1
BAB 1 PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan setiap individu. Hal tersebut menjadi suatu kabar sukacita bagi keluarga, sanak saudara, ataupun relasi jika ada seseorang yang ingin melangsungkan pernikahan. Segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut pernikahan tersebut dipersiapkan sebaik mungkin sehingga dapat menciptakan suatu kenangan yang tidak terlupakan bagi pasangan dan bagi orang lain. Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial dalam mensahkan hubungan seksual dan pengasuhan anak, serta adanya pembagian hubungan kerja antara suami dan isteri (Duvall & Miller, 1977). Terjadinya pernikahan juga mempunyai fungsi yang menyangkut tentang hak dan kewajiban suami-isteri untuk dapat saling memenuhi kebutuhan, saling mengembangkan diri, dan yang paling penting adalah dapat memahami arti pernikahan itu sendiri (Olson & DeFrain, 2006). Mendukung pernyataan di atas Garrison (2010) mengemukakan bahwa setiap pasangan dalam pernikahan harus mampu memahami bahwa masing-masing pasangan telah menandatangani ikatan komitmen terhadap pasangannya yang mengandung harapan, kesetiaan, kebersamaan, dan saling berbagi dengan pasangan.
2
Pada hakekatnya, setiap pasangan dalam pernikahan senantiasa ingin agar pernikahannya dapat berjalan dengan baik, bahagia dan kekal. Namun, untuk menciptakan pernikahan yang bahagia tidaklah mudah, ada saatnya muncul berbagai permasalahan, perselisihan dan konflik yang
dapat
membahayakan
keberlangsungan
pernikahan
seperti
terjadinya perceraian antara suami dan isteri. Akan hal tersebut, Rosmadi (2012) menyebutkan ada beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian di antara suami dan isteri seperti tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga, terus menerus berselisih di antara suami dan isteri, terjadinya poligami, terjadinya krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, masalah ekonomi, tidak adanya tanggung jawab, kawin dibawah umur, menyakiti jasmani dan rohani, dihukum, cacat biologis, politis, gangguan pihak ketiga, dan lain-lain. Kendati demikian, terjadinya berbagai permasalahan dalam pernikahan tersebut diharapkan dapat memperkuat ikatan antara suami dan isteri dalam mewujudkan visi dan misi pernikahan mereka. Namun pada kenyataannya, harapan tersebut seakan-akan hanya menjadi sebuah fiksi, karena berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung sepanjang tahun 2011 ada sebanyak 276.690 putusan perkara perceraian yang terjadi di Indonesia, dan pada tahun 2010 ada sebanyak 285.184 putusan perkara perceraian yang menduduki jumlah tertinggi sejak 5 tahun terakhir dalam perkara perceraian di Indonesia. Atas berbagai dasar tersebut, tidak sedikit pasangan suami
dan isteri
dalam
pernikahan
cenderung
untuk
memutuskan ikatan pernikahan mereka dengan mengambil keputusan dengan bercerai (Rosmadi, 2012).
3
Keputusan untuk bercerai bukan merupakan suatu keputusan yang mudah untuk dilakukan. Lazimnya, tidak satu pun pasangan berharap bahwa pernikahan mereka akan berakhir dengan perceraian. Akan tetapi, tidak sedikit pasangan beranganggapan bahwa perceraian dapat
dijadikan
permasalahan,
sebagai
solusi
ketidakcocokan
terbaik
dan
guna
konflik
mengatasi
yang
terjadi
segala dengan
pasangan. Seperti pada pasangan Y-D dan T-M yang mengaku bahwa terjadinya perceraian dalam pernikahan mereka disebabkan karena tidak adanya kecocokan dan terus menerus berselisih, sehingga memutuskan untuk mengakhiri pernikahan (Wardhani, 2012). Menanggapi hal tersebut, E.Jones & Gallois (dalam Rice & Dolgin, 2008) menyatakan bahwa terjadinya permasalahan dan konflik dalam rumah tangga dapat menghancurkan cinta dan pernikahan yang dinyatakan baik di antara kedua individu dalam pernikahan. Berpatokan juga pada pandangan E.Jones & Gallois (dalam Rice & Dolgin, 2008) bahwa perceraian dapat dipandang sebagai solusi positif untuk menghindari konflik yang destruktif seperti permasalahan, perselisihan, dan pertikaian yang terjadi di antara suami dan isteri dalam pernikahan. Menyikapi pernyataan E.Jones & Gallois di atas, Gottman & Notarius
(dalam
Eldar,
2012)
mengemukakan
bahwa
terjadinya
peningkatan pada perceraian menyebabkan meningkat pula jumlah anakanak yang orangtuanya bercerai. Terjadinya hal tersebut mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas sehingga menciptakan pergeseran dalam persepsi dan penerimaan sosial perceraian. Berkaitan dengan pernyataan tersebut Coontz (dalam Eldar, 2012) mengemukakan bahwa terjadinya
perceraian
mengakibatkan
peran
pernikahan
dalam
4
mengkoordinasikan kehidupan sosial semakin terkikis dan banyak anak dibesarkan dalam pengaturan alternatif. Berkaitan dengan pernyataan di atas, Garrison (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terjadinya perceraian dalam pernikahan menimbulkan dampak terhadap suami, isteri dan anak. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Turner & Helms (1995) yang menyatakan bahwa apabila suatu pernikahan berakhir dengan perceraian, maka dampak yang ditimbulkan tidak hanya kepada suami dan isteri saja, melainkan juga kepada anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut. Mendukung pernyataan tersebut, Shienvold (2011) dalam penelitiannya berpendapat bahwa remaja dengan orangtua yang bercerai mengalami masalah pada perilaku internal dan eksternal, mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan
dengan
teman
sebaya,
mengalami
kesulitan
dalam
beradaptasi dengan situasi baru, dan mempunyai masalah sebagai orang dewasa dengan keintiman, mengalami kesulitan dalam membangun dan mempertahankan hubungan menuju pernikahan. Dalam hubungannya dengan pernikahan, terjadinya perceraian orangtua menimbulkan dampak terhadap sikap dan pandangan setiap individu akan pernikahan dan kehidupan berkeluarga (Amato, 2012). Dalam penelitiannya, Amato (2012) mengemukakan bahwa individu yang mengalami perceraian orangtua cenderung memiliki pandangan yang kompleks terhadap pernikahan. Individu menghargai pernikahan namun menyadari akan adanya keterbatasan dan bersikap lebih toleran terhadap alternatif-alternatif pernikahan. Selain itu, Wallerstein & Kelly (dalam Amato, 2012) juga menyatakan bahwa remaja yang mengalami perceraian
orangtua
cenderung
menunjukkan
sikap
dengan
5
memperlihatkan kecemasan akan pernikahannya kelak, seperti individu memutuskan untuk tidak menikah atau menjadi lebih selektif dan bijaksana dalam menentukan pasangan hidup. Amato (2012) juga menambahkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang bercerai akan menjadi lebih pesimis terhadap kelanggengan pernikahannya kelak. Selanjutnya, Amato (2012) juga menyatakan bahwa perceraian orangtua cenderung meningkatkan resiko perceraian pada keturunannya. Melalui proses
sosialisasi,
perceraian
orangtua
cenderung
meningkatkan
kemungkinan keturunannya membentuk suatu persepsi atau pandangan yang diwujudkan melalui sikap dan orientasi antar individu yang dapat mengganggu hubungan intim di masa dewasa. Berbagai dampak terjadinya perceraian orangtua menimbulkan sejumlah reaksi terhadap pikiran dan perilaku remaja (Amato, 2012). Untuk
mendukung
pernyataan
tersebut Turner & Helms (1995)
mengemukakan bahwa dalam proses berpikir, remaja cenderung menekankan pada unsur seperti mengamati, berpikir, dan memahami terhadap suatu objek atau peristiwa yang dialami individu tersebut untuk kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan sikap individu terhadap peristiwa atau objek tersebut. Proses berpikir tersebut yang membentuk suatu persepsi individu akan suatu hal yang diamatinya Dengan demikian,
remaja
yang mengalami
perceraian
orangtua,
mampu
mengamati, berpikir, dan memahami akan terjadinya peristiwa perceraian orangtuanya tersebut yang kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan sikap remaja terhadap makna dari suatu pernikahan yang mencerminkan persepsi atau pandangan remaja yang orangtuanya bercerai terhadap pernikahan.
6
Berkaitan dengan pernyataan di atas, Cunningham & Thornton (2012) dalam penelitiannya, menyelidiki hubungan pernikahan orangtua dan sikap individu yang orangtuanya bercerai pada saat remaja terhadap perilaku seks pranikah, kumpul kebo, hidup sendiri atau tanpa mempunyai pasangan seumur hidup dan perceraian. Cunningham & Thornton (2012) mempunyai hipotesis bahwa kualitas pernikahan orangtua yang negatif mempunyai hubungan terhadap anak-anak dalam perilaku di masa dewasanya, bahwa anak yang orangtuanya bercerai cenderung
membawa
sikap
bawaan
dari
orangtuanya
terhadap
pernikahan. Dalam penelitiannya Cunningham & Thornton (2012) menemukan bukti bahwa kualitas pernikahan orangtua mempengaruhi sikap anak yang cenderung kuat terhadap perceraian, seks pranikah, anak menjadi selektif dalam menentukan pasangan hidup atau memilih untuk tidak menikah. Selain itu, Amato (dalam Rice & Dolgin, 2008) juga menyatakan bahwa terjadinya perceraian orangtua menimbulkan reaksi terhadap perilaku remaja seperti reaksi emosional pada remaja yang memandang perceraian orangtua sebagai kejadian traumatis yang bersifat tiba-tiba dan berada di luar kontrol, sehingga muncul sejumlah reaksi negatif seperti perasaan depresi, dan tertekan, marah, trauma, sulit untuk memaafkan, dan menimbulkan pandangan yang negatif terhadap pernikahan yang ditunjukkan remaja ketika menjalin hubungan dengan lawan jenis. Dengan demikian, Johnston & Thomas (dalam Martin, 2011) menyatakan bahwa perceraian orantua telah menjadi suatu peristiwa penting dalam kehidupan setiap individu yang orangtuanya mengalami
7
perceraian, dengan mengingat bahwa angka perceraian yang cenderung tinggi. Akan adanya kecenderungan yang lebih tinggi terhadap perceraian sehingga menyebabkan peran pernikahan menjadi semakin terkikis, ditunjukkan melalui sikap dan perilaku individu yang orangtuanya bercerai terhadap pernikahan, seperti dengan menunjukkan rasa kurang percaya terhadap lembaga pernikahan, seperti menunjukkan perasaan takut dalam mengambil keputusan untuk menikah dan untuk membangun sebuah keluarga. Rogers & Amato (1997) dan Umberson et.al. (2005) (dalam Cunningham
2012)
menyimpulkan
bahwa
terjadinya
perceraian
menyebabkan penurunan akan makna pernikahan yang mempunyai implikasi bagi pandangan dan sikap individu terhadap pernikahan yang akan
dikaitkan
dengan
sikap
dan
perilaku
individu
terhadap
pernikahannya kelak. Hal tersebut disebabkan karena individu mengamati pernikahan
orangtua
mereka,
dan
karena
pernikahan
orangtua
merupakan indikator anak untuk meniru orangtua mereka yang akan dikaitkan dengan pernikahannya kelak. Mendukung pernyataan di atas, Amato dan DeBoer (dalam Rice & Dolgin, 2008) menyatakan bahwa remaja yang mengalami perceraian orangtua cenderung menunjukkan pandangan terhadap pernikahannya kelak. Pandangan tersebut dapat terwujud dari timbulnya rasa cemas yaitu remaja memilih untuk tidak menikah atau menjadi lebih selektif dan bijaksana dalam memilih pasangan hidupnya. Selain itu, Amato dan Deboer (dalam Rice & Dolgin, 2008) juga menambahkan bahwa individu yang berasal dari keluarga bercerai menjadi lebih pesimis terhadap kelanggengan pernikahannya.
8
Perceraian orangtua cenderung meningkatkan keturunannya membentuk sifat dan orientasi antar individu yang dapat mengganggu hubungan intim di masa dewasa. Individu cenderung memiliki sikap yang lebih positif terhadap perceraian, yang mencerminkan persepsi atau pandangan individu tersebut akan sebuah pernikahan. Atas dasar itu, melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana ‘gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai’.
1.2
Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui bagaimana ‘gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai”?
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
‘gambaran
persepsi
pernikahan
pada
remaja
yang
orangtuanya bercerai’.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam bidang psikologi, terutama dalam psikologi perkembangan yang berkaitan
gambaran
persepsi
pernikahan
pada
remaja
yang
orangtuanya bercerai, serta dapat menjadi gerbang pembuka bagi
9
siapa saja untuk dapat lebih dikembangkan dalam penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pembaca, khususnya: •
Bagi Pasangan Suami dan Isteri Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan informasi bagi pasangan suami-isteri untuk dapat dijadikan sebagai
bahan
pertimbangan
dalam
membangun
dan
mempertahankan pernikahan. Meskipun akan terjadi berbagai permasalahan diharapkan
dan
konflik
pasangan
memutuskan
segala
dapat sesuatu
dalam
pernikahan,
dengan yang
namun
bijaksana
berkaitan
untuk
terhadap
keberlangsungan pernikahan, terutama dengan kaitannya terhadap anak dalam tahap perkembangannya.
•
Bagi Remaja Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan informasi
bagi
remaja
khususnya
bagi
remaja
yang
orangtuanya bercerai. Setidaknya, melalui informasi yang ada dalam
penelitian
ini
dapat
membantu
menumbuhkan
pandangan atau persepsi yang lebih baik terhadap pernikahan pada remaja yang mengalami perceraian orangtua.