sehat
NIR 35 %
Visible
8%
Sawit Sakit
Gambar I.10. Hubungan penyerapan gelombang visible dan NIR pada tanaman sehat dan tanaman yang sakit
18
NDVI berkorelasi dengan kemampuan fotosintesis tumbuhan dan energi yang terserap dari kanopi tumbuhan. Tumbuhan sehat akan mempunyai kenampakan nilai NIR paling cerah dan nilai NDVI paling tinggi. Terdapat perbedaan nilai NDVI pada tangkai daun yang sehat dengan tangkai daun tidak sehat. Pada tangkai daun yang sehat mempunyai rerata nilai 0.6, sedangkan tangkai daun yang tidak sehat berada pada rentang 0.1 sampai dengan 0.2 ( Zhang dkk 2009, dalam Priyani 2013).
19