1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut dengan UUD 1945) secara tegas menyebutkan negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karenanya segala tata laku, dan tata kelola negara dan pemerintahan didasarkan atas prinsip-prinsip
negara
hukum.
Namun
jika
ditelaah
lebih
jauh
sesungguhnya Indonesia menganut konsep negara hukum materiil (welfarestate), yaitu mengombinasikan antara konsep negara hukum dan negara kesejahteraan. Konsep negara hukum kesejahteraan (welfarestate) menerapkan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah atas rakyatnya semakin meluas, bukan lagi bersifat nachtwakerstaat atau sebatas penegak hukum demi stabilitas keamanan dan ketertiban, sehingga tidak ada lagi larangan intervensi pemerintah atas kehidupan sosial – ekonomi warga negaranya. Besarnya tanggung jawab pemerintah atas kesejahteraan rakyatnya didasarkan pada tujuan awal kemerdekaan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang mencakup: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2. Memajukan kesejahteraan umum,
2
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, 4. Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Eksistensi negara Indonesia sebagai negara hukum kesejahteraan, tercermin pula dalam Bab XIV UUD 1945 yang berjudul Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, substansi Pasal 33 dan Pasal 34 dalam Bab XIV UUD 1945 tersebut ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. UUD 1945 diperlukan sebagai landasan dasar sistem perekonomian Indonesia secara normatif agar strategi, kebijakan, dan program perekonomian
nasional
terarah.
Landasan
normatif
mengenai
perekonomian Indonesia yang terdapat pada Pasal 33 UUD 1945 tersebut sudah diubah dan berkembang lebih rinci dengan ditambahkannya Ayat (4) Pasal 33 UUD 1945 yang isinya sebagai berikut : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Penambahan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 yang memuat prinsipprinsip baru dimaksudkan untuk menyempurnakan agar ketentuan UUD 1945 tidak disalahgunakan. Pancasila dan UUD 1945 menghendaki adanya keseimbangan dalam semua aspek kehidupan bernegara, termasuk keseimbangan antara kepentingan individual dan kolektivitas dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan individual dan kolektif tersebut kemudian diadopsi prinsip efisiensi berkeadilan sebagai salah satu prinsip demokrasi ekonomi. Dalam konteks
3
perekonomian nasional di era globalisasi ini, selain efisiensi hal lain yang harus diperhatikan yakni keadilan, Indonesia sebagai negara berkembang harus memegang prinsip efisiensi untuk keadilan. Dianutnya prinsip efisiensi berkeadilan sebagai salah satu prinsip pendukung demokrasi ekonomi, sesungguhnya mengandung banyak polemik baik dari segi proses politiknya maupun implementasinya dalam penyelenggaraan
perekonomian
nasional.
Banyak
pihak
yang
menyalahpahami dengan beranggapan seolah-olah dengan dimasukkannya prinsip efisiensi ke dalam rumusan UUD 1945, maka UUD 1945 yang menganut demokrasi ekonomi telah melenceng dari cita-cita proklamasi.1 Sebagaimana Mubyarto mengemukakan bahwa alasan penambahan ayat 4 dalam Pasal 33 UUD 1945 merupakan kompromi atas perdebatan antara kelompok yang ingin mempertahankan dan menggusur asas kekeluargaan, hal tersebut dikarenakan asas kekeluargaan menolak sistem ekonomi pasar yang berprinsip efisiensi (ekonomi).2 Karena itu, bagi kalangan ekonom idealis dengan masih langgengnya Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945, maka konstitusi ekonomi Indonesia masih rentan karena selalu diintai oleh agenda-agenda neoliberal seperti liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Nampaknya kekhawatiran atas Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 yang digunakan untuk memenuhi agenda-agenda neoliberal seperti liberalisasi,
1
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Ekonomi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm 259260. 2 Mubyarto,“Paradigma Kesejahteraan Rakyat dalam Ekonomi Pancasila”. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel th II, No 4, Juli, 2003.
4
privatisasi, dan deregulasi mulai terbukti dengan perekonomian nasional yang diwarnai dengan kebijakan-kebijakan liberal, mengikuti mekanisme pasar yang fluktuatif dan cenderung di atas daya beli masyarakat. Hal itu tentu juga tidak terlepas dari banyaknya ekonom pragmatis yang mengisi pos-pos penting jabatan kenegaraan. Hadirnya ekonom pragmatis dalam kancah jabatan publik cenderung membuat kebijakan negara mengarah kepada pemenuhan agenda neoliberal yang dirumuskan dalam Washington Consensus. Para ekonom pragmatis tersebutlah yang dinilai oleh Mubyarto sebagai kelompok yang berjuang mati-matian untuk memasukan misi pasar bebas dengan ruh kapitalisme ke dalam Pasal 33 UUD 1945, yang akhirnya terwujud dengan diadopsinya prinsip “efisiensi berkeadilan” dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Diadopsinya konstitusional
prinsip
efisiensi
berkeadilan
Indonesia
memang
rentan
dalam
landasan
penyimpangan
dalam
penerapannya. Penerapan prinsip efisiensi berkeadilan menunjukkan berlangsungnya
proses
penyesuaian
cara
kerja
Indonesia
yang
ekonominnya belum dan sedang berkembang agar makin mendekati caracara yang diterapkan negara-negara yang sudah maju dan modern. Pada akhirnya penerapan prinsip yang bertujuan efisiensi untuk keadilan ini, tidak terlepas dari problema dalam mewujudkan perekonomian yang berdemokrasi ekonomi di Indonesia. Sebagai penerapan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 di atas, pemerintah selaku regulator dan fasilitator dalam kegiatan perekonomian antara lain
5
menetapkan kebijakan untuk mendorong semua pelaku usaha agar dapat memberikan peranan-terbaiknya dalam mengembangkan perekonomian nasional efisien dan mampu bersaing baik secara nasional, regional maupun global. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan berbagai undang-undang, termasuk dan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan sangat erat berkaitan dan merupakan tulang punggul kebijakan perekonomian nasional yang mengatur
mengenai
kompetisi
pada
penyelenggaraan
usaha
ketenagalistrikan. Kompetisi di sektor ketenagalistrikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 dianggap suatu terobosan dalam memasuki era mekanisme pasar. Efisiensi merupakan kata kunci yang tidak bisa lagi ditawar dalam memenangkan persaingan. Apalagi persaingan sudah menjurus ke arah global. Untuk menghadapi hal tersebut kiranya perlu untuk mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. Namun lahirnya UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan jusrtu menjadi kontroversi di tengah masyarakat, lahirnya peraturan tersebut dianggap bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara riil akan ketenagalistrikan, tetapi lebih atas dasar tekanan lembaga keuangan internasional sebagai bagian dari program penyesuaian struktural (structural adjustment program) yang merupakan standar
6
kebijakan yang direkomendasikan oleh IMF dan didukung oleh Bank Dunia (The World Bank) serta Asia Development Bank (AsDB). UU No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan merupakan “undang-undang titipan" kepentingan pihak asing baik yang sudah maupun yang ingin menanamkan modalnya di sektor ini. Selain itu, undang-undang tersebut mempunyai kaitan erat dengan persoalan ekonomi dan/atau bisnis karena hampir tidak mungkin suatu kegiatan pengembangan perekonomian atau upaya peningkatan pertumbuhan bisnis tidak berkaitan dengan kebutuhan penyediaan tenaga listrik, sehingga sangat mungkin pengaturan dalam UU No. 20 Tahun 2002 lebih untuk memenuhi kepentingan para pebisnis (kaum kapitalis). Pemenuhan kepentingan kelompok tertentu melalui UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketengalistrikan tercermin dari pengaturannya terkait kompetisi
dan
konsep
unbundling
usaha
ketenagalistrikan
yang
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga merenggut hak konstitusional masyarakat.
Pada
akhirnya
UU
No.
20
Tahun
2002
tentang
Ketenagalistrikan terbukti bertentangan dengan UUD 1945 dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa keseluruhan materi undang-undang itu dinyatakan tidak berlaku mengikat secara hukum. Putusan MK atas pembatalan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tersebut menjadi putusan MK yang paling menarik dan kontroversial.
7
Berdasarkan pemaparan di atas maka akan dilakukan penelitian lebih lanjut dalam penyusunan tesis yang berjudul : “PRINSIP EFISIENSI BERKEADILAN
DALAM
MEWUJUDKAN
PEREKONOMIAN
NASIONAL BERDASARKAN DEMOKRASI EKONOMI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945”.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari paparan latar belakang masalah, dapat dirumuskan sebagai isu sentral dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana makna prinsip efisiensi berkeadilan dalam mewujudkan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945? 2. Bagaimana penerapan prinsip efisiensi berkeadilan dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan sebagai kebijakan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi berbagai dimensi antara lain : 1. Tujuan deskriptif, untuk mengetahui dan menganalisis makna prinsip efisiensi berkeadilan dalam mewujudkan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi menurut Undang-Undang Dasar 1945.
8
2. Tujuan kreatif, untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana penerapan prinsip efisiensi berkeadilan dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun
2002
tentang
Ketenagalistrikan
sebagai
kebijkan
perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi. D.Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik untuk kepentingan akademis maupun untuk kepentingan praktis, yaitu: 1. Manfaat akademis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum pada khususnya. 2. Manfaat praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penafsiran prinsip efisiensi berkeadilan serta mengetahui penerapan prinsip efisiensi berkeadilan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan sebagai kebijkan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi. E.Keaslian Penelitian Setelah dilakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian dalam berbagai media, baik cetak maupun elektronik, belum ditemukan penulisan yang terkait judul “Prinsip Efisiensi Berkeadilan
9
dalam Mewujudkan Perekonomian Nasional Berdasarkan Demokrasi Ekonomi Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, sehingga dalam kesempatan ini akan dilakukan penelitian terhadap permasalahan tersebut. Dengan demikian, penelitian ini adalah asli. Berdasarkan penelusuran pada perpustakaan Pasca Sarjana UGM dan Perpustakaan Fakultas Hukum UGM belum ada penelitian yang sama baik ditinjau dari segi fokus dan lokus penelitiannya. Namun jika kemudian ada kemungkinan ditemukan penelitian yang sama, maka penelitian ini dianggap sebagai salah satu bagian untuk melengkapi penelitian tersebut.