BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebudayaan tidak akan ada tanpa adanya manusia, karena manusia adalah faktor penting dalam pembentukan kebudayaan. Manusia harus menjaga hubungannya dengan ekosistem disekitarnya agar dapat bertahan hidup (Keesing 1992:146). Manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan cenderung memiliki suatu kearifan tradisional. Kearifan tradisional dikonstruksi oleh sekelompok masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungannya. Hal ini wajar terjadi karena manusia memiliki pola pikir dan akal untuk membuat strategi pertahanan dalam melawan ataupun bersahabat dengan lingkungan tempat dia hidup. Salah satu cara manusia mempelajari alam adalah melalui naluri manusia dalam membaca alam sekitarnya; misalnya dengan melihat gejala-gejala alam yang terjadi, manusia dapat memprediksikan apa yang akan terjadi di alam Kegiatan manusia ini tidak terlepas dari kegiatan berhitung atau matematika atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan etnomatematik 1. Sadar atau tidak sadar semua kegiatan manusia di dunia ini dilakukan atas dasar perhitungan yang tepat sesuai dengan kondisi alam tempat dia tinggal. Salah satu contoh kajian etnomathematik adalah dalam bidang arsitektur, dimana perhitungan-perhitungan baku yang tepat dilakukan untuk membangun rumah dan bangunan lain agar kuat
1
Istilah ethnomatematikdiambil dari Ubiratan D’ Ambrosio, D’Ambrosio menggunakan ethnomatematik pertama sekali pada saat dia melakukan penelitian untuk melihat ringkat pengetahuan matematik pada tingkat siswa Sekolah Dasar di Brasil.
dan tidak mudah rusak 2. Demikian juga dalam kegiatan menenun, baik untuk menbuat anyaman tikar ataupun keranjang yang memiliki motif ataupun tanpa motif, manusia menggunakan perhitungan yang tepat agar semua bahan teranyam dengan baik dan rapi. Studi yang dilakukan oleh Tambunan (2009), menunjukkan bahwa para pengrajin kain tenun seperti ulos, songket dan lain sebagainya yang ada di daerah Pak-pak, secara tidak sadar juga menggunakan perhitungan ‘the Golden Ratio’ untuk menenun untaian-untaian benang sehingga menjadi selembar kain. ‘The Golden Ratio’ diimplementasikan dalam pembuatan pola dalam ulos tersebut, warna benang yang akan menjadi pola disisip dalam warna benang yang akan menjadi warna dasar dalam ulos, banyaknya warna-warna benang dan panjang benang tersebut telah diperhitungkan dengan cermat oleh penenun, sehingga untaian benang tadi menjadi sebuah ulos dengan pola yang indah dan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Pak-pak 3. Setiap kelompok etnis 4 memiliki metode perhitungan masing-masing dalam setiap aspek kehidupan, seperti halnya kalender. Setiap etnis yang ada di
2
Orang-orang Romawi dan Mesir pada zaman dahulu selalu menggunakan perhitungan yang disebut dengan ‘the Golden Ratio’ dalam membuat sesuatu yang berhubungan dengan arsitektur, seperti rumah, Patung, lukisan dan lain sebagainya. Perhitungan ini dipakai untuk mencari sisi yang paling ideal dari setiap bentuk. The Golden Ratio adalah sautu deretan angkaangka yang ditemukan oleh seorang matematikawan Itali yang bernama Fibonacci, deretan angkaangka ini memiliki sifat yang unik, yaitu setiap angka dalam deretannya adalah hasil penjumlahan dari 2 angka sebelumnya. The Golden Ratio bukanlah hasil dari imajinasi matematis, akan tetapi merupakan kaidah alam yang terkait dengan hukum keseimbangan. The Golden Ratio juga banyak digunakan oleh pelukis-pelukis terkenal dunia seperti Leonardo Da Vinci dan Le Corbusier, karena The Golden Ratio adalah kaidah alam dalam hukum keseimbangan maka mereka menggunakan untuk mengukur tubuh manusia agar ideal di dalam lukisannya (www.yus/harunyahya.com) 3 Rytha Tambunan menulis tentang Inventarisasi Tenun Oles Pak-pak yang diseminarkan dalam Evaluasi Hasil InventarisasiTenun Oles Pak-pak serta Identifikasi dan Kajian Organisasi Sosial (sistem Gotong Royong) Masyarakat Pak-pak Bharat di Sumatera Utara, pada tanggal 28 Oktober 2009 di Ruang Sidang FISIP-USU. 4 Kelompok etnik yang dimaksud di atas adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. “Kesatuan kebudayaan” bukanlah suatu hal yang ditentukan olah orang luar, misalnya seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan atau lainnya dengan menggunakan metode-metode analisis ilmiah mereka, melainkan oleh warga kebudayan yang bersangkutan itu sendiri (Koentjaraningrat 2000:264).
Indonesia memiliki beberapa jenis kalender yang konsep dan perhitungan harinya berbeda dengan kalender yang dipakai secara umum di Indonesia bahkan di Dunia (kalender Masehi yang di perkenalkan oleh bangsa-bangsa di Eropa terhitung setelah lahirnya Isa Almasih). Orang Jawa memiliki konsep perhitungan hari yang dinamakan dengan pranata mangsa yang didasarkan atas perputaran matahari. Orang Bali juga memiliki konsep perhitungan sejenis yang diberi nama wariga yang didasarkan atas perputaran bulan mengelilingi bumi. Vorhalakan adalah konsep perhitungan hari menurut konsep orang Batak dan lontara adalah konsep perhitungan hari yang digunakan oleh orang Bugis, Buton, Makassar dan Toraja. Dasar
perhitungan
setiap
penanggalan
kalender
tersebut
memiliki
perhitungan hari dan bulan yang berbeda-beda. Acuan untuk penanggalan tersebut juga berbeda-beda. Ada yang mengacu pada pergerakan bulan (kalender lunar), ada yang acuannya mengacu pada pergerakan matahari (kalender solar), dan ada juga yang mengacu pada pegerakan bulan dan matahari (kalender lunisolar) 5. Konsep perhitungan hari atau perhitungan lainnya yang ada pada setiap kelompok etnis dikenal dengan sebutan ethnomathematic. Istilah ethnomathematic ini diperkenalkan oleh tokoh pendidikan Brasil dan matematikawan Ubiratan D'Ambrosio pada tahun 1977 pada saat presentasi untuk Asosiasi Amerika untuk Kemajuan
Ilmu
Pengetahuan.
Sejak
D'Ambrosio
mengajukan
istilah
ethnomathematic, orang-orang termasuk D’Ambrosio sendiri telah bergumul 5
Kalender Lunar: sistem penanggalan yang didasarkan atas perhitungan fase bulan. Setiap hari dalam penanggalan ini menandakan satu lokasi bulan dalam mengelilingi matahari. Kalender Solar: sistem penanggalan yang didasarkan atas revolusi (perputaran)bumi mengelilingi matahari. Secara fisika satu tahun surya adalah unit relatif, waktu relatif sebuah planet mengitari matahari. Kalender Lunisolar: sebuah kalender yang menggunakan fase bulan sebagai acuan utama namun juga menambahkan pergantian musim di dalamperhitungan tiap bulannya. Kalender ini biasanya ditandai dengan adanya bulan-bulan kabisat beberapa tahun sekali ataupun berturut-turut. Dengan demikian jumlah bulan dalam satu tahun dapat mencapai 12 sampai 13 bulan. (http//www.wikipedia_kalender.com)
dengan maknanya. D’Ambrosio (1987), menjelaskan ethnomathematic merupakan suatu kodifikasi atau penyusunan angka-angka yang memungkinkan suatu kelompok budaya, dalam hal ini masyarakat
untuk menjelaskan, mengelola,
memahami bahkan meramalkan suatu relitas yang ada 6. Masing-masing perhitungan hari tersebut dianggap penting oleh kelompok etnis penggunanya. Perhitungan hari tersebut banyak membantu penggunanya dalam segala aspek kehidupan, terutama dalam bidang pertanian. Berdasarkan panduan perhitungan itu, mereka mengklasifikasikan jenis-jenis musim yang baik untuk melakukan penanaman, pemanenan, pemupukan bahkan sebagai suatu tindakan antisipasi untuk menghindari serangan hama yang dapat menggangu tanaman mereka, atau untuk kegiatan-kegiatan ritual. Pada salah satu dari studi perhitungan hari tersebut adalah studi Indrowuryatno (dalam Adimiharja 2006). Indrowuryatno menjelaskan bahwa orang
Jawa
menggunakan
perhitungan
hari
(pranata
mangsa)
untuk
mengklasifikasikan kapan awal dari musim kemarau dan kapan awal dari musim hujan. Pranata mangsa dalam studi tersebut sudah digunakan sebagai pedoman bertani oleh nenek moyang orang Jawa ratusan tahun sabelum zaman Hindu. Indrowuryatno lebih lanjut menjelaskan bahwa, sekalipun penanggalan Jawa ini sudah diperbaharui oleh Sri Paduka Susuhunan Paku Buwono VII dari system penangglan asli, ternyata 6
pranata mangsa dianggap masih memadai untuk
Ethnomathematics adalah studi mengenai hubungan numerik dan sistem untuk pendidikan matematika multikultural. Tujuan ethnomathematics adalah antara matematika dan budaya. Hal ini mengacu pada ide-ide kelompok yang luas, mulai dari matematika untuk memberikan kontribusi baik untuk pemahaman budaya dan pemahaman matematika, tetapi terutama untuk menghargai hubungan antara keduanya. Seperti dalam film “Knowing” diceritakan bahwa runutan angkaangka dapat meramalkan berbagai kecelakan dan musibah yang menimpa umat manusia, runutan angka-angka tersebut memiliki kodifikasi tersendiri seperti tanggal, lokasi dan jumlah korban yang akan meninggal. Dengan melihat runutan angka-angka tersebut maka akan tahu kapan akan terjadi kecelakaan, dimana dan jumlah korbannya.
digunakan hingga saat ini, dan orang-orang Jawa memodifikasi sistem perhitungannya (dalam Adimiharja 2006:126). Kegiatan modifikasi tersebut dilakukan karena pranata mangsa menggunakan perhitungan bulan dengan total hari dalam sebulan adalah 365,25 hari, sedangkan waktu yang diperlukan Matahari dalam peredaran tahunan mengelilingi bumi adalah 365 hari, 5 jam, 48 menit, dan 46 detik, sehingga terdapat selisih 11 menit, 14 detik, dalam satu tahun. Dengan demikian, terjadi perbedaan dalam satu hari setiap 128 tahun (dalam Adimiharja 2006:126). Menurut Boediharjo (1917), perhitungan pranata mangsa yang dilakukan setiap 400 tahun sekali, tahun Wuntu-nya harus dikurangi 3 (tiga), atau setiap 128 tahun sekali tahun Wuntu-nya dikurangi 1 (satu). Oleh karena itu, mangsa Kalima
yang berlaku 13 Oktober sampai 8
November merupakan mangsa pancaroba atau labuh yang sifatnya pancuran mancur ing jagad, artinya sering turun hujan. Pada kenyataannya, saat itu belum merupakan awal musim penghujan, bahkan masih terjadi musim kemarau yang panas. Itulah sebabnya, pada 1950-an, murid-murid sekolah diliburkan dengan istilah prei panas. Liburan ini terjadi pada Oktober, sebenarnya berdasarkan pedoman pranata mangsa bulan tersebut merupakan mangsa Labuh. Berdasarkan angka jumlah pengurangan di atas, musim Labuh atau awal musim penghujan dalam dekade abad ke-20 berkisar awal November, atau setidak-tidaknya akhir Oktober jika tidak terjadi penyimpangan lain secara alami. Bagi orang Bali juga dikenal dengan sistem penanggalan lokal seperti pranata mangsa yang ada di Jawa ataupun vorhalaken yang dipakai oleh masyarakat Batak. Bagi orang Bali, penanggalan seperti itu disebut wariga. Dalam wariga
dikenal adanya wuku, yaitu penyebutan yang menunjukkan siklus waktu yang berlangsung selama 30 pekan. Satu pekan atau satu minggu terdiri dari tujuh hari, sehingga satu siklus wuku terdiri dari 210 hari 7. Dengan perhitungan 1 wuku = 7 hari, sehingga 30 wuku 8 mengalami perputaran dengan periode waktu 7 x 30 = 210 hari. Menurut kalender ini dalam 1 bulan itu terdiri dari 30 hari dan jumlah harinya konstan tidak mengalami perubahan seperti yang ada pada kalender masehi, karena kalender ini termasuk dalam jenis kalender lunisolar yang perputaran waktunya dihitung dari siklus bulan mengelilingi bumi. Waktu yang diperlukan bulan dalam peredaran tahunan mengelilingi bumi adalah 360 hari (dengan ketentuan yang ditetapkan kalender 1 tahun = 12 bulan). Ide dasar perhitungan menurut wuku ini adalah bertemunya dua hari dalam sistem pancawara (pasaran) dan saptawara (pekan) menjadi satu. Sistem pancawara atau pasaran terdiri dari lima hari, sedangkan sistem saptawara terdiri dari tujuh hari 9. Dalam satu wuku, pertemuan antara hari pasaran dan hari pekan sudah pasti, misalkan hari Sabtu-Pon terjadi dalam wuku ugu. Menurut kepercayaan tradisional orang Bali (dan orang Jawa), semua hari-hari ini memiliki makna khusus. Penelitian tentang perhitungan kalender ini sudah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan latar belakang ilmu dan keahlian yang berbeda. Budiarto (2004) 7
Perhitungan wuku juga dipakai oleh orang Jawa yang masih menganut paham kejawen. Nama 30 wuku tersebut adalah : sinta, landep, ukir, kulantir, tulu, gumbreg, wariga, warigadian, julungwangi, sungsang, dunulan, kuningan, langkir, medangsia, pujut, pahang, krulut, merakih, tambir, medangkungan, maktal, uye, menial, prangbakat, bala, ugu, wayang, kelawu, dukut dan watagunung. Nama-nama wuku yang tiga puluh didasarkan pada suatu kisah mengenai suatu kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Watugunung. Raja ini beristri Sinta dan memiliki 28 putra. Nama-nama semua tokoh inilah yang menjadi nama-nama setiap wuku. Setiap wuku menurut kepercayaan di kaum tradisional di Bali dan Jawa dilindungi oleh seorang pelindung. 9 Hari pancawara adalah hari yang biasa dipakai oleh orang Jawa, yaitu, wage, pahing, legi, pon dan kliwon, sedangkan hari saptawara adalah hari yang biasa kita kenal dalam kehidupan sehari-hari, seperti, senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu dan minggu. 8
misalnya, dia adalah seorang mahasiswa Ilmu Komputer dari University Sains of Malaysia, yang dalam tulisannya membahas permainan anak yang mempunyai makna simbolik untuk menunjukkan atau menggambarkan benda-benda yang ada di sekitar mereka. Rahmad Budiarto mengupas masalah yang ada dengan menggunakan
teori
etnomathematik-nya
Ubiratan
D’Ambrosio.
Nama
permainannya Cat Craddle’s, permainan ini sangat popular bagi sebagian etnis yang ada di Amerika Latin, permainan ini digunakan sebagai salah satu alat bantu bagi ppendongeng yang ada pada kelompok etnis tersebut untuk mengilustrasikan legenda yang akan diceritakan atau dengan fungsi yang lebih sederhaana adalah hanya sekedar untuk melepaskan kejenuhan semata (Budiarto 2004). Selain Rahmad Budiarto, Eldson Best juga meneliti tentang etnomathematik, tapi kajiannya tentang sistem pengukuran pada suku Maori yang pada saat itu belum ada alat ukur yang dapat di gunakan untuk mengukur dan membuat sesuatu, sehingga mereka membuat alat ukur sendiri dengan menggunakan anggota tubuh mereka, pengukuran dengan menggunakan anggota tubuh ini dipakai untuk membuat segala sesuatu yang berhubungan denga kehidupan mereka, seperti membangun rumah, membuat sampan (canoe), melukis, memahat, bahkan untuk membuat tattoo sekalipun (Best 1918). Suku Maori membuat sebuah klasifikasi dalam pengukuran tersebut, seperti contoh, luas telapak tangan disubut dengan ringa, rentangan kedua tangan yang diukur dari ujung jari tangan kanan sampai ujung jari tangan kiri disebut dengan maro, panjang ujung jari sampai garis tengah dada disebut dengan han, jadi hitungannya 1 han = ½ maro 10. 10
Artikel selengkapnya dapat di baca di Ethnomathematic Digital Library (EDL), atau juga dapat langsung mengakses www.nsdl.org
Dengan contoh 2 (dua) penelitian di atas, menerangkan bahwa setiap etnis yang ada atau pun yang tersebar di seluruh dunia ini memiliki suatu sistem perhitungan yang khas bagi mereka. Sistem perhitungan tersebut memiliki fungsi dan kegunaan yang berbeda bagi yang penggunanya. Penelitian ini, akan mengkaji tentang konsep wuku yang terdapat dalam wariga (Kalender Saka) yang digunakan oleh orang Bali sebagai pedoman mereka dalam melakukan segala aktifitas sehari-hari khususnya kegiatan pertanian, yang dimulai dari proses penyemaian bibit, penanaman, pemanenan serta aktivitasaktivitas lain yang mendukung kegiatan pertanian tersebut, seperti ritual-ritual, sesajen-sesajen yang digunakan dalam ritual tersebut dan benda-benda yang ada dalam setiap tahap proses ritual tersebut.
B. Rumusan Masalah Dalam tulisan ini nantinya akan dibahas suatu permasalahan mengenai konsep dan pola pikir masyarakat Bali dalam menentukan hari-hari wuku dalam aktivitas pertanian mereka yang mengacu pada kalender Saka Bali. Untuk menjawab permasalahan di atas, maka terlebih dahulu harus menjawab beberapa pertanyaan ini:
1. Apa konsep wariga bagi masyarakat Bali yang ada di Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai? 2. Apa konsep yang terkandung dalam penentuan nama-nama hari (wuku) serta wuku-wuku apa saja yang berhubungan dengan kegiatan pertanian?
3. Apa manfaat wuku bagi kegiatan pertanian orang Bali yang ada di Desa Pegajahan?
C. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada orang-orang Bali yang tinggal di Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena di desa tersebut bermukin suatu kelompok masyarakat Bali yang cenderung masih memegang teguh adat istiadat mereka. Orang Bali di Pegajahan merupakan etnis minoritas di antara etnis Batak yang mayoritas di lokasi tersebut. Orang Bali yang tinggal di desa itu ada sekitar 8 kepala keluarga yang berjumlah kurang lebih 25 jiwa, dan terdapat 1 kepala keluarga yang berkasta Brahmana serta 7 lainnya berkasta Sudra. Terdapat suatu pura yang dinamakan Dharmaraksaka yang digunakan oleh orang Bali yang tinggal di desa itu untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan mereka. Berdasarkan hasil wawancara dalam penelitian pendahuluan, Desa Pegajahan ini merupakan gambaran kerukunan hidup beragama yang sangat tinggi yang patut di contoh oleh daerah-daerah lain dan juga tidak selamanya etnis minoritas itu selalu di nomor dua kan dalam hal melakukan interaksi dengan masyarakat mayoritas.
D. Tujuan dan Manfaat Dengan melihat kondisi sekarang ini yang lebih mengutamakan pertanian modern yang lebih banyak menggunakan bahan-bahan yang berbahan dasar kimia, sehingga dapat berakibat merusak kondisi tanah dan lahan pertanian yang dipakai tidak menjadi semakin subur, melainkan dapat merusak komposisi unsur hara dalam tanah dan berdampak berkurangnya hasil panen, hal itu tentu berbanding terbalik bila para petani menggunakan cara yang tradisional yang kebanyakan menggunakan alam dan tanda-tanda atau kejadian yang terjadi di alam dalam pengolahan lahan pertanian mereka, karena semua pengolahan lahan berasal dari alam maka secara otomatis lingkungan tidak akan mungkin rusak dan malah akan menjadi lebih subur dari semula. Isu ketahanan pangan juga sudah mulai mencuat kepermukaan, dengan dikonversikannya lahan pertanian menjadi lahan untuk berbagai macam perumahan elit dan areal bisnis, sehingga muncul pertanyaan apakah Indonesia mampu untuk tetap menjadi Negara pengekspor hasil tani khususnya beras atau sebaliknya apakah Negara ini akan menjadi Negara agraris yang setia untuk mengimpor beras dari Negara lain. Untuk menghindari pertanyaan kedua agar tidak menjadi kenyataan maka sebaiknya masyarakat khususnya para petani lebih concern mengelola lahan mereka dengan menggunakan bahan-bahan pertanian yang alami seperti menggunakan pupuk kandang dan mengembangkan sistem pertanian organik yang cara mengelolanya dengan menggunakan cara yang tradisional. Tidak selamanya cara tradisional dianggap kuno atau ketinggalan zaman, apa salahnya bila para petani menggunakan cara-cara yang masih tradisional,
justru dengan cara ini para petani dapat lebih mengenal budaya dan tradisi yang ada pada mereka serta sekaligus dapat melestarikannya menjadi suatu kebudayaan yang besar yang dapat menjadi suatu ciri khas suatu masyarakat dalam mengelola lahan pertanian. Dari pemaparan di atas, penelitian ini dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk: 1. Mendeskripsikan kearifan lokal para petani khususnya yang beretnis Bali dalam menggunakan kalender wariga (khususnya konsep wuku) yang diaplikasikan untuk mengelola lahan pertanian mereka. 2. Mengkaji lebih dalam lagi apa itu konsep wuku dan fungsinya bagi masyarakat Bali.
Manfaat yang akan dicapai apabila tujuan penelitian ini berjalan dengan lancar adalah: 1.
Akademis Menambah bahan bacaan dan studi kepustakaan bagi ilmu-ilmu pendidikan yang bersangkutan dengan penelitian ini.
2.
Praktis Memperkenalkan kepada masyarakat bahwa Indonesia masih memiliki keragaman budaya yang mengatur tentang siklus waktu yang menjadi acuan dalam membuat kalender.
E. Tinjauan Pustaka Kebudayaan dapat didefenisikan dengan berbagai cara tergantung bagaimana kita melihat kebudayaan itu sendiri. Para Antropolog mendefenisiskan kebudayaan dari berbagai sudut pandang dengan focus kajian ilmu mereka masing-masing. Salah satunya adalah Ward H. Goodenough (dalam Spradley 1997;xix), yang menjelaskan konsep kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berprilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyarakat, kebudayaan bukanlah fenomena material, tidak terdiri atas benda-benda, perilaku dan emosi, melainkan ia lebih merupakan suatu pengaturan hal-hal tersebut. Dengan demikian, konsep kebudayaan yang diacu dalam penelitan ini mengikuti konsep kebudayaan James Spradley. Spradley mendefenisikan kebudayaan sebagai sebuah sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka (Spradley;1997). Spradley (1997) menjelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan berada dalam pikiran (mind) manusia yang didapatkan dengan proses belajar dan menggunakan budaya tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Proses belajar tersebut menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman individu atau masyarakat yang pada akhirnya fenomena tersebut terorganisasi di dalam pikiran individu sebagai anggota dalam masyarakat. Sehingga untuk mengetahui
dan mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran manusia itu adalah khas, yaitu melalui metode folk taksonomi 11. Metode folk taksonomi hanya dapat digunakan apabila memakai pendekatan Kognitif, karena dalam pendekatan ini, kebudayaan itu akan hidup apabila budaya itu diorganisasikan dalam pikiran dan diimplementasikan dalam kehidupan. Pendekatan kognitif sering disebut dengan etnosains. Menurut Haviland (1985;13), etnosains adalah cabang pengkajian budaya yang berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam mereka. Hal yang lebih pokok dalam penelitian ini adalah melukiskan aturan-aturan yang mendasari prilaku budaya menurut penduduk asli. Aturan tersebut dapat dipersamakan dengan aturan tata bahasa yang mengatur seseorang berbahasa dengan tepat. Jika aturanaturan yang menjadi dasar perilaku budaya dapat diungkapkan dengan tepat, maka banyak hal yang dilakukan manusia dan alasan mengapa dia berlaku demikian dapat dijelaskan. Budaya yang diangkat dalam hal ini adalah budaya yang berdasarkan pendapat dari pemilik budaya tersebut, tanpa campur tangan peneliti. Peneliti hanya membantu menjelaskan kepada khalayak ramai (publik) tentang pandangan-pandangan pemilik budaya yang bersangkutan (lihat Endaswara 2006;143 dan Dharma 2006;5). Orang Bali sebagai pemilik budaya dalam studi ini memiliki pengetahuan mengenai sistem penanggalan. Sistem penanggalan yang di pakai oleh orang Bali memiliki banyak manfaat bagi kehidupan mereka, salah satu manfaatnya ada di bidang pertanian. Dari hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, orang11
Folk taksonomi adalah sebuah metode yang ada dalam penulisan etnografi untuk membedah dan mengeluarkan “isi kepala” manusia dengan cara mengelompokkan macam-macam informasi yang didapat dari hasil wawancara. Pengelompokan biasanya dilakukan dari sisi bahasa lokal karena dalam bahasa tersebut terdapat suatu kearifan tradisional yang tidak semua orang tahu.
orang Bali yang ada di Desa Pegajahan ini hidup dari kegiatan bertani khususnya bertani padi ladang. Orang-orang Bali di sini dapat mengklasifikasikan musimmusim tanam dari sistem penanggalan mereka, mereka dapat mengetahui kapan harus menanan padi dan kapan harus memanennya, serta kapan serangan hama muncul, sehingga mereka dapat mengantisipasinya agar tidak terjadi kegagalan panen. Ascher berpendapat bahwa pada masyarakat tradisional telah mendapat pembelajaran tentang matematika, ide-ide matematis pada setiap masyarakat itu tertuang dalam sebuah konsep kebudayaan mereka sendiri, pengetahuan ini didapat secara tidak sengaja. Contohnya dalam perhitungan Hari pada setiap kalender etnis, dengan melihat dan memperhatikan kondisi alam yang selalu berubah, mereka mencoba untuk mengklasifikasikan kondisi tersebut dalam perhitungan matematik, sehingga tercipta pemikiran tentang musim-musim, dan hal ini mereka gunakan sebagai strategi untuk bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka (www.wikipedia.org/wiki/Ethnomathematic) Kadir (2005), melakukan studi dengan judul Etnomathematik dan Bahasa Melayu, beliau melihat aspek linguistik untuk menjelaskan abjad dalam bahasa Melayu, Kadir coba menjelaskan susunan tata bahasa melayu dengan merujuk pada tata bahasa orang India, bahasa Melayu asal mulanya berasal dari tata bahasa India yang kemudian berkembang menjadi tata bahasa Melayu Purba, jadi secara tidak langsung bahasa Melayu adalah perkembangan dari bahasa India, sehingga ada sebagian benda yang penyebutannya sama di India maupun di Melayu. Selanjutnya Mohammad Alinor Abdul Kadir menambahkan bahasa juga ikut mempengaruhi persepsi orang yang menggunakannya (Kadir, 2005). Penelitian ini
juga akan melihat aspek yang sama yang dikaitkan dengan penyebutan bendabenda, mantra-mantra dan sesajen yang digunakan dalam ritual atau upacaraupacara adat yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, tujuannya untuk melihat persepsi mereka terhadap pemaknaan kata-kata yang mereka gunakan dalam memaknai wuku yang ada pada wariga sebagai sistem kalenderisasi mereka. Selanjutnya Koentjaraningrat (1990), menjelaskan persepsi adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa manusia secara sadar maupun nyata terkandung dalam otaknya. Aspek religi juga tidak terlepas dalam penelitian ini, karena semua yang dilakukan oleh orang Bali tidak terlepas dari apa yang mereka percayai, orang Bali juga kental akan upacara-upacara adat yang bersifat spiritual, kesucian dan kebersihan diri sangat diutamakan bagi orang Bali dalam melakukan segala aktivitas. Keterkaitan antara religi dan aktivitas orang Bali ditunjukkan oleh studi Dharmana (2006) yang meneliti tentang kegiatan “mejejahitan” bagi perempuan Bali, kajiannya menggambarkan adanya suatu keterikatan spritual antara proses ‘mejejahitan’ dengan kepercayaan orang Bali, keterikatan itu jelas tergambar dari menyatunya ‘mejejahitan’ dan kaum perempuan dalam memancarkan inner beauty-nya dalam setiap upacara-upacara ‘yadnya’ dengan menggunakan hasil ‘mejejahitan’ dalam upacara tersebut (Dharmana, 2006). Mengkaji kalender tidak akan terlepas dari aspek perhitungan (aritmatika), setiap orang pasti memiliki tata cara perhitungan tersendiri yang mereka gunakan dalam semua aktivitas kehidupannya. Elsdon Best dalam Journal of Science and Technology tahun 1918 di New Zealand, menjelaskan bahwa suku Maori memiliki alat hitung atau alat ukur yang tidak lain adalah tubuh mereka sendiri,
mereka mengukur semua alat-alat yang mereka gunakan dengan tubuh mereka sendiri. Dalam membuat perahu, untuk mengukur panjang perahu yang ideal bagi suku Maori adalah dengan membaringkan tubuh mereka dan mensejajarkan dengan kayu yang akan mereka jadikan perahu, jadi dengan kata lain panjang perahu sama dengan panjang tubuh mereka, sedangkan untuk menciptakan dayungnya mereka mengukurnya dengan panjang lengan mereka dari ujung jari tengah sampai garis tengah dada. Hal yang sama juga dilakukan untuk membuat rumah, alat-alat rumah tangga, perlengkapan berburu, ukiran dan benda-benda seni lainnya (Best, 1918). Studi ini juga akan melihat apa alat ukur yang digunakan oleh komunitas petani Bali di Desa Pegajahan untuk menetapkan pembagian wuku atau hari dalam kegiatan pertanian. Mengkaji wariga juga terkait dengan konsep ruang dan waktu, karena ruang dan waktu adalah alam semesta yang terdiri dari matahari, bintang-bintang, tanah, lautan yang dipengaruhi rotasi dan revolusi bumi (terbit dan terbenamnya matahari), tempat manusia hidup. Ruang dan waktu adalah bentuk yang absurb, tidak dapat dilihat dan hanya dapat dirasakan. Einstien menjelaskan lebih lanjut ruang dan waktu dalam teori relativitafnya yang menyatakan bahwa cepat atau lambatnya waktu berlalu tergantung kondisi ‘ruang’ yang ada. Sebagai contoh Einstein menggambarkan waktu 5 detik akan terasa sangat lama apabila kita letakkan telapak tangan diatas sebuah penggorangan yang panas, sebaliknya waktu 5 jam akan sangat tidak berarti apa-apa ketika kita melakukan kegiatan yang kita sukai. Dengan pemaparan Einstein tersebut, wariga sebagai sebuah produk budaya Orang Bali, diciptakan untuk mengukur dan memahami adanya ruang dan waktu.
Wariga atau Kalender Saka yang digunakan oleh orang-orang Bali di Desa Pegajahan
adalah
sebuah
kalender
yang
digunakan
untuk
mengetahui
penanggalan-penanggalan dan musim-musim yang tepat untuk melakukan aktivitas pertanian. Wariga digunakan sebagai kalender yang memiliki banyak fungsi dalam berbagai aktifitas mereka jika dibandingkan dengan kalender Masehi yang digunakan secara umum di Indonesia. Kalender Saka Bali 12 yang digunakan di lokasi studi tidak sama dengan Kalender Saka dari India, karena kalender Saka yang dipakai di lokasi studi ini adalah kalender yang sudah dimodifikasi dan diberi tambahan elemen-elemen local, seperti adanya penambahan mantera dalam melaksanakan aktivitas mereka sehari-hari, selain itu nama-nama hari yang mereka pakai dalam kalender Saka tersebut diambil dari nama-nama dewa-dewi yang mereka anggap sebagai penjaga keseimbangan alam semesta 13. Kalender Saka Bali dapat dikatakan merupakan penanggalan syamsiah-kamariah (suryacandra) atau luni-solar. Jadi penanggalan ini berdasarkan posisi matahari dan bulan. Wariga adalah produk budaya yang dihasilkan oleh orang Bali. Dalam wariga terdapat wuku, yaitu sebuah siklus waktu yang berlangsung selama 30 pekan, setiap wuku menurut orang Bali memiliki keistimewaan tersendiri. Etnis Bali yang dikaji dalam studi ini merupakan orang-orang Bali yang ada di Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Menurut I Gusti Ngurah Bagus, yang dimaksud dengan 12
Kalender Saka Bali masih Dikatakan konvensi atau kompromistis, karena sepanjang perjalanan tarikhnya masih dibicarakan bagaimana cara perhitungannya. Dalam kompromi sudah disepakati bahwa: 1 hari candra = 1 hari surya. Kenyataannya 1 hari candra tidak sama dengan panjang dari 1 hari surya. Untuk itu setiap 63 hari (9 wuku) ditetapkan satu hari-surya yang nilainya sama dengan dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri. Hal ini tidak sulit diterapkan dalam teori aritmatika. Derajat ketelitiannya cukup bagus, hanya memerlukan 1 hari kabisat dalam seratusan tahun. 13 http://www.jakarta2006.engageist.org/fileadmin/engage/public_jakarta2006/presentations/A5_01_Budiarto.pdf
etnis Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaranakan kesatuan kebudayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama (Bagus, 1975).
F. Metode Penelitian Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yang berusaha mengumpulkan data kualitatif sebanyak mungkin yang merupakan data utama untuk menjelaskan permasalahan yang akan dibahas nantinya. Untuk mencapai sasaran yang akan dituju yang menggambarkan tentang konsep wariga pada masyarakat Bali.
a. Lapangan Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan di lapangan, penulis akan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: Wawancara Peneliti menggunakan
teknik wawancara mendalam untuk
mendapatkan data dari informan. Wawancara mendalam (indepth interview) digunakan untuk memperoleh data mengenai konsep orang Bali Desa Pegajahan tentang wariga dengan berpedoman kepada interview guide sebagai bahan acuannya. Sebelum peneliti melakukan wawancara mendalam maka peneliti terlebih dahulu mencari beberapa informan sebagai sumber data. Semua orang Bali yang ada di Desa Pegajahan dapat dijadikan sebagai informan. Bernard (1994:165), menyatakan bahwa informan kunci yang baik adalah informan yang mudah untuk dimintai informasi (diwawancarai),
memahami informasi yang dibutuhkan peneliti dan dapat menjalin kerja sama yang baik dengan peneliti. Informan kunci dipilih berdasarkan pengetahuan mereka tentang wariga, semakin banyak mereka tahu tentang wariga dan wuku, maka semakin banyak pula informasi yang peneliti dapatkan, usia dan jenis kelamin tidak menjadi patokan dalam menentukan informan kunci, informan kunci bisa laki-laki dan bisa juga perempuan. Untuk melengkapi data yang diperoleh dari lapangan, peneliti akan mencari data kepustakaan yang terkait dengan masalah penelitian berupa buku-buku, majalah, surat kabar dan tulisan-tulisan lainnya termasuk tulisan dari media elektronik untuk menambah pemahaman penulis terhadap permasalahan yang akan diteliti. Selain data kepustakaan, peneliti juga akan menggunakan dokumentasi visual untuk melengkapi data dari hasil observasi dan wawancara.
Observasi Observasi ini dilakukan peneliti untuk memperoleh gambaran penuh mengenai kalender yang digunakan (wariga) orang Bali yang tinggal di Desa Pegajahan, Dalam melakukan observasi, peneliti mengamati secara langsung (partisipasi) apa-apa saja yang mereka lakukan dalam aktivitas mereka sehari-hari, seperti uupacara-upacara adat, sesajen yang digunakan dalam upacara tersebut, alat-alat pertanian apa saja yang sering mereka pakai dalam bertani, bagaimana lingkungan fisik yang ada disekeliling mereka, dan lain sebagainya yang dapat peneliti amati dengan indra penglihatan peneliti sendiri.
b. Analisa Data Pada tahap analisis ini, peneliti akan memeriksa ulang data untuk melihat kelengkapan data. Data yang diperoleh dari lapangan akan dianalisis secara kualitatif dan disusun sesuai dengan kategori-kategori tertentu sebagaimana yang dikemukakan oleh informan, Menurut Suwardi Endraswara, terdapat 3 cara yang harus dicermati ketika mengadakan kategorisasi dan analisa, yaitu: (1) Peneliti harus memperhatikan istilah-istilah khusus dari informan. Istilah tersebut harus terpampang dalam klasifikasi; (2) Peneliti harus berusaha mendeskripsikan atau melukiskan aturan-aturan budaya yang digunakan oleh informan. Aturan tersebut diklasifikasikan, sehingga tampak jelas penggunaannya dalam interaksi budaya; (3) Peneliti juga harus berusaha menemukan tema-tema budaya dari klasifikasi istilah dan aturan tadi (Endaswara, 2006). Kemudian dilakukan penganalisaan hubungan dari setiap bagian yang telah disusun untuk memudahkan saat mendeskripsikannya. Kesimpulan diambil berdasarkan hasil analisa data dan telaah pustaka yang disesuaikan dengan tujuan dari penulisan.