1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Pada zaman sekarang teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, tak terkecuali teknologi dalam bidang survei dan pemetaan. Salah satu teknologi yang sedang berkembang pesat pada bidang tersebut adalah Global Navigation Satellite System atau biasa disingkat GNSS. GNSS adalah salah satu teknologi dalam penentuan posisi yang menggunakan satelit. Pada awalnya sistem ini dikembangkan oleh Negara Amerika dengan sistem yang disebut GPS, namun sekarang teknologi ini telah banyak berkembang terbukti dengan lahirnya teknologi serupa dari negara–negara lain seperti, GLONASS dari Rusia, GALILEO dari Uni Eropa, dan COMPASS dari Cina. Pemaduan teknologi-teknologi tersebut dapat membuat hasil dari penentuan posisi suatu titik menjadi semakin akurat. GNSS tidak terlepas dari bias dan kesalahan. Salah satu sumber bias dan kesalahan dalam GNSS adalah medium perambatan sinyal satelit yaitu atmosfer. Atmosfer memiliki beberapa lapisan seperti troposfer, ionosfer, stratosfer, mesosfer, termosfer dan dissipasisfer. Lapisan troposfer merupakan lapisan yang dapat menyebabkan peristiwa refraksi troposfer. Refraksi troposfer dapat menyebabkan perubahan arah dan kecepatan dari sinyal satelit. Hal tersebut berefek pada hasil ukuran jarak dari satelit ke receiver di permukaan bumi. Peristiwa refraksi troposfer ini berpengaruh terhadap baseline yang dihasilkan dari pengukuran dengan GNSS. Peristiwa refraksi troposfer ini dapat dieliminir dengan melakukan penerapan model koreksi troposfer. Terdapat beberapa model koreksi troposfer yaitu Saastamoinen, Hopfiled, Marini dan Goad-Goodman.
2
Gunung Merapi adalah salah satu gunung yang aktif di Indonesia. Gunung Merapi secara khusus dipantau pergerakannya. Pemantauan pergerakan tersebut dilakukan dengan pengamatan GNSS pada beberapa titik di Gunung Merapi. Titik-titik pengamatan tersebut tersebar di berbagai ketinggian yang sangat besar. Jaring yang dibentuk titik-titik tersebut merupakan baseline pendek dan mempunyai beda tinggi yang signifikan. Pengolahan data GNSS pada titik Gunung Merapi yang mempunyai perbedaan tinggi yang signifikan tentunya tidak terlepas dari pengaruh refraksi troposfer. Berapa pengaruh ketelitian hasil pengolahan baseline dengan model koreksi troposfer akan dievalusi. Dalam rangka memperoleh ketelitian yang tinggi, pengolahan dilakukan dengan perangkat lunak ilmiah. GPS Analysis of Massachusset Institute of Technology (GAMIT) merupakan perangkat lunak ilmiah dilengkapi fasilitas pengeditan pengaturan dalam pengolahan data, pemilihan penggunaan titik ikat global sebagai parameter dan perhitungan parameter lainnya, seperti parameter atmosfer, orientasi bumi (EOP), pasang surut dan cuaca yang menjadikan hasil dari pengolahan data GNSS sangat teliti (Herring, 2010). Penelitian ini membahas tentang perbedaan ketelitian baseline GNSS Gunung Merapi hasil pengolahan dengan model koreksi troposfer dan tanpa model koreksi troposfer.
I.2. Rumusan Masalah Refraksi troposfer berpengaruh pada hasil pengolahan data GNSS. Salah satu pengaruhnya dapat dilihat pada nilai simpangan baku baseline. Pengolahan pada suatu jaring dengan baseline pendek dan antar titiknya mempunyai beda tinggi yang besar
3
seperti titik GNSS di Gunung Merapi dipengaruhi refraksi troposfer. Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, pertanyaan penelitian ini adalah : 1.
Berapakah nilai simpangan baseline hasil pengolahan dengan model koreksi troposfer dan tanpa model koreksi troposfer?
2.
Adakah perbedaan yang signifikan dari simpangan baku baseline hasil pengolahan dengan model koreksi troposfer dan tanpa model koreksi troposfer?
I.3. Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1.
Menentukan nilai simpangan baku baseline hasil pengolahan dengan model koreksi troposfer dan tanpa model koreksi troposfer.
2.
Menguji signifikansi perbedaan simpangan baku kedua pengolahan tersebut.
I.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan seberapa besar koreksi troposfer berpengaruh pada ketelitian baseline. Hasil tersebut dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengolahan data GPS yang menuntut presisi tinggi.
I.5. Cakupan Penelitian Cakupan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Data pengamatan GPS selama 5 jam pada 5 titik Gunung Merapi. Data tersebut diamat pada tanggal 1 Agustus 2000 dengan sampling rate 30 detik.
2.
Kesalahan troposfer dihitung dengan model koreksi Saastamoinen.
4
3.
Hitungan baseline dan simpangan baku dilakukan dengan perangkat lunak GAMIT 10.4.
I.6. Tinjauan Pustaka Purwanto pada tahun 1999 melakukan analisis pengaruh refraksi troposter terhadap ketelitian data pengamatan GPS single frequency. Analisis dilakukan dengan membandingkan dua set data GPS yang sama jaringnya namun pada pemasukan data meteorologi satu data set dengan data meteorologi standar dan satu set lagi dengan data meteorologi hasil pengukuran. Dalam analisis data yang digunakan adalah data hasil pengamatan GPS single frequency di 7 titik jaring Gunung Merapi yaitu di Jrakah, Deles-0, Deles-1, Babadan, Selo, Pusong, Lulu. Dalam proses pengolahan data digunakan perangkat lunak GPSWin v2.0 dan GeoLab v2.4d. Hasil pengolahan menunjukkan bahwa hasil pengolahan data GPS yang menggunakan data meteorologi hasil pengukuran memiliki ketelitian yang lebih baik. Hal itu yang ditunjukkan dengan besarnya simpangan baku yaitu antara 0,5 s/d 4,7 mm yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai simpangan baku untuk data GPS yang menggunakan data meteorologi standar yaitu 1,0 s/d 18,2 mm. Kaniuth dan Tremel pada tahun 1992 melakukan analisis korelasi spasial dan temporal dari parameter meteorology yang dihubungkan dengan pemodelaan bias troposfer. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis satu set data selama satu tahun. Korelasi spasial dan temporal dari Precipitable Water Vapour (PWV) yang dihitung berdasarkan komponen basah dari bias troposfer. Hubungan tinggi troposfer pada temperatur permukaan dan lokasi juga dikaji dalam penelitian tersebut. Data yang digunakan adalah satu set data yang dihasilkan dari 14.501 radio sonde flights yang berasal dari Network of 63 European Aerological Station. Hasil analisis menunjukkan bahwa korelasi temporal dari PWV berbeda secara signifikan pada beberapa daerah yang dianalisis. Korelasi tertinggi terdapat pada area Italian Mediterranean dengan nilai antara 0,85 s/d 1. Terdapat korelasi PWV yang baik pada jarak di atas ratusan kilometer.
5
Pada jarak 200 km dan PWV 1,8 g/cm2 mempunyai nilai korelasi 0,8. Selain hal tersebut, hasilnya mengindikasikan bahwa kenaikan slight correlation sesuai dengan bertambahnya jumlah PWV. Satirapod dan Chalermwattanachai pada tahun 2005 melakukan evaluasi terhadap pengaruh perbedaan model troposfer pada akurasi baseline GPS. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan hasil ketelitian baseline GPS dengan 3 model troposfer berbeda yaitu model Hopfield, saastamoinen dan Simplified Hopfield. Data yang digunakan adalah data hasil pengamatan GPS dual frequency dengan metode statik dan perangkat lunak yang dgunakan adalah SKI 2.5. Hasil dari evaluasi menunjukan bahwa secara statistik tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara ketiga model troposfer tersebut. Namun meskipun begitu pengunaan model Hopfield dan Saastamoinen akan memberikan hasil yang lebih presisi dibandingkan dengan penggunaan model Simplified Hopfield. Nilai RMSE horisontal dan vertikal untuk model Hopfield dan model Saastamoinen adalah sama yaitu berkisar 0,007 s/d 0,060 m dan 0,019 s/d 0,064 m sedangkan untuk model Simplified Hopfield berkisar 0,007 s/d 0,076 m dan 0,023 s/d 0,083 m. Abidin, dkk pada tahun 1998 melakukan penelitian tentang efek bias troposfer pada pemantauan deformasi Gunung Guntur dengan metode survei GPS. Efek bias troposfer dikaji dengan membandingkan hasil yang diperoleh dari hitung perataan jaring GPS dengan dan tanpa koreksi bias troposfer. Data yang digunakan adalah data jaringan pemantau deformasi Gunung Guntur dan perangkat lunak yang digunakan adalah Bernesse 4.0. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam jaring GPS untuk pemantauan gunung api yang titik-titiknya mempunyai variasi ketinggian yang relatif besar. Efek bias relatif troposfer mempengaruhi komponen koordinat dan ketelitiannya, serta panjang baseline dalam jaringan. Besar efek ini berkisar pada level beberapa milimeter pada kondisi cuaca cerah dan dapat mencapai level sentimeter pada kondisi hujan. Variasi panjang baseline antara Leles dan Puncak untuk model Essen-Froome
6
(E), Hopfield (E), dan Saastamoinen (E) yaitu antara -0,1 s/d +0,5 mm, lalu untuk model Essen-Froome (O), Hopfield (O), dan Saastamoinen (O) yaitu antara -0,1 s/d +2,9 mm. Schon dan Wieser pada tahun 2005 melakukan penelitian mengenai pengaruh koreksi troposfer untuk jaring pemantauan GPS lokal dengan perbedaan tinggi yang besar. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan dua model koreksi untuk distorsi ketinggian yang disebabkan oleh bias troposfer yaitu model koreksi pada domain observasi dan model koreksi pada domain koordinat. Data yang digunakan adalah data GPS untuk pemantauan tanah longsor di Gradenbach dan perangkat lunak yang digunakan BERNESE 5.0. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua model tersebut dapat mengurangi efek bias troposfer. Contohnya distorsi untuk periode yang lama bias mencapai 6 cm selama 3 jam bias direduksi menjadi kurang dari 1 cm dan dapat dilihat bahwa reduksi ini lebih dari 80%. Pada penelitian ini digunakan data jaring GNSS Gunung Merapi pada tahun 2000. Model troposfer yang digunakan adalah model koreksi Saastamoinen. Model koreksi
Saastamoinen
dipilih
karena
berdasarkan
penelitian
Satirapod
dan
Chalermwattanachai pada tahun 2005. Model koreksi Saatamoinen dan Hopfield akan memberikan hasil yang lebih presisi dibandingkan dengan penggunaan model Simplified Hopfield. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada perangkat lunak untuk pengolahan data yaitu GAMIT 10.4 dan titik GNSS yang diolah. Pada perangkat lunak GAMIT, perhitungan koreksi troposfer dilakukan dengan model koreksi Saastamoinen.
I.7. Landasan Teori I.7.1. Global Navigation Satellite System (GNSS) Global Navigation Satellite System atau yang biasa disebut GNSS, GNSS adalah salah satu metode penentuan posisi yang memadukan beberapa sistem navigasi satelit. Pada awalnya sistem ini dikembangkan oleh negara Amerika dengan sistem yang disebut GPS, namun sekarang teknologi ini telah banyak berkembang terbukti dengan
7
lahirnya teknologi serupa dari negara–negara lain seperti, GLONASS dari Rusia, GALILEO dari Uni Eropa, serta COMPASS dari Cina. Teknologi saat ini memungkinkan untuk mengkombinasikan sistem navigasi beberapa satelit tersebut. Dengan memadukan beberapa sistem navigasi pada pengukuran suatu titik di permukaan bumi maka akan meningkatan keakuratan pengukuran. I.7.2. Global Positioning System (GPS) Global Positioning Systematau yang biasa disingkat GPS merupakan sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit. GPS didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti serta informasi waktu secara kontinyu di seluruh dunia (Sunantyo, 2003). Spektrum ketelitian posisi yang diberikan oleh GPS sangat bervariasi dari yang berorde milimeter hingga yang berorde meter. Hal tersebut dikarenakan ketelitian dalam sistem GPS dipengaruhi beberapa faktor yaitu metode penentuan posisi yang digunakan, geometri dan distribusi satelit yang diamati, ketelitian data yang digunakan serta metode pengolahan data yang ditetapkan (Sunantyo, 2003). I.7.3. Prinsip Dasar Penentuan Posisi dengan GPS Penentuan posisi dengan GPS dapat dilakukan dengan metode absolut dan metode diferensial. Titik GPS yang ditentukan posisinya dapat diam (static positioning) maupun bergerak (kinematic positioning). Penentuan posisi metode absolut menggunakan data pseudorange dimana posisi suatu titik ditentukan terhadap pusat sistem koordinat yang telah didefinisikan. GPS menggunakan titik koordinat geosentrik. Sedangkan penentuan posisi metode diferensial menggunakan data pseudorange maupun data carrier beat phase dimana posisi titik–titik yang ditentukan berdasarkan titik lain yang diketahui koordinatnya yang dianggap sebagai titik acuan serta dengan syarat minimal terdapat dua buah receiver. Metode diferensial ini ditujukan untuk kebutuhan ketelitian yang tinggi. Penentuan posisi metode diferensial dapat menghasilkan posisi yang lebih teliti
8
karena pengaruh kesalahan dan bias pengamatan dieliminir dan direduksi dengan pengamatan simultan. Penentuan posisi metode statik adalah penetuan posisi suatu titik dimana titik yang ditentukan posisinya dalam keadaan diam dalam rentang waktu tertentu sehingga dapat menghasilkan data dengan akurasi tinggi. Dalam penentuan titik yang mempunyai jarak relatif jauh dan mengharuskan ketelitian yang relatif tinggi maka digunakan metode statik ini. Sedangkan penentuan posisi metode kinematik adalah penetuan posisi suatu titik dimana titik yang ditentukan posisinya dalam keadaan bergerak atau berpindah (Sunantyo, 2003). I.7.4. Kesalahan dan Bias pada Pengukuran GPS Bias dan kesalahan tidak bias dihindari pada pengukuran GPS. Bias dan kesalahan tersebut mempengaruhi kualitas hasil pengukuran. Bias dan kesalahan pada pengukuran GPS secara umum terlihat pada Gambar I.1.
Gambar I.1. Bias dan kesalahan pada pengukuran GPS (Sumber: Abidin, 1995) I.7.4.1 Ketidakpastian ephemeris. Ketidakpastian ephemeris adalah kesalahan dimana posisi satelit yang dilaporkan oleh satelit berbeda dengan posisi satelit yang
9
sebenarnya. Pada dasarnya terdapat tiga faktor yang menyebabkan hal tersebut yaitu kurang teleti pada proses perhitungan orbit satelit, kesalahan dalam prediksi orbit untuk periode waktu setelah uploading, penerapan Selective Availability. Kesalahan ephemeris mempengaruhi ketelitian dari koordinat yang ditentukan. Efek kesalahan ephemeris akan semakin besar jika semakin panjang baseline yang diamati. Terdapat beberapa cara untuk mereduksi efek dari kesalahan ephemeris yaitu menerapakan meteode differential positioning,
memperpendek
panjang
baseline,
memperpanjang interval
waktu
pengamatan, menentukan parameter kesalahan ephemeris dalam proses estimasi hitungan, gunakan precise ephemeris atau rapid ephemeris (Abidin, 1995). I.7.4.2. Ketidakpastian jam receiver. Ketidakpastian jam receiver adalah kesalahan dimana terdapat ketidaksesuaian antara jam receiver dengan jam satelit. Hal ini disebabkan oleh osilator pada kebanyakan receiver GPS terbuat dari quartz crystal. Osilator tersebut memiliki kelemahan yaitu sangat sensitif terhadap perubahan temperatur, getaran, dan goncangan (Sunantyo, 2003). I.7.4.3. Ketidakpastian jam satelit. Sistem waktu pada satelit GPS didefinisikan menggunakan jam atom. Walupun begitu dikarenakan perubahan waktu jam tersebut akan mengalami penyimpangan (offset, drift dan drift-rate). Penyimpangan tersebut akan menyebabkan ketidakpastian jam satelit (Abidin, 1995). I.7.4.4. Efek ionosfer. Lapisan ionosfer terdapat pada ketinggian 50 km saampai 1000 km di atas permukaan bumi. Pada lapisan ionofer terdapat elektron bebas. Elektron bebas tersebut mempengaruhi propagasi sinyal satelit. Efek dari ionosfer terbesar terdapat pada kecepatan sinyal yang nantinya akan mempengaruhi hasil ukuran jarak. Ionosfer memperlambat pseudorange dan mempercepat fase dari sinyal satelit. Besar dan kecilnya efek ionosfer tergantung pada konsentrasi elektron sepanjang lintasan sinyal serta dari sinyal yang bersangkutan. Besarnya efek ionosfer dapat direduksi dengan beberapa cara seperti menggunakan data GPS dua frekuensi, melakukan differencing
hasil
pengamatan,
memperpendek
panjang
baseline,
melakukan
pengamatan pagi atau malam hari, menggunakan model prediksi global ionosfer,
10
menggunakan parameter koreksi yang dikirimkan oleh sistem Wide Area Differential GPS (Abidin, 1995). I.7.4.5. Ambiguitas fase. Ambiguitas fase adalah jumlah gelombang penuh yang tidak terukur oleh receiver GPS pada saat pengukuran. Semakin panjang baseline maka kesalahan ambiguitas fase akan semakin besar. Ambiguitas fase sulit dipisahkan dari efek kesalahan jam receiver dan jam satelit. Penentukan harga ambiguitas fase dapat dilakukan dengan pengamatan double difference (Sunantyo, 2003). I.7.4.6. Cycle slip. Cycle slip adalah fenomena dimana terputusnya pengamatan sinyal satelit oleh receiver karena sesuatu hal. Beberapa hal penyebab cycle slip seperti mematikan dan menghidupkan receiver, obstruksi dari sinyal satelit, dinamika receiver yang tinggi, rendahnya rasio signal to noise, dan receiver failure. Cycle slip menyebabkan terputusnya gelombang penuh dari fase gelombang pembawa yang diamati sehingga ambiguitas fase sebelum dan sesudah cycle slip akan berbeda nilainya (Abidin, 1995). I.7.4.7. Multipath. Multipath adalah fenomena dimana sinyal satelit GPS tiba di antena melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda (Sunantyo, 2003). Tidak ada model umum untuk menentukan besarnya efek multipath. Besarnya efek multipath bergantung pada beberapa faktor seperti jenis dan posisi reflektor, posisi relatif satelit, jarak reflektor ke antenna, panjang gelombang sinyal, kekuatan sinyal dan lain-lain. Kombinasi data pseudorange dan fase pada dua frekuensi (L1 dan L2) dapat mereduksi efek multipath. Model matematis yang menggambarkan hal tersebut dapat dilihat pada persamaan I.1 dan I.2. MP1 = P1 (1 + MP2 = P2 (
)L1 + ( )L1 + (
) L2…………………………………………………..(I.1) 1) L2…………………………………………………..(I.2)
Dalam hal ini, MP1
: efek multipath pada frekuensi L1
11
MP2
: efek multipath pada frekuensi L2
P
: pengukuran pseudorange
L
: pengukuran carrier phase
α
: ( ) , dengan f1 dan f2 adalah frekuensi dari L1 dan L2
Hal berikut ini dapat dilakukan untuk meminimalkan efek multipath yaitu dengan menghindaribenda yang memantulkan cahaya sehingga pada area pengukuran diusahakan obstruksi sedikit (Panuntun, 2012). I.7.4.8. Bias troposfer. Bias troposfer adalah bias yang disebabkan oleh refraksi pada lapisan troposfer. Lapisan troposfer tingginya dimulai dari permukaan bumi sampai ketinggian 8 km hingga 10 km di daerah kutub, 10 km hingga 12 km di daerah lintang menengah dan 16 km hingga 18 km di daerah ekuator. Tebal lapisan troposfer bervariasi dengan tempat dan waktu. Bias troposfer biasanya dipisahkan menjadi komponen kering dan komponen basah. Besarnya komponen kering dapat diestimasi dengan baik berdasarkan data meteorologi, sedangkan komponen basah tidak bias diestimasi. Pereduksian bias troposfer dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti melakukan differencing hasil pengamatan, memperpendek panjang baseline, mengusahakan kedua stasiun pengamat berada pada ketinggian dan kondisi meteorologis yang relatif sama, menerapkan model koreksi troposfer dan menerapkan model koreksi lokal troposfer (Abidin, 1995). I.7.5. Troposfer Troposfer adalah lapisan atmosfer bagian bawah, dimulai dari permukaan bumi sampai ketinggian 8 km hingga 10 km di daerah kutub, 10 km hingga 12 km di daerah lintang menengah dan 16 km hingga 18 km di daerah ekuator, mengambil bagian sekitar 80% dari seluruh massa atmosfer. Rerata tekanan udara di permukaan laut ialah 1 atmosfer. Makin tinggi permukaan bumi maka tekanan udara makin turun dan suhu udara juga makin turun. Nilainya sekitar 17°C pada permukaan bumi sampai sekitar -52°C pada batas atas
12
troposfer. Hal ini disebabkan oleh pemanasan udara yang berasal dari bumi, uap air dan debu yang menyerap panas makin ke atas makin berkurang serta udara di bagian bawah lebih rapat daripada di atasnya sehingga lapisan udara bagian bawah lebih panas dari pada di atasnya. Di atas troposfer terdapat tropopause yakni lapisan pembatas antara troposfer dan stratosfer (Fahrurrazi, 2011). Gambar I.2. menyajikan penampang lapisan atmosfer bumi.
Gambar I.2. Penampang lapisan atmosfer bumi (Sumber : sman1karanganyargeo.blogspot.com, 2014) Gambar I.2. menyajikan penampang lapisan atmosfer bumi yang terdiri atas lapisan troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer dan dissipasisfer. Lapisan-lapisan tersebut terbagi berdasarkan ketinggiannya. I.7.6. Refraksi Refraksi merupakan suatu peristiwa pembelokan arah perambatan sinyal GPS yang diakibatnya medium yang dilewati memiliki indeks bias yang berbeda. Sinyal GPS merambat melalui medium atmosfer. Atmosfer terdiri dari lapisan-lapisan yang memiliki indeks bias yang berbeda-beda sehingga akan terjadi peristiwa refraksi. Perbedaan indeks bias pada lapisan atmosfer disebabkan oleh perbedaan suhu, tekanan dan kelembaban udara yang berbeda di setiap tempat, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
13
Gambar I.3. Akibat terjadinya refraksi pada lapisan atmosfer menyebabkan sinyal GPS mengalami perubahan arah dan kecepatan (Purwanto, 1999).
Gambar I.3. Penyebab refraksi pada sinyal GPS (Sumber : Abidin, dkk., 1998) Gambar I.3. menyajikan informasi mengenai pengamatan satelit GPS dari dua lokasi pengamatan yang memiliki perbedaan tebal lapisan troposfer dan kondisi meteorologis. Efek bias troposfer bias diamati jika baseline yang diamat merupakan baseline pendek dan memiliki beda tinggi yang signifikan. Menurut buku yang ditulis Abidin pada 1995, beda tinggi disebut signifikan jika beda tinggi antar titik lebih dari 1000 m. Terdapat 4 jenis baseline berdasarkan jarak antara pengamat dan titik referensi seperti yang dijelaskan pada http://www.gpsg.mit.edu/~fresh/index.html. Keempat jenis teresbut adalah baseline sangat panjang, baseline panjang, baseline sedang dan baseline pendek dengan jarak berturut-turut 2300 km, 870 km, 160 km dan 36 km. I.7.7. Pengaruh Refraksi Troposfer pada Perambatan Sinyal Ketika melalui troposfer, sinyal GPS akan mengalami refraksi yang menyebabkan perubahan kecepatan dan arah sinyal GPS, seperti yang diilustrasikan
14
pada Gambar I.4. Efek utama dari troposfer dalam hal ini adalah terhadap hasil ukuran jarak dari satelit GPS ke receiver GPS di permukaan.
Gambar I.4. Efek bias troposfer pada sinyal GPS (Sumber : Abidin, dkk., 1998) Pada frekuensi sinyal GPS (di bawah 30 GHz), magnitude bias troposfer tidak tergantung pada frekuensi. Oleh sebab itu besarnya tidak dapat diestimasi dengan pengamatan pada dua frekuensi. Kedua jenis data ukuran jarak dengan GPS yaitu pseudorange dan fase, kedua-duanya diperlambat oleh troposfer, dan besarnya magnitude bias troposfer pada kedua data pengamatan tersebut adalah sama. Dengan kata lain kedua jarak tersebut akan diperpanjang oleh lapisan troposfer, sehingga terdapat bias troposfer. Besarnya berkisar sekitar 2,3 m pada arah zenit sampai 20 m di atas horison tergantung temperatur, tekanan dan kelembaban udara di sepanjang lintasan sinyal dalam lapisan troposfer (Abidin, dkk., 1998). I.7.8. Koreksi Troposfer Bias troposfer biasanya dipisahkan menjadi komponen kering sebesar ≈ 90 % dari bias troposfer total dan sisanya merupakan komponen basah. Dengan menggunakan model troposfer (seperti model Hopfield, Saastamoinen, Marini dan lainnya) serta data
15
ukuran meteorologi (seperti temperatur, tekanan, dan kelembaban) di permukaan bumi, magnitude komponen kering dari bias troposfer biasanya dapat diestimasi sampai dengan ketelitian 0,2 %. Sedangkan magnitude dari komponen basah, yang terutama bergantung pada kandungan uap air sepanjang lintasan sinyal, biasanya lebih sulit untuk diestimasi secara teliti dari data pengamatan meteorologi di permukaan bumi. Pada arah zenith, bias troposfer yang mempengaruhi perambatan sinyal GPS dikenal dengan istilah Zenith TroposphericDelay (ZTD). Sedangkan bias yang dihasilkan dari komponen kering dan basah pada arah zenit dikenal dengan Zenith Hydrostatic Delay (ZHD) dan Zenith Wet Delay (ZWD). Model troposfer yang biasa digunakan untuk mereduksi kesalahan karena bias troposfer seperti pada persamaan I.3 dan I.4. Model Saastamoinen Dtrop=
. { P +(
). e – tan2z}………………………(I.3)
Model Modified : Dtrop=
. { P +(
). e – B.tan2z} +
…….………..(1.4)
Dalam hal ini, Dtrop : bias troposfer P
: tekanan
T
: suhu
B
: nilai faktor B pada model Saastamoinen (mbar)
Z
: sudut zenith
E
: Water Vapor Pressure : nilai faktor koreksi
pada model Saastamoinen
Nilai faktor B dan nilai faktor koreksi Tabel I.1.dan Tabel I.2 (Abidin, 1995).
pada persamaan 1.4 dapat dilihat pada
16
Tabel I.1. Nilai faktor B pada model Saastamoinen Ketinggian (km) 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 4,00 5,00
Tabel I.2. Nilai faktor koreksi Sudut Zenith 60° 00' 66° 00' 70° 00' 73° 00' 75° 00' 76° 00' 77° 00' 78° 00' 78° 30' 79° 00' 79° 30' 79° 45'
B (mbar) 1,156 1,079 1,006 0,938 0,874 0,813 0,757 0,654 0,563
pada model Saastamoinen
Ketinggian stasiun diatas permukaan laut (km) 0 0,5 1 1,5 2 3 4 5 0,003 0,003 0,002 0,002 0,002 0,002 0,001 0,001 0,006 0,006 0,005 0,005 0,004 0,003 0,003 0,002 0,012 0,011 0,010 0,009 0,008 0,006 0,005 0,004 0,020 0,018 0,017 0,015 0,013 0,011 0,009 0,007 0,031 0,028 0,025 0,023 0,021 0,017 0,014 0,011 0,039 0,035 0,032 0,029 0,026 0,021 0,017 0,014 0,050 0,045 0,041 0,037 0,033 0,027 0,022 0,018 0,065 0,059 0,054 0,049 0,044 0,036 0,030 0,024 0,075 0,068 0,062 0,056 0,051 0,042 0,034 0,028 0,087 0,079 0,072 0,065 0,059 0,049 0,040 0,033 0,102 0,093 0,085 0,077 0,070 0,058 0,047 0,039 0,111 0,101 0,092 0,083 0,076 0,063 0,052 0,043
I.7.9. Differencing Data GPS Differencing technique adalah teknik untuk mengeliminasi dan mereduksi dari berbagai kesalahan dan bias pada data fase dengan cara menyelisihkan dua besaran pengamatan fase. Beberapa teknik differencing, yaitu single difference, double difference, triple difference.
17
I.7.9.1. Single difference. Single difference adalah teknik yang dilakukan antar receiver. Jika ada dua titik dan satu satelit yang terlibat, missal titik A dan titik b dengan satelit J. Persamaan fase untuk kedua titik tersebut seperti persamaan I.5 dan I.6. ………………………………. (I.5) ………………………………. (I.6) Pengurangan dari persamaan I.5 dan I.6 diperoleh persamaan I.7. [
](I.7)
Dalam bentuk sederhana dapat ditulis seperti persamaan I.8. …………………………..……...................(I.8) Dengan
,
Dalam hal ini, T
: waktu pada epok tertentu : pengukuran fase pembawa antara titik dengan satelit : frekuensi dari pancaran sinyal yang dihasilkan oleh satelit : bias jam satelit : bias jam penerima
λ
: panjang gelombang sinyal : jarak antara penerima A dan satelit j : ambiguitas fase sinyal antara satelit j ke penerima B : efek troposfer antara satelit j ke penerima A I.7.9.2. Double difference. Double difference adalah teknik differencing yang
dilakukan antar satelit. Jika ada dua titik dan dua satelit yang terlibat, misal titik A dan titik B dengan satelit J dan satelit K. Double difference merupakan gabungan dari dua
18
persamaan single difference, dapat dimodelkan seperti persamaan I.9 dan persamaan I.10. …….…………………….………………... (I.9) …………………………………………...(I.10) Dengan mengasumsikan bahwa
maka hasil dari pengurangan persamaan I.9
dan persamaan I.10 adalah persamaan I.11 berikut : [
]
……….(I.11)
Dalam bentuk sederhana dapat dituliskan menjadi persamaan I.12. …………………………………………………….(I.12) Pada teknik double differencing, maka bias jam receiver dapat dieliminasi namum menyisakan efek troposfer, efek ionosfer, multipath dan ambiguitas fase. Pada penelitian ini efek troposfer yang masih ada tersebut di eliminir dengan menerapkan model koreksi Saastamoinen seperti pada persamaan I.3 dan I.4. I.7.9.3. Triple difference. Triple difference adalah teknik differencing yang dilakukan dari dua data pengamatan double difference dengan epok yang berbeda. Apabila
adalah epok pertama dan
adalah epok kedua maka dapat dibuat persamaan
I.13 dan I.14: ……………………………………………..(I.13) ………………………………………..........(I.14) Apabila kedua persamaan tersebut dikurangkan diperoleh persamaan I.15:
19
[
]……………………………………… (I.15)
Dalam bentuk sederhana dapat ditulis persamaan I.16. ………………………………………………………………….. (I.16) Persamaan I.16 merupakan hasil akhir triple difference masih menyisakan efek ionosfer, efek troposfer, ambiguitas fase dan multipath. Apabila jarak antara receiver terlalu jauh maka efek bias ionosfer, bias troposfer, ambiguitas fase dan multipath menjadi sangat kecil sehingga dapat diabaikan (Panuntun, 2012). I.7.10. Perangkat Lunak GAMIT GPS Analysis of Massachusset Institute of Technology (GAMIT) adalah perangkat lunak ilmiah untuk pengolahan data GNSS. GAMIT dilengkapi fasilitas pengeditan pengaturan dalam pengolahan data, pemilihan penggunaan titik ikat global sebagai parameter dan perhitungan parameter lainnya seperti parameter atmosfer, orientasi bumi (EOP), pasang surut dan cuaca yang menjadikan hasil dari pengolahan data GNSS sangat teliti. Proses pengolahan pada perangkat lunak GAMIT membutuhkan delapan macam input yang terdiri dari (Herring dan Mc. Clusky, 2010) : 1.
Raw data pengamatan GPS.
2.
lfile, berisi koordinat semua titik ikat dan titik pengamatan yang digunakan.
3.
File station.info, berisi titik yang digunakan meliputi lokasi stasiun, tinggi antena, model antena, model receiver, waktu pengamatan, waktu mulai dan berhenti pengamatan dan firmware yang digunakan oleh receiver.
4.
File session.info, berisi informasi mengenai sesi data yang diolah.
5.
File navigasi, berisi data navigasi global yang diperoleh dari situs IGS.
6.
File sestbl., berisi tabel control yang memuat karakteristik proses yang dieksekusi oleh GAMIT.
20
7.
File sistbl., digunakan untuk melakukan pembobotan pada setiap stasiun pengamatan yang digunakan.
8.
File GPS ephemeris, berisi data precise ephemeris yang diperoleh dari situs IGS dalam format SP3.
Sedangkan hasil akhir dari proses pengolahan dengan GAMIT terdiri dari : 1.
Summary file, yang terdiri dari file autcln.prefit.sum dan autcln.post.sum. Kedua file ini beri data statistik hasil editting dengan autcln.
2.
q-file, berisi semua informasi hasil pengolaan data pengamatan GPS oleh GAMIT.
3.
h-file, berisi informasi parameter-parameter yang digunakan serta matriks varian kovarian yang akan digunakan sebagai masukan pada pengolahan dengan GLOBK.
I.7.10.1. Perataan jaring pada GAMIT. Perangkat lunak GAMIT menggunakan metode double difference dan prinsip metode parameter berbobot dalam perhitungan data pseudorange dan carrier phase. Persamaan observasi dengan menggunakan data fase. Misalnya apabila ada dua receiver yang berada pada dua titik stasiun A dan B, dengan vektor koordinat stasiun A dan B dinyatakan sebagai (XA, YA, ZA) dan (XB, YB, ZB), maka titik A dapat ditentukan koordinatnya. Pada persamaan double difference, pengamatan dilakukan terhadap dua satelit yaitu I dan J, sehingga besarnya ρiA dan ρjA sebagai persamaan I.17 dan I.18.
Ai
X t X Y t Y Zit Z
……………………………….(I.17)
Bj
X
……………………………….(I.18)
2
i
A
j
2
i
A
2
A
t X B 2 Y j t YB 2 Z j t Z B 2
Dengan koordinat pendekatan titik A adalah X A0 , YA0 , Z A0 maka :
21
X A X A0 dX A Y A Y A0 dY A Z A Z A0 dZ A …………………………………………………………………….(I.19) Selanjutnya dilakukan proses linearisasi persamaan I.17 dan persamaan I.18. Hasilnya seperti pada persamaan I.20. Ai t Ai 0 cx i t .dX A cy i t .dYA cz i t .dZ A
Bj t Bj 0 cx j t .dX B cy j t .dYB cz j t .dZ B
………………………………(I.20)
Subtitusi terhadap persamaan I.20 terhadap persamaan I.19 dan melakukan diferensiasi, maka diperoleh persamaan I.21. sebagai berikut. LAB ij t rCAB ij t B j t A j t B i t Ai t .N AB ij ………....(I.21)
Solusi double difference ditunjukkan pada persamaan.I.22. LAB ij t rCAB ij t AB ij t cx ij t .dX A cy ij t .dYA cz ij t .dZ A .N AB ij …… (I.22) 0
I.7.10.2. Evaluasi hasil pengolahan GAMIT. Evaluasi hasil pengolahan GAMIT dapat dilakukan dengan menganalisis nilai fract dan postfit nrms yang dapat dilihat pada q-file, atau summary file. Nilai postfit nrms dapat dihitung dengan persamaan I.23. Postfit nrms = x2 =
̂
………………………………………………………………....(I.23)
……………………………………………………………………………..(I.24)
Dalam hal ini, ̂
: varian aposteriori untuk unit bobot : varian apriori untuk unit bobot
n
: jumlah ukuran
u
: ukuran minimum
22
Postfit nrms merupakan perbandingan nilai varian aposteriori dan varian apriori untuk unit bobot seperti pada persamaan I.24. Standar kualitas postfit nrms adalah ± 0,25. Apabila nilai postfit nrms lebih besar dari 0,5 maka mengindikasikan masih terdapat efek cycle slip yang belum dihilangkan berkaitan dengan parameter bias ekstra atau terdapat kesalahan dalam pemodelan. Nilai fract merupakan perbandingan antara nilai adjust dan nilai formal seperti pada persamaan I.25. Nilai fract digunakan untuk menganalisis apakah terdapat nilai adjust yang janggal dan perlu tidaknya iterasi untuk mendapatkan nilai adjust yang bebas dari efek non-linear. Nilai adjust menunjukkan besarnya perataan yang diberikan pada parameter hitungan. Sedangkan nilai formal menunjukkan ketidakpastian pada pemberian bobot untuk perhitungan kuadrat terkecil. Kontrol kualitas nilai fract adalah nilainya tidak boleh lebih dari 10 (Herring, 2006). fract=
………………………………………………………………(I.25)
I.7.11. Uji Signifikansi Dua Parameter Ketelitian hasil pengamatan GPS dapat dilihat dari nilai simpangan baku dari baseline (σL). Analisis perlu dilakukan untuk mengetahui signifikasi perbedaan ketelitian baseline yang dilengkapi model koreksi troposfer dan tanpa model koreksi troposfer. Analisis dilakukan secara statistik dengan uji statistik Fisher dengan membandingkan antara dua varian dari hasil pengamatan dengan model koreksi troposfer dan tanpa model koreksi troposfer. Uji F dapat dilakukan dengan cara berikut : 1. Menentukan hipotesis. H0 : σ12 = σ22…………………………………….……………………......(I.26) Ha : σ12 ≠ σ22…………………………………….….…………………..…(I.27) Dalam hal ini,
23
H0
: hipotesis nol
Ha
: hipotesis alternatif
σ1 2
: varian data pengolahan dengan model koreksi troposfer
σ2 2
: varian data pengolahan tanpa model koreksi troposfer
2. Menghitung nilai F0 dengan persamaan I.28. F0
…………………………………………………………………(I.28)
3. Menentukan nilai
dari tabel Fisher berdasarkan tingkat kepercayaan
dan derajat kebebasan. 4. Pengambilan keputusan menerima atau menolak H0, jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan jika jika F hitung < F tabel maka H0 diterima. 5. Penolakan H0 berarti terdapat perbedaan signifikan pada kedua pengolahan data.
I.8. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ketelitian baseline yang diolah dengan koreksi troposfer lebih presisi. Simpangan baku antara 0,1 s/d 0,5 mm yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai simpangan baku untuk data GPS yang tidak menggunakan koreksi troposfer 4,4 s/d 11,8 mm. Ketelitian baseline yang lebih presisi ini dapat diperoleh karena perubahan pada arah dan kecepatan sinyal GPS dikoreksi sehingga ketelitian yang diperoleh bebas dari bias refraksi troposfer.