1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sosial yang dialami, setiap manusia memiliki kepentingankepentingan tertentu yang berkaitan dengan kebutuhan dan keinginannya untuk mempertahankan hidup. Kehendak setiap manusia dengan kepentingannya tersebut harus diselaraskan dengan kepentingan dari manusia lain dalam sebuah komunitas sosial. Hal ini yang membuat manusia sebagai mahluk sosial harus membuat keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut dalam sebuah pranata sosial yang otoritatif sehingga masing-masing kepentingan tersebut dilindungi oleh sebuah hukum dan menimbulkan hak dan kewajiban. Hukum memiliki peranan sebagai pembeda kepentingan mana yang benar dan salah, baik dan buruk, berguna sekarang dan kemudian, akan mengatur bagaimana manusia saling hidup dan berkehendak sehingga menjadi lebih tertib dan damai. Pada perkembangannya, selalu dapat ditemui ketidaksesuaian kepentingan di antara manusia. Mengingat besar dan kecil, dan rumit dan sederhananya ketidaksesuaian tersebut dapat mengakibatkan terganggunya tata tertib dan perdamaian hubungan sosial antar manusia, maka hukum harus menjadi panglima dalam pemecahannya. Dalam kedudukan ini, hukum menjadi jalan keluar bagaimana konflik tersebut dapat diselesaikan, karena tujuan dari hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai.1
1
LJ van Apeldoorn, 1971, Pengantar Ilmu Hukum, tjetakan kesebelas, Pradnja Paramita, Djakarta, hlm. 20.
2
Proses penyelesaian perbedaan kepentingan ini harus berbasiskan sebuah hukum, sehingga hasil jalan keluarnya dapat mengikat menjadi hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang saling bersengketa (berbeda pendapat). Secara prosedural, pengadilan adalah struktur hukum yang memiliki otoritas untuk menegakkannya. Dalam masyarakat terdapat persoalan tertentu dalam meniti acara pengadilan. Kenyataan kasus-kasus dalam sengketa perdata yang digelar di pengadilan memakan waktu, biaya, tenaga dan pikiran, bahkan itu terkadang sangat melelahkan secara fisik maupun mental. Meskipun dalam penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di muka pengadilan, berasaskan sederhana, cepat dan biaya ringan. Memahami kelemahan tersebut, sistem hukum di Indonesia mengenal adanya lembaga alternatif penyelesaian sengketa dan upaya perdamaian yang wajib ditekankan oleh hakim dalam persidangan. Terbitnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut dengan UU No. 30 Tahun 1999) memberikan pengaturan untuk alternatif penyelesaian sengketa, sedangkan ketentuan dalam Pasal 1851 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata) memberikan pengaturan mengenai perdamaian. Pasal 1851 KUHPerdata mengatur bahwa perdamaian dapat dilakukan atas perkara yang telah ada baik sedang berjalan di pengadilan atau akan diajukan ke pengadilan. Artinya penyelesaian menuju perdamaian dengan itikad baik para pihak adalah aspek yang diutamakan. Aspek perdamaian di sini bila merujuk pada tujuan hukum menurut Gustav Radbruch, dalam Heather Leawoods, untuk
3
memenuhi adanya kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. 2 Syarat lain dalam perdamaian tersebut adalah adanya perjanjian tertulis, dengan tujuan mencegah timbulnya perkara baru.
3
Berdasarkan hal tersebut, perjanjian
perdamaian yang dihasilkan dari suatu proses penyelesaian sengketa harus dituangkan dalam bentuk tertulis. Pasal 130 Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disebut dengan HIR), Pasal 154 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (selanjutnya disebut dengan RBg) memberikan pedoman bagi hakim untuk wajib mengusahakan dengan sungguh-sungguh penyelesaian dengan perdamaian bagi para pihak yang bersengketa. Ayat (1) dari pasal tersebut memberi arahan bahwa ketika pada hari yang telah ditentukan datang kedua belah pihak, maka Pengadilan Negeri melalui ketuanya wajib mencari jalan damai bagi keduanya. Hasil dari perdamaian itu harus dituangkan dalam sebuah surat (akta) yang berkekuatan seperti sebuah putusan hakim biasa, di mana tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi setelahnya (Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR). Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 2008) menyebutkan bahwa akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. Akta yang memuat kesepakatan perdamaian ini dapat berupa akta di bawah tangan maupun akta otentik yang dibuat oleh seorang notaris. 2
Heather Leawoods, “Gustav Radbruch: An Extraordinary Legal Philosopher”, Washington University Journal of Law and Policy, Vol. 2, January 2000, hlm. 489-490. 3 Pasal 1851 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
4
Kedudukan akta perdamaian berkekuatan hukum tetap dan memiliki aspek eksekutorial seperti putusan hakim pada umumnya. Pasal 1858 KUHPerdata memberi penjelasan tentang akibat hukum akta perdamaian, yang berbunyi: “Segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu kekuatan seperti putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan. Tidaklah dapat perdamaian itu dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan”. Perdamaian dapat dijalankan dalam perkara sengketa yang telah diputus dalam tingkat Pengadilan Negeri dan dilakukan upaya banding. Pasal 21 Perma No. 1 Tahun 2008 memberikan ketentuan prosedural tentang perdamaian di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Peluang untuk mengadakan perdamaian melalui mediasi tidak tertutup hanya dalam lingkup pengadilan, Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008 memberi jalan diadakannya kesepakatan di luar pengadilan. Hal-hal tersebut adalah keluwesan dari penyelesaian sengketa dengan perdamaian baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. Harapan terbesar dari ketentuanketentuan
hukum
ini
adalah
dapat
mengutamakan aspek perdamaian
terpecahkannya
sengketa
dengan
yang memenuhi rasa keadilan, asas
kemanfaatan, dan kepastian hukum. Terdapat satu contoh proses penyelesaian sengketa di tingkat banding dan pembuatan akta perdamaian di hadapan notaris sebagai alat bukti telah diadakannya perjanjian perdamaian dalam peristiwa hukum yang terjadi pada sengketa perdata antara pengurus Yayasan Pendidikan “Tujuh Belas” Yogyakarta (selanjutnya disebut sebagai Yayasan) di satu pihak dengan para ahli waris eks
5
ketua pengurus Yayasan di pihak lain. Dasar sengketa adalah kepemilikan tanah dan bangunan yang menjadi kegiatan Yayasan. Sengketa kepemilikan atas tanah berikut bangunan gedung berdiri di atasnya tersebut telah diputus oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta, tanggal 6 Juli 2009 di bawah Nomor 40/Pdt.G/2008/PN.Yk. Putusan tersebut dimohonkan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Para pihak yang bersengketa bersepakat mengakhiri sengketa perdata No. 40/Pdt.G/2008/PN.Yk tersebut dengan Akta Perdamaian Nomor 02 tanggal 5 Januari 2010 (dan Akta Adendum Pertama Atas Perjanjian Perdamaian Nomor 11 tanggal 20 Februari 2010) yang dibuat di hadapan Notaris Ika Farikha di Bantul sebelum Pengadilan Tinggi Yogyakarta memutuskan perkara tersebut dalam Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 07/PDT/2010/PTY. Dalam penelitian ini diketahui bahwa akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris tersebut tidak diajukan menjadi alat bukti dalam pemeriksaan perkara di tingkat banding, sehingga di dalam pemberitaan media massa dapat diperoleh informasi bahwa tetap terjadi konflik dan sengketa menyangkut obyek sengketa yang melibatkan para pihak tersebut, walaupun telah diadakan perdamaian. Peristiwa hukum tersebut membawa pada perlunya diadakan sebuah penelitian hukum untuk menjawab tentang bagaimana kedudukan akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa di tingkat banding dan mengapa akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris tidak dijadikan alat bukti pada pemeriksaan di tingkat banding dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 07/PDT/2010/PTY.
6
Uraian di atas membawa penulis, untuk merumuskan sebuah penelitian dengan judul: “Kedudukan Akta Perdamaian Yang Dibuat Di Hadapan Notaris Sebagai Alat Bukti Penyelesaian Sengketa Di Tingkat Banding (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 07/PDT/2010/PTY)” B. Perumusan Masalah Dari uraian dalam Latar Belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana kedudukan akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa di tingkat banding?
2.
Mengapa akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris tidak dijadikan alat bukti dalam pemeriksaan di tingkat banding pada kasus Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 07/PDT/2010/PTY?
C. Keaslian Penelitian Setelah melakukan penelitian awal di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan akta perdamaian dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di antaranya adalah: 1. Tinjauan Yuridis Akta Perdamaian Yang Dilakukan Para Pihak Di Hadapan Notaris.
7
Tesis Program Pascasarjana Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2011 dengan penulis Abdul Khair Razikin. Permasalahan yang diteliti adalah: a. Bagaimana ketentuan hukum kewenangan yang dimiliki oleh notaris dalam membuat akta perdamaian berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris? b. Bagaimana kedudukan hukum akta perdamaian yang dibuat notaris terhadap putusan pengadilan berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman? Kesimpulan yang ditarik adalah: a. Notaris berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, berwenang membuat akta perdamaian sebagai salah satu produk hukum dalam menjalankan tugas dan fungsi jabatannya. b. Kedudukan akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris dapat dilakukan terhadap suatu perkara yang sedang berjalan di pengadilan maupun terhadap putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, dan eksekutorialnya dengan adanya penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dengan isi perintah eksekusi agar akta perdamaian dapat dilaksanakan.4
4
Abdul Khair Razikin, “Tinjauan Yuridis Akta Perdamaian yang Dilakukan Para Pihak Di Hadapan Notaris”, Tesis, Program Pascasarjana, Studi Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011, hlm. 95-96.
8
2.
Tinjauan Akta Perdamaian Yang Dibuat Notaris Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Perdata. Tesis Program Pascasarjana Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2013 dengan penulis Ahmad Anta Setiawan. Permasalahan yang diteliti adalah: a. Bagaimana implementasi Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris terkait kewenangan pembuatan perjanjian perdamaian? b. Apakah akta perdamaian yang dibuat notaris dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa? Kesimpulan yang ditarik adalah: a. Notaris berperan penting dalam pembuatan kesepakatan perdamaian dalam bentuk secara tertulis khususnya sengketa sebagai implementasi Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dengan cara: pertama, notaris sebagai pejabat umum memiliki kewenangan
atributif
dari negara
untuk
melayani
kebutuhan
masyarakat yang melakukan hubungan hukum dengan membuat akta otentik sebagai alat bukti yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna; kedua, sebagai implementasi Pasal 15 angka (2) huruf e Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, notaris memberikan penyuluhan dan nasihat hukum demi perdamaian.
terjadinya kesepakatan
9
b. Dapat terakomodasi ataupun tidaknya kepentingan para penghadap tersebut, sangat tergantung pada itikad baik masing-masing pihak. Untuk itu notaris harus berprakarsa untuk memberikan penjelasan tentang akibat hukum dari kepentingan-kepentingan tersebut kepada para pihak.5 3.
Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Perdamaian Terhadap Pihak Yang Bersengketa Di Kabupaten Sintang, Propinsi Kalimantan Barat. Tesis Program Pascasarjana Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2013 dengan penulis Dhonny Tri Laksono. Permasalahan yang dirumuskan adalah: a. Apakah notaris memiliki kewenangan dalam pembuatan akta perdamaian terhadap pihak yang bersengketa? b. Bagaimana kekuatan hukum akta perdamaian yang dibuat oleh notaris terhadap pihak yang bersengketa? c. Mengapa akta perdamaian yang dibuat oleh notaris mampu memenuhi kepentingan para pihak yang bersengketa? Kesimpulan yang ditarik adalah: a. Notaris memiliki kewenangan tersebut berdasarkan Pasal 15 Undangundang Nomor 30 Tahun 2004, dalam kaitannya dengan kewenangan notaris untuk membuat akta otentik.
5
Ahmad Anta Setiawan, “Tinjauan Akta Perdamaian yang Dibuat Notaris Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Perdata”, Tesis, Program Pascasarjana, Studi Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013, hlm. 93-94.
10
b. Kekuatan
hukum
akta
perdamaian
tidak
selalu
memerlukan
pengesahan pengadilan, karena telah dilaksanakan secara sukarela berdasarkan itikad baik dan kesepakatan win win solution. c. Akta perdamaian mampu memenuhi kepentingan para pihak karena sesuai dengan sifatnya sebagai akta para pihak (partij acten) mendasarkan pada kesepakatan para pihak dengan itikad baik.6 Dari permasalahan dan hasil penelitian terdahulu tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan antara penelitian terdahulu tersebut dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis berpusat pada kedudukan akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa di tingkat banding dan sebab-sebab akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris tidak dijadikan alat bukti dalam pemeriksaan di tingkat banding pada kasus Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 07/PDT/2010/PTY. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan dan pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan pada khususnya yang berkaitan dengan pembuatan perjanjian perdamaian pada penyelesaian
6
sengketa
di
tingkat
banding,
pembuktian,
dan
Dhonny Tri Laksono, “Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Perdamaian Terhadap Pihak yang Bersengketa di Kabupaten Sintang Propinsi Kalimatan Barat”, Tesis, Program Pascasarjana, Studi Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013, hlm. 81-82.
11
pelaksanaannya. Kemudian hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah bahan kajian penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan oleh masyarakat secara luas terutama bagi para ahli, penegak, dan praktisi hukum dalam menjawab tantangan ke depan mengenai perdamaian di tingkat banding dan pembuatan akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris sebagai alat bukti sah dengan kekuatan sempurna, dan pelaksanaan dari perdamaian tersebut. Secara praktis agar selalu dapat dibangun jalan keluar yang memenuhi tujuan hukum demi kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, pada penyelesaian sengketa melalui perjanjian perdamaian. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui dan memaparkan kedudukan akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa di tingkat banding. 2. Mengetahui dan memaparkan sebab-sebab akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris tidak dijadikan alat bukti dalam pemeriksaan di tingkat banding pada kasus Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 07/PDT/2010/PTY.