BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura
yang disebabkan oleh produksi berlebihan cairan ataupun berkurangnya absorpsi. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner, inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi. Infeksi pleura (baik efusi parapneumonik maupun empyema) telah ada sejak dulu, dilaporkan dalam teks-teks medis Yunani Kuno. Diperkirakan 4 juta orang terkena pneumonia setiap tahunnya, dengan hampir separuhnya terkena efusi parapneumonik. Infeksi pleura merupakan komplikasi pneumonia, dilaporkan menyerang 65 ribu pasien per tahunnya di AS dan Inggris (Rosenstengel dan Lee, 2012) dengan perkiraan total belanja kesehatan mencapai USD $320 juta. Infeksi pleura meningkatkan morbiditas dan mortalitas infeksi paru, dengan angka mortalitas pada orang dewasa mencapai 20% (Rosenstengel dan Lee, 2012). Insidensinya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta populasi tiap tahun. Di Amerika, dijumpai 1,5 juta kasus efusi pleura setiap tahunnya (Sahn, 2008). Sementara perkiraan prevalensinya di negara-negara maju lainnya mencapai 320 kasus per 100.000 orang (Sahn, 2006). Sedangkan di Indonesia sendiri, catatan medik Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang, menunjukkan prevalensi penderita efusi pleura semakin bertambah
setiap tahunnya yaitu terdapat 133 penderita pada tahun 2001 (Ariyanti, 2003).Di tahun 2011, Tobing dan Widirahardjo mendapati kasus efusi pleura dalam setahun di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik berjumlah 136 di mana laki-laki lebih banyak dari perempuan (65,4% vs 34,6%), sedangkan etiologi tersering adalah tuberkulosis (44,2%) diikuti tumor paru (29,4%) (Tobing dan Widirahardjo, 2013). Ada lebih dari 55 penyebab efusi pleura yang telah dicatat. Sedangkan insidensi berdasarkan penyebabnya sendiri bervariasi bergantung dari area demografik serta geografisnya. Efusi pleura digolongkan dalam tipe transudat dan eksudat, berdasarkan mekanisme terbentuknya cairan dan biokimiawi cairan pleura. Transudat timbul karena akibat ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dan tekanan hidrostatik, sementara eksudat timbul akibat peradangan pleura atau berkurangnya drainase limfatik. Pada beberapa kasus, cairan pleura yang dihasilkan dapat saja menunjukkan kombinasi sifat transudat dan eksudat(Rubins, 2011). Langkah awal dalam mencari penyebab efusi adalah dengan menentukan apakah cairan itu transudat atau eksudat (Yetkinet al, 2006). Jika ternyata hasilnya adalah transudat, maka kemungkinan penyebabnya relatif lebih sedikit, oleh karenanya tidak perlu dilakukan prosedur diagnostik yang lebih jauh lagi terhadap cairan pleura tersebut. Namun jika hasilnya adalah eksudat, ada banyak kemungkinan penyebab yang mendasarinya sehingga pemeriksaan diagnostik selanjutnya perlu dilakukan (Yataco dan Dweik, 2005) Kriteria yang paling umum diterima untuk membedakan eksudat dan transudat adalah dengan pengukuran kadar total protein dan Laktat Dehidrogenase
(LDH) di dalam serum dan di cairan pleura. Kriteria ini disusun oleh Light et al di tahun 1972, dengan sensitivitas 99% dan spesifisitas 98%. Kriteria ini menetapkan bahwa cairan efusi pleura exudatif setidaknya memiliki satu dari 3 hal berikut, yakni rasio protein pada cairan pleura dibanding serum >0,5, rasio LDH cairan pleura dibanding serum > 0,6 dan kadar LDH cairan pleura > 2/3 batas atas LDH serum normal (Light, et al, 1972). Setelah menetapkan efusi pleura exudatif, barulah kita lanjutkan dengan mencari tahu penyakit tersering yang menjadi penyebabnya, antara lain pneumonia(efusi pleura parapneumonik = EPP), tuberkulosis (TB), keganasan dan tromboemboli paru (Porcell dan Light, 2013). Untuk menentukan penyebab efusi pleura exudatif, beberapa studi sebelumnya telah mengajukan parameter seperti pH, kadar amilase, kadar rheumatoidfactor, adenosindeaminase (ADA) dan analisa lipid. Sayangnya, tidaklah murah untuk memasukan tes-tes ini ke dalam pemeriksaan rutin efusi pleura. Bilamana dicurigai ada infeksi, yang perlu diperiksa adalah pH, glukosa LDH dan kultur mikrobiologi dari cairan pleura. Selain itu sitologi pleura dan BTA pleura. Juga ada beberapa biomarker baru yang diteliti untuk mendiagnosis efusi pleura karena infeksi seperti tumor necrosisfactor-alpha (TNF-α), myeloperoxidase, C-reactive protein (CRP) dan procalcitonin (PCT). Namun, tak satu pun dari parameter tersebut yang lebih unggul dari parameter klasik pH pleura <7.20, atau glukosa pleura <60 mg / dL (Porcel, et al, 2009). Semakin dini kita menegakkan diagnosis PPE, semakin baik pula outcome penyakitnya. Namun, tidak semua RS memiliki fasilitas mikrobiologi untuk
mengerjakan baku emas dari kausa EPP, sementara kondisi pasien menuntut untuk segera diberikan terapi empirik. Hal ini menjadi tantangan besar bagi penyedia layanan kesehatan di perifer. Itulah sebabnya, peneliti ingin mengukur sensitivitas dan spesifisitas kadar glukosa cairan pleura dalam memprediksi EPP. Bila terbukti akurasinya tinggi, para penyedia layanan kesehatan di perifer dapat mempertimbangkan tes ini sebagai tes diagnostik sehingga terapi empirik bagi kausa efusi pleura dapat segera diberikan.
1.2
Rumusan Masalah Apakah kadar glukosa cairan pleuramempunyai sensitivitas, spesifisitas,
dan akurasi yang baik dalam mendiagnosis efusi pleura parapneumonik?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum Mengetahui validitas kadar glukosacairan pleuradalam memprediksi
diagnosis efusi pleura parapneumonik.
1.3.2
Tujuan khusus 1. Mengetahui sensitivitaskadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura parapneumonik. 2.
Mengetahui spesifisitas kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura parapneumonik.
3.
Mengetahui nilai prediksi positif kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura parapneumonik.
4.
Mengetahui akurasi kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura parapneumonik.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat akademik Memberikan informasi nilai sensitivitaskadar glukosa cairan pleura dalam
diagnosis efusi pleura parapneumonik.
1.4.2 Manfaat praktis 1. Sebagai data ilmiah bahwa kadar glukosa cairan pleura dapat digunakan sebagai alat diagnostik awal yang dapat dikerjakan secara praktis, sederhana dan ekonomis untuk menegakkan diagnosis efusi pleura parapneumonik. 2. Hasil kadar glukosa cairan pleura dapat digunakan sebagai acuan penanganan awal pada penderita efusi pleura parapneumonik.