BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sumber daya manusia dalam organisasi merupakan faktor penting yang
memengaruhi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan. Peran sumber daya manusia menjadi penting dalam berjalannya fungsi-fungsi organisasi. Untuk itu, dibutuhkan pengelolaan yang tepat agar sumber daya manusia dapat mencapai kinerja yang diharapkan oleh organisasi. Salah satu faktor yang memengaruhi kinerja sumber daya manusia pada organisasi adalah keterlibatan kerja (job involvement). Keterlibatan kerja merupakan manifestasi dari tingkat dimana seorang individu terbenamkan dalam pekerjaan yang dijalani (Kreitner dan Kinicki, 2011). Keterlibatan kerja karyawan dalam sebuah organisasi dianggap penting karena berkaitan dengan bagaimana sumber daya manusia dalam organisasi melakukan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang menjadi tanggung jawabnya. Rotenberry dan Moberg (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara nilai keterlibatan kerja karyawan dengan penilaian atasan terhadap kinerja mereka, dan sangat mungkin dengan mendorong keterlibatan kerja yang lebih besar akan secara positif memengaruhi perilaku kerja, khususnya perilaku individually directed citizenship. Penelitian Biswas (2009) di India menunjukkan bahwa keterlibatan kerja secara negatif dan signifikan memiliki pengaruh terhadap intensi keluar karyawan. Sedangkan penelitian lain, Jayawardana et. al.
1
(2013), menunjukkan bahwa keterlibatan kerja secara signifikan memoderasi hubungan antara persepsi terhadap dukungan organisasi dengan hubungan pertukaran sosial manajer dengan bawahan, kepuasan kerja, dan intensi keluar. Terlihat bahwa berbagai hal yang memengaruhi keterlibatan kerja menjadi satu strategi untuk meningkatkan kinerja (Kreitner dan Kinicki, 2011). Kepemimpinan memiliki andil dalam menentukan nilai dan memengaruhi budaya dalam organisasi, terutama kepemimpinan yang transformasional. Pemimpin transformasional memiliki tugas menyatukan kepentingan organisasi dan
anggotanya,
merupakan
pemimpin
yang
menginspirasi
pengikut,
menstimulasi secara intelektual, serta mempertimbangkannya secara individual (Bass, 1999). Kemampuan pemimpin transformasional dalam menginspirasi dan menstimulasi pengikut juga dipercaya memengaruhi keterlibatan kerja dari pengikut atau sumber daya manusia dalam organisasi (Javeed dan Farooqi, 2013; Nazem dan Mozaiini, 2014; Sheikh et. al., 2013). Beberapa riset menunjukkan bahwa peranan dari kepemimpinan transformasional terbukti memengaruhi pengikutnya. Castro et. al. (2008) menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional berhubungan secara positif dengan kepuasan kerja secara umum dan juga dengan komitmen afektif pengikutnya. Hal senada juga dibuktikan Tsai et. al. (2009) yang mengungkapkan bahwa kepemimpinan transformasional secara langsung memengaruhi performa dan sikap kerja sebagai keluaran kerja pegawai. Urgensi dari konsep kepemimpinan transformasional terlihat dari pernyataan Bass (1999) mengenai kepemimpinan transformasional yang lebih
2
efektif dibandingkan kepemimpinan transaksional dalam bisnis yang memiliki banyak variasi, pada bidang militer, industri, rumah sakit, dan pendidikan. Seorang pengikut tidak terlepas dari dimensi budaya nasional yang menjadi orientasi individual. Hofstede (1980) mendefinisikan budaya sebagai program mental kolektif dari masyarakat dalam satu lingkungan, yang dimiliki oleh satu masyarakat dan berbeda dari kelompok masyarakat, suku, wilayah, minoritas atau mayoritas, atau negara lainnya. Faktor budaya menjadi penting dalam mengelola organisasi dan bisnis. Treven et. al. (2008) menyatakan bahwa perbedaan budaya dapat menyebabkan adanya perbedaan yang berkaitan dengan proses komunikasi, penggunaan bahasa, gaya bicara, komunikasi non verbal, penyelesaian konflik, dan perubahan organisasi. Dengan menghargai adanya peranan budaya dalam organisasi, akan ada pemahaman yang lebih baik terhadap manajemen dan perilaku organisasional. Hofstede et. al. (2010) membagi dimensi budaya nasional menjadi empat yang terdiri atas rentang kekuasaan, kolektivisme versus individualisme, femininitas versus maskulinitas, dan penghindaran ketidakpastian pada monograf pertamanya di tahun 1980. Selanjutnya, ia menambahkan dimensi kelima, longterm versus short-term orientation (LTO) ke dalam dimensi budaya nasionalnya (Minkov dan Hofstede, 2012). Dimensi budaya ini tidak hanya pada level nasional, tetapi juga dapat dilihat pada level individu, yakni orientasi nilai kultural individu. Orientasi nilai budaya individu yakni apakah individu menunjukkan orientasi budaya yang konsisten dengan budaya nasional (Yoo et. al., 2011).
3
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sheikh et. al. (2013), pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap keterlibatan kerja karyawan dimoderasi oleh rentang kekuasaan, kolektivisme, dan penghindaran ketidakpastian yang merupakan dimensi kultur dari sumber daya manusia di dalam organisasi. Dalam penelitian
tersebut
ditemukan
bahwa
kepemimpinan
transformasional
memengaruhi keterlibatan kerja secara positif. Kemudian kolektivisme ditemukan memoderasi pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap keterlibatan kerja secara positif sedangkan penghindaran ketidakpastian memoderasi secara negatif. Berdasarkan studi Hofstede et. al. (2010) pada perusahaan IBM, Indonesia sebagai negara berkembang memiliki kultur nasional yang berbeda dengan negara-negara maju di Eropa dan juga Amerika. Berdasarkan indeks rentang kekuasaan (Power Distance Index - PDI), Indonesia berada pada peringkat 15-16 dengan nilai indeks 78 yang menunjukkan adanya budaya ketergantungan yang besar dari bawahan kepada atasan. Indeks individualisme (Individualism Index IDV) Indonesia berada pada peringkat 70-71 dengan nilai indeks 14 yang menunjukkan bahwa budaya di Indonesia cenderung memiliki budaya kolektivisme.
Sedangkan
berkaitan
dengan
penghindaran
ketidakpastian,
Indonesia berada pada peringkat 62-63 pada indeks penghindaran ketidakpastian (Uncertainty Avoidance Index - UAI) dengan nilai 48 (dengan skala 0-100) yang merupakan nilai preferensi menengah – bawah (medium-low) dan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat penghindaran terhadap ketidakpastian yang tergolong kategori menengah ke bawah.
4
Riset mengenai pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap keterlibatan kerja yang dimoderasi oleh rentang kekuasaan, kolektivisme, dan penghindaran ketidakpastian, dengan konteks Indonesia penting untuk dilakukan. Satu perusahaan yang menarik dijadikan obyek penelitian adalah PT Aseli Dagadu Djokdja (Dagadu). Dagadu didirikan oleh beberapa mahasiswa yang menjunjung tinggi nilai budaya serta bekerja dengan kreatif dan secara kolektif. Tingginya persaingan industri kreatif di Yogyakarta menuntut perusahaan ini untuk meningkatkan kinerjanya, salah satunya dengan meningkatkan keterlibatan kerja karyawan. Dagadu bergerak di bidang industri yang potensial untuk memperoleh keuntungan. Sebagai perusahaan yang memposisikan diri sebagai produk cinderamata alternatif, salah satu potensi pasar yang terus berkembang adalah para wisatawan. Menurut Kepala Dinas Pariwisata DIY (September 2014) angka kunjungan wisatawan Yogyakarta mencapai 2,4 juta wisatawan domestik dari target 2,2 juta orang dan 1,8 juta wisatawan manca negara (Tribunnews, 26 Januari 2015). Untuk 2015, kunjungan wisatawan domestik ditargetkan mencapai 2,6 juta orang dan wisatawan manca negara mencapai 2,25 juta orang. Menariknya pangsa pasar tersebut juga diiringi dengan peningkatan jumlah pesaing yang dihadapi Dagadu. Industri kreatif di Yogyakarta merupakan industri yang jumlahnya selalu meningkat setiap tahunnya. Sedikitnya 2.000 unit usaha baru di bidang industri kreatif muncul ke permukaan setiap tahun. Pada 2012, jumlah unit usaha di bidang industri kreatif berjumlah 33.882 unit lalu
5
meningkat menjadi 34.977 unit usaha pada 2013. Adapun tahun 2014, jumlahnya kembali meningkat menjadi 36.456 unit usaha (Tribun Jogja, 7 Agustus 2015). Kesempatan dari potensi pasar yang luas serta tantangan dari semakin banyaknya pesaing menyebabkan Dagadu membutuhkan peningkatan keterlibatan kerja karyawan sebagai strategi untuk meningkatkan kinerja. Oleh karena itu, berbagai hal yang memengaruhi keterlibatan kerja menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa keterlibatan kerja dapat dipengaruhi
oleh
kepemimpinan
transformasional.
Pemimpin
Dagadu
diindikasikan telah menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep kepemimpinan transformasional dengan menstimulus karyawannya untuk mengeluarkan gagasan lewat forum yang diadakan secara rutin serta mengembangkan karyawannya, sesuai dengan satu
nilai
kepemimpinan
transformasional yang menstimulasi secara intelektual. Oleh karena itu, Dagadu dipilih sebagai lokasi untuk penelitian ini.
1.2.
Rumusan Masalah Dagadu saat ini menghadapi ketatnya persaingan di dalam industri kreatif
sehingga keterlibatan kerja karyawan yang tinggi semakin diperlukan untuk meningkatkan
kinerja.
Keterlibatan
kerja
dipercaya
dipengaruhi
oleh
kepemimpinan transformasional(Javeed dan Farooqi, 2013; Nazem dan Mozaiini, 2014; Sheikh et. al., 2013). Kepemimpinan transformasional adalah konsep kepemimpinan yang memengaruhi pengikutnya dengan menginspirasi pengikut, menstimulasi secara
6
intelektual, serta mempertimbangkannya secara individual (Bass, 1999). Peranan kepemimpinan transformasional dalam meningkatkan keterlibatan kerja juga dipercaya dapat terpengaruh oleh faktor lain yang diidentifikasi sebagai pemoderasi. Orientasi nilai kultural individu yang dilihat berdasarkan kultur nasional (national culture) Hofstede menjadi salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam kepemimpinan transformasional dengan keterlibatan kerja. Rentang kekuasaan, kolektivisme, dan penghindaran ketidakpastian adalah tiga dimensi dari budaya nasional yang dikemukakan Hofstede yang dalam penelitian ini dipercaya sebagai variabel pemoderasi pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap keterlibatan kerja.
1.3.
Pertanyaan Penelitian 1. Apakah kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh terhadap keterlibatan kerja? 2. Apakah
rentang
kekuasaan
memoderasi
pengaruh
kepemimpinan
transformasional terhadap keterlibatan kerja? 3. Apakah
kolektivisme
memoderasi
pengaruh
kepemimpinan
transformasional terhadap keterlibatan kerja? 4. Apakah
penghindaran
ketidakpastian
memoderasi
pengaruh
kepemimpinan transformasional terhadap keterlibatan kerja?
7
1.4.
Tujuan Penelitian 1. Menguji pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap keterlibatan kerja. 2. Menguji pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap keterlibatan kerja dengan rentang kekuasaan sebagai variabel pemoderasi. 3. Menguji pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap keterlibatan kerja dengan kolektivisme sebagai variabel pemoderasi. 4. Menguji pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap keterlibatan kerja dengan penghindaran ketidakpastian sebagai variabel pemoderasi.
1.5.
Manfaat Penelitian
a. Bagi Akademisi Menambah
literatur
mengenai
pengaruh
gaya
kepemimpinan
transformasional terhadap keterlibatan kerja yang dimoderasi oleh rentang kekuasaan, kolektivisme, dan penghindaran ketidakpastian pada organisasi. b. Bagi Perusahaan Sebagai
informasi
mengenai
bagaimana
tingkat
kepemimpinan
transformasional dari pemimpin, tingkat keterlibatan kerja bawahan, orientasi nilai kultural bawahan, serta bagaimana kepemimpinan transformasional mempengaruhi keterlibatan kerja pegawai di Dagadu dan juga bagaimana rentang kekuasaan, kolektivisme, dan penghindaran ketidakpastian berperan sebagai pemoderasi.
8
1.6.
Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji pengaruh kepemimpinan transformasional
terhadap keterlibatan kerja dan bagaimana rentang kekuasaan, kolektivisme, dan penghindaran
ketidakpastian
memoderasi
pengaruh
kepemimpinan
transformasional terhadap keterlibatan kerja di Dagadu.
9