1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Manusia sejak awal lahirnya adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak
dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Setiap manusia mempunyai kebutuhan dan kepentingan yang harus dipenuhi. Kebutuhan dan kepentingan tersebut dapat diklasifikasikan dalam: a) Kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, seks; b) Kebutuhan keamanan, ketertiban dan ketentraman dari gangguan, ancaman atau serangan pihak lain; c) Kebutuhan akan kerja sama yang saling menguntungkan atau kerja sama untuk tujuan-tujuan kolektif; d) Kebutuhan akan kehormatan dirinya, akan penghargaan sebagai manusia yang bermartabat dan berkebudayaan; e) Kebutuhan akan eksistensi dirinya dengan jiwanya yang merdeka, yang memiliki daya logika, etika dan estetika atau nalar kreatifitas guna membudayakan dirinya.1 Manusia saling berinteraksi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya dan dari interaksi tersebut timbul hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Pemenuhan kebutuhan menjadi hak setiap manusia, namun di dalam pelaksanaannya, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia berhadapan dengan kewajiban menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain. Contohnya, untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, khususnya makanan, manusia bisa mendapatkannya dengan cara membeli dari orang lain. Pada sebuah hubungan jual beli, kedua pihak dihadapkan dengan hak dan kewajiban sekaligus, yaitu hak si
1
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, halaman 46.
2
pembeli mendapatkan makanan dan kewajibannya untuk membayar sejumlah makanan tersebut, begitu juga si penjual berhak menerima pembayaran sejumlah makanan yang dibeli oleh pembeli dan berkewajiban menyerahkan makanan yang telah dibayar kepada pembeli. Berdasarkan contoh di atas cukup menggambarkan, bahwa untuk memenuhi kebutuhannya, manusia berhadapan dengan kewajiban untuk menghormati hak orang lain, akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran tehadap hak yang dimiliki manusia yang dilakukan oleh manusia lainnya, oleh karena itu perlu adanya suatu aturan yang mengatur pelaksanaan hak setiap individu manusia agar tidak merugikan individu yang lain. Aturan tersebut salah satunya diwujudkan dalam peraturan-peraturan hukum. Keberadaan hukum di dalam masyarakat adalah sebagai peraturan yang bersifat umum, di mana seseorang atau kelompok secara keseluruhan ditentukan batas-batas hak dan kewajibannya.2 Negara mempunyai kewajiban melindungi hak-hak warga negaranya dan salah satu perwujudannya adalah melalui lembaga peradilan yang mempunyai tugas menyelenggarakan peradilan demi tegaknya hukum dan demi melindungi kepentingan-kepentingan umum. Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan mengakibatkan kerugian pada dirinya dapat mengajukan tuntutan haknya ke Pengadilan, selama Pengadilan tersebut mempunyai kewenangan untuk mengadili atau berkompeten sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang merumuskan: 2
Ibid, halaman 45.
3
ayat (1) “Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya;” ayat (2) “Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu, dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat salah seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang utama dari salah seorang daripada orang berutang utama itu, kecuali ditentukan pada ayat (2) dari Pasal 6 reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan hakim (R.O);” ayat (3) “Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagipula tempat tinggal sebetulnya tidak dketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu;” ayat (4) “Jika dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat berkedudukan yang dipilih itu.”
Pengadilan berkewajiban untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Pengajuan tuntutan hak tersebut dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata dan di dalam masalah gugatan ini, perlu terlebih dahulu mengetahui perbedaan antara
4
gugatan dengan permohonan. Perbedaan diantara keduanya yaitu bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh Pengadilan dan disini hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa diantara pihak-pihak yang benar dan siapa yang tidak benar. Berbeda halnya dengan perkara yang disebut permohonan, di sini tidak ada sengketa, hakim hanya sekadar memberi jasa-jasa sebagai seorang Tenaga Tata Usaha Negara. Hakim tersebut mengeluarkan penetapan yang lazim disebut putusan declaratoir, suatu putusan yang bersifat menetapkan atau menerangkan saja. Hakim tidak memutuskan suatu konflik seperti halnya dalam suatu gugatan.3 Majelis Hakim pemeriksa perkara berkewajiban menawarkan perdamaian kepada para pihak dalam proses pemeriksaan gugatan di Pengadilan berdasarkan Pasal 130 ayat (1) HIR, yang merumuskan: “Jika pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya berusaha mencapai perdamaian antara kedua belah pihak” Majelis Hakim mulai dengan membacakan surat-surat yang dikemukakan oleh para pihak apabila upaya perdamaian yang dilakukan mengalami kegagalan dan yang dimaksudkan dengan surat-surat ini ialah permohonan gugat dan “kalau ada” surat jawaban dari Tergugat.4 Seorang Tergugat mempunyai hak untuk menggugat kembali si Penggugat dan ini diatur dalam Pasal 132 a dan b HIR, yang merumuskan:
3 4
M. Nur, Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 19. Ibid, halaman 28.
5
Pasal 132 a HIR: ayat (1) “Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali: 1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; 2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan; 3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.” ayat (2) “Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugatan melawan, maka dalam bandingan tidak dapat mengajukan gugatan itu.” Pasal 132 b HIR, merumuskan: ayat (1) “Tergugat wajib memasukkan gugatan melawan bersama-sama dengan jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan; ayat (2) “Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini;” ayat (3) “Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua, dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir;” ayat (4) “Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya wang dalam gugatan tingkat pertama ditambah dengan wang dalam gugatan melawan lebih daripada jumlah wang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi;” ayat (5) “Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing, maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.” R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap Pasal 132 a HIR, bahwa oleh karena bagi Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya untuk menggugat kembali Penggugat, maka Tergugat itu tidak perlu mengajukan
6
tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya. Gugatan melawan ini dapat diajukan baik secara tertulis, maupun secara lisan (lihat Pasal 132 b). Dengan diberikannya kesempatan untuk gugat-menggugat ini maka jalannya berperkara menjadi lebih lancar, oleh karena dua persoalan dapat diperiksa sekaligus.5 Sub 1, 2 dan 3 dari Pasal 132 a ayat (1) HIR memuat pengecualian mengenai pengajuan gugatan rekonvensi (gugat balik). Pada Pasal 132 a ayat (2) HIR sudah secara gamblang menjelaskan bahwa apabila gugatan rekonvensi tidak diajukan pada pemeriksaan tingkat pertama, maka pada tingkat banding tidak dapat diajukan lagi. R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap Pasal 132 b HIR, bahwa menurut ayat (1) dan (3) pasal ini gugatan perlawanan diajukan bersama-sama jawaban Tergugat atas gugatannya, baik secara tertulis maupun secara lisan. Gugatan pertama dan gugatan perlawanan itu harus diperiksa dan diputus sekaligus dalam satu surat putusan, namun apabila Pengadilan Negeri berpendapat lain, bisa juga perkara itu diperiksa dan diputus secara terpisah, akan tetapi yang tidak boleh diabaikan ialah bahwa kedua gugatan itu harus senantiasa diselesaikan pemeriksaannya oleh hakim itu juga sampai dijatuhkan putusan yang terakhir.6 Gugatan rekonvensi pada hakekatnya merupakan gugat balik terhadap lawan berperkara, maksudnya adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat dalam gugatan awal (konvensi) kepada Penggugat dalam gugatan awal, di mana pengajuannya
5 6
R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1995, halaman 92. Ibid, halaman 93.
7
dilakukan bersama-sama dengan jawaban Tergugat dalam gugatan awal dan diperiksa dalam satu persidangan dengan gugatan awal, dengan nomor perkara yang sama, serta harus diputus dalam satu putusan. Hal ini bertujuan untuk menghemat biaya, waktu, tenaga, mempermudah prosedur pemeriksaan dan menghindari putusan yang bertentangan satu sama lain, sedangkan bagi Tergugat Rekonvensi, gugatan rekonvensi ini berarti menghemat ongkos perkara karena ia tidak diwajibkan membayar biaya perkara dalam gugatan rekonvensi. Hal itu dikarenakan pengajuan gugatan rekonvensi merupakan suatu hak istimewa yang diberikan oleh hukum acara perdata kepada Tergugat untuk mengajukan suatu kehendak untuk menggugat dari pihak Tergugat kepada pihak Penggugat secara bersama-sama dengan gugat asal (konvensi), tetapi keduanya haruslah mempunyai dasar hubungan hukum yang sama. Atas dasar itulah Tergugat dalam hal ini diperbolehkan memajukan gugatan rekonvensi, tetapi jika soal jawab jinawab sudah selesai dan hakim sudah mulai dengan melakukan pemeriksaan perkara, maka tergugat tidak diperbolehkan lagi memajukan gugatan rekonvensi.7 Salah satu contoh mengenai gugat rekonvensi terdapat di dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. Putusan tersebut memutus sengketa antara Alwi Kiswanto yang bertempat tinggal di Jalan Jenderal Ahmad Yani No.36 RT. 001/RW. 004, Kelurahan Kandang Gampang Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga sebagai PENGGUGAT melawan:
7
Wirjono, Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, halaman 80.
8
1.
ST. Yudianto yang bertempat tinggal di RT. 01/RW. 01 Kelurahan Purbalingga Lor, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga sebagai TERGUGAT I;
2. Direksi CV. Cipta Usaha yang bertempat tinggal di Desa Babakan RT. 09/RW. 02, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga sebagai TERGUGAT II. Kasus posisi dalam perkara ini dimulai ketika Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat I dan Tergugat II ke Pengadilan Negeri Purbalingga. Gugatan tersebut didasarkan pada perbuatan cidera janji yang dilakukan oleh para Tergugat. Penggugat mendalilkan bahwa cidera janji tersebut terjadi karena Tergugat II membeli aspal kepada Penggugat melalui Tergugat I sebanyak 382 (tiga ratus delapan puluh dua) drum, namun yang diakui dan dibayar Tergugat II hanya sejumlah 319 (tiga ratus sembilan belas drum), oleh karena itu ada selisih sebanyak 63 (enam puluh tiga) drum yang belum dibayar oleh Tergugat II. Tergugat I dalam jawaban gugatannya membenarkan seluruh dalil Penggugat, namun Tergugat II membantah sekaligus mengajukan gugatan rekonvensi dalam jawaban gugatannya. Gugatan rekonvensi tersebut didasarkan pada perbuatan Penggugat Konvensi yang melaporkan Tergugat II Konvensi ke Polsek Purbalingga terkait permasalahan jual beli aspal tersebut, namun prosesnya tidak dilanjutkan karena Penggugat Konvensi tidak dapat membuktikan kesalahan Tergugat II Konvensi. Tergugat II Konvensi merasa dirugikan secara materiil dan imateriil atas laporan Penggugat Konvensi tersebut. Tergugat II Konvensi mendalilkan telah mengalami kerugian materiil sejumlah Rp
9
100. 000. 000, - (seratus juta rupiah) dan kerugian imateriil sejumlah Rp. 1. 000. 000. 000, - (satu milyar rupiah). Penggugat Rekonvensi dalam gugatannya mendudukkan Penggugat Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi dan Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat Rekonvensi. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga yang memeriksa dan memutus perkara tersebut memutuskan untuk menolak seluruh gugatan Penggugat Konvensi, dengan pertimbangan bahwa penggugat tidak dapat membuktikan adanya hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat II dan alat-alat buktipun memperkuat dalildalil Tergugat II konvensi. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim juga menyatakan tidak menerima gugatan rekonvensi dari Tergugat II (Niet Onvankelijke Verklaard) dengan pertimbangan hukum bahwa dijadikannya Turut Tergugat Rekonvensi sebagai pihak dalam gugatan rekonvensi padahal antara Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi dalam gugatan awal (konvensi) berkedudukan sebagai Tergugat menyalahi prosedur beracara yang telah baku dan lazim di persidangan, karena esensinya gugatan rekonvensi adalah gugat balas atas lawan berperkara. Putusan Majelis Hakim tersebut berpedoman pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 K/Pdt/1984, akan tetapi selain putusan Mahkamah Agung tersebut, masih ada pula dasar-dasar hukum yang lain dan penjelasan-penjelasan dalam berbagai literatur yang membahas mengenai gugatan rekonvensi yang dilarang. Amar putusan yang menyatakan gugatan rekonvensi tidak dapat diterima, memunculkan suatu konsekuensi hukum, yaitu apabila pihak Penggugat Rekonvensi tidak puas, maka bisa diajukan gugatan lagi setelah gugatan sebelumnya diperbaiki, namun teknis
10
pengajuan gugatan yang seperti demikian masih belum secara gamblang dijelaskan dalam peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Berdasarkan uraian di latar belakang masalah di atas, penulis dalam menyusun skripsi ini mengambil judul: “PENERAPAN HUKUM TERHADAP GUGATAN REKONVENSI PADA PUTUSAN HAKIM NOMOR 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.” B.
Perumusan Masalah Dalam penelitian, perumusan masalah sangatlah penting karena memberi arah
dalam membahas masalah yang diteliti, sehingga penelitian dapat dilakukan secara lebih sistematis dan terarah sesuai dengan sasaran yang ditentukan. Pengertian dari masalah itu sendiri adalah persoalan-persoalan yang ada hubungannya dengan obyek penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim mengenai gugatan rekonvensi pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg? 2. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/ PN. Pbg?
11
C.
Tujuan Penelitian Penelitian yang akan dilaksanakan mempunyai dua tujuan, yaitu: 1. Tujuan obyektif a. Tujuan obyektif dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan hukum mengenai gugatan rekonvensi yang dilakukan oleh Majelis Hakim pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. b. Tujuan obyektif yang selanjutnya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari Putusan Nomor 17/Pdt.G/2007/PN. Pbg. 2. Tujuan Subyektif Tujuan subyektif dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
D.
Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dan sebagai tambahan wacana referensi acuan penelitian yang sejenis dari permasalahan yang berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memajukan perkembangan Ilmu di bidang Hukum Acara Perdata khususnya mengenai gugat rekonvensi.
12
2. Kegunaan praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan bagi masyarakat, praktisi hukum, serta para akademisi, terhadap pemahaman mengenai gugatan rekonvensi serta akibat hukumnya.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
GUGATAN 1. Pengertian Gugatan Pengertian gugatan menurut Pasal 1 angka 2 Rancangan Undang-Undang
Hukum Acara Perdata adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk Mertokusumo,
tuntutan
mendapatkan putusan8, sedangkan menurut Sudikno hak
adalah
tindakan
yang
bertujuan
memperoleh
perlindungan yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah main hakim sendiri (eigenrichting).9 2. Jenis Gugatan Perihal jenis gugatan, hukum acara perdata mengenal dua jenis gugatan, yaitu gugatan voluntair dan gugatan contentiosa. Gugatan voluntair bisa juga disebut permohonan. Sebutan gugatan voluntair dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan bahwa:
8
Tiar, Ramon, Bahan Kuliah Hukum Acara Perdata, Wordpress, diakses dari http://tiarramon.wordpress.com/2010/06/04/bab-ii-perihal-gugatan/, pada tanggal 4 September 2011 pukul 12.14. 9 Sudikno, Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, halaman 48.
14
“Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair” Ketentuan Pasal 2 tersebut tidak diatur lagi dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dan tidak diatur pula di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan pengganti dari Undangundang Nomor 4 Tahun 2004, namun ketentuan itu merupakan penegasan, di samping kewenangan badan peradilan penyelesaian masalah atau perkara yang bersangkutan dengan yurisdiksi contentiosa yaitu penyelesaian masalah yang bersifat partai (ada pihak Penggugat dan Tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang yang ditarik sebagai Tergugat. Jika undang-undang tersebut menggunakan istilah
voluntair, maka Mahkamah Agung memakai
istilah
permohonan. Istilah itu dapat dilihat dalam “Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan”,10 pada halaman 110
angka 15 digunakan istilah
permohonan, namun pada angka 15 huruf (e) dipergunakan juga istilah voluntair, yang menjelaskan bahwa: “Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair”. Dari penjelasan di atas ditemui dua istilah yang sering
10
M. Yahya, Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 28.
15
digunakan baik dalam literatur maupun praktek, yaitu permohonan atau voluntair, oleh karena itu antar keduanya dapat saling dipertukarkan atau interchangeable.11 Gugatan contentiosa adalah perkara yang di dalamnya terdapat sengketa dua pihak atau lebih yang sering disebut dengan istilah gugatan perdata, artinya ada konflik yang harus diselesaikan dan harus diputus Pengadilan, apakah berakhir dengan kalah memang atau damai tergantung pada proses hukumnya, misalnya sengketa hak milik, warisan dan lain-lain. 3. Bentuk Gugatan Gugatan yang diajukan ke pengadilan negeri dapat berbentuk: 1.
Tertulis Pasal 118 ayat (1) HIR
2.
Lisan Pasal 120 HIR
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis.12 Pengutamaan mengenai gugatan tertulis diatur dalam HIR yang menyatakan gugatan tingkat
pertama
harus
dimasukkan
dengan
suatu
surat
permintaan
yang
ditandatangani oleh Penggugat atau wakilnya. Penegasannya ini tercantum dalam Pasal 118 ayat (1) HIR yang merumuskan: “Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.”
11 12
Loc. cit. Ibid, halaman 49.
16
Pasal 118 ayat (1) HIR yang disebutkan di atas mengatur mengenai gugatan tertulis, sedangkan untuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR. Perihal gugatan lisan, HIR memberi kelonggaran bagi Penggugat yang buta huruf untuk mengajukan gugatan secara lisan. Pasal 10 HIR yang merumuskan: “Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya yang dapat dimasukkannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan.” Dewasa ini gugatan lisan sudah tidak lazim lagi, bahkan menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 4-12-1975 Nomor 369 K/Sip/1973, orang yang menerima kuasa tidak diperbolehkan mengajukan gugatan secara lisan13 Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang syarat dalam menyusun gugatan: 1. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan (Mahkamah Agung tanggal 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972); 2. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (Mahkamah Agung tanggal 2111-1970 Nomor 492 K/Sip/1970); 3. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (Mahkamah Agung tanggal 13-5-1975 Nomor 151 /Sip/1975); 4. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batasbatas dan ukuran tanah (Mahkamah Agung tanggal 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971).
13
Tiar, Ramon, Loc. cit.
17
Tidak memenuhi syarat di atas gugatan menjadi tidak sempurna maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Ketidaksempurnaan diatas dapat dihindarkan jika Penggugat atau kuasanya sebelum memasukkan gugatan meminta nasihat dulu ke Ketua Pengadilan, namun karena sekarang sudah banyak Advokat atau Pengacara maka sangat jarang terjadi kecuali mereka tidak bisa tulis dan baca. Dalam hukum acara perdata terdapat istilah gugatan tidak dapat diterima dan gugatan ditolak. Kedua istilah tersebut mempunyai akibat hukum yang berbeda, selain itu kedua istilah tersebut juga disebabkan oleh hal yang berbeda. Perbedaan mengenai istilah gugatan tidak dapat diterima dan gugatan ditolak adalah sebagai berikut: 1.
Gugatan tidak diterima adalah gugatan yang tidak bersandarkan hukum, yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak gugatan diluar pokok perkara. Dalam hal ini Penggugat masih dapat mengajukan kembali gugatannya atau banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat formil.
2.
Gugatan ditolak adalah gugatan tidak beralasan hukum yaitu apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan. Putusan hakim dengan
melakukan
penolakan
bermaksud
menolak
setelah
mempertimbangkan pokok perkara. Dalam hal ini Penggugat tidak ada kesempatan mengajukan kembali tapi haknya adalah banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat materil (pembuktian).
18
4. Syarat Gugatan HIR maupun Rbg tidak mengatur secara tegas perihal syarat-syarat membuat suatu gugatan, akan tetapi di dalam praktek, suatu gugatan hendaklah memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) Syarat formil terdiri dari tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan, materai dan tanda tangan. b) Syarat materil terdiri dari identitas para pihak karena dalam suatu gugatan harus jelas diuraikan mengenai identitas dari Penggugat maupun Tergugat. Identitas itu umumnya menyangkut: 1. Nama lengkap; 2. Umur, tempat dan tanggal lahir; 3. Pekerjaan; 4. Alamat atau domisili. Dalam hal Penggugat dan Tergugatnya adalah suatu badan hukum, maka harus tegas disebutkan siapa yang berhak mewakili menurut anggaran dasarnya. 5. Isi Gugatan Perihal isi gugatan diatur dalam Pasal 8 Rv (Reglement op de Rechtsvordering). Menurut Pasal 8 Rv pada intinya gugatan harus memuat: 1. Identitas para pihak, 2. Dasar atau dalil gugatan/posita/fundamentum petendi berisi tentang peristiwa dan hubungan hukum,
19
3. Tuntutan/petitum
terdiri
dari
tuntutan
primer
dan
tuntutan
subsider/tambahan.14 Identitas para pihak adalah keterangan yang lengkap dari pihak-pihak yang berpekara yaitu nama, tempat tinggal dan pekerjaan. Kalau mungkin juga agama, umur dan status kawin, sedangkan fundamentum petendi (posita) adalah dasar dari gugatan yang memuat tentang adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang berpekara (Penggugat dan Tergugat) yang terdiri dari dua bagian yaitu: 1) Uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa (eittelijke gronden) adalah merupakan penjelasan duduk perkaranya; 2) Uraian tentang hukumnya (rechtsgronden) adalah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan. Petitum adalah yang dimohon atau dituntut supaya diputuskan Pengadilan. Petitum ini akan mendapat jawabannya dalam diktum atau amar putusan Pengadilan, oleh karena itu Penggugat harus merumuskan petitum tersebut dengan jelas dan tegas, kalau tidak, bisa menyebabkan gugatan tidak dapat diterima. 6. Pengajuan Gugatan Gugatan yang diajukan oleh Penggugat harus benar-benar memperhatikan kompetensi atau kewenangan dari Pengadilan yang akan memeriksa dan memutus perkara. Dalam hukum acara perdata dikenal adanya 2 (dua) macam kewenangan (kompetensi) mengadili, yaitu:
14
Loc. Cit.
20
a. Kewenangan mutlak (Kompetensi Absolut) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman adalah wewenang badan Pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan Pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan yang lain (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama), dengan demikian wewenang yang mutlak ini menjawab pertanyaan badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa yang bersangkutan. Kalau suatu perkara diajukan kepada hakim yang secara mutlak (absolut) tidak berwenang memeriksa perkara tersebut, maka hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang secara ex officio untuk memeriksanya dan tidak bergantung pada ada tidaknya eksepsi dari Tergugat tentang ketidakwenangannya itu. Setiap saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan tangkisan bahwa hakim tidak berwenang memeriksa perkara tersebut. b. Kewenangan Relatif (Kompetensi Relatif), yaitu mengatur tentang pembagian jenis kekuasaan mengadili antar Pengadilan yang serupa atau sejenis (Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan Pengadilan Negeri Padang Panjang). Dengan demikian wewenang relatif ini akan menjawab pertanyaan Pengadilan yang berada di mana yang berwenang untuk mengadili perkara yang bersangkutan. Jadi dalam hal ini akan berkaitan dengan wilayah hukum suatu Pengadilan. Kalau seseorang digugat di muka hakim yang tidak berwenang
21
secara relatif memeriksa perkara tersebut, maka hakim hanya dapat menyatakan dirinya tidak berwenang secara relatif memeriksa perkara tersebut apabila Tergugat mengajukan eksepsi (tangkisan) bahwa hakim tidak berwenang memeriksa perkara tersebut dan tangkisan tersebut diajukan pada sidang pertama atau setidak-tidaknya belum mengajukan tangkisan lain.15 Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 118 HIR, yang merumuskan: ayat (1) “Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya;” ayat (2) “Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu, dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat salah seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang utama dari salah seorang daripada orang berutang utama itu, kecuali ditentukan pada ayat (2) dari Pasal 6 reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan hakim (R.O);” ayat (3) “Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagipula tempat tinggal sebetulnya tidak dketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu;” ayat (4) “Jika dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat berkedudukan yang dipilih itu.” 15
M. Nur, Rasaid, Op. cit, halaman 19.
22
Pasal 118 tersebut memberi penjelasan bahwa pada asasnya gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat. Asas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan asas Actor Sequitor Forum Rei. Hal ini memang sudah sepantasnyalah demikian karena tidaklah layak kiranya apabila Tergugat harus menghadap ke Pengadilan tempat tinggal Penggugat, karena bukanlah kehendak dari si Tergugat bahwa dirinya digugat ke Pengadilan. Terdapat beberapa pengecualian terhadap asas Actor Sequitor Forum Rei ini, yaitu antara lain: a) Apabila tempat tinggal Tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman Penggugat; b) Apabila Tergugat terdiri dari dua orang atau lebih dan mereka tinggal pada tempat yang berlainan, maka gugatan dapat diajukan pada tempat tinggal salah seorang Tergugat; c) Apabila yang digugat itu terdiri dari orang-orang berutang dan penanggung, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat orang yang berutang; d) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman atau orang yang digugat tidak diketahui atau tidak dikenal, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Penggugat; e) Dalam hal keadaan nomor di atas, apabila gugatannya mengenai barang tetap, maka gugatan diajukan ke Pengadilan tempat di mana barang tetap (tidak bergerak) tersebut berada. Asas ini dikenal dengan sebutan asas Actor Sequitor Forum Sitei;
23
f) Kalau kedua belah pihak memilih tempat tinggal khusus dengan akta yang tertulis, maka Penggugat kalau mau dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat yang dipilih dalam akta tersebut.16 Ketentuan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR sejalan dengan apa yang digariskan pada Pasal 123 ayat (1) HIR, yang merumuskan: “Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa teristimewa, kecuali kalau yang memberii kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberii kuasa itu dalam surat permintaan yang ditandatangani dan dimasukkan menurut ayat pertama Pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut Pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini.” Pada intinya Pasal 123 ayat (1) HIR menyatakan bahwa baik Penggugat dan Tergugat (kedua belah pihak): 1. Dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk melakukan tindakan di depan Pengadilan; 2. Kuasa itu dapat diberikan dengan surat kuasa khusus (special power of attorney). Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan gugatan yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh prosedur berikut; 3. Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan bertindak mewakili Penggugat, harus terlebih dahulu diberi surat kuasa khusus;
16
Ibid, halaman 21.
24
4. Berdasarkan surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani dan mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan Penggugat atau pemberi kuasa (latsgever, mandate); 5. Kuasa
atau
penerima
kuasa
(lasthebber;
mandataris),
membuat,
menandatangani dan mengajukan gugatan sebelum mendapat kuasa atau lebih dahulu membuat dan menandatangani gugatan daripada tanggal surat kuasa: 1) Gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa itu, dianggap mengandung cacat formil; 2) Akibatnya, gugatan itu akan dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak dapat diterima atas alasan gugatan ditandatangani oleh orang yang tidak berwenang (unauthorized) untuk itu, karena pada waktu surat kuasa menandatangai gugatan, dia sendiri belum mempunyai surat kuasa.17 Penjelasan di atas merupakan penegasan bahwa jika bertindak membuat dan menandatangani surat gugatan adalah kuasa maka sebelum itu dilakukannya, kuasa tersebut harus terlebih dahulu mendapat kuasa yang dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusus dari Penggugat. Paling tidak agar penandatanganan surat gugatan sah dan tidak cacat, tanggal surat kuasa dengan tanggal penandatanganan surat gugatan diberi dan dibuat pada hari dan tanggal yang sama.18 Pendahuluan akan pemeriksaan perkara perdata oleh Pengadilan Negeri adalah pemasukkan surat permohonan yang harus ditandatangani oleh Penggugat atau
17 18
M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 51. Loc. Cit.
25
wakilnya. Surat permohonan itu, sesudah diterima dan setelah Penggugat membayar biaya administrasi dan ongkos pemanggilan dan pemberitahuan kepada kedua pihak dan biaya materai, yang harus dibayar oleh Penggugat, dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera. Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari persidangan Pengadilan dengan perintah untuk memanggil kedua pihak untuk datang menghadap di persidangan itu. Bersamaan dengan pemanggilan itu, salinan surat permintaan atau surat gugatan (introductief rekest) diserahkan kepada Tergugat dengan pemberitahuan bahwa ia jika dikehendakinya dapat menjawab dengan surat.19 B.
Pemeriksaan Gugatan di Persidangan Proses pemeriksaan gugatan perdata di persidangan termasuk ke dalam tata
urutan persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri sebagai berikut: 1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum; 2. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang; 3. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa surat ijin praktik dari organisasi advokat; 4. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk menyelesaikan dengan perkara secara damai; 5. Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN atau dari luar (lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008); 6. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya; 19
R. Soesilo, Op. cit, halaman 78.
26
7. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam bentuk
akta
perdamaian
yang
bertitel
DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YME; 8. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari Tergugat; (jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi); 9.
Apabila ada gugatan rekonvensi Tergugat juga berposisi sebagai Penggugat Rekonvensi;
10. Replik dari Penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan sebagai Tergugat Rekonvensi; 11. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst); 12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi); 13. Pembuktian; 14. Dimulai dari Penggugat berupa surat bukti dan saksi; 15. Dilanjutkan dari Tergugat berupa surat bukti dan saksi; 16. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat; 17. Kesimpulan; 18. Musyawarah oleh Majelis Hakim (bersifat rahasia); 19. Pembacaan Putusan;
27
20. Isi putusan: a. Gugatan dikabulkan, b. Gugatan ditolak, c. Gugatan tidak dapat diterima; 21. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima, pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama 14 hari; 22. Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan sikap. Apabila waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap menerima putusan.20 Sistem pemeriksaan gugatan perdata digariskan dalam Pasal 125 dan 127 HIR. Pasal 125 HIR merumuskan: ayat (1) “Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan;” ayat (2) “Akan tetapi jika tergugat, di dalam surat jawabannya yang tersebut pada Pasal 121, mengemukakan perlawanan (exceptie) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak hadir, ketua pengadilan negeri wajib memberii keputusan tentang perlawanan itu, sesudah didengarnya penggugat dan jika hanya perlawanan itu tidak diterima, maka ketua pengadilan negeri memutuskan tentang perkara itu” ayat (3) Jika surat gugat diterima, maka atas perintah ketua diberitahukanlah keputusan pengadilan negeri kepada orang yang dikalahkan itu serta 20
Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tata Urutan Persidangan Perkara Perdata, diakses dari
http://www.pn-sukoharjo.go.id/index.php/kepaniteraan/bagian-perdata/tata-urutan-persidanganperkara-perdata.html, pada tanggal 5 Mei 2012.
28
menerangkan pula kepadanya, bahwa ia berhak memajukan perlawanan (verzet) di dalam tempo dan dengan cara yang ditentukan Pasal 129 tentang keputusan itu di muka pengadilan itu juga” ayat (4) “Panitera mencatat di bawah surat putusan itu kepada siapakah dulunya diperintahkan menjalankan pekerjaan itu dan apakah yang diterangkan orang itu tentang hal itu, baik dengan surat maupun dengan lisan.” Pasal 127 HIR merumuskan: “Jika seseorang atau lebih tergugat tidak datang atau tidak menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka pemeriksaan perkara itu diundurkan sampai pada hari persidangan lain, yang paling dekat. Hal mengundurkan diri itu diberitahukan pada waktu persidangan kepada pihak yang hadir, bagi mereka pemberitahuan itu sama dengan panggilan, sedang tergugat yang tidak datang, disuruh panggil oleh ketua sekali lagi menghadap hari persidangan yang lain. Ketika itu perkara diperiksa dan kemudian diputuskan bagi sekalian pihak dalam satu keputusan, atas mana tidak diperkenankan perlawanan (verzet).” Pada intinya Pasal 125 dan 127 HIR tersebut mengatur bahwa sistem dan proses pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. Dihadiri Kedua Belah Pihak secara In Person atau Kuasa. Para pihak dipanggil dengan resmi dan patut oleh juru sita menghadiri persidangan yang telah ditentukan dan ini merupakan prinsip umum yang harus ditegakkan agar sesuai dengan asas due process of law, namun ketentuan ini, dapat dikesampingkan berdasarkan Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 127 HIR, yang memberi kewenangan bagi hakim untuk melakukan proses pemeriksaan: 1. Secara verstek (putusan di luar hadirnya tergugat) apabila tidak menghadiri sidang tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut, 2. Pemeriksaan tanpa bantahan dilakukan apabila pada sidang berikut tidak hadir tanpa alasan yang sah, misalnya persidangan diundurkan pada hari yang
29
ditentukan oleh hakim dan ternyata Penggugat atau Tergugat tidak hadir pada hari tersebut tanpa alasan yang sah. Dalam kasus yang seperti ini, proses pemeriksaan dapat dilanjutkan untuk memeriksa pihak yang hadir tanpa sanggahan (without defence) dari pihak yang tidak hadir.21 b. Proses Pemeriksaan Berlangsung secara Op Tegenspraak. Sistem inilah yang dimaksud dengan proses contradictoir dan sistem ini memberi hak serta kesempatan (opportunity) kepada Tergugat untuk membantah dalil Penggugat. Sebaliknya Penggugat juga berhak untuk melawan bantahan Tergugat. Proses dan sistem yang seperti ini yang disebut contradictoir yaitu pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replikduplik maupun dalam bentuk konklusi, akan tetapi seperti dijelaskan di atas, proses contradictoir dapat dikesampingkan baik melalui verstek atau tanpa bantahan, apabila pihak yang bersangkutan tidak menghadiri persidangan yang ditentukan tanpa alasan yang sah padahal sudah dipanggil secara sah dan patut oleh juru sita, namun tanpa mengurangi pengecualian tersebut: 1. Pada prinsipnya pemeriksaan tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex parte), hanya pihak Penggugat atau Tergugat saja; 2. Sistem pemeriksaan secara contradictoir harus ditegakkan dan berlangsung sejak permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan tanpa mengurangi kebolehan mengucapkan putusan tanpa hadirnya salah satu pihak.22
21 22
M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 69. M. Yahya, Harahap, Loc. Cit.
30
C.
GUGATAN REKONVENSI 1. Pengertian Gugatan Rekonvensi Gugat rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat terhadap
Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan diantara mereka.23 Pengertian gugatan rekonvensi juga diatur dalam Pasal 132 a ayat (1) HIR, yang merumuskan: “Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali: 1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; 2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan; 3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.” Pasal 132 a ayat (1) tersebut hanya memberi pengertian singkat. Maknanya menurut pasal itu: 1) Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan Tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan Penggugat kepadanya dan; 2) Gugatan rekonvensi itu, diajukan Tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksan gugatan yang diajukan Penggugat.24 2. Pengaturan Mengenai Gugatan Rekonvensi Pengaturan mengenai gugat rekonvensi diatur dalam Pasal 132 a dan b HIR. Pasal 132 a HIR merumuskan:
23 24
Soedikno, Mertokusumo, Op. cit, halaman 117. M. Yahya, Harahap, Op. cit., halaman 468.
31
ayat (1) “Tergugat berhak dalam tia-tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali: 1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; 2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan; 3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.” ayat (2) “Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugatan melawan, maka dalam bandingan tidak dapat mengajukan gugatan itu.” Pasal 132 b HIR merumuskan: ayat (1) “Tergugat wajib memasukkan gugatan melawan bersama-sama dengan jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan; ayat (2) “Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini;” ayat (3) “Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua, dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir;” ayat (4) “Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya wang dalam gugatan tingkat pertama ditambah dengan wang dalam gugatan melawan lebih daripada jumlah wang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi;” ayat (5) “Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing, maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.” Pada asanya gugatan rekonvensi dapat diajukan mengenai segala hal, ini terlihat dari kalimat ”…in alle zaken” dalam Pasal 132 a ayat (1) HIR, akan tetapi Pasal 132 a ayat (1) nomor 1, 2 dan 3 HIR memberikan pengecualian, yaitu dalam hal:
32
1. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan suatu kualitas. Larangan tentang hal ini diatur dalam Pasal 132 a ayat (1) ke-1 HIR yang tidak memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi kepada diri pribadi Penggugat, sedangkan dia di tengah bertindak sebagai Penggugat mewakili kepentingan principal, misalnya seorang kuasa yang bertindak mengajukan gugatan kepada Tergugat untuk kepentingan dan atas nama (on behalf) pemberi kuasa (principal). Berarti kuasa tersebut adalah orang yang bertindak dalam kualitas mewakili kepentingan pemberi kuasa. 2. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi di luar yursdiksi Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara. Larangan kedua, apabila gugatan rekonvensi diajukan di luar yurisdiksi Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan semula. Sebagai contoh, A menggugat B atas sengketa transaksi jual beli tanah. Terhadap gugatan itu, B mengajukan gugatan rekonvensi mengenai sengketa hibah. Tindakan B tersebut tidak dapat dibenarkan karena sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, sengketa hibah bagi yang beragama islam menjadi yurisdiksi absolute lingkungan peradilan agama. 3. Gugatan rekonvensi terhadap eksekusi. Larangan berikutnya, tidak boleh mengajukan rekonvensi terhadap sengketa yang menyangkut perlawanan terhadap eksekusi putusan, misalnya A mengajukan perlawanan terhadap eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap gugatan perlawanan tersebut pihak Terlawan tidak dibenarkan mengajukan
33
gugatan rekonvensi. Alasan larangan itu adalah gugatan perlawanan terhadap eksekusi
putusan
dianggap
perkara
yang
sudah
selesai
diputus
persengketaannya. Dalam teori dan praktek dikatakan, sengketa eksekusi atau executie geschillen adalah sengketa yang sudah selesai pokok perkaranya, akan tetapi jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal 379 Rv yang menyatakan tata cara pemeriksaan perkara gugatan biasa berlaku sepenuhnya terhadap gugatan perlawanan, baik yang berbentuk derden verzet (perlawanan pihak ketiga) atau party verzet (perlawanan para pihak), berarti hukum memperbolehkan terlawan mengajukan gugatan rekonvensi atas gugatan perlawanan terhadap eksekusi. Sehubungan adanya kontroversi dalam ketentuan Pasal 132 a ayat (1) ke-3 HIR dengan Pasal 379 Rv, dalam praktek terdapat acuan penerapan sebagai berikut: a) Pada prinsipnya Terlawan tidak boleh mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan perlawanan atas eksekusi. Bertitik tolak dari Pasal 132 a ayat (1) ke-3 HIR, pada prinsipnya undang-undang melarang Terlawan mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan perlawanan, baik hal itu dalam bentuk perlawnan pihak ketiga (derden verzet) atau perlawanan pihak partai (party verzet). Alasan yang mendukung larangan ini, ialah gugatan rekonvensi terhadap perlawanan menjalankan eksekusi putusan dianggap bertentangan dengan ketertiban beracara, sebab penyelesaian sengketa perlawanan terhadap eksekusi menuntut penyelesaian yang cepat, oleh karena itu membolehkan Terlawan mengajukan rekonvensi
34
mengakibatkan penyelesaian eksekusi berlarut-larut dalam proses pemeriksaan yang panjang, dengan demikian apabila perlawanan yang diajukan murni ditujukan terhadap penetapan perintah eksekusi, maka tepatlah untuk menegakkan larangan ini, dengan ketentuan: 1. Putusan yang hendak dieksekusi sudah bersifat menyudahi secara tuntas materi pokok perkara; 2. Perlawanan yang diajukan Terlawan terhadap eksekusi itu, tidak mengandung pokok perselisihan baru yang erat kaitannya dengan putusan yang hendak dieksekusi. b) Secara kasuistik terlawan dapat mengajukan gugatan rekonvensi. Dalam praktek, perlawanan yang banyak terjadi terhadap eksekusi bukan party verzet, tetapi perlawanan pihak ketiga atau derden verzet. Jika pada party verzet, perlawanan yang diajukan murni ditujukan kepada pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan maka pada derden verzet gugatan perlawanan yang diajukan selalu mengandung dua aspek: 1. Aspek pertama, ditujukan kepada penundaan atau pembatalan pelaksanaan eksekusi; 2. Aspek kedua, berisi dalil gugatan baru yang menyatakan barang objek eksekusi adalah milik Terlawan, sehingga dalam gugatan perlawanan tersebut terkandung pokok sengketa baru yang langsung berkaitan dengan pokok materi yang terdapat dalam putusan yang hendak dieksekusi.
35
Dalam kasus demikian, gugatan perlawanan tidak murni semata-mata terhadap pelaksanaan eksekusi, tetapi sekaligus terkandung di dalamnya pokok perkara baru antara Pelawan, Pemohon dan Termohon eksekusi. Pada dasarnya derden verzet ditujukan terhadap putusan yang hendak dieksekusi, sehingga gugatan perlawanan itu ditujukan terhadap pihak Penggugat dan Tergugat yang tercantum dalam putusan itu sebagai pihak Terlawan. Terhadap perlawanan yang berbentuk derden verzet, secara kasuistik dimungkinkan mengajukan gugatan rekonvensi, akan tetapi sepanjang gugatan perlawanan berbentuk party verzet yang sifat gugatannya murni mengenai sengketa eksekusi (executie geschill) dilarang mengajukan gugatan rekonvensi. 4. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat banding. Larangan itu ditegaskan dalam Pasal 132 a ayat (2) HIR. Dikatakan, jika dalam proses pemeriksaan tingkat pertama, yaitu di Pengadilan Negeri tidak diajukan gugatan rekonvensi, hal tersebut tidak dapat diajukan dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi, dengan demikian kebolehan dan kesempatan mengajukan gugatan rekonvensi hanya pada tahap proses pemeriksaan Pengadilan Negeri. Gugatan rekonvensi yang diajukan baik tersendiri maupun dalam memori banding tidak memenuhi syarat formil karena diajukan kepada instansi Pengadilan yang tidak memiliki yurisdiksi untuk itu. Lain halnya jika dalam tingkat pertama diajukan gugatan rekonvensi maka gugatan itu berlanjut meliputi yurisdiksi Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding, oleh karena itu jika pada tingkat Pengadilan Negeri Tergugat mengajukan gugatan
36
rekonvensi
lantas
pada
tingkat
banding,
Pengadilan
Tinggi
lalai
mempertimbangkan dan memutusnya, maka hal itu dianggap merupakan pelanggaran terhadap tata tertib beracara. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1250 K/ Pdt/ 1986, bahwa Pengadilan Tinggi yang lalai mempertimbangkan dan memutus gugatan rekonvensi dalam tingkat banding dianggap telah melakukan kekeliruan dalam tata cara mengadili dan dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan dan bersamaan dengan itu memerintahkan Pengadilan Tinggi untuk memeriksa dan memutus gugatan rekonvensi yang dimaksud. Sehubungan dengan larangan ini, apabila Tergugat mempunyai tuntutan kepada Penggugat, tetapi ia lalai mengajukannya sebagai gugatan rekonvensi pada saat proses pemeriksaan berlangsung di Pengadilan Negeri, jalan keluar yang harus ditempuhnya ialah dengan mengjukan gugatan perkara biasa. 5. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi. Secara tegas, tidak dijumpai ketentuan undang-undang yang melarang pengajuan gugatan rekonvensi dalam tingkat kasasi, dengan demikian berdasarkan prinsip penafsiran a contrario, boleh mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi karena undang-undang sendiri tidak tegas melarangnya, akan tetapi fungsi Mahkamah Agung bukan peradilan judex factie
yang berwenang
memeriksa dan menilai permasalahan fakta (feitelijke kwesties), sehingga tidak dibenarkan mengajukan rekonvensi kepada Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi meskipun tidak ada ketentuan yang melarangnya. Larangan
37
tentang itu dijumpai dalam putusan peradilan, antara lain Putusan Mahkamah Agung No. 209 K/ Sip/ 1970 yang mengatakan gugatan rekonvensi dalam tingkat kasasi tidak dapat diajukan, oleh karena itu kalau pada peradilan tingkat pertama Tergugat lalai mengajukan gugatan rekonvensi, gugatan itu harus diajukannya secara tersendiri melalui gugatan biasa ke Pengadilan Negeri.25 D.
PUTUSAN PENGADILAN Putusan pengadilan adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai Pejabat
Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk menghakimi atau menyelesaikan perkara atau sengketa antara para pihak.26 Pada umumnya, tujuan suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang baik dan berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan yang tidak dapat diubah lagi.27 Putusan membuat hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selama-lamanya, dengan maksud apabila tidak ditaati secara sukarela, maka berlakunya dipaksakan dengan bantuan Alat-alat Negara (dengan kekuatan umum). Putusan hakim dijatuhkan setelah melalui rangkaian proses pemeriksaan oleh hakim atas fakta-fakta yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara selesai dilakukan dan atas fakta-fakta tersebut, hakim telah menetapkan
25
M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 493. Sudikno, Mertokusumo, Op. cit, halaman 175. 27 Sri, Wardah, dan Bambang, Sutiyoso, Hukum Acara Perdata, Gama Media, Yogyakarta, 2007, halaman 211. 26
38
(mengkonstantir) kebenarannya dan menetapkan hukum yang berlaku atau menetapkan hubungan hukumnya antara kedua belah pihak yang berperkara (mengkualifisir). Hal
ini dalam praktek, dapat dibaca dalam perumusan
pertimbangan-pertimbangan
mengenai
duduk
perkaranya
dan
kemudian
pertimbangan-pertimbangan mengenai hukumnya, setelah itu hakim memberi konstitusinya yang dirumuskan dalam diktum akhir.
39
BAB III METODE PENELITIAN Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil dari pencarian ini akan dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu. 28 Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki. Merujuk pada pengertian di atas, maka metode penelitian memiliki pengertian sebagai suatu cara teratur yang digunakan untuk melakukan pencarian terhadap pengetahuan yang ilmiah dengan tujuan untuk menjawab suatu permasalahan tertentu. Metode Penelitian tersebut terdiri dari: 1. Metode Pendekatan Tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif dengan pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang dan pendekatan penelitian hukum klinis. Pendekatan konseptual disini berfungsi memunculkan obyek-obyek yang menarik perhatian dari sudut pandang praktis dan sudut pandang pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu,29 sedangkan pendekatan undang-undang disini bertujuan untuk meneliti berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian, oleh karena itu peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
28
Amirudin, dan H. Zainal, Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, halaman 19. 29 Johny, Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2008, halaman 306
40
1) Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan yang lainnya secara logis. 2) All Inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada kekurangan hukum. 3) Sistematic, bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, normanorma hukum tersebut juga harus tersusun secara hierarkis.30 Penelitian ini juga memakai pendekatan penelitian hukum klinis, yaitu penelitian yang berusaha menemukan apa hukumnya bagi suatu perkara in concreto. Seperti halnya pada penelitian untuk menemukan asas-asas hukum (doktrinal), penelitian untuk menemukan hukum in concreto bagi suatu perkara tertentu, juga mensyaratkan adanya inventarisasi hukum positif in abstracto. Norma hukum in abstracto dipergunakan sebagai premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (legal fact) dipergunakan sebagai premise minor .31 2. Spesifikasi Penelitian Penelitian dalam karya ilmiah ini merupakan penelitian hukum normatif, yang disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
30 31
Ibid, halaman 302 Ibid, halaman 125.
41
berperilaku manusia yang dianggap pantas.32 Penelitian hukum normatif terdiri dari beberapa jenis, yaitu sebagai berikut: 1. Penelitian inventarisasi hukum positif. Jenis penelitian ini merupakan kegiatan pendahluan yang sangat mendasar. Sebelum menemukan norma hukum in concreto, haruslah diketahui lebih dahulu hukum positif yang berlaku. Sebagian orang beranggapan bahwa kegiatan inventarisasi hukum hanyalah pekerjaan mengumpulkan peraturan perundang-undangan saja dan pekerjaan itu sulit disebut sebagai penelitian. Anggapan tersebut adalah keliru, karena kegiatan inventarisasi hukum positif adalah proses identifikasi yang kritis-analitis serta logis sistematis.33 2. Penelitian asas-asas hukum. Asas-asas hukum itu dipertanyakan, dari manakah asas hukum tersebut “ditarik” atau berasal? Faktor-faktor apakah yang mempengaruhinya? Menurut Paul Scholten, faktor-faktor yang mempengaruhi adanya asas-asas hukum adalah hati nurani yang bersih dan perasaan hukum.34 3. Penelitian hukum klinis, yaitu penelitian yang berusaha menemukan apa hukumnya bagi suatu perkara in concreto. Seperti halnya pada penelitian untuk menemukan asas-asas hukum (doktrinal), penelitian untuk menemukan hukum in concreto bagi suatu perkara tertentu, juga mensyaratkan adanya inventarisasi hukum positif in abstracto. Norma hukum in abstracto 32
Amirudin, dan H. Zainal, Asikin, Op.cit, halaman 118. Ibid, halaman 121. 34 Ibid, halaman 124. 33
42
dipergunakan sebagai premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (legal fact) dipergunakan sebagai premise minor .35 4. Penelitian hukum yang mengkaji sistematika peraturan perundang-undangan, yaitu diawali dengan mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang menjadi focus penelitian, selanjutnya mengklasifikasikan berdasarkan kronologis dari bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut. Proses selanjutnya adalah analisis dengan mengemukakan pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum, yang mencakup: subjek hukum; hak dan kewajiban; peristiwa hukum; hubungan hukum; dan objek hukum, yang kemudian dianalisis hanya pasal-pasal yang isinya mengandung kaidah hukum, kemudian lakukan konstruksi dengan cara memasukkan pasal-pasal tertentu ke dalam kategori-kategori berdasarkan pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.36 5. Penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundangundangan, yaitu baik secara vertical maupun horizontal. Apabila peraturan perundang-undangan itu ditelaah secara vertical, berarti akan dilihat bagaimana hierarkisnya. Apabila peraturan perundang-undangan itu ditelaah secara horizontal, maka yang diteliti adalah sejauh mana peraturan perundang-
35 36
Ibid, halaman 125. Ibid, halaman 128.
43
undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.37 6. Penelitian
perbandingan
hukum,
yaitu
penelitian
hukum
yang
membandingkan sistem hukum masyarakat yang satu dengan sistem hukum masyarakat yang lain.38 7. Penelitian sejarah hukum, yaitu penelitian yang bermaksud untuk menjelaskan perkembangan dari bidang-bidang hukum yang diteliti. Dengan penelitian jenis ini, akan terungkap ke permukaan mengenai fakta hukum masa silam dalam hubngannya dengan fakta hukum masa kini.39 Peneliti menggunakan jenis penelitian hukum klinis di dalam karya ilmiah ini, dimana nantinya peneliti berusaha menemukan apa hukumnya bagi suatu perkara in concreto, yaitu dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. Peneliti nantinya akan melakukan inventarisasi hukum positif in abstracto
tentang penerapan hukum gugatan rekonvensi dan akibat
hukumnya apabila Majelis Hakim memutuskan menolak ataupun menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Hukum positif in abstracto tersebut, nantinya akan digunakan sebagai premise mayor dan premise minornya adalah segala fakta-fakta yang relevan dalam perkara perdata yang termuat dalam putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg.
37
Ibid, halaman 129. Ibid, halaman 130. 39 Ibid, halaman 131. 38
44
3. Bahan Hukum Peneliti di dalam penelitiannya ini akan menggunakan tiga jenis bahan hukum, yaitu: a) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi. 40 Bahan hukum yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini, diantaranya adalah Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg., HIR, Rv, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan bahan hukum primer lainnya. b) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari pustaka di bidang ilmu hukum, penelitian di bidang ilmu hukum, jurnal hukum, artikel ilmiah, laporan hukum, berita, eksaminasi publik dan semua publikasi baik dari media cetak maupun elektronik.41
40
Peter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Surabaya, 2007, halaman 141. 41 Loc. Cit.
45
c) Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.42 4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini, bahan sekunder diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan berupa inventarisasi Putusan Pengadilan, peraturan-peraturan dan ketentuan- ketentuan serta literatur yang memberikan pengaturan tentang gugatan rekonvensi. Selain itu, metode pengumpulan bahan hukum yang digunakan juga berupa studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telah karya ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar yang memberikan informasi bagi terbentuknya karya tulis ini. 5. Metode Penyajian Bahan Hukum Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk uraian dan disusun secara sistematis sesuai dengan sistematika, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan analisa data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan. Bahan hukum sekunder akan disajikan sesuai dengan kebutuhan analisis namun tidak menghilangkan maksud yang terkandung dalam bahan hukum tersebut. Penyajian bahan ini dapat ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada penelitian ini sesuai dengan relevansinya pada hal yang sedang dibicarakan. 42
Amirudin, dan H. Zainal, Asikin, Op. cit, halaman 32.
46
6. Metode Analisa Bahan Hukum Metode analisa bahan hukum dalam penelitian ini mempergunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan bahan-bahan hukum secara bermutu, dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif dan kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan secara induktif sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.43 Analisa diarahkan kepada penerapan hukum hakim dalam gugatan rekonvensi, serta bagaimana akibat hukum dari suatu putusan yang menyatakan gugatan rekonvensi dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).
43
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2008, halaman 16.
47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.
Identitas Putusan Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Negeri yang memiliki
identitas sebagai berikut: 1. Nomor Putusan: 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg; 2. Pengadilan Negeri: Purbalingga; 3. Majelis Hakim Pemeriksa Perkara: Wahyono, S. H., sebagai Hakim Ketua, Alfon, S. H., M. H. dan Khoiruman Pandu Kesuma Harahap, S. H., masing-masing sebagai Hakim Anggota; 4. Para Pihak: a) Penggugat: Alwi Kiswanto, bertempat tinggal di Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 36 RT. 001/RW. 004, Kelurahan Kandang Gampang, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga; b) Tergugat: 1) Tergugat I: S. T. Yudianto, bertempat tinggal di RT. 01/RW. 01, Kelurahan Purbalingga Lor, Kecamatan Purbalingga; 2) Tergugat II: Direksi CV. Cipta Usaha, beralamat di Desa Babakan RT. 09/RW. 02, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga. B.
Kasus Posisi Kasus posisi dalam perkara ini dimulai ketika Penggugat, yaitu Alwi
Kiswanto, mengajukan gugatan terhadap ST. Yudianto dan Direksi CV. Cipta Usaha
48
ke Pengadilan Negeri Purbalingga. Gugatan tersebut didasari atas kerugian yang dirasa diderita oleh penggugat yang disebabkan oleh perbuatan para Tergugat. Perbuatan yang dimaksud adalah perihal perbedaan jumlah aspal yang dikirim oleh Penggugat dan yang diterima oleh Tergugat. Penggugat mendudukan ST. Yudianto sebagai Tergugat I, dan Direksi CV. Cipta Usaha sebagai Tergugat II. Pada awalnya Tergugat I berkenalan dengan Tergugat II karena Tergugat II mendapat proyek air bersih di Kabupaten Purbalingga, sedangkan Tergugat I adalah karyawan di Departemen Pekerjaan Umum Kabupaten Purbalingga. Proyek tersebut menyebabkan Tergugat I dan Tergugat II menjadi sering berhubungan, dan pada suatu saat Tergugat I meminjam uang pada Tergugat II, yang apabila ditotal jumlahnya senilai Rp. 5. 000. 000, - (lima juta rupiah). Tergugat I berjanji akan membayar utang tersebut dengan aspal. Aspal yang dikirim oleh Tergugat I ternyata adalah milik Penggugat. Tergugat I kemudian memasok aspal untuk Tergugat II, yang pada akhirnya menjadi perkara, karena ternyata Tergugat I mengambil aspal dari Penggugat untuk dikirim kepada Tergugat II. Penggugat merasa dirugikan, karena merasa telah mengirim tiga ratus delapan puluh dua (382) drum aspal, namun hanya diakui sebanyak tiga ratus sembilan belas (319) drum oleh Tergugat II, dan Tergugat II tidak merasa telah membeli aspal dari Penggugat, melainkan dari Tergugat I. Penggugat mengajukan gugatan yang pada intinya meminta agar Majelis Hakim menyatakan para Tergugat telah melakukan cidera janji, dan meminta para Tergugat mengakui bahwa aspal yang dikirim Penggugat dan diterima para Tergugat adalah sebanyak tiga ratus delapan puluh dua (382) drum, serta meminta ganti rugi, dan sita jaminan. Tergugat I, dalam
49
jawabannya membenarkan seluruh dalil Penggugat. Tergugat II dalam jawabannya mengatakan bahwa sama sekali tidak ada cedera janji antara Penggugat dan Tergugat II karena tidak ada hubungan hukum antara mereka, baik yang lahir karena undangundang, maupun yang lahir karena perjanjian, sehingga tidak mungkin ada cidera janji. Tergugat II mengemukakan dalil, bahwa untuk terjadinya cidera janji, harus ada ingebrekestelling (pernyataan lalai) terlebih dahulu, baik berupa surat perintah ataupun akta sejenis (Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Pada peristiwa jual beli aspal tersebut, Tergugat II hanya mengetahui bahwa aspal tersebut adalah milik Tergugat I, karena Tergugat I tidak pernah menyebut-nyebut Penggugat, apalagi menerangkan Penggugat sebagai pemilik aspal, selain itu aspal yang dikirim pada Tergugat II tadinya memang disimpan di gudang Tergugat I, sehingga Tergugat II berdasarkan Pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata berdalil bahwa terhadap benda bergerak, maka barangsiapa menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. Tergugat II pun menyangkal bahwa aspal yang dikirim Penggugat melalui Tergugat I adalah sebanyak tiga ratus delapan puluh dua (382) drum, melainkan hanya sebanya tiga ratus sembilan belas (319) drum, karena selisih sebanyak enam puluh tiga (63) drum yang dipersoalkan Penggugat didasarkan pada rekap saudari Ari Suprihatin, S. E., Akt., tanpa seiizin dan sepengetahuan manajemen CV. Cipta Usaha, dan rekap tersebut dibuat atas dasar permintaan Tergugat I dengan membayar saudari Ari Suprihatin, S. E., Akt., sebesar Rp. 25. 000, - (dua puluh lima ribu rupiah). Tergugat II berdalil bahwa yang sebenarnya terjadi adalah jual beli aspal gelap antara Penggugat dan Tergugat I, namun karena Tergugat I tidak mampu
50
melaksanakan kewajiban pembayaran, maka Tergugat II dijadikan sebagai tumbal. Tergugat II juga menyatakan bahwa kasus tersebut sudah diselesaikan di Kepolisian Resort Purbalingga, namun tidak dilanjutkan karena Penggugat tidak dapat membuktikan kesalahan Tergugat II. Tergugat II merasa dirugikan secara moral maupun materiil, oleh karena itu Tergugat II mengajukan gugatan rekonvensi bersamaan dengan jawaban gugatannya. Gugatan rekonvensi tersebut berisi permintaan Penggugat Rekonvensi agar mendudukkan Penggugat Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi, dan Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat Rekonvensi, selain itu memohon agar Majelis Hakim mengabulkan tuntutan ganti rugi atas rusaknya nama baik Penggugat Rekonvensi karena laporan Tergugat Rekonvensi kepada Kepolisian Resort Purbalingga, yang akhirnya tidak dilanjutkan karena kesalahan Penggugat Rekonvensi tidak bisa dibuktikan, sehingga timbul rasa malu, serta jatuhnya harkat dan martabat Penggugat Rekonvensi. Ganti rugi moral yang dituntut senilai Rp. 1. 000. 000. 000, - (satu milyar rupiah), ditambah ganti rugi materiil untuk transportasi, biaya makan, dan kehilangan pendapatan berhari-hari senilai Rp. 100. 000. 000, - (seratus juta rupiah). Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga yang memeriksa dan memutus perkara tersebut memutuskan untuk menolak seluruh gugatan Penggugat Konvensi, dengan pertimbangan bahwa penggugat tidak dapat membuktikan adanya hubungan hukum antara Penggugat Konvensi dan Tergugat II Konvensi, selain itu alat-alat buktipun memperkuat dalil-dalil Tergugat II konvensi. Dalam putusan tersebut,
51
Majelis Hakim juga menyatakan tidak dapat menerima gugatan rekonvensi dari tergugat II Konvensi sebagai Penggugat Rekonvensi dengan pertimbangan hukum bahwa dijadikannya Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi padahal antara Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi dalam gugatan awal (konvensi) sama-sama berkedudukan sebagai Tergugat menyalahi prosedur beracara yang telah baku dan lazim di persidangan, karena esensinya gugatan rekonvensi adalah gugat balas atas lawan berperkara. Putusan Majelis Hakim tersebut berpedoman pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984. C.
Pertimbangan Majelis Hakim Menimbang, bahwa untuk ringkasnya putusan ini, maka dengan menunjuk
segala sesuatu yang termuat dalam berita acara sidang yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini. TENTANG HUKUMNYA A. DALAM KONVENSI Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat Konvensi adalah sebagai mana yang telah diuraikan di atas; I. DALAM EKSEPSI Menimbang, bahwa Tergugat II Konvensi dalam jawabannya mengajukan beberapa buah dalil eksepsi yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Bahwa gugatan Penggugat Konvensi harus ditolak karena tidak jelas dan kabur. Bahwa gugatan Penggugat Konvensi a quo perihal cidera janji, namun
52
dalam fundamentum petendi sama sekali tidak nampak diuraikan adanya perikatan baik yang lahir dari undang-undang maupun perjanjian antara Tergugat II Konvensi dengan Penggugat Konvensi, sehingga tidak jelas hak dan kewajiban masing-masing. Bahwa dalam gugatan cidera janji, di samping harus jelas hubungan hukumnya, juga harus jelas hak dan kewajiban masingmasing pihak antara debitur dan krediturnya; 2. Bahwa ternyata dalil-dalil dalam surat gugatan Penggugat Konvensi hanya menunjukan adanya hubungan hukum antara Penggugat konvensi dengan Tergugat I Konvensi sehingga penempatan Tergugat II Konvensi dalam perkara a quo adalah berlebihan dan keliru (error in subjecto); 3. Bahwa syarat seseorang dinyatakan telah melakukan cidera janji apabila dengan surat perintah atau akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, ……(eks. Pasal 1238 KItab Undang-undang Hukum Perdata). Bahwa casu quo tidak pernah ada ingebrekestelling kepada Tergugat II Konvensi, sehingga secara hukum tidak mungkin ada perbuatan cidera janji dari Tergugat II Konvensi terhadap Penggugat Konvensi; 4. Bahwa in casu penempatan Tergugat II Konvensi oleh Penggugat Konvensi nampak ragu-ragu, hal ini sebagaimana terbaca pada petitum huruf b. Petitum demikian adalah tidak lazim dan secara formal melanggar azas dalam sistem hukum acara (perdata) dan menunjukkan keragu-raguan pihak Penggugat Konvensi sehingga tidak dapat dikabulkan.
53
Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil eksepsi tersebut, Penggugat Konvensi menanggapi melalui repliknya yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa Penggugat Konvensi dalam posita gugatannya telah menjelaskan jika Penggugat Konvensi melalui Tergugat I Konvensi telah memasok aspal kepada Tergugat II Konvensi, sehingga aspal tersebut adalah milik Penggugat Konvensi, sedangkan Tergugat I Konvensi hanya sebagai perantara saja, demikian pula dengan petitum gugatannya menerangkan hal yang sama, sehingga gugatan ini tidak dapat dikualifisir tidak jelas dan kabur; 2. Bahwa gugatan Penggugat Konvensi telah menunjukkan hubungan hukum para pihak, hal mana dengan adanya fakta bahwa yang menerima aspal-aspal milik Penggugat Konvensi adalah Tergugat II Konvensi, sehingga penempatan Tergugat II Konvensi dalam perkara a quo telah benar; 3. Bahwa terhadap dalil eksepsi angka 3 (tiga) Penggugat menolaknya karena aspal-aspal tersebut adalah milik Penggugat Konvensi, sedangkan Tergugat I Konvensi tidak punya kemampuan secara financial/modal untuk membeli aspal-aspal tersebut, sehingga secara hukum Tergugat II Konvensi telah melakukan cidera janji; 4. Bahwa tidak ada keraguan dari Penggugat Konvensi untuk menempatkan Tergugat II Konvensi sebagai pihak dalam perkara a quo. Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil eksepsi dan tanggapan tersebut di atas, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagaimana pertimbanganpertimbangan di bawah ini:
54
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim mencermati dalil-dalil eksepsi dari Tergugat II Konvensi, maka dapat disimpulkan secara garis besar eksepsi-eksepsi mana berkait mengenai pokok dalil/petitum gugatan Penggugat Konvensi yang menurut Tergugat II Konvensi diformulasikan secara tidak jelas/kabur serta tentang hubungan hukum yang terjadi antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat II Konvensi dalam perkara a quo. Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim membaca serta mencermati secara seksama isi dari gugatan, baik dari posita maupun petitumnya, maka Majelis dapat menyimpulkan pokok sengketa dari perkara in casu adalah tentang cidera janji, di mana dalam posita gugatannya pada pokoknya dinyatakan telah terjadi pembelian aspal dari Penggugat Konvensi sebagai penjual dan Tergugat II Konvensi sebagai pembeli dengan perantara Tergugat I Konvensi, akan tetapi ternyata Tergugat II Konvensi telah cidera janji dengan tidak membayar seluruh uang pembelian aspal tersebut, sehingga masih terdapat sebanyak enam puluh tiga (63) drum yang pembayarannya belum dilunasi. Menimbang, bahwa apakah dalil-dalil tersebut benar adanya sehingga mendukung petitum gugatannya, maka Majelis berpendapat hal tersebut haruslah melalui proses pembuktian sehingga telah masuk pada lingkup/domain pokok perkara, karenanya eksepsi mana tidak beralasan. Menimbang, bahwa demikian pula dengan eksepsi tentang hubungan hukum antara para pihak yang berperkara khususnya hubungan Penggugat Konvensi dengan Tergugat II Konvensi, menurut Majelis juga telah masuk atau merupakan pokok
55
perkara, oleh karena itu masih harus melalui proses pembuktian perkara dengan dasar fakta-fakta yang terungkap di persidangan dengan mengacu pada alat-alat bukti yang diajukan dan hubungan ini merupakan jalan masuk bagi Majelis dalam memeriksa pokok sengketanya (cidera janji). Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil eksepsi mana juga tidak berdasar untuk dikabulkan, sehingga berdasarkan pada seluruh pertimbangan di atas, maka eksepsi dari Tergugat II Konvensi harus ditolak. II. DALAM POKOK PERKARA Menimbang, bahwa Penggugat Konvensi dalam gugatannya terdaftar tanggal 16 Agustus 2007 mendalilkan hal-hal yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Bahwa Penggugat Konvensi melalui Tergugat I Konvensi telah memasok aspal yang dikemas dalam drum-drum sejak tanggal 7 Juli 2006 kepada Tergugat II Konvensi; 2. Bahwa Tergugat II Konvensi hanya mengakui aspal yang dikirim seperti pada posita nomor 2 di atas sebanyak tiga ratus sembilan belas (319) drum, sedangkan yang sebenarnya menurut Penggugat Konvensi adalah tiga ratus delapan puluh dua (382) drum; 3. Bahwa perbedaan tersebut menurut Tergugat I Konvensi karena pengiriman aspal tanggal 7 Juli 2006 sebanyak enam (6) drum, tanggal 11 agustus 2006 sebanyak tujuh (7) drum dan tanggal 15 Agustus 2006 sebanyak lima puluh (50) drum tidak diakui oleh Tergugat II Konvensi, padahal waktu itu diterima oleh Tergugat II Konvensi dan ada saksi-saksinya;
56
4. Bahwa perhitungan tersebut tidak sesuai dengan perhitungan yang diterima Penggugat Konvensi melalui Tergugat I Konvensi diketahui pada sekitar awal bulan September 2006, yaitu ada selisih aspal sebanyak enam puluh tiga (63) drum dengan total harga sebesar Rp. 45. 675. 000, - (empat puluh lima juta enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah); 5. Bahwa akibatnya Penggugat Konvensi merasa sangat dirugikan oleh karena ternyata sampai dengan sekarang Tergugat II Konvensi tidak melaksanakan kewajibannya untuk melunasi hutangnya kepada Penggugat Konvensi baik melalui Tergugat I Konvensi ataupun langsung kepada Penggugat, dengan demikian para Tergugat Konvensi telah melakukan perbuatan cidera janji dengan segala akibat hukumnya. Menimbang, bahwa atas dalil gugatan tersebut, Tergugat I Konvensi dalam jawabannya pada prinsipnya membenarkan hal tersebut, sedangkan Tergugat II Konvensi membantahnya dengan mengemukakan dalil-dalil sebagai berikut: 1. Bahwa jawaban dalam eksepsi sepanjang berkaitan dengan pokok perkara mohon agar terbaca pula pada jawaban dalam pokok perkara; 2. Bahwa pada pokoknya Tergugat II Konvensi menolak seluruh dalil gugatan penggugat karena Tergugat II Konvensi tidak pernah mempunyai hubungan hukum apapun dengan Penggugat Konvensi dan tidak pernah membeli aspal dari Penggugat Konvensi, kenalpun tidak, bagaimana mungkin Tergugat II Konvensi dituduh melakukan cidera janji terhadap Penggugat Konvensi?;
57
3. Bahwa jika seandainya, quod non, benar Penggugat Konvensi pedagang aspal dan kebetulan Tergugat I Konvensi selaku pembelinya belum membayar lunas, maka hal tersebut adalah merupakan tanggung jawab dan urusan Tergugat I Konvensi sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Tergugat II Konvensi, sehingga mendudukkan Tergugat II Konvensi selaku Tergugat Konvensi dalam perkara quod non adalah keliru; 4. Bahwa Tergugat II Konvensi selaku kontraktor tidak pernah sekalipun mendapat pasokan aspal dari Penggugat Konvensi, baik secara langsung maupun melalui Tergugat I Konvensi. Selama Tergugat I Konvensi menjual aspal kepada Tergugat II Konvensi, tidak pernah sekalipun disinggung bahwa aspal yang ia jual adalah milik Penggugat Konvensi dan Tergugat I Konvensi hanya sebagai perantara saja, juga tidak ada tanda-tanda atau petunjuk atau indikasi bahwa aspal yang dijual Tergugat I Konvensi ke Tergugat II Konvensi adalah milik Penggugat Konvensi. Demikian pula semua transaksi dilakukan secara langsung antara pihak Tergugat II Konvensi dengan Tergugat I Konvensi, tanpa melibatkan (keterlibatan) Penggugat Konvensi, sehingga tidak ada kewajiban hukum dari Tergugat II Konvensi untuk mengakui bahwa aspal yang dijual oleh Tergugat I Konvensi kepada Tergugat II Konvensi adlah milik Penggugat Konvensi. Menimbang, bahwa dari hal-hal tersebut di atas, maka didapat beberapa permasalahan hukum antara para pihak, khususnya Penggugat Konvensi dengan Tergugat II Konvensi, yang pada pokoknya adlah sebagai berikut:
58
1. Apakah benar terdapat hubungan hukum berupa jual beli aspal antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat II Konvensi melalui Tergugat I Konvensi sebagai perantaranya; 2. Jika terdapat hubungan hukum, apakah benar telah terjadi cidera janji atas jual beli aspal tersebut; Menimbang, bahwa permasalahan-permasalan mana bersesuaian dengan apa yang terurai dalam dalil eksepsi Tergugat II Konvensi yang oleh Majelis dalam pertimbangan sebelumnya telah masuk pada ranah pokok perkara, sehingga akan dipertimbangkan selanjutnya pada pertimbangan di bawah ini: Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil gugatannya tersebut, pihak Penggugat mengajukan enam buah bukti surat bertanda P-1 sampai dengan P-6, serta enam orang saksi, yaitu Achmad Safroni, Acis, Priyo Suharyadi, Eka Widayati, Suchud dan Isno Wiyanto. Tergugat I Konvensi tidak mengajukan alat bukti walaupun telah diberi kesempatan kepadanya, sedangkan Tergugat II Konvensi untuk membuktikan sangkalannya telah mengajukan empat belas buah bukti surat bertanda T. II-1 sampai dengan T. II-14 dan empat orang saksi, yaitu Akhmad Jakiman, Suwitno, Suwarno dan Manis bin Madroji. Menimbang, bahwa karena dalil gugatan Penggugat Konvensi tersebut disangkal oleh Tergugat II Konvensi, maka menurut ketentuan Pasal 163 HIR, pihak Penggugat Konvensi harus membuktikan terlebih dahulu akan dalil gugatannya. Menimbang, bahwa sebelumnya Majelis akan mempertimbangkan peran dan fungsi pengakuan Tergugat I Konvensi dalam jawabannya, bahwa pengakuan tersebut
59
tidak serta merta mengikat pada diri Tergugat II Konvensi, pengakuan tersebut hanya mengikat secara mutlak/sempurna pada Tergugat I Konvensi saja, sedangkan terhadap posisi Tergugat II Konvensi haruslah dibuktikan lebih lanjut oleh Penggugat Konvensi, sebab jika konstruksi hukum pembuktian hanya disandarkan pada pengakuan salah satu pihak saja yang walaupun mempunyai kapasitas yang sama sebagai Tergugat, tapi mempunyai kualitas yang beda dalam permasalahan hukum dan individunya, satu dan hal lain tersebut juga perlu diketengahkan agar dalam suatu perkara tidak terjadi adanya “penyelundupan hukum.” Menimbang, bahwa menurut Penggugat Konvensi dalam surat gugatannya tertanggal 16 Agustus 2007 tersebut pada pokoknya mengajukan gugatan atas adanya selisih pembayaran sebanyak enam puluh tiga (63) drum aspal yang belum dibayar oleh Tergugat II Konvensi atas pembeliannya dari Penggugat Konvensi melalui Tergugat I Konvensi pada tanggal 7 Juli 2006 sebanyak enam (6) drum, tanggal 11 Agustus 2006 sebanyak tujuh (7) drum dan tanggal 15 Agustus 2006 sebanyak lima puluh (50) drum, dengan total harga sebesar Rp. 45. 675. 000, - (empat puluh lima juta enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat Konvensi tersebut Tergugat II Konvensi menyangkal dengan alasan tidak pernah ada pengiriman aspal dari Penggugat Konvensi kepada Tergugat II Konvensi pada tanggal-tanggal tersebut, lagi pula Tergugat II Konvensi merasa tidak pernah melakukan hubungan hukum apapun dengan Penggugat Konvensi, apalagi membeli aspal.
60
Menimbang, bahwa bukti P-1 yang berupa rekapitulasi sisa uang aspal Pak Yudi, menerangkan bahwa sisa uang pembayaran aspal Tergugat I Konvensi yang ada pada Tergugat II Konvensi hanya sebesar Rp. 3. 085. 000, - (tiga juta delapan puluh lima ribu rupiah) dari total pengiriman tiga ratus sembilan belas (319) drum aspal, dengan demikian bukti P-1 tersebut justru membuktikan dalil sangkalan Tergugat II Konvensi, yakni bahwa Tergugat II Konvensi hanya menerima aspal dari Tergugat I Konvensi sebanyak tiga ratus sembilan belas (319) drum, bukan tiga ratus delapan puluh dua (382) drum sebagaimana didalilkan Penggugat Konvensi lebih lanjut bahwa bukti P-2 yang merupakan rekapitulasi aspal Pak Yudi DPUK Purbalingga, menerangkan bahwa total pembelian aspal Tergugat II Konvensi dari Tergugat I Konvensi hanya tiga ratus sembilan belas (319) drum aspal, bahwa dari bukti P-2 tersebut terbukti tidak ada pembelian sebanyak enam (6) drum aspal pada tanggal 7 Juli 2006 dan sebanyak tujuh (7) drum pada tanggal 11 Agustus 2006, memang ada pembelian tanggal 15 agustus 2006 namun hanya sebanyak tujuh (7) drum, bukan lima puluh (50) drum sebagaimana didalilkan Penggugat Konvensi, dengan demikian bukti P-2 juga justru malah memperkuat dalil sangkalan Tergugat II Konvensi. Menimbang, bahwa bukti P-1 dan P-2 tersebut sama atau bersesuaian dengan bukti Tergugat II Konvensi bertanda T. II-1 dan T. II-2, sehingga berdasarkan bukti tersebut (T. II-1 dan T. II-2) maka Tergugat II Konvensi telah berhasil membuktikan dalil bantahan/sangkalannya, yaitu bahwa tidak ada hubungan hukum jual beli aspal antara Penggugat dengan Tergugat II Konvensi, bahwa total pembelian aspal
61
Tergugat II dari Tergugat I hanya sebanyak tiga ratus sembilan belas (319) drum dan telah dibayar. Menimbang, bahwa kemudian begitu pula setelah Majelis mencermati buktibukti tertulis selain dan selebihnya P-3 sampai dengan P-6 sebagaimana yang diajukan Penggugat Konvensi tersebut, ternyata tidak ada satupun surat bukti yang menunjukkan adanya hubungan hukum jual beli aspal antara Penggugat Konvensi dan Tergugat II Konvensi, apalagi membuktikan adanya selisih sebanyak enam puluh tiga (63) drum aspal yang belum dibayar oleh Tergugat II Konvensi kepada Penggugat Konvensi, bahkan bukti P-3 tersebut telah dibantah kebenarannya oleh saksi Suwitno. Menimbang, bahwa ternyata dari ke enam orang saksi yang diajukan oleh Penggugat Konvensi tersebut, tidak seorangpun yang menerangkan secara tandas dan gamblang tentang hubungan kerjasama jual beli aspal antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat II Konvensi, oleh karena saksi Akhmad Safroni hanya menerangkan jika pernah mencoba akan menurunkan aspal sebanyak lima puluh (50) drum aspal di daerah Babakan disaksikan Tergugat I Konvensi, saksi Acis menerangkan jika lima puluh (50) drum aspal tersebut adalah kepunyaan Penggugat Konvensi yang disuplai oleh Tergugat I Konvensi untuk Tergugat II Konvensi, akan tetapi hal tersebut hanya bersifat de auditu tanpa dikuatkan bukti lain terlebih ternyata terbukti saksi tersebut punya hubungan kerjasama dalam penyertaan modal dengan Tergugat I Konvensi, saksi Priyo Suharyadi menerangkan pernah mengantar aspal ke depan rumah Tergugat II Konvensi dan menyatakan jika ada perjanjian kerjasama antara
62
Penggugat Konvensi dengan Tergugat Konvensi akan tetapi terhadap perjanjian tersebut saksi lupa, saksi Isno Wiyanto menerangkan jika pernah mengantar lima puluh (50) drum aspal ke Babakan tempat Tergugat II Konvensi dan menyatakan jika dalam nota surat antaran tertera jika aspal dari Penggugat ke Tergugat II Konvensi dan yang menerimakan saat itu adalah Tergugat I Konvensi, akan tetapi notanya tidak diajukan menjadi bukti, kesemua saksi di atas seragam menyebut jika tanggal pengantaran aspal tersebut tanggal 15 Agustus 2006, sedangkan saksi selebihnya pada pokoknya menerangkan jika Tergugat I Konvensi pernah mengantar aspal pada Tergugat II Konvensi. Menimbang, bahwa selanjutnya saksi Tergugat
II Konvensi justru
memberikan keterangan yang kontradiktif dengan keterangan saksi-saksi Penggugat Konvensi dengan menyatakan pengiriman lima puluh (50) drum aspal dimana saksi Akhmad safroni tidak jadi bongkar adalah pada hari Jumat tanggal 1 September 2006 (saksi Akhmad Jakiman) sesuai pula dengan bukti P-2/T. II-1, selanjutnya ada juga yang menyatakan jika hubungan kerjasama aspal adalah antara Tergugat I Konvensi dengan Tergugat II Konvensi tanpa pernah melibatkan Penggugat Konvensi (saksi Manis Bin Madroji). Menimbang, bahwa dari seluruh pertimbangan-pertimbangan di atas, maka didapati petunjuk adalah benar jika ada kerjasama penyediaan aspal antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat I Konvensi, selanjutnya ada pula kerjasama tentang penyediaan aspal antara Tergugat I Konvensi dengan Tergugat II Konvensi, akan tetapi Majelis tidak mendapatkan keyakinan yang cukup tentang adanya hubungan
63
kerjasama jual beli aspal antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat II Konvensi, oleh karena bukti-bukti tertulis tidak mendukung akan hal tersebut dan dibantah oleh Tergugat II Konvensi melalui saksi-saksinya. Menimbang, bahwa berdasarakan hal tersebut Majelis berpendapat penggugat Konvensi tidak dapat membuktikan hubungan hukumnya berupa perjanjian jual beli aspal dengan Tergugat II Konvensi, apalagi lebih jauh membuktikan akan cidera janji Tergugat II Konvensi. Menimbang, bahwa oleh karenanya adalah berdasar jika gugatan Penggugat Konvensi ditolak untuk seluruhnya. B. DALAM REKONVENSI Menimbang, bahwa di samping mengajukan jawabannya atas gugatan Penggugat Konvensi, Tergugat II Konvensi juga telah mengajukan gugatan rekonvensi terhadap Pengguggat Konvensi dan Tergugat I Konvensi, sehingga dalam gugatan rekonvensi ini kualitas Tergugat II Konvensi menjadi Penggugat Rekonvensi sedangkan Penggugat Konvensi menjadi Tergugat Rekonvensi dan Tergugat I Konvensi menjadi Turut Tergugat Rekonvensi. Menimbang, segala sesuatu yang telah terurai dalam pertimbangan konvensi secara mutatis mutandis diambil alih menjadi dasar pertimbangan dalam gugatan rekonvensi ini.
64
I. DALAM EKSEPSI Menimbang, bahwa dalam repliknya Tergugat Rekonvensi dan dalam tanggapan Turut Tergugat Rekonvensi mengajukan eksepsi yang sama terhadap gugatan rekonvensi tersebut yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Bahwa ditempatkannya Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi tidak dapat dibenarkan karena kedudukan awal mereka dalam gugatan konvensi adalah sama-sama sebagai Tergugat, sehingga berdasarkan hal tersebut di atas, maka beralasan hukum jika gugatan rekonvensi tersebut ditolak; 2. Bahwa dalam positanya Turut Tergugat Rekonvensi banyak diuraikan akan tetapi dalam petitumnya tidak dihukum untuk melakukan apapun, sehingga antara posita dan petitum kontradiktif, hal mana berakibat gugatan mana menjadi tidak jelas. Menimbang, bahwa atas eksepsi tersebut Penggugat Rekonvensi mengajukan tanggapannya yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa ditempatkannya Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi bukan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum baik formil maupun substantif, sehingga secara formil telah memenuhi syarat sebagai sebuah surat gugatan, yakni gugatan konvensi dengan rekonvensi, juga hubungan pertautannya sangat erat sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara efektif dalam satu proses dan putusan sehingga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari gugatan konvensi;
65
2. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka beralasan hukum jika eksepsi Tergugat Rekonvensi tersebut ditolak untuk seluruhnya. Menimbang, bahwa atas eksepsi dan tanggapannya tersebut, Majelis mempertimbangkan jika dijadikannya Turut Tergugat Rekonvensi sebagai pihak dalam gugatan rekonvensi padahal antara Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi dalam gugatan awal/konvensi berkedudukan sebagai Tergugat menyalahi prosedur beracara yang telah baku dan lazim di persidangan, karena esensi gugatan rekonvensi adalah gugat balas atas lawan berperkara, bukan atas pihak yang sama kualitasnya dalam perkara perkara konvensinya, sehingga hal tersebut tidak diperbolehkan (Vide: Putusan Mahkamah Agung No. 636 K/Pdt/1984). Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka eksepsi Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi beralasan untuk dikabulkan. II. DALAM POKOK PERKARA Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi dari Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi dikabulkan, maka terhadap pokok perkaranya tidak perlu dibuktikan lebih lanjut dan gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima. C. DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI Menimbang, bahwa terhadap alat-alat bukti yang diajukan dalam perkara ini akan tetapi tidak dipertimbangkan dalam pembuktian perkara, hal mana dikarenakan alat bukti tersebut irrelevant dengan pembuktian perkara a quo. Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi
dinyatakan
ditolak
untuk
seluruhnya,
maka
Penggugat
66
Konvensi/Tergugat Rekonvensi dihukum untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini. Mengingat akan ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan utamanya Pasal 184 ayat (1) HIR dan peraturan lain yang berkaitan: MENGADILI: A. DALAM KONVENSI I. DALAM EKSEPSI Menolak eksepsi Tergugat II Konvensi; II. DALAM POKOK PERKARA Menolak gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya; B. DALAM REKONVENSI I. DALAM EKSEPSI Mengabulkan eksepsi Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi; II. DALAM POKOK PERKARA Menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi tidak dapat diterima; C. DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 259. 000, - (dua ratus lima puluh sembilan ribu rupiah); Demikianlah diputuskan dalam musyawarah Majelis Hakim pada hari Rabu tanggal 6 Februari 2008, oleh kami: WAHYONO, S. H., sebagai Hakim Ketua Majelis, dengan ALFON, S. H., M. H. dan KHOIRUMAN PANDU KESUMA
67
HARAHAP, S. H., masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 13 Februari 2008 oleh Majelis Hakim tersebut dengan dibantu oleh WINDARMONO sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Kuasa Penggugat serta dihadiri oleh Tergugat I dan Tergugat II. D.
Pembahasan 1. Penerapan Hukum Gugatan Rekonvensi oleh Hakim dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg Kasus posisi dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg secara singkat
dimulai dari adanya gugatan dari Alwi Kiswanto terhadap ST. Yudianto dan Direksi CV. Cipta Usaha ke Pengadilan Negeri Purbalingga perihal cidera janji dalam pembayaran jual beli aspal. ST. Yudianto didudukkan sebagai Tergugat I Konvensi, dan Direksi CV. Cipta Usaha sebagai Tergugat II Konvensi. Tergugat II konvensi kemudian mengajukan gugatan rekonvensi dalam jawaban gugatannya, dan mendudukkan Penggugat Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi serta Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat Rekonvensi. Pada akhirnya gugatan konvensi Penggugat dinyatakan ditolak seluruhnya oleh Majelis Hakim, sedangkan gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi sebagai Penggugat Rekonvensi dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim, dengan pertimbangan yang pada intinya sebagai berikut: 1. Majelis mengabulkan eksepsi Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi yang menyatakan bahwa ditempatkannya Tergugat I Konvensi
68
sebagai Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi tidak dapat dibenarkan karena kedudukan awal mereka dalam gugatan konvensi adalah sama-sama sebagai Tergugat. Majelis mempertimbangkan jika dijadikannya Turut Tergugat Rekonvensi sebagai pihak dalam gugatan rekonvensi, padahal antara Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi dalam gugatan awal (konvensi) berkedudukan sebagai Tergugat telah menyalahi prosedur beracara yang telah baku dan lazim di persidangan karena esensi gugatan rekonvensi adalah gugat balas atas lawan berperkara, bukan atas pihak yang sama kualitasnya dalam perkara konvensinya sehingga hal tersebut tidak diperbolehkan (Vide: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 636 K/Pdt/1984); 2. Majelis mempertimbangkan bahwa dengan dikabulkannya eksepsi Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi maka pokok perkaranya tidak perlu dibuktikan lebih lanjut dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Sumber hukum mengenai gugatan rekonvensi dapat ditemui dalam Pasal 132 a dan b HIR, yaitu sebgai berikut: Pasal 132 a HIR: ayat (1) “Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali : 1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; 2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan; 3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.” ayat (2) “Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugatan melawan, maka dalam bandingan tidak dapat mengajukan gugatan itu.”
69
Pasal 132 b HIR, merumuskan: ayat (1) “Tergugat wajib memasukkan gugatan melawan bersama-sama dengan jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan; ayat (2) “Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini;” ayat (3) “Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua, dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir;” ayat (4) “Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya uang dalam gugatan tingkat pertama ditambah dengan uang dalam gugatan melawan lebih daripada jumlah uang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi;” ayat (5) “Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing, maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.”
Pasal 132 a dan b HIR hanya mengatur mengenai pengertian gugatan rekonvensi, batas waktu pengajuan dan tata cara pengajuan serta pemeriksaannya di Persidangan. Aturan tambahan mengenai gugatan rekonvensi terdapat dalam beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung, antara lain Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984 yang berisi putusan perkara di mana Tergugat I Konvensi menarik Tergugat II Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi dan begitu juga sebaliknya, Tergugat II Konvensi menarik Tergugat I Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi. Majelis Hakim di Mahkamah Agung dalam putusan tersebut berpendapat bahwa hal demikian tidak dibenarkan oleh hukum acara karena gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan pada Penggugat Konvensi, oleh karena itu gugatan
70
rekonvensi harus dinyatakan tidak dapat diterima. Yurisprudensi lain adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983 yang di dalamnya judex factie dianggap salah menerapkan tata tertib beracara karena memperbolehkan gugatan rekonvensi di samping ditujukan kepada Penggugat Konvensi, juga kepada Tergugat Konvensi yang lain, yaitu Tergugat II, IV dan VI Konvensi. Kekeliruan yang terjadi tidak hanya sampai di situ saja, bahkan Penggugat Rekonvensi telah menarik pihak ketiga yang tidak ikut sebagai pihak dalam perkara menjadi Tergugat Rekonvensi. Tindakan tersebut secara formil telah melampaui batas ruang lingkup gugatan rekonvensi, oleh karena itu kekeliruan yang terjadi dalam kasus perkara tersebut harus diluruskan dengan memberikan batasan, yaitu gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan Tergugat terhadap Penggugat Konvensi, sedang terhadap Tergugat Rekonvensi yang lain harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sekiranya Penggugat Rekonvensi mempunyai hak atau tuntutan kepada mereka itu, harus menempuhnya melalui gugatan perdata biasa, bukan dalam bentuk gugatan rekonvensi. Sumber hukum mengenai gugatan rekonvensi sangat terbatas, sehingga banyak diatur di luar undang-undang, salah satunya mengenai syarat pengajuan gugatan rekonvensi yang diatur dalam doktrin. Syarat pengajuan gugatan rekonvensi terdiri dari syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil berkenaan dengan intensitas hubungan antara materi gugatan konvensi dengan rekonvensi, apakah
71
secara imperatif ada hubungan yang erat antara materi gugatan konvensi dengan rekonvensi?44 1. Undang-undang Tidak Mengatur Syarat Materiil. Undang-undang tidak mengatur hal itu. Tidak ada ketentuan mengenai syarat materiil. Pasal 132 a HIR hanya berisi penegasan, bahwa: a) Tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi; b) Tidak disyaratkan antara keduanya mesti mempunyai hubungan yang erat atau koneksitas yang substansial; c) Oleh karena itu, yang menjadi syarat utama, apabila ada gugatan konvensi yang diajukan kepada Tergugat, hukum memberi hak kepadanya untuk mengajukan gugatan rekonvensi tanpa mempersoalkan ada atau tidaknya koneksitas yang substansial antara keduanya. 2. Praktek Pengadilan Cenderung Mensyaratkan Koneksitas. Meskipun undang-undang tidak mengatur syarat koneksitas antara gugatan rekonvensi dengan konvensi, ternyata praktek peradilan cenderung menerapkannya. Seolah-olah koneksitas merupakan syarat materiil gugatan rekonvensi, oleh karena itu gugatan rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima (admissible) untuk diakumulasi dengan gugatan konvensi, apabila terpenuhi syarat sebagai berikut: a) Terdapat faktor pertautan hubungan mengenai dasar hukum dan kejadian yang relevan antara gugatan konvensi dengan rekonvensi;
44
M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 474.
72
b) Hubungan pertautan itu harus sangat erat (innerlijke samen hangen), sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara efektif dalam satu proses dan putusan. Jika penerapan ini diikuti, gugatan rekonvensi mesti merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari gugatan konvensi. Sikap yang berpendirian mesti ada faktor koneksitas mempunyai alasan yang masuk akal karena salah satu tujuan pokok sistem rekonvensi adalah untuk menyederhanakan proses serta sekaligus untuk menghemat biaya dan waktu. Jika demikian halnya, membolehkan pengajuan gugatan rekonvensi yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan gugatan konvensi, akan menjauhkan proses penyelesaian ke arah yang bertentangan dengan tujuan tersebut, sebab apabila gugatan rekonvensi jauh menyimpang dari konvensi, cara penyelesaiannya memerlukan perlakuan khusus dan tersendiri sehingga besar kemungkinan akan mengenyampingkan penyelesaian gugatan konvensi, oleh karena itu agar tujuan yang diamanatkan sistem ini tidak menyimpang dari arah yang dicitacitakan, sedapat mungkin gugatan rekonvensi mempunyai koneksitas yang substansial dan relevan dengan gugatan konvensi. Prinsip ini tidak boleh mengurangi hak Tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi yang bersifat berdiri sendiri yang benar-benar terlepas kaitannya dengan gugatan konvensi. 3. Sifat Asesor Rekonvensi Terhadap Putusan Konvensi. Apakah memang gugatan rekonvensi asesor dengan konvensi? Pada dasarnya tidak! Seperti yang sudah dijelaskan berulangkali, eksistensi gugatan rekonvensi tidak tergantung pada gugatan konvensi. Rekonvensi pada dasarnya berdiri sendiri dan
73
dapat diajukan secara terpisah dalam proses penyelesaian yang berbeda, cuma secara eksepsional hukum memberi hak kepada Tergugat untuk menggabungkannya ke dalam gugatan konvensi.45 Pada dasarnya keberadaannya tidak asesor dengan gugatan konvensi, namun demikian dalam praktek berkembang acuan tata tertib beracara yang mengaitkan faktor-faktor, ada atau tidaknya hubungan yang erat antara gugatan konvensi dengan rekonvensi. a) Putusan rekonvensi asesor dengan putusan negatif konvensi apabila terdapat koneksitas. Dalam hal terdapat hubungan erat atau koneksitas antara gugatan konvensi dengan rekonvensi dan putusan yang dijatuhkan kepada gugatan konvensi bersifat negatif dalam bentuk gugatan tidak dapat diterima, atas alasan gugatan mengandung cacat formil (error in persona, obscuur libel, tidak berwenang mengadili dan sebagainya) maka dalam kasus seperti ini: 1) Putusan rekonvensi asesor mengikuti putusan konvensi; 2) Dengan demikian, karena putusan konvensi menyatakan gugatan tidak dapat diterima, dengan sendirinya menurut hukum putusan rekonvensi juga harus dinyatakan tidak dapat diterima. b) Rekonvensi tidak asesor mengikuti putusan konvensi apabila antara keduanya tidak ada koneksitas. Lain halnya jika gugatan rekonvensi tidak mempunyai koneksitas dengan gugatan konvensi. Dalam kasus demikian, karakter gugatan rekonvensi sebagai gugatan yang berdiri sendiri harus 45
Ibid, halaman 476.
74
dipertahankan, oleh karena itu sekiranya gugatan rekonvensi dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan cacat formil, gugatan rekonvensi tidak tunduk mengikuti putusan itu. Materi gugatan rekonvensi tetap dapat diperiksa dan diselesaikan meskipun gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima apabila secara objektif tidak terdapat hubungan atau koneksitas antara keduanya. Penerapan putusan tersebut ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung No. 1057 K/ Sip/ 1973, yang menyatakan: “karena gugatan dalam rekonvensi tidak didasarkan atas inti gugatan dalam konvensi melainkan berdiri sendiri (terpisah), dengan tidak dapat diterimanya gugatan dalam konvensi, tidak dengan sendirinya gugatan dalam rekonvensi ikut tidak dapat diterima.” Yahya harahap berpendapat bahwa jika gugatan rekonvensi tidak berhubungan erat secara substansial dengan konvensi, materi pokok gugatan rekonvensi dapat diperiksa dan diselesaikan, meskipun gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima. Putusan di atas sekaligus berisi penegasan atas kebolehan dan keabsahan gugatan rekonvensi walaupun dalil pokoknya tidak mempunyai hubungan inti yang erat dengan gugatan konvensi.46 Syarat formil gugatan rekonvensi menjadi kewajiban selain syarat materiil. Supaya gugatan sah, selain harus dipenuhinya syarat formil gugatan yang bersifat umum, terdapat pula syarat formil yang bersifat khusus, seperti dijelaskan berikut ini: 1) Gugatan Rekonvensi Diformulasi Secara Tegas. 46
Ibid, halaman 478.
75
Gugatan rekonvensi harus jelas keberadaannya. Mesti diformulasikan atau diterangkan tergugat dalam jawaban sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 330 K/ Pdt/ 1986. HIR tidak tegas menentukan dan mengatur syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan itu dianggap ada dan sah, ia harus dirumuskan secara jelas dalam jawaban. Tujuannya agar pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat kepadanya. Bentuk pengajuan boleh secara lisan, tetapi lebih baik dengan tulisan. Bentuk-bentuk yang mana saja boleh dipilih Tergugat, akan tetapi apapun bentuknya, yang penting diperhatikan adalah gugatan rekonvensi mesti memenuhi syarat formil gugatan: a) Menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi; b) Merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond) yang melandasi gugatan; c) Menyebut dengan rinci petitum gugatan. Berdasarkan penjelasan di atas, apabila unsur-unsur di atas tidak dipenuhi, gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi syarat dan harus dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena itu selain eksistensi gugatan rekonvensi mesti tegas disebut dalam jawaban, mesti disebut dengan tegas pada pihak yang ditarik sebagai Tergugat, terang dalil yang dirumuskan, serta rinci satu persatu petitumnya. Sehubungan dengan itu, menurut Putusan Mahkamah Agung No. 1154 K/Sip/1973, gugatan rekonvensi yang tidak memenuhi unsur syarat formil gugatan, dianggap
76
bukan merupakan gugatan rekonvensi yang sungguh-sungguh dan dalam hal demikian dianggap tidak ada gugatan rekonvensi. Konstruksi ini seolah-olah ada gugatan rekonvensi pada hal tersebut tidak tegas dinyatakan dalam jawaban Tergugat atau apabila unsur yang disyaratkan tidak terpenuhi tidak dapat dibenarkan, misalnya Tergugat menegaskan dalam jawaban mengajukan gugatan rekonvensi tetapi tidak dibarengi dengan petitum gugatan. Dalam kasus ini, meskipun gugatan itu merumuskan dalil, gugatan rekonvensi dianggap tidak sah, apabila dalil itu tidak dibarengi petitum gugatan.47 2) Pihak Yang Dianggap Ditarik Sebagai Tergugat Rekonvensi, Hanya Terbatas Penggugat Konvensi. Seperti dikemukakan di atas, supaya gugatan rekonvensi memenuhi syarat formil, dalam gugatan mesti disebut dengan jelas subjek atau orang yang ditarik sebagai Tergugat Rekonvensi. a) Pihak Yang Dapat Ditarik Sebagai Tergugat. Sesuai dengan pengertian gugatan rekonvensi, yaitu gugatan balik yang diajukan tergugat menantang gugatan Penggugat maka sejalan dengan itu, subjek yang ditarik sebagai Tergugat rekonvensi adalah Penggugat Konvensi. Hal ini mesti ditegaskan dalam gugatan, agar terpenuhi syarat formil seperti yang dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2152/Pdt/1983, gugatan rekonvensi bertujuan untuk melawan gugatan konvensi. Tidak ada kewajiban bagi Tergugat mengajukan gugatan rekonvensi, karena pada dasarnya gugatan rekonvensi adalah hak yang diberi undang47
Ibid, halaman 479.
77
undang kepada Tergugat, dengan demikian, oleh karena gugatan rekonvensi merupakan hak yang diberikan kepada Tergugat melawan konvensi maka pihak yang dapat ditarik sebagai Tergugat, hanya Penggugat Konvensi. b) Tidak Mesti Menarik Semua Penggugat Konvensi. Sekiranya Penggugat Konvensi terdiri dari beberapa orang, tidak mesti semuanya ditarik sebagai Tergugat Rekonvensi, bisa beberapa orang atau satu orang saja, tergantung pada kondisi gugatan rekonvensi itu. Pedoman yang dapat dipegang mengenai hal itu adalah sebagai berikut: a. Sebaiknya seluruh Penggugat Konvensi ditarik sebagai Tergugat Rekonvensi apabila gugatan rekonvensi erat kaitannya dengan gugatan konvensi. Penerapan ini sangat efektif menghindari terjadinya cacat formil gugatan rekonvensi yang berbentuk plurium litis consortium, yaitu kurangnya pihak yang ditarik sebagai Tergugat; b.
Tidak perlu menarik semua Penggugat Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi apabila gugatan rekonvensi tidak mempunyai koneksitas dengan gugatan konvensi, cukup satu atau beberapa orang yang benarbenar secara objektif tersangkut dengan materi gugatan rekonvensi. Seperti
dijelaskan
di
atas,
undang-undang
dan
yurisprudensi
membenarkan pengajuan gugatan rekonvensi yang berdiri sendiri tanpa mempunyai kaitan inti dengan gugatan konvensi. Sehubungan dengan itu, jika gugatan rekonvensi yang diajukan hanya bersangkut-paut dengan satu atau beberapa orang saja, tidak ada urgensinya menarik Penggugat
78
Konvensi lain yang tidak ada hubungan hukumnya dengan gugatan rekonvensi tersebut. c) Dilarang Menarik Sesama Tergugat
Konvensi
Menjadi
Tergugat
Rekonvensi. Di atas telah dijelaskan, bahwa yang dapat ditarik sebagai Tergugat Rekonvensi hanya terbatas pada diri Penggugat Konvensi. Dilarang dan tidak dibenarkan menarik sesama Tergugat Konvensi menjadi Tergugat Rekonvensi. Larangan itu dengan tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984. Dalam gugatan rekonvensi, Tergugat I Konvensi menarik dan mengajukan gugatan rekonvensi kepada Tergugat II Konvensi. Demikian juga sebaliknya, Tergugat II Konvensi menarik dan mengajukan gugatan rekonvensi kepada Tergugat I Konvensi. Menurut Mahkamah Agung, cara yang demikian tidak dibenarkan hukum acara, sebab gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan kepada Penggugat Konvensi yang menempatkannya dalam kedudukan sebagai Tergugat Rekonvensi, oleh karena itu dalam kasus ini, Tergugat I Konvensi harus dikeluarkan sebagai pihak Tergugat dari gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi serta berbarengan dengan itu, menyatakan gugatan rekonvensi kepada mereka tidak dapat diterima, dengan demikian yang tinggal tetap sebagai Tergugat Rekonvensi, hanya Penggugat Konvensi. Larangan yang sama dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983. Dalam kasus tersebut judex factie dianggap salah menerapkan tata tertib beracara karena memperbolehkan gugatan rekonvensi di samping ditujukan kepada Penggugat Konvensi, juga kepada Tergugat Konvensi
79
yang lain, yaitu Tergugat II, IV dan VI Konvensi. Kekeliruan yang terjadi tidak hanya sampai di situ saja, bahkan Penggugat Rekonvensi telah menarik pihak ketiga yang tidak ikut sebagai pihak dalam perkara menjadi Tergugat Rekonvensi. Tindakan tersebut secara formil telah melampaui batas ruang lingkup gugatan rekonvensi, oleh karena itu kekeliruan yang terjadi dalam kasus perkara tersebut harus diluruskan dengan memberikan batasan, yaitu gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan Tergugat terhadap Penggugat Konvensi, sedang terhadap Tergugat Konvensi yang lain harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sekiranya Penggugat Rekonvensi mempunyai hak atau tuntutan kepada mereka itu, harus menempuhnya melalui gugatan perdata biasa, bukan dalam bentuk gugatan rekonvensi. Tindakan penyelesaian apa yang dapat dilakukan apabila tergugat konvensi ditarik sebagai tergugat rekonvensi? Sebagai pedoman dapat dirujuk Putusan Mahkamah Agung Nomor 3227 K/Pdt/1987 yang menyatakan gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat Konvensi terhadap mereka yang berkedudukan sebagai Tergugat Konvensi, tidak dibenarkan hukum acara, oleh karena itu gugatan rekonvensi terhadap mereka dinyatakan tidak dapat diterima. 3) Gugatan Rekonvensi Diajukan Bersama-sama Dengan Jawaban. Syarat formil yang lain, diatur dalam Pasal 132 b ayat (1) HIR yang berbunyi: “Tergugat wajib mengajukan gugatan melawan bersama-sama dengan jawabannya baik dengan surat maupun dengan lisan.” Saat mengajukan gugatan rekonvensi merupakan syarat imperatif. Di dalamnya terdapat perkataan wajib diajukan bersama-sama dengan jawaban. Tidak
80
diajukannya gugatan rekonvensi bersama-sama dengan jawaban mengakibatkan gugatan rekonvensi tidak memenuhi syarat formil yang mengakibatkan gugatan itu tidak sah dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Timbul masalah, yaitu apa yang dimaksud dengan “jawaban” dalam pasal tersebut? Apakah makna “jawaban” yang dikemukakan dalam pasal itu sama dengan jawaban pertama atau menjangkau juga jawaban dalam bentuk duplik? Oleh karena kata jawaban yang tersurat dalam pasal itu mengandung makna luas (broad term), telah muncul penafsiran yang berbeda dalam praktek. Sebagian memahaminya secara sempit dan ada pula yang menafsirkannya secara elastis. a. Penafsiran Sempit Pendapat yang beraliran sempit, menafsirkan perkataan “jawaban” bermakna jawaban pertama. Menurut pendapat ini, agar gugatan rekonvensi memenuhi syarat formil, wajib diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama. Pendapat tersebut ditafsirkan dari bunyi Pasal 132 b ayat (1) HIR. Makna “jawaban” dalam kalimat wajib diajukan bersama-sama dengan jawaban adalah jawaban pertama berdasarkan alasan berikut ini: 1. Membolehkan atau memberi kebebasan bagi Tergugat mengajukan gugatan rekonvensi di luar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian bagi Penggugat dalam membela hak dan kepentingannya; 2. Selain itu, membolehkan Tergugat melampaui
jawaban
pertama
mengajukan gugatan rekonvensi
dapat
pemeriksaan dan penyelesaian perkara;
menimbulkan
ketidaklancaran
81
3. Rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti pada jawaban pertama yaitu agar Tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan haknya untuk mengajukan gugatan rekonvensi. Alasan-alasan tersebut yang mendasari pendapat Subekti, bahwa gugatan rekonvensi yang dapat diajukan sewaktu-waktu sampai tahap pemeriksaan saksi dimulai hanya dapat dibenarkan dalam proses secara lisan, tetapi tidak dalam proses secara tertulis. Dalam praktek, terdapat Putusan Mahkamah Agung yang mendukung pendapat yang sempit ini. Tanpa mengurangi kemungkinan putusan ini sebagai sempalan, dapat dikemukakan salah satu diantaranya yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 346 K/Sip/1975. Dikatakan, gugatan rekonvensi baru diajukan Tergugat pada jawaban tertulis kedua, oleh karena itu gugatan rekonvensi tersebut adalah terlambat. Menurut putusan tersebut dianggap melampaui batas waktu pengajuan sehingga tidak memenuhi syarat formil dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Pendirian sempit ini terlalu formalistis dan tidak sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pendirian sempit ini kurang bernuansa mencapai penegakan hukum berdasarkan moral justice tetapi lebih mengedepankan penegakan legal justice.48 b. Penafsiran Luas Pendapat yang lebih toleran memberi batasan pengajuan gugatan rekonvensi sampai tahap proses pemeriksaan pembuktian. Pengajuan tidak mesti bersama-sama dengan “jawaban pertama”, tetapi dibenarkan sampai proses memasuki tahap 48
Ibid, halaman 482.
82
pembuktian, dengan demikian gugatan rekonvensi tidak mutlak diajukan pada jawaban pertama, tetapi dimungkinkan pada pengajuan duplik. Pendapat tersebut merujuk kepada ketentuan Pasal 132 b ayat (1) HIR itu sendiri. Di dalamnya tidak dijumpai kata atau kalimat yang tegas bahwa yang dimaksud dengan jawaban adalah “jawaban” pertama. Kalimatnya hanya menyebut bersama-sama dengan jawaban, dengan demikian ditinjau dari tata tertib beracara dan teknis yustisial, gugatan rekonvensi tetap terbuka diajukan selama proses pemeriksaan masih dalam tahap jawab-menjawab. Pada dasarnya yang menjadi syarat ialah rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban. Boleh pada jawaban pertama, boleh juga pada jawaban duplik terhadap replik Penggugat. Pembatasan tersebut dianggap realistis, pada tahap itu masih terbuka kesempatan bagi Penggugat Konvensi untuk membela kepentingannya dengan syarat apabila gugatan rekonvensi diajukan tergugat pada duplik terhadap replik, kepada Penggugat Konvensi harus diberi hak untuk mengajukan replik sekali lagi guna menanggapi gugatan rekonvensi dimaksud, sehingga apabila tahap itu dilampaui, pengajuan rekonvensi tidak sah dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Putusan-putusan Pengadilan lebih cenderung menerapkan pendapat yang luas, antara lain putusan Mahkamah Agung Nomot 239 K/Sip/1968. Menurut putusan tersebut, gugatan rekonvensi dapat diajukan selama proses jawab-menjawab berlangsung karena Pasal 158 R. Bg (Pasal 132 b ayat (1) HIR) hanya menyebut jawaban, sedangkan duplik dan replik juga merupakan jawaban meskipun bukan jawaban pertama. Pendapat yang dikemukakan di atas sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 642 K/Sip/1972 yang
83
dikemukakan terdahulu, bahwa batas pengajuan gugatan rekonvensi masih terbuka sampai dimasukinya tahap proses pemeriksaan saksi. Pembatasan yang demikian disepakati oleh Prof. Sudikno Mertokusumo, yaitu apabila proses pemeriksaan telah memasuki tahap pembuktian, Tergugat tidak dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi. 49 Syarat pengajuan gugatan rekonvensi menjadi hal yang harus dipenuhi sebelum gugatan rekonvensi mulai diperiksa di persidangan. Sistem atau proses pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132 b ayat (3) dan ayat (5) HIR. Pasal 132 b ayat (3) HIR merumuskan: “Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua, dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir.” Pasal 132 b ayat (5) merumuskan: “Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing, maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.” Perihal gugatan rekonvensi, apabila ketentuan Pasal 132 b ayat (3) dihubungkan dengan Pasal 132 b ayat (5), maka terdapat dua sistem penyelesaian yang dapat ditempuh Pengadilan Negeri, yaitu sebagai berikut: 1. Konvensi dan rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan. Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang
49
Ibid, halaman 484.
84
menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi: 1) Dilakukan secara bersama dan serentak dalam suatu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, oleh karena itu: a) Terbuka
hak
mengajukan
eksepsi
pada
konvensi
maupun
rekonvensi; b) Mengajukan replik dan duplik pada konvensi maupun rekonvensi; c) Mengajukan pembuktian baik untuk konvensi dan rekonvensi; d) Menyampaikan konklusi dalam konvensi dan rekonvensi; e) Proses pemeriksaan dituangkan dalam suatu berita acara yang sama. 2) Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu putusan, dengan sistematika: a.
Menempatkan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi: a) Dalil gugatan konvensi; b) Petitum gugatan konvensi; c) Uraian pertimbangan konvensi; d) Kesimpulan hukum gugatan konvensi.
b.
Menyusul kemudian, uraian gugatan rekonvensi, meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi,
c.
Amar putusan sebagai bagian terakhir,
Amar putusan merupakan bagian terakhir, terdiri dari amar putusan:
85
a) Dalam konvensi; b) Dalam rekonvensi. Penerapan sistem yang demikian sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi, oleh karena itu harus diselesaikan serentak dalam satu proses pemeriksaan yang sama dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama.50 2. Konvensi dan rekonvensi boleh dilakukan pemeriksaan secara terpisah. Pasal 132 b ayat (3) HIR selain mengatur mengenai tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara serentak dan bersamaan, juga mengatur pengecualian, yaitu berupa sistem pemeriksaan dan penyelesaian secara terpisah dengan acuan penerapan: a. Diperiksa secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan. Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas, sehingga diperlukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan: 1) Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi; 2) Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan; 3) Cara proses pembuktian: 50
Ibid, halaman 494.
86
a) Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi; b) Baru menyusul penyelesaian gugatan rekonvensi. Proses pemeriksaan konvensi dan rekonvensi dapat dilakukan secara terpisah dan berdiri sendiri, namun tetap pada penyelesaian akhir haruslah mengikuti tata cara berikut ini: 1. Dijatuhkan dalam satu putusan dengan nomor register perkara yang sama; 2. Diucapkan dalam waktu dan hari yang sama. b. Diperiksa secara terpisah dan diputus dalam putusan yang berbeda. Tidak hanya proses pemeriksaan yang terpisah, tetapi juga putusan yang dijatuhkan pun dituangkan pada masing-masing putusan yang tersendiri sehingga terdapat dua putusan yang benar-benar berdiri sendiri, dengan demikian, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi, terdapat dua putusan yang terdiri dari: 1) Putusan konvensi; 2) Putusan rekonvensi. Sistem penyelesaian yang ditempuh menurut cara ini mengandung konsekuensi, yaitu upaya banding terhadap kedua putusan ini harus mengacu kepada ketentuan Pasal 132 b ayat (5) HIR:
87
1.
Masing-masing
Penggugat
Konvensi
dan
Rekonvensi
dapat
mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan; 2.
Tenggang waktu banding untuk masing-masing tunduk kepada ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan, yaitu empat belas (14) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau empat belas (14) hari dari tanggal putusan diberitahukan.
Mengenai dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang sepenuhnya diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim. Alasan yang dianggap rasional dan objektif, yaitu apabila diantara keduanya tidak terdapat koneksitas yang erat sehingga penyelesaiannya memerlukan penanganan yang terpisah.51 Pada proses pemeriksaan gugatan rekonvensi tidak dikenal istilah Turut Tergugat Rekonvensi. Turut Tergugat mempunyai pengertian sebagai orang-orang atau pihak-pihak yang tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, namun demi lengkapnya suatu gugatan maka harus diikutsertakan dalam perkara, jadi kedudukan turut tergugat bukanlah sebagai sasaran utama akan tetapi hanya sebagai penguat kedudukan si Tergugat.52 Dalam praktek istilah Turut Tergugat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, namun 51
hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus
Ibid, halaman 495. Retnowulan, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009, halaman 12. 52
88
diikutsertakan (Putusan Mahkamah Agung No. 663 K/Sip/1971). Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan hakim. Istilah Turut Tergugat Rekonvensi tidak dikenal dalam hukum acara perdata karena pada esensinya gugatan rekonvensi merupakan gugat balas yang terbatas pada lawan berperkara saja, sehingga yang dikenal hanya istilah Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi. Pada
Putusan
Nomor
17/Pdt.
G/2007/PN.
Pbg,
Majelis
Hakim
mempertimbangkan, bahwa tindakan Penggugat Rekonvensi yang mendudukkan Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat Rekonvensi telah menyalahi aturan hukum acara yang baku dan lazim karena Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi mempunyai kualitas yang sama dalam perkara konvensi, yaitu samasama sebagai Tergugat Konvensi, oleh karena itu gugatan rekonvensi harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sumber hukum yang dijadikan dasar pertimbangan Majelis Hakim tersebut adalah sebuah yurisprudensi, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984. Perihal pemilihan Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984 sebagai sumber hukum dalam pertimbangan putusan sudah benar, namun akan lebih tepat apabila Majelis Hakim menggunakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983 sebagai sumber hukum di dalam pertimbangannya karena kasus posisi dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg sedikit berbeda dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984. Kasus posisi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984 tidak menyebutkan Penggugat Rekonvensi
89
mengajukan gugat balik terhadap Penggugat Konvensi sebagai lawan berperkara, tetapi hanya menjelaskan perihal saling gugat menggugat antara Tergugat I Konvensi dan Tergugat II Konvensi dalam perkara rekonvensi, dimana Tergugat I Konvensi mendudukkan Tergugat II Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi dalam gugatan rekonvensinya, begitu juga sebaliknya, dalam gugatan rekonvensinya Tergugat II Konvensi mendudukkan Tergugat I Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi, sementara Penggugat Konvensi sebagai lawan berperkara di dalam gugatan konvensi sama sekali tdak ditarik sebagai Tergugat Rekonvensi oleh keduanya. Berdasarkan kasus posisinya, sumber hukum yang lebih tepat digunakan sebagai dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983 karena keduanya mempunyai kemiripan yang lebih dibandingkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984. Kemiripan tersebut dikarenakan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983, gugatan rekonvensi ditujukan kepada Penggugat Konvensi, Tergugat II, IV dan VI Konvensi, lebih jauh lagi Penggugat Rekonvensi menarik pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi. Penarikan Penggugat Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi tidak ditemui dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984, namun penarikan yang demikian terjadi pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, oleh karena itu kasus posisi pada putusan Pengadilan Negeri tersebut lebih menyerupai perkara yang terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983.
90
Kekuatan hukum sebuah yurisprudensi sebagai dasar pertimbangan pada putusan Majelis Hakim cukup kuat, karena merupakan bagian dari sumber hukum formil. Istilah yurisprudensi sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu jurisprudentia yang berarti pengetahuan hukum (rechts geleerheid). Sumber hukum formil mengacu kepada suatu rumusan peraturan yang memiliki bentuk tertentu, sebagai dasar berlaku, sehingga ditaati, mengikat para hakim dan penegak hukum. 53 Sumber hukum formil, menurut Drs. C. S. T. Kansil terdiri dari 5 hal: 1. Undang-undang (statute); 2. Kebiasaan (custom); 3. Keputusan-keputusan Hakim (juris prudentie); 4. Traktat (treaty); 5. Pendapat Para Sarjana (doctrine)54. Yurisprudensi dalam sistem hukum di Indonesia memiliki pengertian sebagai putusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar putusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama. Yurisprudensi digunakan hakim dalam memberi putusan penyaksian perselisihan suatu masalah dalam hal tidak ada peraturan perundang-undangannya55.
Yurisprudensi memiliki dasar hukum yang
cukup kuat dan berjalan cukup lama, untuk itu Kansil mempunyai pendapat bahwa Adapun yang merupakan peraturan pokok yang pertama pada zaman Hindia Belanda dahulu ialah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang disingkat A. 53
Sudarsono, Op. cit, halaman 79. Ibid, halaman 82. 55 Ibid, halaman 86. 54
91
B. (Ketentuan-ketentuan umum tentang Peraturan Perundangan untuk Indonesia). A. B. ini dikeluarkan pada tanggal 30 april 1847 yang termuat dalam Staattsblad 1847 Nomor 23 dan hingga saat ini masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama hakim belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Menurut Pasal 22 A. B.: “de regter, die weigert regt te sipreken onder voorswendsel van stilwijgen, duisterheid der wetkan uit hoofed van rechtswijgering vervogd worden”, yang mengandung arti, “Hakim yang menolak untuk menyelesaiakan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut dihukum karena menolak mengadili”. Dari ketentuan Pasal 22 A. B. ini, jelaslah, bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara, sehingga apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri. Putusan hakim inilah yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pasal 22 A. B. menjadilah dasar putusan hakim lainnya (hakim kemudian) untuk mengadili perkara yang serupa dan putusan hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi Pengadilan dan putusan hakim yang demikian yang disebut hukum yurisprudensi.56
56
Ibid, halaman 88.
92
Pendapat Kansil yang dikemukakan di atas selaras dengan bunyi Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Artinya pendapat tersebut masih relevan sampai sekarang untuk dijadikan dasar berlakunya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum formil. Error in persona yang terdapat dalam gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi tidak diatur oleh undang-undang, akan tetapi hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya atau aturannya tidak jelas, hal ini sejalan dengan adagium Curia Novit Jus, yang artinya hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum. Meskipun tidak diatur dalam undang-undang, hakim wajib mencari dan menemukan hukum objektif dari sumber hukum lain. Pertimbangan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg pada dasarnya sudah benar, namun akan lebih tepat apabila mempertimbangkan cacat formil yang ada pada gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi. Syarat formil gugatan rekonvensi yang dimaksud yaitu menarik pihak yang sama kualitasnya sebagai Tergugat dalam gugatan konvensi, menjadi turut tergugat dalam gugatan rekonvensi sehingga terjadi error in persona. Tidak dipenuhinya syarat formil tersebut
menjadikan gugatan rekonvensi
mengandung cacat formil, sehingga Majelis Hakim menjatuhkan Putusan yang bersifat negatif (menyatakan gugatan tidak dapat diterima).
93
Pada umumnya, cacat formil yang dijadikan dasar oleh hakim dalam menjatuhkan putusan akhir yang bersifat negatif berupa pernyataan gugatan tidak dapat diterima disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a) Pihak yang mengajukan gugatan adalah kuasa yang tidak didukung oleh surat kuasa khusus yang memenuhi syarat-syarat yang digariskan Pasal 123 HIR juncto SEMA Nomor 1 Tahun 1971 juncto SEMA Nomor 4 Tahun 1996; b) Gugatan mengandung error in persona, bisa dikarenakan diskualifikasi in person, yakni yang bertindak sebagai Penggugat tidak memiliki persona standi in judicio, atau bisa juga pihak yang ditarik sebagai Tergugat keliru (gemis aanhoedanigheid), atau yang bertindak sebagai Penggugat maupun yang ditarik sebagai Tergugat tidak lengkap, sehingga gugatan mengandung cacat formil plurium litis consortium; c) Gugatan di luar yurisdiksi absolute atau relatif Pengadilan. Apabila hakim berhadapan dengan kasus perkara yang secara absolute atau relatif berada di luar yurisdiksinya, dia harus menjatuhkan putusan yang berisi amar: 1. Tidak berwenang mengadili; 2. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima; d) Gugatan obscuur libel, yakni gugatan Penggugat kabur, tidak memenuhi syarat jelas dan pasti (duidelijke en bepaalde conclusie) yang digariskan Pasal 8 ke-3 Rv, yaitu: “Upaya-upaya dan pokok gugatan disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu”.
94
Hal-hal yang termasuk kategori obscuur libel adalah sebagai berikut: 1. Dalil gugatan atau fundamentum petendi tidak mempunyai dasar hukum yang jelas; 2. Objek sengketa tidak jelas; 3. Petitum gugatan tidak jelas; 4. Gugatan yang diajukan mengandung unsur ne bis in idem; e) Gugatan masih prematur; f) Gugatan telah daluwarsa. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1946 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merumuskan: “Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang”. Dengan demikian, apabila gugatan yang diajukan Penggugat telah melampaui batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk menggugatnya, berarti Tergugat telah terbebas untuk memenuhinya.57 Gugatan rekonvensi yang diputus dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg mengandung cacat formil yang dijelaskan pada penjelasan huruf b mengenai cacat formil yang dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk menjatuhkan putusan akhir yang bersifat negatif di atas, yaitu karena gugatan mengandung error in persona. Error in persona yang dimaksud adalah kelirunya pihak yang ditarik sebagai Tergugat (gemis aanhoedanigheid), dikarenakan Tergugat II Konvensi sebagai Penggugat Rekonvensi menarik Tergugat I Konvensi menjadi Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi, 57
M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 891.
95
padahal keduanya mempunyai kualitas yang sama sebagai Tergugat dalam gugatan konvensi, selain itu hukum acara perdata tidak mengenal istilah Turut Tergugat Rekonvensi. Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg menunjukkan bahwa Majelis Hakim telah benar dalam pertimbangan dan penerapan sumber hukum mengenai gugatan rekonvensi, namun akan lebih baik apabila dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim mendasarkan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983, karena Putusan Mahkamah Agung tersebut mempunyai kemiripan yang lebih dengan Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg dalam hal kedudukkan para pihaknya apabila dibandingkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984, selain itu akan lebih lengkap apabila dalam pertimbangannya Majelis Hakim menjelaskan dan mempertimbangkan mengenai cacat formil yang terdapat di dalam gugatan rekonvensi berupa error in persona, yaitu gemis aanhoedanihgheid sehingga gugatan rekonvensi tersebut sudah tidak memenuhi syarat formil sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima. 2. Akibat Hukum dari Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. Amar Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg pada intinya berisi tiga hal, yaitu sebagai berikut: 1. Menolak gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya karena Penggugat Konvensi tidak dapat membuktikan adanya hubungan hukum dengan Tergugat II Konvensi, lebih jauh lagi tidak bisa membuktikan adanya
96
perbuatan cidera janji oleh Tergugat II Konvensi terhadap Penggugat Konvensi; 2. Menyatakan gugatan rekonvensi tidak dapat diterima karena Majelis Hakim mengabulkan eksepsi Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi yang pada intinya mendalilkan bahwa dijadikannya Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat dalam gugatan rekonvensi telah menyalahi prosedur beracara yang lazim dan benar karena esensinya gugat rekonvensi adalah gugat balas terhadap lawan berperkara. Majelis Hakim mendasarkan pertimbangannya pada Putusan Mahkmah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984; 3. Menghukum Penggugat Konvensi untuk membayar seluruh biaya perkara. Putusan tersebut menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang berperkara. Pengertian akibat hukum itu sendiri adalah segala akibat atau konsekuensi yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang selanjutnya merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi subjek-subjek hukum yang bersangkutan. Akibat hukum yang dimaksud pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg difokuskan kepada upaya hukum yang timbul apabila para pihak tidak puas dengan isi putusan dan akibat-akibat hukum lainnya yang timbul apabila ditinjau berdasarkan teori kekuatan putusan.
97
Putusan yang menyatakan gugatan ditolak dan gugatan tidak dapat diterima merupakan bagian dari jenis putusan berdasarkan isinya. Jenis putusan dapat dibedakan dari segi prosedur dan isinya. Dilihat dari segi prosedurnya, putusan pengadilan dapat dibedakan menjadi putusan akhir dan putusan bukan akhir, sebagaimana apa yang dirumuskan dalam Pasal 185 ayat (1) HIR berikut ini: “keputusan yang bukan keputusan terakhir, sungguhpun harusdiucapkan dalam persidangan juga, tidak diperbuat masing-masing sendiri, tetapi hanya dilakukan dalam surat pemberitaan persidangan.”
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu, misalnya putusan contradictoir, putusan verstek, putusan perlawanan verzet, putusan serta merta (uitverbaar bij voorad), putusan diterimanya tangkisan principal dan tangkisan (exeptiet verweer), putusan banding, putusan kasasi dan sebagainya. Putusan akhir dapat dibedakan menjadi beberapa jenis menurut sifatnya apabila dilihat dari amar atau diktumnya, yaitu sebagai berikut: 1. Putusan yang bersifat condemnatoir, yakni amarnya berbunyi menghukum dan seterusnya, misalnya putusan yang menghukum Tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada Penggugat, untuk menyerahkan suatu barang atau mengosongkan sebuah persil, melakukan atau melarang Tergugat melakukan suatu perbuatan atau keadaan tertentu; 2. Putusan yang bersifat declaratoir, yakni amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum, misalnya putusan yang
98
menyatakan Penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa dan sebagainya; 3. Putusan yang bersifat constitutief, yakni putusan yang amarnya meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru, misalnya putusan yang membatalkan suatu perjanjian, memutuskan suatu ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat. Putusan bukan akhir disebut sebagai putusan sela atau putusan antara, yaitu putusan yang fungsinya untuk memperlancar proses pemeriksaan perkara. Putusan sela diucapkan dalam persidangan dan tidak dibuat secara terpisah, artinya tidak dibuat dalam bentuk dokumen tersendiri terlepas dari berkas perkaranya, melainkan hanya dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang, hal ini sesuai apa yang dirumuskan dalam Pasal 185 ayat (1) HIR sebagai berikut: “Keputusan yang bukan keputusan terakhir, sungguhpun harus diucapkan dalam persidangan juga, tidak diperbuat masing-masing sendiri, tetapi hanya dilakukan dalam surat pemberitaan persidangan”. HIR dan R.Bg membedakan putusan akhir dan putusan bukan akhir, sementara Rv mengenal pembedaan beberapa jenis putusan yang dapat digolongkan ke dalam putusan bukan akhir, yaitu: 1. Putusan Preparatoir, yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu gunamengadakan putusan akhir, misalnya putusan hakim yang menolak pengunduran diri saksi, atau putusan untuk menggabungkan dua perkara. Putusan Preparatoir ini tidak mempengaruhi materi perkara;
99
2. Putusan Interlocutoir, yaitu putusan yang memuat perintah untuk melakukan pembuktian yang dapat mempengaruhi materi perkara atau bunyi putusan akhir, misalnya putusan yang memerintahkan untuk diadakannya pemeriksaan setempat, pemeriksaan saksi, pemeriksaan dokumen, pengambilan sumpah dan sebagainya; 3. Putusan Insidentil, yaitu putusan yang dijatuhkan berhubungan dengan insiden, yaitu adanya kejadian yang menunda jalannya proses perkara, misalnya apabila pemeriksaan sedang berlangsung, kemudian salah satu pihak mengajukan permohonan bahwa seorang saksi supaya didengar dan sebagainya; 4. Putusan Provisionil, yaitu putusan yang berkenaan dengan tuntutan provisional. Tuntutan provisional yaitu permohonan agar sebelum hakim menjatuhkan putusan atau proses pemeriksaan berjalan, sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan, atau untuk melakukan tindakan tertentu mengenai hal yang bersifat mendesak untuk kepentingan salah satu atau kedua belah pihak.58 Putusan pengadilan apabila dilihat dari segi isinya terdiri dari tiga jenis, yaitu sebagai berikut: 1) Putusan yang menyatakan mengabulkan gugatan, yaitu apabila gugatan beralasan ataupun tidak melawan hak, misalnya gugatan telah memenuhi syarat formil dan materiil; 58
Ibid, halaman 215.
100
2) Putusan yang menolak gugatan, yaitu apabila gugatan tidak beralasan atau dasar gugatan tidak mendukung materi tuntutannya dan apabila tidak puas, maka cara yang dapat ditempuh hanyalah banding 3) Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima, yaitu apabila gugatan melawan hak atau melawan hukum, misalnya gugatan atas suatu piutang yang didasarkan atas perjudian atau pertaruhan dan apabila tidak puas, maka cara yang dapat ditempuh adalah mengajukan kembali gugatan setelah diperbaiki dan banding ke Pengadilan Tinggi. Terhadap isi suatu putusan, para pihak mempunyai hak untuk melakukan upaya hukum apabila tidak puas, hal ini diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan sebagai berikut: Pasal 23 “Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undangundang menentukan lain”. Pasal 26 ayat (1) “Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undangundang menentukan lain”. Berdasarkan kedua pasal di atas, para pihak yang tidak puas dengan isi Putusan dapat menggunakan haknya untuk melakukan upaya hukum. Apabila dilihat dari isi Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, maka terhadap gugatan konvensi hanya terbuka upaya hukum banding terhadap isi Putusan Majelis Hakim, namun untuk amar Putusan mengenai gugatan rekonvensi, upaya hukum yang dilakukan
101
apabila para pihak tidak puas akan sedikit berbeda karena Putusan tersebut merupakan Putusan yang mengabulkan eksepsi. Ketentuan mengenai upaya hukum terhadap putusan eksepsi berpedoman kepada Pasal 9 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 Tentang Pengadilan Peradilan Ulangan. Bertitik tolak dari ketentuan itu, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: a) Putusan Pengadilan Negeri yang dapat dibanding adalah putusan akhir. Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan peradilan Ulangan menjelaskan sebagai berikut: 1. Putusan Pengadilan Negeri yang dibanding adalah putusan akhir (eind vonnis, final judgement); 2. Putusan bukan akhir seperti putusan sela hanya dapat dimintakan banding bersama-sama dengan putusan akhir, oleh karena itu terhadap putusan sela yang dijatuhkan terhadap eksepsi kompetensi tidak dapat diajukan banding secara tersendiri. b) Putusan penolakan eksepsi kompetensi adalah putusan sela, tidak dapat dibanding tersendiri. Tergugat harus menunggu sampai jatuhnya putusan akhir apabila ingin mengajukan banding terhadap putusan sela yang menolak eksepsi. c) Pengabulan eksepsi kompetensi merupakan putusan akhir, sehingga dapat diajukan banding. Pengabulan eksepsi kompetensi ini mengakibatkan proses pemeriksaan selesai dengan sendirinya dengan jatuhnya putusan yang
102
bersifat negatif (tidak berwenang mengadili) dan untuk kasus yang demikian, putusan Pengadilan Negeri tersebut merupakan putusan akhir. d) Larangan mengajukan banding terhadap putusan sela tidak terbatas atas penolakan eksepsi kompetensi, tetapi meliputi segala putusan sela, misalnya putusan provisi. Eksepsi selain eksepsi kompetensi harus diperiksa dan diputus bersama-sama pokok perkara, hal ini diatur dalam Pasal 136 HIR yang merumuskan: “Perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara”. Apabila eksepsi selain eksepsi kompetensi dikabulkan maka putusan akan bersifat negatif (menyatakan gugatan tidak dapat diterima) karena semata-mata mengandung cacat formil sesuai eksepsi yang diajukan Tergugat, contohnya terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3534 K/Sip/1984, di mana dalam putusan tersebut gugatan dianggap obscuur libel, karena dalil gugatan kacau dan kabur, bahkan kontradiktif sehingga gugatan tidak dapat diterima. Berdasarkan putusan tersebut, Pengadilan tidak menyelesaikan materi pokok perkara karena gugatan tersebut mengandung cacat formil dalam bentuk obscuur libel. Apabila Penggugat menghendaki penyelesaian sengketa tentang kasus itu, Penggugat dapat mengajukan gugatan baru dengan jalan memperbaiki gugatan memperbaiki gugatan dengan dalil gugatan yang jelas59, akan tetapi khusus untuk Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg terbuka pula upaya 59
Ibid, halaman 429.
103
hukum banding untuk gugatan rekonvensi karena putusannya diputus bersama-sama dengan putusan akhir, hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan yang menyatakan eind vonnis atau final judgement dapat dibanding. Berdasarkan penjelasan di atas, maka terhadap Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg terbuka kesempatan untuk melakukan upaya hukum bagi para pihak yang tidak puas dengan isi putusan tersebut dan hal ini didasarkan Pasal 26 Undangundang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Penggugat Konvensi dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi terhadap Putusan yang menyatakan menolak gugatannya untuk seluruhnya, sementara untuk gugatan rekonvensi yang dinyatakan tidak dapat diterima terbuka dua upaya hukum, yaitu banding atau mengajukan gugatan baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki cacat formilnya karena Putusan tersebut merupakan Putusan yang mengabulkan eksepsi selain eksepsi kompetensi namun diputus bersama-sama dengan pokok perkara dalam putusan akhir (eind vonnis, final judgement), sehingga berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan menyatakan bahwa terhadap eind vonnis atau final judgement dapat dibanding, sementara berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3534 K/Sip/1984, apabila Penggugat Rekonvensi tidak puas, maka cara yang dapat ditempuh adalah mengajukan gugatan baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki. Pengajuan gugatan kembali yang demikian tidak merupakan ne bis in idem karena Putusan Mahkamah Agung Nomor 1566 K/Pdt/1983 menyatakan bahwa pada putusan negatif yang terjadi
104
karena adanya cacat formil berupa error in persona tidak melekat ne bis in idem, oleh karena itu gugatan bisa diajukan kembali setelah diperbaiki. Meskipun upaya hukum terbuka bagi para pihak yang tidak puas terhadap isi suatu putusan, namun pada dasarnya setiap putusan Pengadilan mempunyai tiga macam kekuatan. Kekuatan pada putusan tersebut diatur dalam doktrin karena undang-undang tidak menjelaskan kekuatan yang dimaksud. Tiga kekuatan yang dimaksud adalah: 1. Kekuatan mengikat berarti suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Para pihak yang telah menyerahkan dan mempercayakan sengketanya ke pengadilan berarti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan, sehingga tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan tersebut karena putusan tersebut mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak. 2. Kekuatan pembuktian dalam suatu putusan mengandung arti bahwa putusan dalam bentuk tertulis merupakan akta otentik yang tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya. 3.
Kekuatan eksekutorial berarti bahwa suatu putusan tidak semata-mata hanya menetapkan
hak
atau
hukumnya
saja,
melainkan
realisasi
atau
pelaksanaannya, sehingga kekuatan mengikat saja belum cukup, oleh karena itu putusan hakim mengandung kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk
105
dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara. Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, apabila dihubungkan dengan tiga teori kekuatan putusan hakim tersebut di atas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa, karena pada dasarnya para pihak telah menyerahkan penyelesaian sengketa kepada Pengadilan Negeri, oleh karena itu apapun isi putusannya, para pihak harus menghormatinya serta tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Penggugat Konvensi beserta para Tergugat Konvensi, maupun Penggugat Rekonvensi beserta Tergugat Konvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi dalam perkara yang diputus Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg mempunyai kewajiban mematuhi isi putusan tersebut, namun para pihak tersebut mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum apabila tidak puas dengan isi putusan yang sudah dijatuhkan. 2. Putusan
tersebut
juga
mengandung
kekuatan
pembuktian
karena
pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan tersebut bisa dijadikan dasar mengajukan banding dan kasasi, namun hakim mempunyai kebebasan untuk menggunakan kekuatan putusan terdahulu atau tidak. Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg dapat dijadikan bukti, terutama oleh Tergugat II Konvensi perihal ketiadaan hubungan hukum antara Penggugat Konvensi dan Tergugat II Konvensi, sehingga tidak terbukti
106
pula tuduhan cidera janji sebagaimana yang dituduhkan Penggugat Konvensi pada Tergugat II Konvensi. Berdasarkan putusan hakim tersebut, yang terbukti hanyalah adanya hubungan hukum antara Penggugat Konvensi dan Tergugat I Konvensi, selain itu putusan tersebut dapat dijadikan dasar bagi para pihak yang tidak puas untuk mengajukan upaya hukum. 3. Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg tersebut juga mempunyai kekuatan eksekutorial yang ditandai dengan adanya kata-kata “Demi keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”, sehingga dapat dijalankan dan dipaksakan pelaksanaannya, akan tetapi berdasarkan amar putusannya, maka yang dapat dijalankan dan dipaksakan pelaksanaannya hanyalah kewajiban Penggugat Konvensi membayar seluruh biaya yang timbul karena perkara ini, karena Penggugat Konvensi merupakan pihak yang kalah dalam perkara tersebut. Tidak ada kewajiban yang lain bagi para pihak dalam perkara tersebut, hal ini dikarenakan Majelis Hakim memutuskan menolak untuk seluruhnya gugatan Penggugat Konvensi, dan menyatakan gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat II Konvensi tidak dapat diterima, sehingga tidak timbul kewajiban bagi para pihak tersebut selain menghormati dan mematuhi isi putusan. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka akibat hukum yang timbul akibat Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg adalah terbukanya kesempatan bagi para pihak untuk melakukan upaya hukum apabila tidak puas dengan isi putusan
107
tersebut. Upaya hukum yang dimaksud adalah banding bagi Penggugat Konvensi karena gugatannya dinyatakan ditolak untuk seluruhnya, sedangkan untuk Penggugat Rekonvensi terbuka kesempatan mengajukan banding atau gugatan perdata biasa setelah cacat formil dalam gugatan sebelumnya diperbaiki, hal ini dikarenakan putusan Majelis Hakim merupakan putusan yang mengabulkan eksepsi selain eksepsi kompetensi namun diputus bersama-sama dengan pokok perkara dalam putusan akhir(eind vonnis, final judgement), sehingga berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undangundang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan menyatakan bahwa terhadap eind vonnis atau final judgement dapat dibanding, sementara berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3534 K/Sip/1984, apabila Penggugat Rekonvensi tidak puas, maka cara yang dapat ditempuh adalah mengajukan gugatan baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki. Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg mengandung tiga kekuatan yang didasarkan kepada teori kekuatan putusan, yaitu kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Kekuatan mengikat tercermin dengan harus dipatuhinya isi putusan tersebut oleh para pihak karena mereka telah sepakat untuk menyelesaikan perkaranya di Pengadilan. Kekuatan pembuktian dalam putusan tersebut telah membuktikan bahwa tidak ada hubungan hukum antara Penggugat Konvensi dan Tergugat II Konvensi, sehingga lebih jauh tidak mungkin ada perbuatan cidera janji, sementara itu bagi para pihak yang tidak puas dengan isi putusan, maka segala yang termuat dalam putusan tersebut dapat dijadikan dasar pengajuan upaya hukum. Kekuatan yang terkahir adalah eksekutorial yang ditandai dengan adanya kata-kata “Demi keadilan berdasarkan
108
keTuhanan Yang Maha Esa”, sehingga dengan begitu putusan dapat dijalankan dan dipaksakan pelaksanaannya, akan tetapi apabila dikaitkan dengan amar Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, maka amar yang dapat dieksekusi hanyalah perihal kewajiban Penggugat Konvensi membayar sejumlah biaya perkara, hal ini dikarenakan amar selebihnya tidak menimbulkan kewajiban bagi para pihak selain menghormati dan mematuhi isi putusan tersebut.
109
BAB V PENUTUP A.
Simpulan 1. Penerapan Hukum Gugatan Rekonvensi oleh Hakim dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg Pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg, Majelis Hakim mendasarkan
pertimbangannya tentang gugatan rekonvensi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984. Pertimbangan tersebut sudah benar, namun apabila dilihat dari kedudukkan para pihak di dalam perkara, akan lebih tepat apabila Majelis Hakim menggunakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1501 K/Pdt/1983 sebagai sumber hukum dalam dasar pertimbangannya karena mempunyai kemiripan yang lebih dengan Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg apabila dibandingkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 636 K/Pdt/1984, selain itu akan lebih lengkap apabila dalam pertimbangannya Majelis Hakim menjelaskan dan mempertimbangkan perihal cacat formil yang terdapat di dalam gugatan rekonvensi, yaitu adanya error in persona berupa gemis aanhoedanigheid. 2. Akibat Hukum dari Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg menimbulkan akibat hukum bagi para pihak di dalamnya. Akibat hukum yang dimaksdud adalah terbukanya kesempatan bagi para pihak yang tidak puas dengan isi putusan tersebut untuk melakukan upaya hukum. Upaya hukum yang dimaksud adalah banding bagi Penggugat Konvensi, sementara untuk Penggugat Rekonvensi terbuka upaya hukum
110
banding atau dapat mengajukan gugatan baru setelah gugatan sebelumnya diperbaiki cacat formilnya. Akibat hukum yang lain adalah timbulnya tiga kekuatan dalam putusan tersebut, yaitu kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial. B.
Saran Majelis Hakim harus lebih teliti dalam pertimbangan Putusannya karena pada
Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg Majelis Hakim melupakan satu hal yang penting untuk dijadikan pertimbangan. Hal penting yang dimaksud yaitu mengenai pemilihan Putusan Mahkamah Agung yang dijadikan sebagai sumber hukum serta tidak dipertimbangkannya cacat formil berupa error in persona berupa gemis aanhoedanigheid dalam gugatan rekonvensi sebagai dasar pertimbangan.