BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pernikahan merupakan salah satu tahap yang penting dalam siklus kehidupan
manusia. Sebuah pernikahan akan membuat individu memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis, psikologis maupun secara sosial untuk membentuk suatu keluarga yang
bahagia dan sejahtera. Namun membentuk sebuah rumah tangga
bukanlah hal yang mudah karena banyak terdapat konsekuensi yang harus dihadapi untuk membentuk satu tahap kehidupan yang baru, dimana satu individu dewasa dan pergantian status lajang akan menjadi seorang istri dan seorang suami yang menuntut adanya penyesuaian diri terus menerus sepanjang pernikahan (Hurlock, 1993). Individu yang belum memiliki kesiapan menuju kehidupan berumah tangga seharusnya tidak melakukan pernikahan, karena mereka lebih dianjurkan untuk melakukan penundaan atau pendewasaan usia terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan batas umur dalam melangsungkan sebuah pernikahan sangatlah penting agar pernikahan yang dilaksanakan dapat menciptakan keluarga yang sejahtera, bahagia dan kekal. Jika terlalu cepat menikah (pernikahan dini) akan menimbulkan berbagai masalah di belakang hari, bahkan tidak sedikit berantakan dipertengahan jalan termasuk perceraian dan juga berbagai permasalahan kesehatan yang ditimbulkan (Fauzia, 2007).
Pernikahan dini saat ini tampaknya merupakan “mode” yang berulang. Pada zaman dahulu, menikah muda dianggap suatu hal yang biasa saja akan tetapi dengan semakin berkembangnya ilmu dan pengetahuan maka semakin banyak yang menentang pernikahan dini. Kalau dulu orang tua ingin anaknya menikah muda dengan berbagi alasan, maka kini makin banyak remaja sendiri yang bercita-cita menikah muda. Mereka bukan saja remaja desa,melainkan juga remaja-remaja di kota besar. Pernikahan dini terjadi karena keinginan dari diri remaja itu sendiri. Hal ini menunjukkan adanya suatu kepercayaan, keinginan dan pandangan yang berbeda terhadap pernikahan dini di dalam diri remaja yang menimbulkan keinginan untuk melakukan pernikahan dini (Fadlyana, 2009). Pernikahan dini terjadi di berbagai Negara, diantaranya Negara Afrika SubSahara, menikah sebelum usia 18 tahun. Di kawasan Asia sebanyak 73%, perempuan di Bangladesh menikah sebelum usia 18 tahun, Filipina dan Sri Langka sebanyak 14%,dan di Cina sebanyak 5%. Hal ini tidak sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia di tahun 1954 yang secara eksplisit menentang perkawinan usia muda,namun ironisnya praktek pernikahan dini masih berlangsung di berbagai belahan dunia dan hal ini memperlihatkan masih terabaikannya perlindungan Hak Asasi kelompok usia muda termasuk juga di Indonesia (Rahmita, 2010). Penelitian Choe, Thapa, dan Achmad (Early Marriegge and Childbearing in Indonesia and Nepal, 2010) yang ditinjau dari segi demografis menunjukkan bahwa pernikahan sebelum usia 18 tahun pada umumnya terjadi pada wanita di Indonesia terutama di kawasan pedesaan. Hal ini di karenakan tingkat ekonomi serta pendidikan
yang rendah di daerah pedesaan di Indonesia serta faktor akses informasi yang tidak memadai. Perempuan muda yang melakukan pernikahan dini sering terpaksa berhenti dari sekolah tanpa pendidikan atau putus sekolah, status sosial yan lebih rendah di keluarga, suami kurang memiliki kontrol reproduksi sehingga kesehatan perempuan muda yang melakukan pernikahan dini terpengaruh karena tubuh terlalu muda hamil dan melahirkan, sehingga resiko kematian ibu masa hamil, melahirkan dan nifas. AKI semasa hamil, melahirkan dan masa nifas 220 per 100.000 kelahiran hidup serta kematian bayi sebesar 29 per 1.000 kelahiran hidup, terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga perceraian dari kalanngan keluarga muda tinggi. Keadaan ini terjadi di Kabupaten Mukomuko, usia kawin pertama sebesar 18,8 tahun dibandingkan dengan ikatan dalam perkawinan hanya 17,52 tahun, Kabupaten Bengkulu Utara usia kawin pertama rata-rata 19,59 tahun dan Ikatan Perkawinan Pertama 18,92 tahun (SDKI, 2007; SUSENAS, 2011). Pernikahan dini yang banyak terjadi di Indonesia sangat bertentangan dengan Undang-Undang No.1/1974 tentang perkawinan yang menyebutkan batas usia menikah bagi pria 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Menurut pertimbangan kesehatan reproduksi bagi perempuan, usia 16 tahun belum memenuhi syarat karena rentang usia sehat untuk reproduksi perempuan adalah pada rentang usia 20-30 tahun. Dengan adanya undang–undang tentang batasan usia perkawinan maka pernikahan dini dapat dilakukan bila usia individu tersebut sudah sesuai dengan undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia (Maroon, 2011).
Perkawinan usia muda yang sudah dilarang di dalam Undang-Undang No.1/1974 ternyata tidak mengurangi niat masyarakat Indonesia untuk melakukan pernikahan dini. Di beberapa daerah menunjukkan sepertiga dari jumlah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan usia di bawah 16 tahun. Jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan 19,1 tahun. Bahkan di sejumlah pedesaan, pernikahan sering kali terjadi segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama, sebanyak 4,8% perempuan di Indonesia menyatakan telah menikah pada usia 10-14 tahun, sedangkan untuk perempuan yang menikah pada usia 15-19 tahun sebanyak 41,9% (Wilopo, 2005). Penyebab dari pernikahan dini yang mendasar adalah karena pendidikan rendah yang menyebabkan anak perempuan menjadi putus sekolah dan terisolasi terhadap anak perempuan, hilangnya kesempatan meraih pendidikan formal menghambat perkembangan kualitas perempuan yang mendorong ketidaksetaraan dan terhambatnya proses pemberdayaan perempuan. Secara nasional pernikahan dari kelompok usia 10-14 tahun yang tidak sekolah 9,5% serta tidak tamat SD 9,1%. Faktor ekonomi juga banyak dijadikan alasan terjadinya pernikahan dini dari keluarga miskin dengan alasan dapat mengurangi beban tanggungan dari orangtua dan mensejahterakan remaja yang dinikahkan dan biasanya adanya keterpaksaan untuk melakukan pernikahan dini (Aditya dkk, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Rafidah dkk(2009) di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah menyebutkan bahwa sebenarnya para responden memahami pada usia berapa seharusnya menikah, yaitu di atas 21 tahun. Bahkan tokoh agama
menganjurkan menikah harus di atas 25 tahun. Namun setelah dilakukan kajian tersebut, ternyata tingkat pendidikan yang rendah, baik orang tua maupun anak, serta perekonomian yang lemah menjadi sebab banyaknya pernikahan dini. Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa beberapa faktor penyebab pernikahan dini adalah faktor ekonomi, yaitu supaya ekonomi keluarga terbantu setelah anak perempuannya diserahkan kepada suaminya, faktor orangtua karena takut adanya penilaian perawan tua terhadap anaknya (Aditya dkk, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Rafidah dkk (2009) pada suku Jawa di Purwokerto, menjelaskan bahwa pada masyarakat Jawa masih ada anggapan “perawan tua” bila anak sudah berumur 20 tahun namun belum menikah, serta ada kekhawatiran orang tua akan anaknya berbuat zina atau seks pranikah. Dijelaskan bahwa pada masyarakat Jawa menganggap pendidikan tidak penting, kurangnya pengawasan dari orangtua sehingga seringnya remaja menonton film/VCD porno, serta adanya kepercayaan orang tua bahwa dengan menikahkan anaknya maka dapat menjamin stabilitas ekonomi untuk anak perempuan dan keluarganya. Menurut penelitian (Khoirul,2008), terjadinya pernikahan dibawah umur selain
menimbulkan
berbagai
dampak
sebagaimana
tersebut
diatas,
juga
menimbulkan ketidakpatuham terhadap hukum Negara. Khoirul menyatakan bahwa pernikahan dibawah umur menjadi pemicu terjadinya pernikahan siri. Hal ini terjadi karena terdapat dualisme hukum di tengah masyarat, yaitu antar hukum Islam dengan hukum positif yang penuh pertimbangan prosedural dan administratif.
Pernikahan di bawah umur dengan pernikahan siri menurut Rahmita (2010) mempunyai keterkaitan yang cukup erat. Pasalnya, gagalnya upaya permohonan dispensasi nikah membuat warga memilih jalur agama (siri) demi mendapatkan keabsahan pernikahan. Mereka belum menyadari bahwa dispensasi nikah yang diberi hakim adalah untuk melindungi perempuan dan anak-anak, yaitu apabila suatu saat terjadi konflik dalam rumah tangga, keluarga tersebut mempunyai kekuatan hukum, sehingga hak-haknya tetap terpenuhi. Herawati
(2009)
menyatakan
bahwa
banyak
remaja
yang
kurang
mempertimbangkan aspek-aspek yang berpengaruh jika ia menikah muda, terutama pada remaja putri. Hal tersebut khususnya berkaitan dengan psikologis dan kesehatan remaja putri yang berhubungan denagn perubahan dirinya maupun dalam hubungan dengan lingkungan sekitarnya sesuai dengan
peran barunya dalam sebuah
pernikahan. Dari segi psikologis, remaja tidak bisa dikatakan sebagai manusia dewasa karena remaja masih memiliki sifat keremajaan seperti emosi yang tidak stabil, belum bisa
menyesuaikan
konflik-konflik
yang
dihadapi,serta
belum
sepenuhnya
memikirkan masa depan yang baik.Sehingga hal ini akan sangat berbahaya jika seorang remaja melakukan perkawinan usia muda. Dari segi kesehatan, khususnya permasahan kesehatan reproduksi akan meningkatkan frekuensi ooxsemia, partus lama dan partus buatan, anemia, keguguran dan frekuensi penyakit jantung. Kehamilan yang didapatkan dari pernikahan dini akan meningkatkan risiko komplikasi medis para ibu yang berhubungan dengan kesakitan dan kematian ibu, dimana anakperempuan berusia 10-14 tahun berisiko 5 kali lipat meninggal saathamil
maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara resiko ini meninggkat 2 kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Lanjutnya, dampak menikahkan anaknya yang belum cukup umur, dari segi kebutuhan ekonomi akan mengakibatkan stres, akibat belum siapnya secara ekonomi.Di satu sisi dorongan konsumsi dan kebutuhan baru akibat perubahan zaman yang cepat. Keluarga Baru dari kelompok umur 10-14 tahun yang sama tidak bekerja 4,8%, masih sekolah, 3,7% dan kalangan petani/nelayan/buruh 6,3%, ketiga dari perkawinan dini yaitu kultur/budaya/agama dimana perkawinan muda dari pedesaan lebih tinggi 6,2% dibanding perkotaan 3,4%, sex bebas pada remaja juga sebagai faktor pendorong terjadinya pernikahan dini. Pernikahan dini juga membawa dampak negatif kepada sang bayi yang dilahirkan oleh remaja yang menikah di usia muda. Permasalahan kesehatan bagi bayi yaitu akan meningkatkan frekuensi bayi lahir prematur, berat badan lahir rendah (BBLR), kelainan pada bayi dan penyakit infeksi pada bayi. Pernikahan dini juga berhubungan kejadian kematian balita. Oleh karena itu, pernikahan dini memang sangat membahayakan bagi kesehatan sang ibu dan sang bayi (Azwar, 1986). Noorkasiani dkk (2009) menyatakan pernikahan dini yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia akan memberikan dampak negatif pada pasangan suami istri, keluarga, dan masyarat yang berada di sekitarnya. Dampak negatif dari pernikahan dini ini dapat terjadi karena secara psikologis seorang remaja perempuan yang menjalani sebuah peran baru dalam rumah tangga yaitu menjadi seorang istri, kurang siapnya menjadi seorang istri yang masih memiliki usia muda dalam menjalin rumah
tangga ini akan mengakibatkan keharmonisan dalam rumah tangga terganggu di tambah lagi sang istri belum mampu mengurus suami, dirinya dan juga anaknya secara baik dan benar. Pernikahandini akan menyebabkan pasangan suami istri akan mengalami frustasi yang mengakibatkan timbulnya tekanan batin, stress dan depresi di dalam keluarga sehingga akan mengancam kebahagiaan,kesejahteraan dan kelangsungan hidup keluarganya yang akan memberikan dampak kepada kurang baiknya pola asuh dan perawatan anak yang selanjutnya berpengaruh pada pertumbuhan, perkembangan dan masa depan anaknya. Selain itu, pernikahan dini membawa pengaruh yang tidak baik bagi anak-anak mereka, biasanya anak dari pernikahan dini akan mendapatkan pola asuh yang kurang baik dari ibunya (Fauzia, 2007). Salah satu desa yang masih banyak terdapat pernikahan dini adalah Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kepala Desa Bangun Rejo ditemukan sebanyak 29 orang pasangan yang melakukan pernikahan dengan usia <16 tahun pada tahun 2010, dan sebanyak 18 orang pasangan yang melakukan perkawinan dengan usia <15 tahun pada tahun 2011. Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang pernikahan dini di Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang tahun 2014. Praktek pernikahan dini banyak dipengaruhi oleh budaya lokal terutama di pedesaan. Di pedesaan dan perkotaan banyak terdapat orang tua mempercepat pernikahan dengan beberapa alasan diantaranya anaknya yang hamil di luar nikah
(untuk menghilangkan rasa malu) atau yang menikahi anaknya adalah orang kaya. Tanpa mengenyampingkan perasaan dan kegalauan orangtua, hal ini sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan anak-anak tersebut dan kehidupan anak-anak akan dipenuhi konflik.
1.2
Permasalahan Dilihat dari data dan uraian diatas, ternyata pernikahan dini banyak terjadi
dimana-mana. Selain beberapa daerah tersebut diatas, pernikahan dini juga banyak terjadi di Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa maka permasalahan penelitian ini adalah bahwa di Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa masih banyak terjadi pernikahan dini.
1.3
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bagaimana sosial budaya dalam melakukan pernikahan
dini di Desa Bangun Rejo Kecamatan Tanjung Morawa Tahun 2014.
1.4
Manfaat Penelitian 1. Berguna untuk menyusun strategi/program untuk mencegah terjadinya pernikahan dini di desa-desa pinggiran kota (sub-urban) 2. Memberikan konstribusi teoritik mengenai pernikahan muda baik dari segi kesehatan, sosio, psikologis atas kawin muda. 3. Memberikan masukan bagi stakeholders kesehatan di Desa Bangun Rejo Kecamatan
Tanjung
Morawa
dalam
memberikan
konseling
kepada
masyarakat berkaitan dengan kesehatan reproduksi, khusus pernikahan dini yang menyebabkan komplikasi kehamilan. 4. Bagian kalangan akademik diharapkan mampu memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi pada pernikahan dini yang dapat mempengaruhi terhadap terjadinya resiko kematian terkait kehamilan dan proses persalinan yang tidak aman.