BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Demam mungkin merupakan tanda utama penyakit yang paling tua dan
paling umum diketahui dan merupakan suatu bagian penting dari mekanisme pertahanan tubuh melawan infeksi, namun jika suhu terlalu tinggi akan membahayakan tubuh. Suhu rectum yang melebihi 410 C dalam jangka waktu lama akan menyebabkan kerusakan otak permanen. Adapun penyebab demam meliputi penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, zat kimia, tumor otak dan keadaan lingkungan yang dapat berakhir dengan heat stroke (Newlman, 2006; Wilmana & Gan, 2007; Ganong, 2008). Demam atau pireksia merupakan gejala dari suatu penyakit. Penyakit infeksi seperti demam berdarah, tifus, malaria, peradangan hati, dan penyakit infeksi lain merupakan contoh penyakit yang sering mempunyai gejala demam. Dampak negatif demam antara lain dehidrasi, kekurangan oksigen, kerusakan saraf, rasa tidak nyaman seperti sakit kepala, nafsu makan menurun (anoreksia), lemas, dan nyeri otot(Arifianto & Hariadi, 2007). Efek yang berbahaya dari suhu yang tinggi adalah perdarahan lokal dan degenerasi parenkimatosa diseluruh tubuh, terutama otak serta dapat terjadi kegagalan pada hati, ginjal dan organ tubuh lainnya yang akhirnya menyebabkan kematian (Sherwood, 2001).
Untuk
mengurangi dampak negatif ini maka demam perlu diobati dengan antipiretik (Arifianto & Hariadi, 2007).
1
2
Obat yang biasa digunakan untuk menurunkan demam adalah parasetamol (Soedbyo & Souvriyanti, 2006). Sekitar 175 juta tablet parasetamol dikonsumsi masyarakat Indonesia setiap tahunnya ketika gejala demam muncul karena cukup aman, mudah didapat dan harganya terjangkau. Beberapa penelitian tentang parasetamol akhir-akhir ini menemukan bahwa meskipun cukup aman tetapi parasetamol memiliki banyak efek samping (Sajuthi, 2003; Ant, 2003). Meskipun relatif aman, parasetamol tetap memiliki efek samping berupa hepatotoksisitas, nekrosis hepar yang fatal, nekrosis tubuler ginjal dan koma hipoglikemik pada penggunaan jangka panjang atau dalam dosis yang berlebihan (DiPiro et al., 2008). Efek samping dari penggunaan paracetamol dengan dosis yang cukup besar dapat terjadi pusing, ketegangan, dan disorientasi. Menelan 15 g paracetamol bisa fatal, kematian disebabkan oleh hepatotoksisitas yang hebat dengan nekrosis lobulus sentral (Katzung, 2002). Gejala awal dari kerusakan hati meliputi mual, muntah-muntah, diare, nyeri perut, dan shock terjadi 4-12 jam setelah mengkonsumsi paracetamol (Dienstang & Isselbacher, 2005). Berdasarkan data yang diperoleh dari Fellow Center Community Child Health & Ambulatory Paediatrics Research di rumah sakit Royal Children di Australia, parasetamol merupakan obat kedua terbanyak yang diresepkan di Australia, untuk penggunaan secara meluas pengobatan demam akibat infeksi pada anak-anak. Jumlahnya tak kurang sebanyak 4,75 juta unit yang pernah dikeluarkan pada 1996 (Fadjar, 2002). Di Indonesia, sebuah riset independen terkini mengungkapkan bahwa sekitar 78% konsumsi obat penurun demam anak
3
di wilayah perkotaan di Indonesia adalah golongan fenasetin dan derivatnya, termasuk parasetamol (Radityo, 2007). Selain itu, salah satu merek dagang obat yang berbahan aktif parasetamol telah dijual bebas di lebih dari 85 negara di dunia termasuk di Indonesia (Chandrawati, 2007). Luasnya pemakaian parasetamol oleh masyarakat dalam dosis tinggi yang menyebabkan keracunan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Salah satu alternatif yang ditawarkan untuk mengurangi dampak paracetamol dalam penanganan demam yaitu dengan memanfaatkan tumbuhan sebagai obat-obatan tradisional. Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional masih selalu digunakan masyarakat di Indonesia terutama di daerah pedesaan yang masih kaya dengan keanekaragaman tumbuhannya (Saumantera, 2004). Ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari penggunaan obat tradisional, diantaranya harganya yang murah, terkait dengan kemudahan dalam mendapatkan bahan baku, bahkan tanaman obat dapat ditanam sendiri di halaman rumah, efek samping yang ditimbulkan obat tradisional relatif kecil, sehingga aman digunakan (Susanty, 2003). Obat tradisional yang berasal dari kekayaan alam dapat menjadi pilihan sebagai antipiretik karena mempunyai banyak khasiat bagi kesehatan serta toksisitasnya relatif lebih rendah dibanding obat-obatan sintetis. Obat-obatatan tradisional yang digunakan untuk pengobatan harus mempunyai efek terapi, sehingga dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya (Irma & Gilang, 2007; Sugiarto, 2008). Bawang merah adalah salah satu rempah multiguna. Paling penting didayagunakan sebagai bahan bumbu dapur sehari- hari dan penyedap berbagai
4
masakan. Kegunaan lain dari umbi bawang merah adalah sebagai obat tradisional untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Umbi bawang merah mengandung zat-zat gizi dan zat-zat non gizi (fitokimia). Bahan-bahan bergizi dalam bawang merah bisa dimanfaatkan oleh tubuh untuk menyediakan energi, membangun jaringan, dan mengatur fungsi tubuh. Sementara senyawa fitokimia memiliki efek farmakologis dalam penyembuhan penyakit. Senyawa fitokimia yang terdapat dalam bawang merah salah satunya adalah flavanoid (Jaelani, 2007). Flavonoid menunjukkan lebih dari seratus macam bioaktivitas. Bioaktivitas yang ditunjukkan
antara
lain
efek
antipiretik,
analgetik,
dan
antiinflamasi
(Wijayakusuma, 2001). Senyawa flavonoid telah dikenal memiliki efek antiinflamasi dan juga memiliki efek antipiretik yang bekerja sebagai inhibitor cyclooxygenase (COX) yang berfungsi memicu pembentukan prostaglandin. Prostaglandin berperan dalam proses inflamasi dan peningkatan suhu tubuh. Apabila prostaglandin tidak dihambat maka terjadi peningkatan suhu tubuh yang akan mengakibatkan demam (Suwertayasa, 2013). Berdasarkan uraian di atas, bawang merah memiliki kandungan flavonoid yang berperan sebagai antipiretik yang dapat menurunkan demam. Kegunaan dari bawang merah sebagai obat tradisional untuk menurunkan demam di masyarakat biasanya dalam bentuk kompres (Ambarawati dan Yudono, 2003). Akan tetapi, sejauh pengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang meneliti secara ilmiah mengenai kandungan flavonoid dalam sediaan ekstrak bawang merah sebagai penurun demam. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk menguji efek ekstrak bawang merah pada tikus putih yang mengalami demam.
5
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut : “Adakah efek ekstrak bawang merah (Allium ascalonicum L.) terhadap perubahan suhu tubuh pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang mengalami demam?” 1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui efek ekstrak bawang merah ( Allium ascalonicum L.)
terhadap perubahan suhu tubuh pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang mengalami demam. 1.3.2 a.
Tujuan Khusus
Mengidentifikasi suhu tubuh tikus putih (Rattus norvegicus) yang mengalami demam sebelum diberikan intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
b.
Mengidentifikasi suhu tubuh tikus putih (Rattus norvegicus) setelah diberikan intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
c.
Menganalisis pengaruh ekstrak bawang merah ( Allium ascalonicum L.) terhadap perubahan suhu tubuh tikus putih (Rattus norvegicus) pada kelompok perlakuan dan control.
d.
Menganalisis perbedaan perubahan suhu tubuh tikus putih (Rattus norvegicus) pada kelompok perlakuan dan control.
6
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan atau ilmu
tentang terapi alternatif sebagai antipiretik dan dapat menjadi salah satu dasar mengembangkan
pengobatan
alternatif
dalam
pelayanan
kesehatan
dan
diharapkan dapat menjadi salah satu dasar bagi penelitian selanjutnya. 1.4.2
Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai obat alternatif
alami untuk menurunkan suhu tubuh pada masyarakat yang mengalami hipertermi dan penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bahan-bahan alami yang memiliki banyak khasiat, murah, mudah, dan dikenal masyarakat.