BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sepanjang sejarah umat manusia, orang terpelajar dari setiap masa dan wilayah mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan abadi manusia: Siapakah aku? Apa sebenarnya tujuan hidup itu? Bagaimana saya dapat menemukan kedamaian? Adakah kehidupan setelah kematian? Siapa dan bagaimana Tuhan itu? dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang seringkali terlontar. Oleh karena pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah fakultas psikologi Barat1, maka jawabannya pun sama sekali tidak dibahas. Psikologi Barat memusatkan perhatian pada penggambaran perilaku, tanpa melihat perlunya menyelidiki asas-asas pokok yang melandasi dan menentukan perilaku manusia. Para psikolog selama ini memang telah memberikan informasi dan deskripsi yang berguna mengenai perilaku manusia. Namun sejauh ini mereka tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang “hati” manusia.2 Secara historis, terdapat satu sumber pandangan tentang manusia dan psikologisnya di mana sumber ini jauh lebih luas dan lebih cemerlang dibandingkan pandangan psikologi Barat pada umumnya. Sumber ini bukan sekadar gagasan. Ia
1
Disebut psikologi barat karena psikologi ini berkembang di negara-negara Barat, seperti di Jerman, Wina, Perancis, dan Amerika Serikat. 2 Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa berjumpa Tasawuf, terj.IG.Harimurti Bagoesoka, PT.Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003, hlm.7
1
telah mampu secara sistematis memberikan hasil-hasil yang diinginkan; hasil dari orang-orang yang termotivasi, kompeten, rida, kreatif, produktif, yang berperan sepenuhnya – yang berdamai dengan eksistensi manusia itu sendiri. Hasil ini berada di luar kemampuan psikologi Barat masa kini. Sumber ini dikenal dengan nama tasawuf. Berdasarkan hal tersebut, agaknya psikologi memang seperti menyimpan kontradiksi; atau lebih tepatnya lagi seperti bersikap ambigu. Di satu sisi, sebagai ilmu empiris yang bersifat sekular-positifistik --menolak segala macam meta-fisika atau kehidupan ruhani yang berada di balik kehidupan inderawi--, ia tentu enggan mengakui segala hal yang berbau spiritual – atau kalaupun tidak enggan, minimal tidak ingin berurusan dengannya. Tapi di sisi lain, kenyataannya begitu banyak psikolog yang buah pikirannya berbau spiritual atau bahkan kental rasa mistikalnya. Salah satu di antaranya adalah teori peak experience dari Abraham Maslow (19081970) yang mengungkapkan “pengalaman puncak” spiritual para nabi, sufi, yogi, rahib, dan sebagainya. Atau logoterapi-nya Viktor Frankl (1905-1997) yang mengakui sisi-sisi spiritualitas manusia – sekalipun spirituality di sini bukan berarti religius. Di sini, orang bisa saja menolak adanya kecenderungan kontradiksi itu. Misalnya dengan mengatakan bahwa apa yang dimaksud spiritualitas dalam psikologi tidaklah sama dengan arti spiritual dalam agama. Sementara spiritualitas agama berasal dari Tuhan (teosentris), spiritualitas para psikolog berasal dari manusia itu sendiri (antroposentris). Akan tetapi, ada satu hal yang terlupakan oleh pandangan
2
seperti ini, sebagian psikolog barat bukan hanya membicarakan hal-hal spiritual dalam arti psikologi semata, melainkan juga – untuk memperkaya perspektif – mereka pun tak urung menimba berbagai khasanah spiritual timur yang jelas-jelas bersifat religius. Sejak awal abad XX, psikologi telah mengalami perkembangan baru dengan lahirnya “mazhab ketiga”3 di mana mazhab ini menempatkan agama (spiritualitas) sebagai salah satu wilayah kajiannya. Bidang ini telah dianggap sebagai pendekatan yang paling representatif dalam mengkaji gejala-gejala keagamaan atau problemproblem spiritual. Pendek kata, di abad ini mazhab ketiga telah berhasil menawarkan khasanah baru dalam kajian ilmiah terhadap agama. 3
Disebut “mazhab ketiga”, yaitu humanistik, untuk membedakannya dengan aliran psikologi yang telah ada sebelumnya, yaitu psikoanalisis (mazhab pertama) dan behavioristik (mazhab kedua). Psikoanalisis – yang dipelopori oleh Sigmund Freud – lebih melihat kepada citra manusia dari sisi buruknya. Behavioristik – terutama dikembangkan oleh B.F.Skinner – lebih melihat citra manusia dari sisi netral dan tidak memiliki kecenderungan baik-buruk dari potensi bawaannya. Humanistik – terutama dikembangkan oleh Abraham Maslow – telah melihat citra baik dari sisi potensi manusia. Aliran ini memiliki suatu pandangan yang optimistik dan konstan terhadap masa depan manusia, berdasarkan nilai-nilai manusiawi yang intrinsik.(Abdul Mujib & Jusuf Muzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT.Raja Grafindo-Rajawali Press, Jakarta, 2001, hlm.VI-VII) Psikologi Humanistik memusatkan perhatian untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang terpateri pada eksistensi manusia, seperti kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan pribadi, humor, sikap etis dan rasa estetika. Psikologi Humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri. (Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm.52) Sebenarnya masih ada satu lagi aliran baru yang cukup potensial untuk menjadi aliran yang mapan, yaitu Psikologi Transpersonal. Menurut Maslow, pengalaman keagamaan adalah peak experience. Oleh karena itu, psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Maslow menulis, “I should say also that I consider Humanistic, Third Force Psychology, to be transitional, a preparation for a still „higher‟ Fourth Psychology, a transpersonal, transhuman, centered in the cosmos rather than in human needs and interest, going beyond humanness, identity, self-actualization, and the like” (Abraham Maslow, Toward a Psychology of Being, Van Nostrand Reinhold, New York, 1968, hlm.iii-iv). Atas segala kritiknya terhadap angkatan-angkatan sebelumnya, psikologi transpersonal hanyalah kelanjutan dari psikologi humanistik, yang pada gilirannya melanjutkan pemikiran Jung dan Frankl.
3
Antara psikologi humanistik4 dengan tasawuf sebenarnya memiliki kedekatan secara substansial dan dapat mengkaji kepribadian manusia secara lebih komprehensif, karena tasawuf memberikan tempat yang sangat strategis terhadap potensi kepribadian manusia dalam menentukan arah perjalanan kehidupannya. Tasawuf merupakan dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses dan perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk), proses penyucian jiwa (tazkiyah alnafs), cara-cara menjaga kesehatan mental, dan sebagainya. Aspek ini adalah sains modern dan masuk ke dalam wilayah psikologi. Psikologi merupakan kajian ilmiah teoritis dengan kekuatan logika untuk menjelaskan fenomena psyche atau kejiwaan, sedangkan tasawuf masuk ke dalam wilayah hati dan pengalaman batin yang tidak mungkin disadari sepenuhnya bisa diungkapkan dengan logika bahasa deskriptif. Dengan ungkapan lain, kebenaran ilmiah didasarkan pada penalaran kritis logis, sedangkan kebenaran tasawuf didasarkan pada pengalaman berupa penyingkapan mata hati untuk mengenal realitas metafisik, yaitu realitas yang berada di balik fenomena fisik. Dalam pandangan tasawuf, jika manusia ingin meraih derajat kesempurnaan (insan kamil) atau dalam ungkapan lain disebut ma‟rifat (pengetahuan ketuhanan) di
4
Psikologi Humanistik merupakan istilah yang diperuntukkan bagi munculnya kecenderungan baru dalam psikologi yang dikemukakan para professional yang tertarik kepada potensi pengalaman puncak (peak experience) manusia. Psikologi Humanistik berupaya memahami perkembangan kejiwaan manusia, hal-hal yang ada di balik kebutuhan (metaneed), nilai-nilai tertinggi (ultimate values), kesatuan kesadaran (unitive consciousness), aktualisasi diri (self-actualization), pengalaman puncak (peak experience), pengalaman mistik (mystical experience), dan sebagainya. (Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm.21).
4
mana dimensi ketuhanan (uluhiyyah) teraktualisasikan secara penuh, manusia harus melalui
proses
latihan
spiritual
yang
disebut
takhali/zero
mind
process
(mengosongkan diri dari segala keburukan atau kejahatan), tahalli/character building (menghiasi diri dengan perilaku yang baik), dan tajalli/God spot (kondisi di mana kualitas ilahiyyah teraktualisasikan atau termanifestasikan). Konsep ini sejalan dengan firman Allah yang menyatakan: “Maka Aku ilhamkan (dalam diri manusia) potensi kejahatannya dan kebaikannya. Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikannya dan sungguh celaka orang yang mengotorinya” (Q.S. al-Syams: 810). Dengan kata lain, jika manusia menginginkan aktualisasi diri, maka ia harus senantiasa memilih potensi kebaikan yang ada di dalam dirinya dan menghindarkan diri sejauh mungkin dari potensi kejahatan. Jika pilihan-pilihan baik ini dapat secara konsisten dilakukan, ia akan semakin mendekati derajat kesempurnaan. Begitu pula sebaliknya, jika ia selalu memilih kejahatan, ia akan semakin jauh dari kesempurnaan.5 Abu Hamid al-Ghazali (450 - 505 H), seorang pemikir legendaris dunia pada abad ke-5 H, yang dikenal sebagai hujjat al-Islam, mengungkapkan bahwa seluruh pencapaian pengalaman keagamaan terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu: pengetahuan (ma‟rifat), keadaan (ahwal) dan tindakan (a‟mal). Ilmu pengetahuan merupakan basis
5
Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT.Raja Grafindo PersadaRajawali Press, Jakarta, 2001, hlm.viii-ix.
5
dari keadaan, dimana keadaan tersebut dapat mengantarkan seseorang untuk berbuat dalam tindakan.6 Peristiwa dalam bingkai (frame) tasawuf di atas, sesungguhnya tidak jauh dari pandangan psikologi. Kecenderungan untuk meraih kesempurnaan atau aktualisasi diri disebut oleh Maslow – salah seorang tokoh psikologi humanistik – sebagai motivasi pertumbuhan (growth motivation), dimana manusia secara konsisten menentukan pilihan baik (progression choise). Sementara kecenderungan untuk menentukan pilihan buruk disebut motivasi kemunduran (deficiency motivation), dimana seseorang senantiasa menentukan pilihan mundur (regression choise) yang berarti semakin menjauhkannya dari aktualisasi diri (self actualization).7 Para psikolog humanistik pada umumnya sepakat, bahwa manusia dalam meraih keluhuran pribadinya sangat dipengaruhi oleh motivasi8 dan faktor-faktor eksternal yang melingkupinya, termasuk agama. Sebagai makhluk yang memiliki potensi kebaikan, manusia harus mampu mengalahkan kekuatan-kekuatan itu dan menolak segala tekanan budaya yang mempengaruhinya. Ia harus mampu menyadap sumber kekuatan pribadi, dan berusaha mengaturnya sesuai dengan prinsip kebaikan yang dipilihnya.9
6
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm.8. 7 Ibid., hlm.ix. 8 Motivasi berasal dari kata Latin yang berarti “bergerak”. Jadi, motivasi adalah sesuatu yang “menggerakkan” kita. Definisi menurut beberapa psikolog yang paling sederhana menyatakan, bahwa motivasi mencakup apa saja yang bisa melahirkan, memelihara, dan mengarahkan perilaku. (Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf, terj.IG Harimurti Bagoesoka, PT.Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003, hlm.116). 9 Ibid., hlm.x
6
Fenomena di atas memiliki daya tarik tersendiri, sehingga perlu dilakukan pengkajian lebih dalam secara seksama dan akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “KONSEP PENGALAMAN PUNCAK DALAM PSIKOLOGI DAN TASAWUF (Studi Komparasi Pemikiran Abraham Maslow dan Abu Hamid alGhazali)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang dijadikan fokus penelitian atas rumusan masalah adalah mengenai pengalaman puncak menurut Abraham Maslow dan Abu Hamid al-Ghazali. Rumusan masalah tersebut secara operasional diwujudkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut: a. Bagaimana konsep pengalaman puncak menurut Abraham Maslow dan Abu Hamid al-Ghazali? b. Adakah persamaan dan perbedaan antara konsep pengalaman puncak menurut Abraham Maslow dan Abu Hamid al-Ghazali?
C. Tujuan Penelitian a. Mengetahui konsep pengalaman puncak menurut Abraham Maslow dan Abu Hamid al-Ghazali.
7
b. Mengetahui ada atau tidaknya persamaan dan perbedaan antara konsep pengalaman puncak menurut Abraham Maslow dan Abu Hamid alGhazali.
D. Kerangka Berpikir Allah SWT dalam firmannya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya, kemudian kami kembalikan mereka pada tempat yag serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. (QS.al-Tin:4-6) Ayat diatas menunjukkan bahwa manusia terlahir dalam keadaan baik (fitrah), namun meskipun demikian, manusia juga memiliki potensi untuk salah. Oleh karenanya, untuk dapat mengaktualisasikan fitrah-nya, manusia perlu memahami dan menguasai potensi salah atau kekurangan yang ada pada dirinya. Potensi keunggulan yang dimiliki manusia memberikannya kemampuan pada dirinya untuk dapat membedakan antara kebaikan dan kesalahan atau kekurangan. Menurut Abraham Maslow, manusia adalah spesies yang memiliki kemampuan atau potensi dasar yang sangat besar. Namun, pada umumnya manusia hanya menggunakan sebagian kecil kemampuannya. Kebanyakan manusia justru lebih didominasi oleh rangsangan yang datang dari luar dirinya, yang dapat mengarahkannya pada pilihan mundur, atau kejahatan. Dan menurutnya pula, hampir semua orang memiliki kebutuhan dan kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri.
8
Meski demikian, kebanyakan orang tidak mengetahui potensi yang dimilikinya. Mereka tidak menyadari seberapa besar prestasi yang dapat diraih dan seberapa banyak ganjaran bagi mereka yang dapat mengaktualisasikan dirinya.10 Untuk mencapai suatu pengalaman puncak tentunya terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui sebelumnya, dimana tahapan-tahapan tersebut akan dimulai dari tahapan terendah dalam suatu tingkatan. Konsep Maslow untuk mencapai suatu tingkatan peak experience tersebut diungkap melalui hierarki kebutuhan, yaitu kebutuhan-kebutuhan dasar yang menjadi basic dari peak experience. Selanjutnya dijelaskan, lima hierarki kebutuhan dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: pertama, kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan kedua, meta-kebutuhan-meta-kebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dsb. 11 Konsep utama yang sering kali disandarkan pada Abraham Maslow adalah tentang aktualisasi diri (self actualization) dan pengalaman puncak (peak experience). Orang yang telah tumbuh dewasa dan masak secara penuh adalah orang yang telah mencapai aktualisasi diri, yaitu yang mengalami secara penuh gairah tanpa pamrih dengan konsentrasi penuh dan mencapai apa yang disebut sebagai manusia yang sempurna (insan kamil). Abraham Maslow berdasarkan teorinya tentang aktualisasi
10 11
Hasyim Muhammad, op.cit, hlm.116. Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, op.cit, hlm.245
9
diri (self actualization) pada sebuah asumsi dasar, bahwa manusia pada hakikatnya memiliki nilai intrinsik berupa kebaikan. Dari sinilah manusia memiliki peluang untuk dapat mengembangkan dirinya. Perkembangan yang baik sangat ditentukan oleh kemampuan manusia untuk mencapai tingkat aktualisasi diri. Menurut Maslow, ketika kebutuhan-kebutuhan dasar seorang individu telah terpenuhi, akan muncul kebutuhan yang lebih tinggi yakni kebutuhan akan aktualisasi diri. Aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia paling tinggi dalam teori Maslow.12 Dimana Maslow memandang tingkat aktualisasi diri sebagai “metakebutuhan”.13 Pendekatan Humanistik juga mengakui eksistensi agama. Maslow dalam teorinya mengemukakan konsep metamotivation yang di luar kelima hierarki kebutuhan14 yang pernah ia kemukakan. Mystical atau peak experience adalah bagian dari metamotivation yang menggambarkan pengalaman keagamaan. Pada kondisi ini manusia merasakan adanya pengalaman keagamaan yang sangat dalam. Pribadi (self) lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan transendental (self is lost and transcended). Di mata Maslow level ini adalah bagian dari kesempurnaan manusia.15 Menurut Maslow, pengalaman keagamaan adalah peak experience dan farthest reaches of human nature. Maslow menulis, “I should say also that I consider
12
Hasyim Muhammad, op.cit., hlm.168. Lynn Wilcox, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf, terj.IG Harimurti Bagoesoka, PT.Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003, hlm.119. 14 Hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow, antara lain : kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa cinta dan saling memiliki, kebutuhan akan rasa harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. (E.Koswara, Teori-teori Kepribadian, P.T.Eresco, Bandung, 1991, hlm.118). 15 Djamaludin Ancok & Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm.75 13
10
Humanistic, Third Force Psychology to be transitional, a preparation for a still „higher‟ Fourth Psychology, transpersonal, transhuman, centered in the cosmos rather than in human needs and interest, going beyond humanness, identity, selfactualization, and the like.”16 Orang-orang besar dalam sejarah Islam pernah mengalami dan mencapai suatu pengalaman puncak. Pengalaman itu ada pada saat “ekstase” di mana orang itu merasa bersama atau bersatu dengan Tuhan. Pengalaman seperti ini didapat dari pengalaman inti agama, dengan cara perluasan diri (extension of the self). Artinya, hidup tidak hanya terikat secara sempit pada sekumpulan aktivitas-aktivitas yang erat hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan kewajiban-kewajiban pokok, melainkan diperluas dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah. Sosok yang telah menggapai pengalaman puncak spiritual yang paling agung adalah Nabi Muhammad saw. Beliau merupakan maha guru dalam dunia spiritual. Sunnah qauliyah Nabi saw tidak banyak membicarakan masalah-masalah pengalaman puncak, tetapi sunnah fi‟liyahnya banyak ditemukan. Ketika berkhalwat (menyendiri dan meditasi), beliau mendapatkan wahyu (divine revelation) di Gua Hira, yang mana dalam hal ini wahyu merupakan pengetahuan tertinggi dari pada jenis pengetahuan yang lain, bahkan menjadi mukjizat Nabi yang paling besar. Ketika berisra dan mi‟raj, beliau telah mencapai puncak spiritual, karena telah ber-
16
Abraham Maslow, Toward a Psychology of Being, Van Nostrand Reinhold, New York, 1968, hlm. iii-iv.
11
muwajahah dengan Allah swt, bahkan beliau mampu mengetahui kejadian-kejadian yang akan datang, dan menembus hal ikhwal dunia lain, seperti di surga dan neraka.17 Dalam pandangan tasawuf, sebagaimana dalam pandangan Islam secara umum, manusia merupakan makhluk yang suci yang memiliki potensi dasar berupa kecenderungan untuk taat kepada Allah. Karena dalam pandangan tasawuf Allah adalah sumber dari kebaikan dan kebenaran yang bersifat mutlak, maka kecenderungan ketaatan kepada Allah ini dapat dipahami sebagai kecenderungan kepada kebaikan dan kebenaran.18 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir dalam buku mereka yang berjudul “Nuansa-nuansa Psikologi Islam” mengungkapkan, bahwa al-Ghazali merupakan psikolog sufistik yang memiliki pengalaman puncak spiritual dengan motivasi alma‟rifah.19 Seperti halnya Abraham Maslow, al-Ghazali dalam pencapaian ma‟rifatnya, terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelumnya. Diantaranya, adalah memutuskan segala keterkaitan secara duniawi, mengasingkan diri (beruzlah),
17
Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT.Raja Grafindo PersadaRajawali Press, Jakarta, 2001, hlm.256-257. 18 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm.134. 19 Dari segi bahasa, ma‟rifah berasal dari kata arafa, ya‟rifu, irfan, ma‟rifah, yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Ma‟rifah dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma‟rifah merupakan pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zhairi, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan memahami rahasianya. Pemahaman ini berwujud penghayatan atau pengalaman kejiwaan. (M.Solihin, Penyucian Jiwa Dalam Perspektif Tasawuf Al-Ghazali, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm.98).
12
latihan-latihan jiwa (riyadhah), lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).20 Baik konsep Abu Hamid al-Ghazali maupun Abraham Maslow memandang bahwa meskipun manusia memiliki potensi dasar berupa kecenderungan pada kebenaran dan kebaikan, namun ia dapat dipengaruhi oleh rangsangan yang datang dari dalam luar dirinya, yang dapat mengarahkannya pada kejahatan, atau kemunduran. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan maju (progression choise), dengan mempertahankan potensi dasarnya, atau mundur (regression choise), yakni dengan memilih rangsangan-rangsangan yang datang dari luar. Jika seseorang didominasi oleh rangsangan-rangsangan yang datang dari luar maka akan menjauhkannya dari potensi kebaikan yang dimilikinya. Namun jika ia memilih bertahan pada kecenderungan baiknya maka akan mengarahkannya pada aktualisasi diri sehingga akan lebih mudah untuk mencapai pada tingkatan peak experience.
E. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN a. Metode Penelitian Untuk mengungkap permasalahan dan tujuan penelitian, metode yang dipakai adalah metode komparatif dengan pendekatan historis analisis. Metode komparatif dipakai untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan dan persamaan pemikiran kedua tokoh yaitu Abraham Maslow dan Abu Hamid al-Ghazali mengenai 20
Rosihon Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm.115.
13
pengalaman puncak. Jika ada, sejauh mana pemikiran kedua tokoh tersebut dapat dikomparasikan. Pendekatan historis analisis dipakai untuk menelusuri asal muasal munculnya konsep pengalaman puncak dari masing-masing tokoh. b. Sumber Data Sebagai sumber data dalam penelitian ini digunakan data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang memberikan data-data langsung dari sumber pertama. Adapun sebagai data primernya, adalah Religions, Value, and PeakExperiences;, Toward A Psychology of Being dan Kimiya „us-Sa‟adah & ‟Ajaibul Qalb:Manajemen
Hati
Membuka
Pintu
Sa‟adah
Menuju
Ma‟rifatullah
(Penerjemah : KH. A. Mustofa Bisri & Achmad Frenk). Sedangkan data sekunder adalah sumber lain yang terkait dengan permasalahan dan mendukung tercapainya data-data yang diperlukan dalam penelitian ini. c. Teknik Pengumpulan Data Ketepatan dalam pengumpulan data merupakan suatu kriteria yang sangat menunjang berhasilnya suatu penelitian. Dengan sumber data yang sebelumnya telah diungkapkan,
data
dikumpulkan
dengan
mempergunakan
kepustakaan/sumber literatur yang dilakukan dengan cara penelaahan naskah.
14
sumber
Langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut: 1. Mengumpulkan data-data dari berbagai literatur mengenai pemikiranpemikiran kedua tokoh yang telah dipilih sebelumnya, yaitu Abraham Maslow dan Abu Hamid al-Ghazali. 2. Mencari
permasalahan-permasalahan
yang
ada
kaitannya
dengan
pemikiran kedua tokoh tersebut, kemudian membatasinya dan memilih salah satu permasalahan dari sekian permasalahan yang ada. 3. Merumuskan sebuah judul dengan maksud untuk lebih membatasi lagi serta mengkerucutkan ruang lingkup pembahasan. 4. Menemukan dan menentukan sumber data dan sumber pokok lainnya yang menunjang untuk dikembangkan dalam pembahasan pengalaman puncak menurut Abraham Maslow dan Abu Hamid al-Ghazali, dengan cara penelitian di perpustakaan (Library Research), pengumpulan buku, majalah dan bahan-bahan lain yang berkenaan dengan masalah yang akan diteliti. d. Analisis Data Pada dasarnya analisis data merupakan penguraian data melalui tahapan: kategorisasi dan klasifikasi, perbandingan, dan pencarian hubungan antar data yang secara spesifik tentang hubungan antar peubah.21
21
Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Ilmu Agama Islam, LOGOS,Jakarta,1998, hlm. 61.
15
Analisis yang dilakukan adalah analisis non statistik sesuai dengan data yang diperoleh dari sumber-sumber literatur. Setelah pengumpulan data yang diusahakan lengkap dan maksimal, maka langkah selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data-data yang terhimpun sesuai dengan metode penelitian yang dipergunakan. Analisis dilakukan setelah proses pengumpulan data selesai. Pembagian dari data yang telah terkumpul tersebut serupa dengan “pohon vaktor”, dimana data dikumpulkan dan di pilah-pilah sesuai dengan kelompok sub bahasan. Berikut gambaran sekilas mengenai analisis data penelitian : Abraham Maslow
Abu Hamid al Ghazali
Pemikiran
Pemikiran
Pengalaman Puncak
Pengalaman Puncak Komparasi Pemikiran
Harapan dari data-data yang telah terhimpun adalah untuk dapat memenuhi tujuan yang dilakukan dalam penelitian ini, sehingga analisis yang dilakukan dapat menghasilkan suatu pemahaman yang mendekati keadaan yang sebenarnya atau diupayakan mengurangi subjektivitas, dan dihimpun dalam bentuk tulisan berupa skripsi.
16
BAB II LANDASAN TEORITIS TENTANG PENGALAMAN PUNCAK (PEAK EXPERIENCE) DALAM PSIKOLOGI DAN TASAWUF
A. Definisi Pengalaman Puncak (peak experience) dalam Psikologi dan Tasawuf Para psikolog klinis utamanya memusatkan perhatian pada masalah atau penyakit yang diidap orang, pada apa yang salah dengan diri mereka. Teori-teori tentang perilaku manusia kerap kali dikembangkan atas dasar pengalaman klinis dari orang-orang yang terganggu jiwanya. Namun belakangan, psikiater dan psikolog secara bertahap mengalihkan perhatian mereka pada ujung lain dari spektrum itu, pada mereka yang paling sehat dan berfungsi sangat baik. Pada dasarnya, manusia adalah baik dan memiliki tendensi untuk berkembang menuju aktualisasi diri. Begitulah menurut Carl Rogers, salah seorang psikolog yang juga memperkenalkan 2 macam konsep diri, yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Menurutnya, diri yang real adalah diri yang organismik yaitu diri perasa (feeling-self) yang bersifat intuitif dan membuka diri untuk merasakan proses pengalaman organik. Diri yang paling real dapat dialami dalam proses kehidupan perasaan seseorang secara individual dan sangat unik. Adapun tujuan dari aktualisasi diri adalah berusaha mengembangkan feeling self yang asli ini, sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari konsep diri terlalu kaku, sempit, palsu, dan cacat. Rogers melihat sebagai kenyataan bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain.
17
Kebutuhan itu disebut need for positive regard. Tujuan Rogers adalah membantu aktualisasi diri seseorang dengan menciptakan keselarasan antara konsep diri dengan pengalaman individu.22 “Organisme mempunyai satu kecenderungan dan kerinduan dasar-yakni mengaktualisasikan, mempertahankan, dan mengembangkan organisme yang mengalami”23. Kecenderungan untuk beraktualisasi ini bersifat selektif, menaruh perhatian hanya kepada aspek-aspek lingkungan yang memungkinkan orang dapat bergerak secara konstruktif kearah pemenuhannya. Ketika organisme tersebut matang, maka ia akan makin berdiferensiasi, makin luas, makin otonom, dan makin tersosialisasikan. Perubahan ini akan semakin jelas jika individu diamati dalam jangka waktu yang lama. Karena manusia pada hakikatnya mempunyai tujuan tertentu dan berkembang maju ke depan. Pengungkapkan Gorgon Willard Allport mengenai manusia, bahwa perilaku manusia tidak dapat diamati atau dipelajari sesederhana mungkin, melainkan harus dipandang sebagai makhluk yang berarti dan berpotensi (potensial). Kepribadian manusia dapat tumbuh berkembang jika ia dapat mengarahkan masa depan dengan mempersatukan dan mengintegrasikan seluruh kepribadian tanpa dibimbing oleh pengalaman-pengalaman traumatik. Menurutnya, ketidaksadaran pada seorang
22
Paulus Budiraharjo (ed), Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm.136. 23 Calvin S.Hall & Gardner Lindzey, Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (OrganismikFenomenologis), Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm.136.
18
individu adalah negatif.24 Pada individu yang normal, pikiran-pikiran dan dorongan sadar jauh lebih penting daripada dorongan atau kebutuhan tidak sadar. Manusia dewasa yang normal terutama dikuasai oleh unsur-unsur dorongan sadar, dan tingkah lakunya ditentukan oleh faktor-faktor masa kini dan masa mendatang, bukan oleh masa lalu.25 Allport menyebutkan bahwa proses aktualisasi diri (self actualization) merupakan proses menjadi (becoming). Menurutnya, hidup merupakan proses aktif, di mana manusia berupaya mewujudkan diri. Kepribadian adalah tetap namun terus menerus berubah, sebagai konsekuensi dari turunan biologis, pengaruh budaya, dan pencarian spiritual. Pencapaian derajat spiritualitas manusia sangat bergantung pada upaya manusia mempertahankan identitas (keluhuran dan kesempurnaan) yang dimiliki dengan mengarah pada tujuan jangka panjang secara konsisten.26 Pengalaman puncak (peak experience) merupakan suatu puncak kesadaran seseorang dimana ia merasakan dirinya menyatu dengan alam. Pengalaman puncak adalah kesadaran akan kesatuan antara alam mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos.27 Pengalaman ini dapat diperoleh dari wujud kreatifitas, pemahaman, penemuan atau perasaan menyatu dengan alam. Pengalaman puncak merupakan salah satu karakter dari orang yang mengaktualisasikan dirinya, namun dalam kondisi
24
Paulus Budiraharjo (ed), op.cit., hlm.75. Ibid., hlm.80. 26 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm.ix. 27 Ibid., hlm.95. 25
19
tertentu orang yang tidak mengaktualisasikan diripun dapat mengalami pengalaman puncak. Dari beberapa pengungkapan tokoh diatas, dapat diketahui bahwa untuk dapat mencapai suatu pengalaman puncak terlebih dahulu seorang individu harus memiliki diri yang sehat, normal, dan selalu memandang positif terhadap sesuatu hal. Karena dari sanalah akan terjalani suatu proses aktualisasi dari dalam diri yang pada akhirnya akan terdapat suatu pencapaian dari suatu puncak pengalaman dalam diri. Dalam pandangan tasawuf, ma‟rifat dianggap sebagai tingkatan tertinggi dalam perjalanannya. Barang siapa tersingkap baginya sesuatu walaupun hanya sedikit, melalui ilham atau cara lain yang ia tidak mengetahuinya, maka ia telah menjadi seorang „arif (ahli ma‟rifat) dengan jalan yang benar. Akan tetapi, barang siapa yang tidak sampai pada tingkatan itu, ia sebaiknya mempercayainya, sebab untuk mencapainya memang sangat sulit, mengingat ia adalah derajat yang sangat mulia. Tujuan utama yang menjadi inti dari ajaran tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga dirasakan berada di hadirat Tuhan. Dalam pengungkapan bahasa yang digunakan masing-masing tokoh tasawuf untuk mengekspresikan pengalaman jiwanya dalam merasakan kehadirat Tuhan sangatlah berbeda-beda. Sebut saja Abu Yazid al-Busthami dengan paham ittihad-nya. Rabi‟ah al-Adawiyah dengan mahabbah-nya. Al-Hallaj dengan paham hulul-nya. Atau paham wahdat al-wujud dari seorang tokoh tasawuf bernama Ibnu Arabi. Ma‟rifat juga
20
merupakan salah satu pengalaman puncak. Pengalaman puncak ini tengah dirasakan oleh tokoh tasawuf seperti Dzun Al-Mishri dan Al Ghazali. Dzun Al-Misri mengemukakan mengenai ma‟rifat, bahwa ma‟rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat-Nya.28 Ibn „Athaillahi membagi ma‟rifat menjadi dua macam. Pertama, ma‟rifat umum, yaitu mengenal Tuhan yang diwajibkan kepada seluruh makhluk-Nya, lalu memuji dengan pujian yang sesuai dengan keadaan masing-masing. Kedua, ma‟rifat khusus, yaitu pengenalan yang lahir dari musyahadah yang karenanya seorang „arif mengenal sifat, nama, dan perbuatan Allah.29 Beberapa dari paham yang telah disebutkan di atas adalah merupakan suatu bentuk puncak pengalaman dari beberapa tokoh tasawuf. Masing-masing dari mereka telah mengalami apa yang dinamakan dengan pengalaman puncak, dimana pengalaman yang telah mereka lalui belum tentu dapat dirasakan oleh orang-orang secara mudah. Sebelumnya mereka tengah menjalani perjalanan panjang dalam mengaktualisasikan diri mereka dalam mencapai apa yang mereka inginkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengalaman puncak merupakan suatu pengalaman seseorang merasakan dirinya berada pada satu puncak “ekstase” dimana sebelumnya harus melalui suatu perjalanan atau tingkatan tertentu dan tidak terdapat lagi kebutuhan yang lebih besar dari pada itu.
28
M.Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2003, hlm.42. 29 Ibid., hlm.43
21
B. Proses dan Ciri-ciri Pengalaman Puncak (peak experience) dalam Psikologi dan Tasawuf Dalam pencapaian menuju suatu pengalaman puncak (peak experience) pastilah terdapat suatu proses. Proses yang dilalui dengan bermacam-macam jalan atau cara pengaktualisasian diri masing-masing individu yang menjalaninya. Carl Rogers menitikberatkan pada daya berkembang yang sehat dan konstruktif pada manusia. Jika kodrat alamiah yang potensial itu tidak dihalangi dari luar tetapi dibiarkan berkembang sepenuhnya pasti akan menghasilkan perkembangan dan efektivitas pribadi seoptimal mungkin. Karena itu manusia akan berfungsi sebagai fully human being yang hidup selaras dengan kodrat alamiah dan hidup bersama-sama dengan orang lain sebagai manusia yang positif dan normal.30 Secara psikologis dapat dikatakan bahwa organisme adalah tempat asal seluruh pengalaman. Pengalaman meliputi semua yang pada suatu waktu tertentu terjadi dalam organisme itu dan dapat menembus masuk sampai kesadaran individu. Konsep diri (self concept) adalah kesadaran batin yang tetap, pengalaman yang berhubungan dengan aku dan yang membedakan aku dari yang bukan aku.31 Rogers melihat sebagai kenyataan bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, penanggungan, dan cinta dari orang lain. Kebutuhan itu disebut need for positive regard. Adapun tujuan
30
Paulus Budiraharjo (ed), Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm.135. 31 Ibid,. hlm.136.
22
dari psikoterapi Rogers adalah membantu aktualisasi diri seseorang dengan menciptakan keselarasan antara konsep diri dengan pengalaman individu. Karena itu, Rogers membedakan antara conditional positive regard dan unconditional positive regard. Conditional positive regard atau penghargaan positif bersyarat misalnya kebanyakan orang tua memuji, menghormati, dan mencintai anak dengan bersyarat, yaitu sejauh anak itu berpikir dan bertingkah laku seperti dikehendaki orang tua. Namun, dalam unconditional positive regard atau penghargaan positif tanpa syarat, di sini anak tanpa syarat apapun dihargai dan diterima sepenuh-penuhnya. Rogers menggambarkan bahwa pribadi yang berfungsi sepenuh-penuhnya mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya sendiri sebagai person. Karena itu, dia tidak perlu bersifat defensif, tetapi menerima diri dengan penuh kepercayaan, fleksibel dalam perkembangannya. Rogers mempunyai congruence tinggi antara konsep diri dan potensi pengalaman organismik.32 Dasar filsafat dan pendekatan yang person oriented dari Rogers adalah tendensi aktualisasi diri. Setiap organisme adalah inisiator aktif yang menunjukkan tendensi konstruktif yang terarah pada satu tujuan yaitu perwujudan diri.
32
Ibid., hlm.137.
23
Rogers mengemukakan lima sifat khas dari seseorang yang berfungsi penuh33 : 1. keterbukaaan pada pengalaman yang berarti bahwa seseorang tidak bersifat kaku dan defensif melainkan bersifat fleksibel, tidak hanya menerima pengalaman
yang
diberikan
oleh
kehidupan,
tetapi
juga
dapat
menggunakannya dalam membuka kesempatan lahirnya persepsi dan ungkapan-ungkapan baru. Orang yang berfungsi penuh lebih “emosional” daripada yang defensif dalam arti dia mengalami benyak emosi yang positif dan negatif (kegembiraan dan kesusahan). 2. kehidupan eksistensial adalah orang yang tidak mudah berprasangka ataupun memanipulasi pengalaman-pengalaman melainkan dapat menyesuaikan diri karena
kepribadiannya
terus-menerus
terbuka
kepada
pengalaman-
pengalaman baru. Rogers percaya kualitas kehidupan eksistensial ini merupakan segi yang sangat esensial dari kepribadian yang sehat. 3. kepercayaan terhadap oragisme orang sendiri yang berarti bertingkah laku menurut apa yang dirasa benar, merupakan pedoman yang sangat diandalkan dalam memutuskan suatu tindakan yang lebih dapat diandalkan daripada faktor-faktor rasional atau intelektual. Orang-orang yang berfungsi penuh dapat bertindak menurut impuls-impuls yang timbul seketika dan intuitif. Dalam tingkah laku yang demikian terdapat banyak spontanitas dan
33
Penyusun mengartikan orang yang berfungsi penuh sebagai orang yang mencapai pengalaman puncak (peak experience).
24
kebebasan, tetapi tidak sama dengan bertindak terburu-buru atau sama sekali tidak memperhatikan konsekuensi-konsekuensinya. 4. perasaan bebas adalah semakin seseorang sehat secara psikologis, semakin mengalami kebebasan untuk memilih dan bertindak. Dia memiliki perasaan berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya, tidak diatur oleh tingkah laku, keadaan, atau peristiwa masa lampau. Karena itu, ia mempunyai banyak pilihan dalam kehidupan dan merasa mampu melakukan apa saja yang dapat dilakukan. 5. kreativitas adalah seorang yang kreatif bertindak dengan bebas dan menciptakan hidup, menciptakan ide-ide dan rencana yang konstruktif, serta dapat mewujudkan kebutuhan dan potensinya secara kreatif dan dengan cara yang memuaskan. Orang yang kreatif tidak terbelenggu dalam peraturan konvensional serta kebiasaan masyarakat. Biasanya orang yang berfungsi penuh lebih mampu menyesuaikan diri dan bertahan terhadap perubahanperubahan yang drastis dalam kondisi-kondisi lingkungan.34
Dalam wacana tasawuf secara umum, ma‟rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Ma‟rifat sering digunakan untuk menunjukkan salah satu tingkatan atau hal (kondisi psikologis) dalam tasawuf. Ma‟rifat dalam pandangan sufi tidak dapat dicapai secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah dengan menaiki maqamat dan 34
Ibid., hlm.139-140.
25
ahwal. Maqamat dan ahwal ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.35 Dalam memasuki kehidupan tasawuf, diharuskan untuk melakukan amalanamalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu; menekan hawa nafsu sampai pada titik terendah. Adapun tahapantahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut:36 1. Takhalli Takhalli merupakan usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak yang tercela, yaitu berupa keterikatan pada kenikmatan duniawi. Akhlak yang tercela merupakan suatu sikap mental yang tidak sehat. 2. Tahalli Tahalli merupakan upaya menghiasi atau mengisi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Dengan kata lain, mengisi diri dengan sikap mental dan perbuatan yang baik. Sikap mental dan perbuatan baik tersebut dilakukan melalui beberapa tingkatan, diantaranya: a. Tobat Kebanyakan para sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah. Dikatakan, Allah tidak mendekati sebelum seseorang bertobat.
35
M.Solihin, Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2003, hlm.42. 36 Rosihon Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm.56-62.
26
Karena dengan tobat, jiwa seseorang bersih dari dosa. Tuhan dapat di dekati dengan jiwa yang suci. b. Cemas dan harap (khauf dan raja‟) Khauf dan raja‟ harus selalu berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Kekurangan khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga sebaliknya, terlalu besar sikap raja‟ akan membuat seseorang sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena optimisnya yang berlebihan (-- berharap yang berlebihan --). Imam al-Qusyairi pernah menjelaskan bahwa raja‟ ialah terpikatnya hati pada sesuatu yang diharapkan, yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.37 c. Zuhud Secara umum zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap malepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.38 Intinya, tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan terakhir. d. al-Faqr al-Faqr bermakna tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dimiliki oleh seseorang. Sikap fakir merupakan pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup.
37 38
M.Solihin, op.cit., hlm.25. Rosihon Anwar & Mukhtar Solihin, op.cit., hlm.59.
27
e. al-Shabru sabar merupakan suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian. Sikap sabar dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak Allah.39 f. Rida Rida merupakan sikap menerima dengan lapang dada dan hati yang terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib dirinya.40 g. Muraqabah Muraqabah adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan seharihari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.41 Muraqabah merupakan suatu rasa adanya kekesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan yang selalu diawasi-Nya. 3. Tajalli Tajalli merupakan tahapan terakhir, yang merupakan satu puncak dari tahapan yang telah dilalui dimana dalam tahapan ini seseorang akan merasakan terungkapnya nur ghaib. Namun tahapan ini haruslah dipertahankan agar selalu dirasakan perasaan rindu pada-Nya. 39
Ibid., hlm.60-61. Ibid. 41 M.Solihin, op.cit., hlm.23. 40
28
Al-Qusyairi berpendapat bahwa maqam merupakan suatu pengalaman puncak yang terjadi pada hamba allah yang didapat berkat ketinggian martabatnya sebagai hasil dari kerja keras (riyadah) yang dilakukan.42 Abu Yazid al-Busthami adalah seorang psikolog sufistik yang telah mengalami pengalaman puncak spiritual dengan motivasi al-ittihad. Hakikat ittihad adalah persatuan mistik (mystical union) di mana seseorang telah mengalami peningkatan ma‟rifah dengan melihat Tuhan melalui mata batin yang terdapat di dalam hati sanubarinya. Proses ittihad diawali dengan adanya al-fana‟ dan al-baqa‟, yaitu menghancurkan atau menghilangkan kesadaran akan dirinya sendiri, kemudian menetapkan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Tiada wujud kecuali wujud Tuhan dan tiada daya kecuali daya Tuhan. Maksud
“menghilangkan
kesadaran
akan
dirinya
sendiri”
adalah
menghilangkan kebodohan, menghilangkan sesuatu yang menyalahi peraturan Tuhan, meninggalkan semua akhlak yang tercela, menghilangkan sifat-sifat kebinatangan dan kemanusiaan, dan menghilangkan eksistensi atau wujud jasmani. Sedang maksud “menetapkan kesadaran akan wujud Tuhan” adalah menetapkan akan ilmu pengetahuan, menetapkan sesuatu yang sesuai dengan
42
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm.8.
29
peraturan Tuhan, mengisi dengan akhlak terpuji, menetapkan sifat-sifat ketuhanan, dan menetapkan eksistensi atau wujud ruhani untuk bersatu dengan Tuhan.43 Tokoh tasawuf lainnya yang juga berbicara mengenai ma‟rifat adalah alMuhasibi. Beliau menjelaskan mengenai tahapan-tahapan ma‟rifat, yaitu sebagai berikut. a.
Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapanungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata. Di antara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
b.
Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma‟rifat selanjutnya.
c.
Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
43
Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT.Raja Grafindo PersadaRajawali Press, Jakarta, 2001, hlm.264-265.
30
d.
Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana‟ yang menyebabkan baqa‟.44
Dari kedua pengungkapan tokoh di atas mengenai proses serta ciri-ciri seseorang yang telah mengalami pengalaman puncaknya masing-masing, dapat diketahui bahwa untuk mencapai suatu peak experience diperlukan suatu keinginan diri untuk merubah terlebih dahulu tingkah laku diri seorang individu tersebut menjadi baik. Barulah kemudian individu tersebut dapat menjalani proses menuju pengalaman-pengalaman yang mereka inginkan dengan jalan yang pastinya setiap individu akan berbeda-beda terhadap apa yang dialaminya.
44
Rosihon Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm.101.
31
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TENTANG PENGALAMAN PUNCAK (PEAK EXPERIENCE) MENURUT ABRAHAM MASLOW DAN ABU HAMID AL-GHAZALI A. ABRAHAM MASLOW 1. Biografi dan Karya-karya Abraham Maslow Abraham Harold Maslow adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Ia dilahirkan di Brooklyn, New York, USA, pada tanggal 1 April 1908. Orang tuanya adalah imigran Yahudi Rusia yang pindah ke Amerika Serikat dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dalam usianya yang relatif muda, ia dihadapkan pada kondisi yang kurang menguntungkan, akibat terjadinya permusuhan antar etnis yang berkepanjangan. Sebagai anak tertua, Maslow oleh orang tuanya didorong kuat agar mencapai keberhasilan dalam pendidikan. Namun hal ini telah menjadikan Maslow kesepian dan menderita di masa kanak-kanak dan remajanya. Tentang perlakuan orang tua berikut akibatnya itu Maslow menulis: “ Jika mengingat masa kanak-kanak saya, cukup mengherankan bahwa saya tidak menjadi psikotik karenanya. Saya adalah seorang anak Yahudi di tengahtengah anak-anak non-Yahudi. Di sekolah saya diperlakukan sama dengan perlakuan yang di terima oleh anak-anak negro, terisolasi dan tidak bahagia. Pendek kata, saya tumbuh di perpustakaan diantara buku-buku, tanpa teman.” 45 Dalam kondisi lingkungan yang kurang bersahabat dan keluarga yang miskin, Maslow merasakan kesepian yang teramat mendalam. Untuk mengatasi kesepiannya itu, dia melarikan sebagian besar aktivitasnya dengan membaca buku. Disamping itu 45
E.Koswara, Teori-teori Kepribadian, PT. Eresco, Bandung,1991, hlml:110
32
ia bekerja sebagai loper koran dan bekerja pula di sebuah perusahaan milik keluarga. Sungguh merupakan hal yang mengherankan, jika melihat masa kecil Maslow yang demikian namun di kemudian hari Maslow justru menjadi seorang yang terkenal. Atau mungkin justru kondisi inilah yang telah mengubah gagasan-gagasan dan harapan-harapan Maslow yang kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran besar yang ditemukan saat ini. Begitu Maslow berangkat matang di usia remajanya, mulailah ia mengagumi karya-karya para filosof seperti Alfred North Whitehead, Henri Bergson, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Plato dan Spinoza. Pertemuannya dengan karya William Graham Summer yang berjudul Folkways dilukiskannya sebagai “Gunung Everest adalah hidup saya”. 46 Ia mulai memasuki bangku kuliah pada fakultas hukum di City College atas inisiatif ayahnya pada usia 18 tahun, usia yang sangat muda di zamannya. Namun karena ia kurang berminat dalam bidang hukum, ia mengalami kesukaran, meskipun IQ yang dimilikinya sangat tinggi. Ia hanya bertahan 2 minggu, kemudian ia memutuskan untuk pindah ke Universitas Cornel. Namun tak lama kemudian pindah lagi ke Universitas Wisconsin pada bidang psikologi ilmiah. Di Universitas Wisconsin ini Maslow meraih sarjana muda pada tahun 1930, sarjana penuh tahun 1931, dan meraih gelar doktor pada tahun 1934. Pada waktu masih kuliah di Universitas Wisconsin inilah Maslow menikah dengan Bertha Goodman, pacarnya
46
Frank Goble, Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terj.A.Supratinya, Kanisius, Yogyakarta, 1987, hlm. 28
33
sejak masih di sekolah menengah. Ia menikah pada usia muda, yaitu ketika ia berumur dua puluh tahun sedangkan isterinya sembilan belas tahun. “Hidup benarbenar mulai bagi saya sesudah saya menikah dan melanjutkan belajar ke Wisconsin”, katanya, “Saya berjumpa dengan J.B.Watson, dan segera jatuh hati pada Behaviorisme. Peristiwa itu benar-benar merupakan ledakan kegembiraan bagi saya.”47 Maslow memutuskan untuk belajar psikologi terutama karena pengaruh behaviorisme Watson. Bagi Maslow saat itu, behaviorisme merupakan sesuatu yang menarik, dan dengan mengikuti program-program yang diadakan Watson, Maslow berharap dirinya bisa mengubah dunia. Disamping Watson, tokoh-tokoh yang dikagumi dan ingin diikuti oleh Maslow adalah Koffka, tokoh psikologi Gestalt; Dreisch, seorang tokoh terkemuka dalam bidang biologi; dan Miklejohn, seorang ahli filsafat. Akan tetapi, ketiga orang tersebut tidak ia jumpai karena mereka hanya guru besar tamu. Kejadian ini menimbulkan kekecewaan yang besar bagi Maslow. Dan untuk mengobati kekecewaan dirinya, Maslow kemudian menyusun disertasi doktornya tentang ciri-ciri seksual serta sifat-sifat kuasa pada kera. Ia amat mengagumi kehidupan kera yang sanggup menyelesaikan problem-problem yang dihadapinya. Di sana ia mempelajari kera-kera di bawah bimbingan Profesor Harry Harlow. Maslow termasuk psikolog profesional yang banyak mengkaji masalah seksualitas dan penyimpangan-penyimpangannya, terutama homoseksualitas. Karena
47
Ibid., hlm. 29.
34
baginya masalah seksualitas merupakan hal yang sangat substansial dalam kajian tentang kehidupan manusia. Maslow mengawali karir akademis dan profesionalnya dengan memegang jabatan sebagai asisten instruktur psikologi di Universitas Wisconsin (1930-1934), dan sebagai staf pengajar (1934-1935). Kemudian Maslow menjadi staf peneliti di Universitas Columbia sampai tahun 1937. Semasa di Universitas Columbia ini Maslow bekerja sebagai asisten Edward L. Thorndike, salah seorang tokoh behaviorisme di masanya. Ia kemudian kembali ke New York dan menjadi guru besar pembantu di Brooklyn College, New York, sampai tahun 1951. Maslow menyebut kota New York, pada akhir tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an, ketika ia mengajar di sana, sebagai pusat dunia psikologi. Di sana pula ia mendapatkan pengalaman belajar yang paling mengesankan dalam hidupnya. Di kota ini ia bertemu dengan tokoh-tokoh intelektual Eropa yang melarikan diri ke Amerika Serikat karena penindasan Hitler. Tokoh-tokoh yang di maksud antara lain Erich Fromm, Alfred Adler, Karen Horney, Ruth Benedict, dan Max Wetheimer. Percakapan-percakapan informal dan pertukaran-pertukaran pengalaman dengan tokoh-tokoh tersebut memegang peranan penting dalam pembentukan landasan pemikiran humanistik Maslow. Tokoh lain yang banyak mempengaruhi pemikirannya adalah Margaret Mead, Garden Murphy, Rollo May, Carl Roger, Kurt Goldstein, dan Gordon Allport. Selain itu, kehadiran anaknya yang pertama telah menghilangkan antusiasme Maslow terhadap behaviorisme. Tingkah laku yang kompleks yang ditunjukkan oleh
35
anaknya membuat Maslow berpikir bahwa behaviorisme lebih cocok untuk memahami tikus daripada memahami manusia. Tanggal 7 Desember 1941 telah mengubah arah kehidupan Maslow, sebagaimana juga terjadi pada jutaan orang lain di seluruh dunia. Bertentangan dengan suasana zaman yang tengah dilanda peperangan, pada hari-hari pertama pecahnya Perang Dunia II itu, Maslow justru sampai pada keputusan untuk mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk menemukan sebuah teori yang menyeluruh tentang tingkah laku manusia yang akan bermanfaat bagi kepentingan dunia. Sebuah “psikologi bagi kehidupan yang damai”, berlandaskan fakta-fakta nyata yang dapat diterima oleh segenap bangsa manusia. Mulailah ia membuat sintesis atas semua sudut pandangan yang pernah dipelajarinya. “Saya ingin membuktikan bahwa manusia mampu melakukan sesuatu yang lebih mulia daripada perang, purbasangka dan kebencian. Saya ingin menjadikan ilmu sesuatu yang juga meliputi segala persoalan yang selama ini digeluti oleh orang-orang bukan ilmuwan, yaitu agama, puisi, nilai-nilai, filsafat, dan seni.”48 Pengaruh
penting
lain
yang
mewarnai
pemikiran
Maslow
adalah
pengalamannya dengan suku Indian Northern Blackfoot di Alberta, Canada. Atas bantuan dana dari Dewan Riset Ilmu-ilmu Sosial (The Social Science Research Council), selama satu musim panas Maslow tinggal di tengah orang-orang Indian ini. Hasil-hasil pengamatan etnologisnya itu membuatnya sadar akan kenyataan bahwa
48
Ibid., hlm. 31.
36
permusuhan dan sikap merusak berbeda-beda dalam taraf antara 0% sampai 100% di kalangan aneka peradaban primitif. Dan, sekalipun diakuinya bahwa lingkupnya kurang memadai, namun hasil-hasil penelitiannya pada suku Indian Blackfoot itu telah menjadikan Maslow yakin bahwa sikap permusuhan pada manusia lebih merupakan buah peradaban daripada kodrat. Ia menuturkan bahwa selama ia tinggal di antara mereka tak sekali pun ia mengalami kekejaman ataupun bentuk-bentuk agresi terselubung ditunjukan kepadanya. Ia juga mengamati bahwa sangat jarang anak-anak dihukum secara fisik, dan memang orang-orang Indian itu memandang rendah orang-orang kulit putih karena kekejaman mereka terhadap anak-anak mereka sendiri maupun terhadap sesama mereka. Pada tahun 1951 Maslow menerima jabatan kepala departemen psikologi Universitas Brandeis, yang dipegangnya sampai tahun 1961. Selama periode ini Maslow menjadi jurubicara utama bagi gerakan psikologi humanistik di Amerika Serikat. Pada tahun 1969 Maslow meninggalkan Brandeis dan menjadi anggota Yayasan W.P. Laughlin di Menlo Park, California. Jabatan non akademis ini mendorong Maslow untuk secara bebas mencurahkan minatnya kepada masalahmasalah filsafat politik dan etika. Maslow menggabungkan diri dengan sejumlah perhimpunan profesional. Ia menjadi anggota dewan studi psikologi bagi masalah-masalah sosial, menjadi ketua perhimpunan psikologi Negara Bagian Massachusetts, sebagai kepala divisi
37
kepribadian dan psikologi sosial pada Perhimpunan Psikologi Amerika (APA), kepala divisi etika, dan akhirnya memegang jabatan Presiden Perhimpunan Psikologi Amerika dari tahun 1967 sampai 1968. Di samping jabatan-jabatan tersebut Maslow juga menjadi editor pada beberapa jurnal psikologi, antara lain jurnal psikologi humanistik dan jurnal psikologi transpersonal, serta menjadi editor ahli pada beberapa penerbitan berkala. Maslow terutama tertarik kepada psikologi pertumbuhan (growth psychology), dan sampai akhir hayatnya (meninggal tahun 1970) ia mendukung Essalen Institute di California dan kelompok-kelompok lain yang melibatkan diri dalam gerakan daya manusia (human potential movement). Sebagian besar buku-buku Maslow ditulis dalam sepuluh tahun terakhir dari hidupnya, yang meliputi buku-buku Toward a Psychology of Being (1962), Religious and Peak Experiences (1964), Eupsychian Management: A Journal (1965), The Psychology of Science: A Reconnaissance (1966), Motivation and Personality (1970), dan The Father Reaches of Human Natures, sebagai buku kumpulan artikel Maslow yang diterbitkan setahun setelah ia meninggal. Motivation and Personality adalah buku Maslow yang kedua. Sejak penerbitan buku keduanya itu segera mengalir sejumlah tulisannya yang berupa laporan, makalah, artikel, ceramah, dan buku-buku yang merupakan pengembangan, pengolahan serta penyempurnaan gagasan-gagasan awalnya. Dalam pengantar edisi baru bukunya yang berjudul Toward a Psychology of Being ia menyatakan, “Banyak hal telah terjadi di dunia psikologi sejak buku ini untuk pertama kalinya diterbitkan (1962). Psikologi Humanistik, dengan demikian
38
sering kali buku itu disebut, dewasa ini telah berhasil menempatkan diri secara kokoh sebagai alternatif ketiga yang tegar.....menghadapi psikologi yang objektivistik dan Freudianisme ortodoks. Kepustakaan psikologi baru itu luas dan terus berkembang dengan cepat. Lagipula psikologi baru itu kini mulai diterapkan, khususnya di lapangan pendidikan, industri, agama, dalam organisasi dan manajemen, dalam terapi, dan dalam lembaga-lembaga bimbingan perkembangan pribadi serta dalam berbagai organisasi „Eupsychian‟ lainnya, serta digunakan dalam majalah-majalah maupun oleh perorangan.” Kata „Eupsychian‟ digunakan Maslow untuk menyebut lembaga-lembaga yang berorientasi kemanusiaan. Sebagaimana dirumuskan sendiri oleh Maslow, Eupsychian berarti “suatu peradaban yang dilahirkan oleh seribu orang yang teraktualisasikan dirinya di sebuah pulau yang terlindung di mana mereka tidak akan terusik oleh ....kata „eupsychia‟ juga dapat diartikan secara lain. Ia berarti „berkembang ke arah kesehat-sejahteraan psikologis‟.....”49
2. Pemikiran Abraham Maslow tentang Pengalaman Puncak (peak experience) Maslow mengamati bahwa orang-orang yang telah mencapai aktualisasi diri (self-actualized) umumnya memiliki apa yang ia sebut sebagai pengalaman puncak (peak experience) atau pengalaman mistik (mystic experience). Menurut Maslow, pengalaman puncak diperoleh subjek dari kreativitas, pemahaman, penemuan dan 49
Ibid., hlm. 33.
39
penyatuan diri dengan alam. Orang yang mengalaminya akan merasakan dirinya selaras dengan dunia, lupa akan diri dan bahkan melampauinya, juga merasakan silih bergantinya rasa kuat dan rasa lemah daripada sebelumnya.50 Maslow menegaskan bahwa pengalaman puncak tidak perlu berupa pengalaman keagamaan atau pengalaman spiritual, sebab pengalaman puncak itu bisa dialami para subjeknya melalui buku, musik, dan kegiatan-kegiatan intelektual. Hal ini bisa dipengaruhi oleh segenap gagasan dan perilakunya yang bebas serta merasa tidak lagi dibatasi atau dipengaruhi oleh lingkungan atau bahkan oleh dirinya sendiri, berupa kepentingan-kepentingan atau tendensi-tendensi tertentu yang dapat menghalangi kebebasannya berekspresi. Sikap yang demikianlah yang akan menghantarkan seseorang pada satu pengalaman yaitu pengalaman puncak. Pengalaman puncak merupakan puncak kesadaran seseorang di mana ia merasakan penyatuan dengan alam. Pengalaman puncak
yang transenden
digambarkan sebagai sehat super normal (normal super healthy) dan sehat super super (super super healthy). Maslow menyebutnya peakers (transcenders) dan nonpeakers (non-transcenders). Non-peakers cenderung menjadi orang-orang yang praktis, berinteraksi dengan dunia secara efektif dan kurang dengan dunia kehidupan N (B-living) yang lebih tinggi. Mereka cenderung menjadi pelaku, bukan mediator atau kontemplator, efektif dan pragmatis bukan estetis, menguji kenyataan dan kognitif bukan emosional dan mengalami.
50
E.Koswara, op.cit., hlm.142-143
40
Peakers memiliki pengalaman-pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas tentang diri mereka dan dunia mereka. Mereka cenderung menjadi lebih mistik, puitis dan saleh, lebih tanggap terhadap keindahan dan kemungkinan lebih besar menjadi pembaharu-pembaharu dan penemu-penemu.51 Pengalaman puncak merupakan pengalaman yang paling baik, paling penting dan paling bermakna dalam hidup seseorang dan dalam banyak hal pengalaman ini mirip dengan pengalaman mistikal dan pengalaman spiritual. Maslow menulis bahwa “Manusia memiliki kodratnya sendiri yang hakiki, suatu kerangka struktur psikologis yang dapat dipandang dan dibicarakan secara analog dengan struktur fisiknya, yakni bahwa manusia memiliki kebutuhankebutuhan, kapasitas-kapasitas, dan kecenderungan-kecenderungan yang bersifat genetik, beberapa diantaranya merupakan sifat-sifat khas dari seluruh spesies manusia, melintasi semua batas kebudayaan, dan beberapa lainnya adalah unik untuk masing-masing individu.....”52
Dalam bukunya yang berjudul Motivation and Personality, Maslow mengemukakan bahwa motivasi hidup manusia tergantung pada kebutuhannya.53 Sebagai contoh, seorang individu yang memiliki motivasi untuk mencari pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya kebutuhan akan makan dan kebutuhan hidup lainnya. Maslow yakin bahwa banyak tingkah laku manusia yang bisa diterangkan dengan memperhatikan tendensi individu untuk mencapai tujuan-tujuan personal 51
Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori, Psikologi Islami Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 75 52 Calvin S.Hall & Gardner Linzey, editor:A.Supratiknya, Psikologi Kepribadian 2: Teori-teori Holistik (Organismik-Fenomenoligis), Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm.108 53 Abdul Mujib&Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT.Raja Grafindo-Rajawali Press, Jakarta, 2001, hlm.245
41
yang membuat kehidupan bagi individu yang bersangkutan penuh makna dan memuaskan. Dan dalam kenyataannya proses motivasional manusia merupakan jantung dari teori Maslow.54 Manusia dimotivasikan oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah, dan berasal dari sumber genetis atau naluriah. Ini merupakan konsep fundamental unik dari pendirian teoritis Maslow.55 Maslow melukiskan manusia sebagai makhluk yang tidak pernah berada dalam keadaan sepenuhnya puas. Bagi manusia, kepuasan itu sifatnya sementara. Jika suatu kebutuhan telah terpuaskan, maka kebutuhan-kebutuhan yang lainnya akan muncul menuntut pemuasan, dan begitu seterusnya. Itulah yang dimaksud dengan kepuasan sementara menurut Maslow. Dan berdasarkan ciri yang demikian, Maslow mengajukan gagasan bahwa kebutuhan yang ada pada manusia adalah merupakan bawaan, tersusun menurut tingkatan atau bertingkat. Ia selanjutnya menjelaskan lima hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: pertama, kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan kedua, metakebutuhan-meta-kebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dsb. 56 Hierarki ini seperti tangga yang dimulai dari dasar, setiap kebutuhan harus dipuaskan terlebih dahulu sebelum kebutuhan yang lebih tinggi dapat memotivasi 54
E.Koswara, op.cit., hlm118 Frank G.Goble, op.cit., hlm.70 56 Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, op.cit, hlm.245 55
42
kita. Setiap hari orang dapat naik-turun pada hierarki tersebut beberapa kali, mencapai tingkat yang berbeda-beda sebelum kembali ke tingkat dasar lagi.57 Menurut Maslow, kebutuhan yang ada di tingkat dasar pemuasannya lebih mendesak daripada kebutuhan yang ada di atasnya. Susunan kebutuhan-kebutuhan dasar yang bertingkat itu merupakan organisasi yang mendasari motivasi manusia. Dan dengan melihat pada tingkatan kebutuhan atau corak pemuasan kebutuhan pada diri individu, kita bisa melihat kualitas perkembangan kepribadian individu tersebut. Semakin individu itu mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhannya yang tinggi, maka individu itu semakin mampu mencapai individualitas, matang dan berjiwa sehat, dan sebaliknya.58 Pemenuhan kebutuhan manusia juga memiliki tingkatan kesulitan yang hierarkis. Kebutuhan yang berada pada hierarki paling bawah akan lebih mudah dicapai oleh semua manusia, namun kebutuhan yang berada pada hierarki paling atas tidak semuanya dapat dicapai oleh manusia. Pemenuhan kebutuhan yang dapat mengakibatkan
kepuasan
hidup
adalah
pemenuhan
meta-kebutuhan,
sebab
pemenuhan kebutuhan ini untuk pertumbuhan yang timbulnya dari luar diri (eksternal). Sedangkan pemenuhan kebutuhan dasar hanya diakibatkan oleh kekurangan yang berasal dari dalam diri (internal).
57
Nigel C.Benson dan Simon Grove, Mengenal Psikologi For Beginners, terj.Medina Chodijah, MIZAN, Bandung, 2001, hlm.110 58 E.Koswara, op.cit., hlm119
43
Namun, dalam hal ini, Maslow juga mengingatkan bahwa dalam pemuasan kebutuhan itu tidak selalu kebutuhan yang ada di bawah lebih penting atau didahulukan daripada kebutuhan yang ada di atasnya. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki atau meyakini tentang nilai-nilai atau ajaran yang dianutnya akan lebih memilih
untuk
kelaparan
dibandingkan
harus
melakukan
perbuatan
yang
bertentangan dengan ajarannya itu, seperti mencuri, bahkan akan lebih memilih kematian ketimbang harus melanggar keyakinan yang dianutnya itu. Menurut Maslow, kejadian tersebut merupakan suatu kekecualian. Dan bagaimanapun juga, secara umum kebutuhan yang lebih rendah pemuasannya akan lebih mendesak daripada kebutuhan yang lebih tinggi.
a. Kebutuhan Fisiologis (physiological needs) Kebutuhan fisiologis adalah sekumpulan kebutuhan yang berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan kelangsungan kehidupan manusia dimana kebutuhan ini merupakan kebutuhan paling mendesak pemuasannya. Kebutuhankebutuhan dasar fisiologis itu antara lain meliputi kebutuhan akan makan, minum, bernafas (oksigen), istirahat, aktif, keseimbangan temperatur, seks, dan kebutuhan akan stimulasi sensoris.59 Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar pertama, dimana seseorang tidak akan beranjak untuk memenuhi 59
tingkat kebutuhan selanjutnya yang lebih
Ibid.
44
tinggi, jika kebutuhan akan fisiologis ini belum terpenuhi. Karena kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya secara fisik. Maslow menyatakan bahwa dapat saja, meski mungkin tidak terlalu bermanfaat, menyusun daftar panjang tentang kebutuhan fisiologis, tergantung seberapa rinci orang ingin membuatnya. Orang dapat menunjukkan misalnya, betapa aneka kenikmatan sensoris seperti berbagai jenis cita rasa, bau-bauan, sentuhan, dan sebagainya, dapat digolongkan sebagai kebutuhan-kebutuhan fisiologis yang mempengaruhi tingkah laku. Selanjutnya, kendatipun kebutuhan-kebutuhan fisiologis ini dapat dipilah-pilah dan diidentifikasikan secara lebih mudah dibandingkan kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih tinggi, namun kebutuhan-kebutuhan tersebut tetap tidak dapat diperlakukan sebagai fenomena yang terpisah-pisah, yang berdiri sendiri-sendiri. Aneka kebutuhan manusia merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Sebagai contoh, seseorang yang berpikir bahwa ia merasa lapar secara nyata mungkin juga merasakan kebutuhan akan rasa aman atau kebutuhan yang lain. Sebaliknya orang-orang tertentu dapat memuaskan atau paling tidak akan berusaha untuk memuaskan rasa lapar tersebut dengan minum air putih.60 Maslow berpendapat bahwa selama hidupnya manusia akan selalu mendambakan sesuatu. Manusia adalah binatang berhasrat dan jarang mencapai taraf kepuasan yang sempurna kecuali untuk suatu saat yang terbatas. Begitu suatu hasrat
60
Frank G.Goble, op.cit., hlm.71-72
45
kebutuhan berhasil terpenuhi, maka akan segera muncul kebutuhan lainnya yang lebih tinggi. 61
b. Kebutuhan akan Keamanan (need for self-security) Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, sampailah Maslow pada kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman yang juga akan menuntut sebuah pemuasan. Yang dimaksud oleh Maslow dengan kebutuhan akan rasa aman adalah sesuatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian, dan keteraturan dari keadaan lingkungannya. 62 Adapun hal-hal yang masuk dalam kategori kebutuhan akan keamanan antara lain adalah: keamanan, kemantapan, ketergantungan, perlindungan, bebas dari rasa takut, cemas dan kekalutan, kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, kekuatan pada diri pelindung, dan lain-lain.63 Pada dasarnya segala sesuatu yang ada pada kebutuhan fisiologis juga termasuk pada kebutuhan akan rasa aman, meskipun nilainya sangatlah kecil. Karena kebutuhan akan rasa aman ini dapat meliputi segala organisme dalam pemenuhannya. Segala sesuatu yang menerima dan menimbulkan efek, dan kapasitas-kapasitas tertentu merupakan alat pemenuhan kebutuhan keamanan.64
61
Ibid., hlm.72 E.Koswara, op.cit., hlm. 121 63 Hasyim Muhammad, op.cit., hlm.73 64 Ibid., hlm.74 62
46
c. Kebutuhan akan Cinta dan Rasa Memiliki (need for love and belongingness) “Selanjutnya....” kata Maslow, “manusia akan mendambakan hubungan penuh kasih sayang dengan orang lain pada umumnya, khususnya kebutuhan akan rasa memiliki tempat di tengah kelompoknya, dan ia akan berusaha keras mencapai tujuan yang satu ini. Ia akan berharap memperoleh tempat semacam itu melebihi segalagalanya di dunia ini, bahkan mungkin kini ia lupa bahwa tatkala ia merasa lapar ia mencemoohkan cinta sebagai sesuatu yang tidak nyata, tidak perlu atau tidak penting.”65 Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki merupakan suatu dorongan di mana seorang individu berkeinginan untuk menjalin hubungan emosional dengan individu lain, baik yang ada dalam lingkungan keluarga maupun di luarnya.66
d. Kebutuhan akan Rasa Harga Diri (need for self-esteem) Kebutuhan akan rasa harga diri adalah merupakan kebutuhan yang keempat, dimana oleh Maslow kebutuhan ini dibagi kedalam dua bagian, yaitu penghormatan atau penghargaan dari diri sendiri dan penghormatan atau penghargaan dari orang lain. Penghargaan dari diri sendiri meliputi hasrat untuk memperoleh kompetensi, rasa percaya diri, kekuatan pribadi, adekuasi, kemandirian, dan kebebasan. Dalam diri individu akan terdapat suatu keyakinan bahwa dalam dirinya terdapat sesuatu yang
65 66
Frank G.Goble, op.cit., hlm.74 Hasyim Muhammad, op.cit., hlm.75
47
dapat dihargai (sesuatu yang berharga). Sedangkan penghargaan yang didapat dari orang lain meliputi prestasi. Ketika seorang individu melakukan sesuatu hal yang berprestasi, maka individu tersebut akan membutuhkan suatu penghargaan.67 Bagi Maslow, harga diri yang stabil dan paling sehat tumbuh dari penghargaan yang wajar dari orang lain, bukan karena nama harum, kemasyuran, serta sanjungan kosong. 68 Meskipun harga diri yang stabil dan paling sehat tumbuh dari penghargaan yang wajar dari orang lain, namun hal itu tidak mungkin didapatkan jika kita tidak menghasilkan atau memunculkan sebuah prestasi yang kita lakukan. Sehingga dari prestasi itu timbul suatu pengakuan dari orang lain.
e. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri (need for self-actualization) Kebutuhan manusia tertinggi dari teori Maslow adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Kebutuhan ini muncul setelah semua kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) terpenuhi dengan baik. “Setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya.” Pemaparan tentang
kebutuhan
psikologis
untuk
menumbuhkan,
mengembangkan
dan
menggunakan kemampuan, oleh Maslow disebut aktualisasi diri, yang merupakan salah satu aspek penting teorinya tentang motivasi pada manusia. Menurut Maslow,
67 68
E.Koswara, op.cit., hlm. 124 Hasyim Muhammad, op.cit., hlm.78
48
kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan “hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.” 69 Contoh dari aktualisasi diri ini adalah seseorang yang berbakat musik menciptakan komposisi musik, seseorang yang memiliki potensi intelektual menjadi ilmuwan, dan sebagainya. Maslow mencatat bahwa aktualisasi diri itu tidak hanya berupa penciptaan kreasi atau karya-karya berdasarkan bakat-bakat atau kemampuankemampuan khusus.70 Dorongan untuk aktualisasi diri tidak sama dengan dorongan untuk menonjolkan diri, atau keinginan untuk mendapatkan prestise atau gengsi, karena jika demikian, sebenarnya individu tersebut belum mencapai tingkat aktualisasi diri. Ia masih dipengaruhi oleh sesuatu dari luar atau tendensi tertentu. Aktualisasi diri dilakukan tanpa tendensi apapun. Ia hanya ingin menjadi dirinya, bukan yang lain. Meski hal ini juga bisa diawali dari pemenuhan kebutuhan pada tingkat di bawahnya.71 Bentuk pengaktualisasian diri berbeda pada setiap individu, hal ini disebabkan karena tiap individu memiliki perbedaan-perbedaan. Menurut Maslow, untuk mencapai taraf aktualisasi diri seorang individu akan mengalami berbagai hambatanhambatan, yaitu hambatan yang berasal dari dalam diri (internal) dan hambatan yang berasal dari luar dirinya (eksternal). Hambatan-hambatan yang berasal dari dalam diri seorang individu diantaranya dapat berupa rasa ketidaktahuan akan potensi diri 69
Frank G.Goble, op.cit., hlm.77 E.Koswara, op.cit., hlm. 125 71 Hasyim Muhammad, op.cit., hlm.79 70
49
sendiri, rasa keraguan, atau bahkan rasa takut yang timbul untuk mengungkapkan suatu potensi-potensi yang sebenarnya dimiliki oleh individu tersebut. Sedangkan hambatan-hambatan eksternal dapat berupa kecenderungan mendepersonalisasikan individu, represian sifat-sifat, bakat, atau potensi-potensi.72 Sebagai contoh, budaya masyarakat yang kurang mendukung terhadap upaya aktualisasi terhadap potensi yang dimiliki seseorang karena perbedaan karakter. Masyarakat yang cenderung menganggap kejantanan sebagai sifat yang dijunjung tinggi, akan merepresi, menekan watak-watak yang cenderung kearah feminisme, begitupun sebaliknya. Ciri-ciri khas individu yang telah dapat mengaktualisasikan dirinya: (1) Mereka berorientasi secara realistik. (2) Mereka menerima diri mereka sendiri, orang lain, dunia kodrati seperti apa adanya. (3) Mereka sangat spontan. (4) Mereka memusatkan diri pada masalah dan bukan pada diri mereka sendiri. (5) Mereka mampu membuat jarak dan memiliki kebutuhan akan privasi. (6) Mereka adalah otonom dan independen atau berdiri sendiri. (7) Apresiasi mereka terhadap orangorang dan benda-benda adalah segar, bukan penuh prasangka. (8)Kebanyakan di antara mereka memiliki pengalaman mistis atau spiritual yang dalam, meskipun tidak perlu bersifat religius. (9) Mereka memiliki hubungan
yang mendalam dengan
sesama manusia. (10) Hubungan mereka yang akrab dengan beberapa orang yang dicintai secara khas cenderung mendalam serta sangat emosional, tidak dangkal.
72
E.Koswara, op.cit., hlm. 126
50
(11)
Nilai
dan
sikap
mereka
adalah
demokratik.
(12)
Mereka
tidak
mencampuradukkan antara sarana dan tujuan. (13) Perasaan humor mereka lebih bersifat filosofis dan bukan perasaan humor yang menimbulkan permusuhan. (14) Mereka sangat kreatif. (15) Mereka menentang konformitas terhadap kebudayaan. (16) Mereka mengatasi lingkungan, bukan hanya menghadapinya.73 Maslow menemukan bahwa beberapa orang yang telah mencapai aktualisasi diri sering mempunyai pengalaman puncak atau transenden, sedangkan yang lainnya tidak. Ini menunjukkan perbedaan penting antara aktualisasi diri dan transendensi diri. Aktualisasi diri merupakan hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginannya dan pengungkapan potensi yang dimilikinya. Sedangkan transendensi diri merupakan keadaan kesadaran dimana rasa tentang diri meluas melampaui definisi-definisi sehari-hari dan citra-citra diri kepribadian individual bersangkutan. Transendensi diri mengacu kepada pengalaman langsung akan suatu koneksi, harmoni atau kesatuan yang mendasar dengan orang lain dan dengan alam semesta.
f. Kebutuhan akan Transendensi Diri Kebutuhan pada tingkat ke enam ini, yakni suatu meta-kebutuhan untuk transendensi diri serta motivasi menuju suatu pengalaman puncak, meluas melampaui kebutuhan-kebutuhan untuk memenuhi kekurangan dan kebutuhan aktualisasi diri. 73
Calvin S.Hall & Gardner Linzey, op.cit., hlm.110-111
51
Maslow menemukan bahwa kebutuhan akan transendensi diri ini terdapat hanya pada beberapa individu saja. Tidak setiap individu mampu mencapai aktualisasi diri. Suatu rasa transendensi diri adalah sifat yang merupakan definisi dari pengalaman mistikal.74 Maslow melihat pribadi yang sepenuhnya manusiawi adalah orang yang memiliki apa yang ia namakan nilai-nilai “B” atau “Being (wujud)”: yang termasuk dalam
nilai-nilai
Transensdensi
ini
adalah
Polaritas,
Kebenaran,
Kegairahan,
Kebaikan,
Keunikan,
Keindahan,
Kesempurnaan,
Keutuhan, Kebutuhan,
Perampungan, Keadilan, Keteraturan, Kesederhanaan, Kesemarakan, Keanggunan, Kesukaan Bercanda, dan Kecukupan-diri. Semua nilai-nilai ini bertentangan dengan nilai-nilai “D” atau Defisiensi”, yang dialami oleh sebagian besar orang. Dalam nilainilai
“Defisiensi”,
organismenya
bertindak
untuk
memenuhi
kekurangan-
kekurangannya agar dapat terhindar dari sakit. Dalam “B” sebagian besar dari kebutuhan-kebutuhan organisme sudah dipenuhi, dan organismenya bertindak untuk menghasilkan kesehatan yang positif. Sebagai contoh, kebutuhan akan cinta menjadi kebutuhan defisit yang melibatkan cinta yang tamak pada mereka yang tidak memperoleh cinta semasa kanak-kanak. Kekurangan ini merupakan kekosongan yang harus diisi. Bagi orang-orang yang sehat, cinta bersifat tidak membutuhkan, tidak egois, dan tidak mengangkangi. Persepsi “D” diwarnai oleh keinginan-keinginan dan hasrat. Orang yang kita lihat dalam arti apa yang mereka bisa berikan atau sediakan bagi kita. Sementara persepsi “B” jernih, tidak terlibat, dan tanpa hasrat. 74
John Davis, Introduction To Transpersonal Psychology (makalah), terj.Hudoyo H.
52
Kemudian, Maslow membagi orang-orang yang mengaktualisasikan dirinya ini menjadi dua tingkatan: antara mereka yang jelas sehat tapi tidak memiliki pengalaman transendensi, dan mereka yang berpendapat bahwa pengalaman yang transenden itu penting. Maslow memberikan gambaran berikut tentang para transender itu : 1. Pengalaman puncak maupun pengalaman datar-datar saja merupakan aspek kehidupan yang paling penting dan berharga. 2. Mereka berbicara dengan bahasa penyair, mistikus, dan lebih baik dalam mencerna seni, musik, paradoks, parabel, dan sebagainya. 3. Mereka melihat kesakralan dalam semua hal dan juga pada tatanan praktis sehari-hari. 4. Mereka – entah bagaimana – mengenal satu sama lain, cepat akrab dan saling memahami. 5. Mereka lebih tanggap pada keindahan dan memperindah diri. 6. Mereka berpandang holistik, melampaui perbedaan-perbedaan budaya dan geografis. 7. Mereka sinergistik – apa yang mereka lakukan memberikan manfaat kepada diri mereka sendiri dan orang lain. 8. Mereka memikat, mengundang kekaguman, shaleh, mudah dihormati orang. 9. Mereka cenderung menjadi inovator dan penemu. 10. Mereka melihat kesakralan pada semua benda hidup. 11. Mereka memiliki rasa kagum dan misteri yang kuat.
53
12. Mereka cenderung berdamai dengan kejahatan, dengan memahami bahwa ia tak dapat dihindari dan karena dipaksa. 13. Mereka cenderung memandang diri mereka sebagai penghantar atau alat. 14. Mereka lebih mudah untuk melampaui ego, untuk tidak mementingkan diri sendiri.
Abraham Maslow mengkonsepsikan pandangan perilaku organisme sebagai sesuatu yang bersifat holistik, merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terpenggalpenggal. Individu merupakan keseluruhan yang padu dan teratur, sehingga seluruh pribadinya digerakkan oleh motivasi dan bukannya hanya sebagian. Maslow mendasarkan teori aktualisasi diri dengan asumsi bahwa setiap manusia memiliki hakikat intrinsik yang baik, dan itu memungkinkan untuk mewujudkan perkembangan. Perkembangan yang sehat terjadi apabila manusia mengaktualisasikan diri dan mewujudkan segenap potensinya. Tujuan Maslow adalah mempelajari berapa banyak potensi yang dimiliki manusia yang bisa berkembang dan mengungkap manusia sepenuhnya. Pada prinsipnya, keberadaan manusia memiliki dua kebutuhan dasar yang berakar pada keadaan biologis mereka. Dua kebutuhan itu dinamakan deficiency atau basic
needs
(kebutuhan-kebutuhan
dasar)
54
dan
growth
atau
meta
needs
(metakebutuhan-metakebutuhan). Maslow memformulasikan teori motivasinya itu berdasarkan kebutuhan-kebutuhan manusia dan menyusunnya dalam suatu hierarki.75 Jika manusia adalah sosok yang baik dan dapat mewujudkan dirinya untuk mencapai suatu pengaktualisasian diri, maka manusia tersebut akan memiliki kesempatan untuk mengalami apa yang dinamakan dengan sebuah pengalaman puncak (peak experience). Karena pada umumnya, orang yang sudah mencapai aktualisasi diri, akan mengalami pengalaman puncak (peak experience) atau pengalaman mistik.
B. ABU HAMID AL-GHAZALI 1. Biografi dan Karya-karya Abu Hamid al-Ghazali Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta‟us Ath-Thusi Asy-Syafi‟i al-Ghazali. Secara singkat dipanggil alGhazali atau Abu Hamid al-Ghazali. Ia dipanggil Abu Hamid karena ia mempunyai anak laki-laki bernama Abu Hamid. Anak ini meninggal dunia sejak kecil sebelum wafatnya al-Ghazali.76 Nama al-Ghazali kadang-kadang diucapkan dengan tasydid (bunyi double) pada huruf “z”, sehingga menjadi al-Ghazzali dari suku “ghazzal” karena ayahnya adalah pembuat tenun wol. Namun ia lebih sering disebut “al-Ghazali dengan satu huruf “z” yang dibangsakan kepada desa tempat tinggalnya yang juga merupakan 75
Paulus Budiraharjo, ed, op.cit., hlm.162. M.Solihin, Penyucian Jiwa dalam Perspektif Tasawuf Al-Ghazali, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm.23 76
55
tempat kelahirannya, “Ghazaleh” kota kecil di Thus wilayah Khurasan (sekarang Iran).77 Ia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, yaitu tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Ayah al-Ghazali adalah seorang pengrajin yang bekerja memintal wol, dan hasilnya dijual sendiri di tokonya di Thus. Kehidupannya amatlah sederhana. Ayahnya adalah seorang yang taat beragama, sangat menyenangi ulama, dan selalu aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Sebagai orang yang dekat dan menyenangi ulama, ayahnya berharap al-Ghazali kelak menjadi ulama yang ahli dalam agama serta dapat memberikan nasihat kepada umat. Harapan ayahnya dikabulkan Tuhan dengan lahirnya al-Ghazali menjadi ulama besar dalam ilmunya, dan menjadi pembela agama sehingga mendapatkan gelar “pembela Islam” (Hujjat al-Islam) dan “hiasan agama” (Zain al-Din). Namun kebesaran al-Ghazali tidak sempat dilihat oleh ayahnya, karena ia meninggal sebelum al-Ghazali beranjak dewasa. Mengenai ibunya, tidak diketahui secara jelas karena para sejarahwan tidak menurunkan riwayatnya dalam catatan sejarah hidup al-Ghazali. Tetapi, dapat dipastikan bahwa, dia sempat menyaksikan anaknya pada jenjang karier yang tinggi sebagai ulama besar dan agung pada masanya.78
77
Syamsul Rijal, Bersama Al-Ghazali Memahami Filosofi Alam Upaya Meneguhkan Keimanan, ArRuzz, Jogjakarta, 2003, hlm.111 78 Ibid., hlm.50
56
Menurut periwayatan al-Subki, dia beserta saudaranya (adiknya yang bernama Ahmad) menerima pendidikan mistisnya di rumah seorang sufi sahabat ayahnya, setelah ayahnya meninggal dunia.79 Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seraya berpesan dalam wasiatnya: “Aku menyesal sekali karena tidak belajar menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui kedua putraku ini.”80 Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu, dengan cara mendidik dan mengajar keduanya. Suatu hari ketika harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya, ia menyerahkan kedua anaknya kepada pengelola sebuah madrasah agar kedua anak tersebut belajar sekaligus menyambung hidup mereka. Pada masa kecilnya, al-Ghazali belajar pada salah seorang faqih di kota kelahirannya, Thus, yaitu Ahmad bin Muhammad al-Radzkani. Lalu ia pergi ke Jurjan dan belajar pada Imam Abu Nashr al-Isma‟ili. Setelah itu ia kembali ke Thus dan terus pergi ke Naisabur. Di sana ia belajar pada salah seorang teolog aliran Asy‟ariyyah yang terkenal, Abu al-Ma‟ali al-Juwaini, yang bergelar Imam alHaramain. Menurut Ibn Khallikan, di bawah bimbingan gurunya itulah ia sungguhsungguh belajar dan berijtihad sampai benar-benar menguasai masalah madzhabmadzhab, perbedaan pendapatnya, perbantahannya, teologinya, ushul fiqhnya, logikanya, dan membaca filsafat maupun hal-hal lain yang berkaitan dengannya, serta
79
Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj.Ahmad Rofi‟ Utsmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 148 80 M. Solihin, Penyucian Jiwa Dalam Perspektif Tasawuf Al-Ghazali, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm.23
57
menguasai berbagai pendapat tentang semua cabang ilmu tersebut. Di samping itu dia pun menjawab tantangan dan mematahkan pendapat lawan mengenai semua ilmu itu, dan ia pun menulis karya-karya yang paling baik dalam semua bidang ilmu-ilmu tersebut dalam waktu yang relatif singkat, sehingga dialah tokoh yang dimintai pendapat di masa gurunya (al-Juwaini).81 Selama berada di Naisabur, al-Ghazali tidak saja belajar kepada Al-Juwaini, tetapi juga mempelajari teori dan praktek tasawuf kepada seorang guru tasawuf yang bernama Yusuf An-Nazaj (wafat tahun 487 H). al-Ghazali pun sempat belajar sufisme kepada Abu Ali Al-Fadhl ibn Muhammad ibn Ali Al-Farmadhi (wafat tahun 477 H). Dari pelajaran yang diterimanya itu, al-Ghazali melakukan latihan dan praktek tasawuf kendatipun hal itu belum mendatangkan pengaruh yang signifikan dalam langkah-langkah hidupnya.82 Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar dikuasai oleh alGhazali, termasuk perbedaan-perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut serta mampu
memberikan
sanggahan-sanggahan
kepada
penantangnya.
Karena
kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjulukinya dengan sebutan “Bahr Mu‟riq” (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan keluwesan wawasan berpikir al-Ghazali membuat namanya menjadi populer. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam-diam di hati Imam Haramain timbul rasa iri, hingga ia
81 82
Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, op.cit., hlm. 148 M. Solihin, op.cit., hlm.24
58
mengatakan: “Engkau telah memudarkan ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri padahal ketenaranku telah mati.”83 Setelah Imam Haramain wafat (478 H/1086 M), pengembaraan intelektual alGhazali dilanjutkan ke daerah Maa‟askar dan ia menetap di sana selama kurang lebih enam
tahun.
Kota
ini
merupakan
tempat
berkumpul
sekaligus
tempat
diselenggarakannya perdebatan antara ulama-ulama terkenal. Sebagai seseorang yang menguasai retorika perdebatan, al-Ghazali terpancing untuk melibatkan diri dan aktif dalam perdebatan itu. Karena ketajaman analisisnya dan kehebatan argumentasinya, ia sering mengalahkan para ulama ternama sehingga mereka mengakui keunggulan al-Ghazali. Hal itu mengantarkan al-Ghazali sebagai “imam” atau panutan para intelektual di wilayah tersebut. Sejak saat itu nama al-Ghazali menjadi termasyhur di kawasan kerajaan Saljuk. Ia pun diangkat oleh Nizham Al-Muluk (seorang negarawan bani Saljuk) sebagai guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad, pada tahun 484 H/1091 M, meskipun usianya relatif muda, yakni 34 tahun.84 Di Nizhamiyah Baghdad, al-Ghazali aktif memberikan kuliah-kuliah teologi dan fiqih mazhab Syafi‟i. Paket-paket kuliahnya dihadiri kurang lebih tiga ratusan tokoh ulama, termasuk di dalamnya beberapa ulama dari mazhab Hambali, seperti Ibn „Aqil dan Abu al-Khaththab, suatu hal yang sangat langka karena terjadinya permusuhan antar mazhab sangat runcing pada masa itu. Di sela-sela kegiatan 83
Rosihon Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm.110 M.Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali Suatu Tinjauan Psikologik Pedagogik, Pedoman Ilmu Jaya, tanpa tempat terbit, 1991, hlm.24 84
59
rutinitas mengajar, al-Ghazali juga mempelajari filsafat secara mendalam. Dalam tempo kurang lebih dua tahun secara otodidak, ia telah menguasai segala aspek filsafat Yunani, terutama yang sudah diolah para filosof Islam, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ibnu Maskawayh (wafat tahun 431 H) dan mereka yang tergabung dalam ikhwan Ash-Shafa. Penguasaan al-Ghazali terhadap filsafat dibuktikan dengan sebuah karyanya yang berjudul Maqashid Al-Falasifah (tujuan-tujuan para filsuf).85 Selain mengajar di Perguruan Nizhamiyah, ia juga aktif menyelenggarakan perdebatan-perdebatan terhadap paham berbagai golongan yang berkembang waktu itu. Selama periode kehidupannya itu al-Ghazali menimba dan mendalami banyak cabang ilmu, dan juga filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali, untuk menghilangkan keraguannya yang muncul sejak ia mengajar. Tapi ternyata ilmu-ilmu ini tidak memberinya ketenangan jiwa. Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelora sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis, yang diuraikannya dengan menarik dalam karyanya, al-Munqidz min al-Dhalal, yang kemiripannya terikuti oleh karya St.Augustine, Confessions.86 Akibat keadaan krisis ini, al-Ghazali lalu meninggalkan kedudukannya sebagai guru besar di perguruan al-Nizhamiah, dan kemudian hidup menyendiri. Di waktu menjalankan uzlahnya, al-Ghazali sempat menulis karya besarnya yang berjudul “Ihya Ulumuddin” (menghidupkan kajian ilmu-ilmu agama). Sikap itu terus
85
HM.Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm.72 86 Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj.Ahmad Rofi‟ Utsmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 149
60
mempengaruhi jiwanya sehingga hampir-hampir ia meninggalkan kedudukan akademiknya untuk selamanya.87 Kemungkinan besar tindakan yang dilakukan al-Ghazali tersebut timbul karena dia hendak bersikap jujur terhadap dirinya sendiri. Sebab dia sadar bahwa motivasinya dalam mengajarkan ilmu-ilmu itu tidak lain hanyalah untuk memperoleh jabatan serta membuatnya terkenal. Karena itu, kini ia sadar betapa rendah motivasinya dan berusaha untuk melepaskan dirinya dari sikap menonjolkan diri itu. Meditasinya berakhir pada tahun 498 H/1105 M, ketika ia menerima kembali tawaran Fakhrul Mulk putra Nizhamul Mulk untuk mengajar lagi di perguruan tinggi Nizhamiyah di Naisabur. Kedatangannya yang kedua ini berbeda dengan sebelumnya, dalam arti, corak pemikirannya yang sufistik dan cenderung memberikan penilaian terhadap kebenaran akal dan indera.88 Begitulah timbulnya kecenderungan ke arah tasawuf pada diri al-Ghazali. Periode awal kehidupan spiritualnya tersebut merupakan persiapan psikis baginya menempuh jalan tasawuf. Periode spiritualnya itu sendiri di tandai dengan berbagai kondisi intuitif, seperti keraguan, kegelisahan, rasa bosan, rasa sedih yang mendalam, rasa takut terhadap sesuatu yang tidak diketahui, upaya memahami realitas alam dan menyingkapkan yang di baliknya, dan perasaan-perasaan samar lainnya, yang kesemua itu akhirnya menuju Allah.
87
M.Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali Suatu Tinjauan Psikologik Pedagogik, Pedoman Ilmu Jaya, tanpa tempat terbit, 1991, hlm.25 88 Ibid.
61
Dengan begitu, arah menuju Allah adalah obat yang menyembuhkan krisis alGhazali. Mengenai kesembuhannya tersebut berkata al-Ghazali: “Penyakit ini pun semakin merajalela. Dan hampir selama dua bulan, dipaksa oleh kondisi yang ada dan bukannya berdasarkan logika sehat, aku berada dalam jalur kaum sofis. Keadaan itu berlangsung sampai Allah menyembuhkan sakitku tersebut, sampai jiwaku pun kembali sehat maupun moderat lagi. Hasil daya pikirpun kembali bisa diterima dan dipercaya penuh rasa aman serta yakin. Dan kesemua itu bukanlah karena adanya dalil yang teratur rapi serta kata yang tersusun benar, tapi karena adanya cahaya yang diturunkan Allah dalam kalbu, yaitu cahaya yang menjadi kunci kebanyakan pengetahuan. Jelasnya, barang siapa mengira bahwa iluminasi (kasyf) hanya tergantung pada dalil-dalil semata, maka ia telah mempersempit karunia Allah yang luas.” 89
Setelah memperoleh kebenaran yang hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama ia tinggal di Naisabur, ia lalu kembali ke tempat kelahirannya, kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi, atau pada hari senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriyah, dalam usia 55 tahun, dengan meninggalkan banyak karya tulisnya. Karya-karya
tulis
yang
ditinggalkan
al-Ghazali
menunjukkan
keistimewaannya sebagai seorang pengarang yang produktif. Dalam seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan maupun guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naisabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap, al-Ghazali tetap aktif mengarang. Menurut catatan Sulaiman Dunya, karya tulis al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mengarang pada usia dua puluh lima tahun, sewaktu ia masih di Naisabur. Waktu yang ia pergunakan untuk mengarang adalah tiga puluh tahun. Hal ini berarti, 89
Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, op.cit., hlm. 151
62
setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil dalam beberapa lapangan ilmu pengetahuan, antara lain filsafat dan ilmu kalam, fiqhushul fiqh, tafsir, tasawuf, dan akhlak. Berbagai karyanya itu membuktikan bahwa al-Ghazali merupakan pemikir kelas jagad yang amat berpengaruh, baik bagi tokoh-tokoh klasik maupun modern. Pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh klasik dapat terlihat, misalnya Jalaluddin Rumi, Syaikh Al-Asyraq, Ibnu Rusyd, dan Syah Waliyullah, yang mencerminkan gagasangagasan rasional al-Ghazali, pada karya-karya mereka. Demikian juga peran penyair utama Rusia, seperti Attar, Rumi, Saadi, Hafiz, dan Iraqi. Karya-karya mereka diilhami oleh al-Ghazali dan al-Ghazali pula yang menjadi penyebab utama perembesan aliran tasawuf ke dalam puisi Persia dan mengarahkannya ke jalan yang benar. Tokoh yang kritis di era modern, seperti Yusuf Qardhawi, menjulukinya sebagai seorang yang menjadi ensiklopedi di masanya. Kalangan umat Islam sendiri banyak yang menilai bahwa dalam hal sejarah, al-Ghazali merupakan orang kedua yang paling berpengaruh sesudah Rasulullah SAW. Meskipun penilaian itu sendiri terkesan berlebihan, banyak unsur yangdapat menguatkannya. Uniknya lagi, pemikiran keagamaan al-Ghazali tidak hanya berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan agama Yahudi dan Kristen. “Titisan” al-Ghazali dalam pemikiran Yahudi tampil dalam pribadi filosof Yahudi besar, Musa ibn Maymun (Moses the Maimonides). Karya-karyanya yang amat penting dalam sejarah perkembangan filsafat Yahudi itu dapat sepenuhnya dibaca di bawah sorotan pemikiran al-Ghazali.
63
Di kalangan filosof Barat, pengaruh al-Ghazali juga tampak pada Thomas Aquinas dan Blaise Pascal. Begitu juga dikalangan Kristen abad pertengahan, pemikiran al-Ghazali merembes melalui filsafat Bonaventura. Seperti halnya Musa Ibn Maymun, Bonaventura pun dapat di pandang sebagi “titisan” Kristen dari alGhazali. Lebih jauh, pandangan-pandangan tasawuf al-Ghazali juga memperoleh salurannya dalam mistisisme Kristen (Katolik) memalui ordo Fransiscan, sebuah ordo yang banyak menyerap ilmu pengetahuan Islam, memiliki orientasi ilmiah yang lebih kuat dibandingkan dengan ordo-ordo lainnya, seperti diungkapkan dalam novel best seller-nya Umberto Eco, The Name of the Rose. Banyak literatur yang menyebutkan tentang jasa-jasa al-Ghazali bagi peradaban Islam. Cysrill Glasse, misalnya, menyebutkan, “Peradaban Islam telah mencapai kematangan berkat al-Ghazali.” Suatu penilaian yang banyak mendapat dukungan. Akan tetapi, tidaklah demikian pada pandangan lawan-lawannya. Sebagaimana layaknya dalil umum bahwa tidak ada manusia yang sempurna, alGhazali pun tidak lepas dari kekurangan. Kendati demikian, al-Ghazali merupakan salah satu pemikir besar Islam yang banyak menyumbangkan pemikirannya bagi khasanah keislaman, peningkatan sosial, kebudayaan, etika, dan pandangan metafisika Islam.al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan karya ilmiah sebanyak 228 kitab90 yang terdiri dari beraneka macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya. Berikut beberapa kitab yang diterbitkan :
90
M.Bahri Ghazali, op.cit., hlm.29
64
1. Dalam bidang Tasawuf a. Ihya Ulumuddin, merupakan buku fatwa dan karya beliau yang terbesar, telah di cetak berulang kali di Mesir 1281 H. Dan terdapat tulisan tangan di beberapa perpustakaan di Berlin, Wina, Leiden, Inggris, Oxford dan Paris. b. Ayyuha al-Walad, beliau tulis untuk salah seorang temannya sebagai nasehat kepadanya tentang zuhud, targhib dan tarhib. Dicetak dengan terjemahan di Wina tahun 1838 dan tahun 1842, dan juga dicetak di Mesir, dan ada tulisan tangan di beberapa perpustakaan di Eropa dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh DR. Taufiq Shifa tahun 1958. c. Bidayah al-Hidayah watahzib al-Nufuz bil Adab al Syariyah, telah dicetak di Kairo berulang kali. Dan ada tulisan tangan di Berlin, Paris, London, Oxford, Al-Jazair dan Guthe. Dan ada ringkasannya, bahkan ada syaratnya ditulis oleh seorang ulama Indonesia; Muhammad Nury yang diberi nama Maraqy al-Ubudiyah. d. Al-Mursyid al-alamin ila mauidhat al mu‟minin, merupakan ringkasan dari al-Ihya terbit di Mesir. e. Mizan al-amal, merupakan ringkasan tentang ilmu jiwa dan mencari kebahagiaan yang tidak dapat diperoleh kecuali dengan ilmu dan amal, dan penjelasan tentang keutamaan amal, ilmu dan belajar, dicetak di Leipziq tahun 1839 dan di Mesir tahun 1328 H.
65
2. Karya tentang Aqidah a. Kimia al-Sa‟adah, terbit berulangkali di Mesir. b. Al-Maqashidu al-Isny fi Syarhi Asma Allah al Husna, terbit di Mesir tahun 1324 H. 3. Karya dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh a. Al-Mustafa fi Ilmi al-Ushul, terbit berulangkali di Kairo, terdapat ringkasan tulisan ini di Dar al-Kutub Mesir dan di perpustakaan Guthe. b. Al-Wajiz fi al-Furu‟, kitab dalam madzhab Syafi‟i dan terdapat ringkasan tulisan tangan di Darul Kutub Mesir dan syarahnya belum terbit. 4. Karya tentang Mantiq dan Filsafat a. Maqashid al-Falashifah, tentang Manthiq dan Hikmah Ketuhanan dan Hikmah Thabi‟at, terbit di Leiden 1888 M lengkap dengan syarah, di Kairo terbit berulangkali, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin telah terbit di Randuqiyah tahun 1506 M. b. Al-Munqidz Min al-Dhalal, terdapat ringkasan tulisan tangan di perpustakaan-perpustakaan Berlin, Leiden, Paris, Auskrial dan Darul Kutub Mesir, di salin secara panjang lebar dalam kitab filsafat Arab yang terbit tahun 1842 M di Perancis, serta telah disadur berulangkali di Damsyik dan Beirut.
66
5. Salah satu karya manuskripnya adalah Madkhal al-Suluk Ila Manazil al-Mulk, membahas tentang kehidupan sufi.
2. Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali tentang Pengalaman Puncak (peak experience) Tujuan utama yang menjadi inti dari ajaran tasawuf adalah pencapaian penghayatan ma‟rifat pada Dzatullah (ma‟rifatullah). Ma‟rifat dalam tasawuf adalah penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Ma‟rifat dalam pandangan para sufi tidak dapat dicapai secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah dengan menaiki maqamat dan ahwal. Maqamat dan ahwal ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.91 Maqamat adalah tingkatan yang harus dijalani oleh para sufi. Sedangkan ahwal adalah keadaan yang melukiskan kondisi yang dialami para sufi. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir dalam buku mereka yang berjudul Nuansanuansa Psikologi Islam mengungkapkan, bahwa al-Ghazali merupakan psikolog sufistik yang memiliki pengalaman puncak (peak experience) spiritual dengan motivasi al-ma‟rifah. Ma‟rifah termasuk „ilm al-yaqin, karena ia tersingkap dengan jelas, tanpa ada keraguan dan kekeliruan. Ma‟rifah merupakan cahaya ilahi yang dihujamkan oleh seseorang sehingga ia mengalami penyingkapan/iluminasi (kasyaf) dan penyaksian
91
M.Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema Penting Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2003, hlm.45.
67
(musyahadah) terhadap ilmu yang hakiki. Sesaat memperoleh ma‟rifah tidak dapat dibandingkan dengan belajar selama beberapa tahun. Ma‟rifat diperoleh melalui penajaman cita-rasa (dzauq) setelah melakukan penyucian diri (tazkiyah al-nafs) dan latihan (riyadhah). Ma‟rifat adalah jiwa taqarrub. Ma‟rifat merupakan sesuatu yang dicerap dan berpengaruh dalam kalbu dan kemudian berpengaruh pada seluruh anggota badan. Ma‟rifat adalah pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.92 Menurut bahasa, ma‟rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan lagi. Menurut istilah sufi, ma‟rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan, apabila yang dimaklumi adalah Dzat Allah SWT. Dan sifat-sifat-Nya.93 al-Ghazali mengemukakan pengertian ma‟rifat yang lebih komprehensif, yaitu: 1. Ma‟rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturannya yang melingkupi segala hal yang ada. Hal ini dapat dilihat dari ungkapannya : “Ma‟rifat ialah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan mengetahui peraturanperaturan Tuhan tentang segala yang ada”. 2. Seorang yang telah sampai kepada ma‟rifat berada dekat dengan Allah, bahkan ia dapat memandang wajah-Nya. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya : Ma‟rifat ialah memandang Allah SWT.94 92
Rosihon Anwar & M.Solihin, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm.115. Al-Ghazali, Raudhah; Taman Jiwa Kaum Sufi, terj.Mohammad Luqman Hakiem, Risalah Gusti, Surabaya, 2000, hlm.43. 93
68
Paham yang dimiliki al-Ghazali tentang ma‟rifat yaitu pendekatan diri kepada Allah (taqarub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Oleh karenanya, upaya-upaya yang dilakukan untuk dapat mencapai ma‟rifat selain dari maqamat dan ahwal, dapat ditempuh juga dengan melalui tahapan-tahapan seperti riyadhah (latihan jiwa), tafakur (memikirkan) dan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).95 Ma‟rifat menurut versi al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).96 Maqam yang dirumuskan oleh al-Ghazali, diantaranya : tobat, sabar, syukur, khauf dan raja‟, tawakal, mahabbah, rida, ikhlas, muhasabah, dan muraqabah.97 Di dalam sumber yang lain, al-Ghazali mengatakan bahwa satu-satunya jalan menuju ma‟rifat adalah pertama-tama dengan cara memutuskan segala keterkaitan dengan dunia secara sempurna, mengosongkan hati dirinya, dan dari himmah (perhatian berlebihan) kepada istri, harta, anak, dan tempat tinggal, ilmu, jabatan, kedudukan, dan sebagainya. Dengan demikian, sehingga dirinya berada dalam suatu keadaan, dimana segala sesuatunya menjadi sama baginya, adanya maupun tiadanya. Langkah selanjutnya adalah mengasingkan diri (beruzlah atau berkhalwat), sambil mencukupkan diri dengan mengerjakan shalat-shalat fardhu dan rawatib, seraya duduk dengan hati yang kosong dari segalanya, dan dengan pikiran yang 94
M.Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema Penting Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2003, hlm.43. 95 Rosihon Anwar & M.Solihin, op.cit, hlm.114. 96 Ibid,hlm.115. 97 Ibid,hlm.70.
69
terkonsentrasi, agar tidak satupun pikiran melintas dari hati selain Allah SWT. Maka hendaklah ia duduk dalam khalwatnya itu dengan tenang, seraya menggerakkan lidahnya dengan ucapan: Allah, Allah, yang dilakukan dengan penuh kehadiran hati secara terus menerus.98 Menurut al-Ghazali, bahwa jalan menuju ma‟rifat dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari sifat yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, dan jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab gerak dan diam mereka, baik lahir maupun bathin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian didunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan. Jalan menuju ma‟rifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas.99 Penempatan moralitas di dalam pencarian kebenaran, membuat kebaikankebaikan tertentu di dalam hierarki nilai-nilai manusiawi, dapat dicapai secara relatif mudah. Bagi seorang individu yang dengan sepenuh hati berusaha untuk mengenal Allah melalui jalan kebenaran, akan memperoleh kebaikan-kebaikan moral lebih mudah daripada orang yang hatinya penuh dengan kesukaran dalam menempatkan kebaikan-kebaikan di dalam dirinya.
98 99
Al-Ghazali, Keajaiban Hati, Karisma, Bandung, 2000, hlm.82. Rosihon Anwar & M.Solihin, op.cit, hlm.114.
70
Kalbu menurut al-Ghazali, bagaikan cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat didalamnya. Jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas ilmu. Menurut al-Ghazali, yang membuat cermin kalbu tidak bening, adalah hawa nafsu tubuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat kalbu bersih dan cemerlang. Menyinggung bagaimana kalbu menjadi sarana ma‟rifat seorang sufi, alGhazali menguraikan dengan contoh sebagai berikut, sebagaimana dikutip dari buku “Sufi dari Zaman ke Zaman”, yaitu : Andaikan kita bayangkan suatu lembah yang kedalamannya mengalir air dari berbagai sungai atau mungkin juga yang menerobos lewat sela-selanya, sehingga airnya lebih jernih serta bening atau mungkin juga begitu banyak dan deras, begitulah halnya kalbu yang bagaikan lembah itu. Sementara itu ialah air, dan panca indera yang bagaikan sungai-sungai. Terkadang itu ilmu menerobos kalbu lewat sungai-sungai panca indera ataupun pemikiran, lewat berbagai pengamatan, sehingga kalbu pun penuh dengan menjauhkan diri dari keramaian serta hidup menyendiri. Sementara relung hati bisa digali dengan menyucikannya serta menghilangkan berbagai penghalangnya, sehingga dari dalamnya itu memancarlah sumber-sumber ilmu.100 al-Ghazali mengatakan, bahwa ma‟rifat yang hakiki hanya didapat melalui ilham. Ilham adalah laksana cahaya lampu yang terhujam di dalam kalbu manusia yang suci, halus, dan bersih dari kotoran.101 Ilham dapat dikatakan sebagai pengetahuan yang diberikan Tuhan secara langsung kepada manusia-manusia tertentu
100
Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Pustaka, Bandung,1985, hlm.171-172. 101 Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT.Raja Grafindo PersadaRajawali Press, Jakarta, 2001, hlm.290.
71
tanpa proses penawaran, atau proses belajar. Jika pengetahuan indera sangat tergantung pada keadaan dan kesadaran seseorang, maka mungkin, keadaan dan kesadaran lebih tinggi telah dicapai suatu kaum sufi, yang dalam keadaan tertentu, mereka dapat menyaksikan hal-hal yang berlainan dengan apa-apa yang dicapai oleh akal. Hal ini dicapai melalui Nur yang dicampakkan Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Nur ini, katanya adalah kunci pembuka sebagian besar ilmu ma‟rifat. Menurut al-Ghazali, metode pengetahuan para sufi adalah iluminasi (kasyf). Metode yang dipergunakan para sufi adalah metode cita-rasa khusus, yaitu pemahaman intuitif langsung, yang berbeda dengan pemahaman rasional langsung atau pemahaman indera. Menurut al-Ghazali, iluminasi adalah metoda pengetahuan yang tertinggi, dan ia membagi para „arifin (orang yang memperoleh ma‟rifat) dengan dasar pengetahuan serta metode mereka, menjadi tiga peringkat. Pertama orang yang awam. Metode pengetahuannya adalah peniruan penuh. Kedua, teolog, metode pengetahuannnya adalah pembuktian rasional. Dan peringkatnya, menurut al-Ghazali, mendekati peringkat orang awam. Ketiga, orang arif yang suci. Metode pengetahuannya adalah penyaksian dengan cahaya yakin.102 Dalam paham al-Ghazali, jelaslah bahwa ma‟rifat yang sebenarnya didapat melalui ilham atau iluminasi (kasyf), yaitu Allah memancarkan Nur kedalam kalbu untuk mengenali hakikat Allah dengan segala ciptaaan-Nya tanpa ada sehelai hijab 102
Abu al-Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani. op.cit, hlm.173.
72
pun yang menghalangi. Selain itu pula, ma‟rifat bisa didapat melalui proses perjalanan panjang melalui maqamat dan ahwal.
C. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KONSEP PENGALAMAN PUNCAK (PEAK EXPERIENCE) ABRAHAM MASLOW DAN ABU HAMID ALGHAZALI Pada subbab sebelumnya telah dipaparkan mengenai konsep pengalaman puncak dari dua orang tokoh yang diambil dari dua sisi yang berbeda. Abraham Maslow, seorang tokoh dengan konsep peak experience-nya di tinjau dari sisi psikologis. Sedang Abu Hamid al-Ghazali dipilih berdasarkan pemikiran pengalaman puncak dari sisi tasawuf, yaitu konsep nya mengenai ma‟rifat. Abraham Maslow dengan hierarki kebutuhannya menjelaskan mengenai tingkatan kebutuhan dari setiap manusia yang ingin mencapai pengalaman puncak. Pengalaman puncak ini akan diperoleh apabila seseorang melewati tingkatan kebutuhan (hierarki kebutuhan). Ia menjelaskan lima hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: pertama, kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan kedua, meta-kebutuhan-meta-kebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dsb. Aktualisasi diri merupakan tingkat tertinggi dari hierarki kebutuhan sebelum mencapai pengalaman puncak. Maslow menemukan bahwa beberapa orang yang
73
telah mencapai aktualisasi diri sering mempunyai pengalaman puncak atau transenden, sedangkan yang lainnya tidak. Ini menunjukkan perbedaan penting antara aktualisasi diri dan transendensi diri. Aktualisasi diri merupakan hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginannya dan pengungkapan potensi yang dimilikinya. Sedangkan transendensi diri merupakan keadaan kesadaran dimana rasa tentang diri meluas melampaui definisi-definisi sehari-hari dan citra-citra diri kepribadian individual bersangkutan. Transendensi diri mengacu kepada pengalaman langsung akan suatu kesatuan yang mendasar dengan orang lain dan dengan alam semesta. Abu Hamid al-Ghazali dengan konsep ma‟rifat nya sebagai wujud dari sebuah pengalaman puncak menjelaskan bahwa untuk mencapai tingkatan tertinggi dalam pengalaman puncak diperlukan perjuangan yang tidak mudah. Menurut al-Ghazali, bahwa jalan menuju ma‟rifat dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari sifat yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Jalan menuju ma‟rifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas. Ma‟rifat diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Seperti yang telah di ungkap bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya persamaan dan perbedaan pemikiran kedua tokoh tersebut di atas. Dan dari uraian-uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya,
74
terdapat persamaan dan perbedaan antara kedua pemikiran tokoh tersebut mengenai pengalaman puncak. Kesamaan yang ada mengenai konsep pengalaman puncak antara Abraham Maslow dan Abu Hamid al-Ghazali adalah bahwa manusia memiliki potensi dalam dirinya untuk menuju pada kebaikan. Dan untuk mencapai suatu pengalaman puncak diperlukan jalan yang sebelumnya harus dilalui. Melalui tingkatan yang paling rendah terlebih dahulu untuk mencapai sebuah tingkatan tertinggi
dan merasa bahwa
seseorang telah merasa bersatu dengan yang didambakan. Dengan sesuatu yang diharapkan. Ketika seseorang telah mencapai tingkat tertinggi, orang tersebut akan merasakan transendensi diri, merasa berada pada satu puncak, pengalaman puncak. Dimana pengalaman ini tidak bisa dirasakan oleh setiap orang. Kesamaan lainnya pun ada dalam tingkatannya, tepatnya pada maqamat dan ahwal. Dalam tingkatan (maqam) tobat, terdapat kemampuan untuk mengontrol nafsu. Menjauhkan kecenderungan dari nafsu jahat dan hanya melakukan kebaikan. Maqam sabar, tawakal, dan rida adalah karakter yang memiliki keserupaan dengan karakter aktualisasi diri. Seorang yang sabar, tawakal, dan rida akan senantiasa konsisten terhadap kecenderungan dasarnya yaitu kebenaran. Ia akan senantiasa merasa tenang, tentram, dan bahagia, meskipun hidup dalam kesusahan. Kebaikan dan keburukan yang menimpanya diterima sebagai wujud kecintaan Tuhan pada dirinya. Semua dihadapi dengan rasa syukur dan bahagia. Seseorang yang ada dalam kondisi muraqabah merasakan dirinya menyatu dengan realitas yang ada, yakni alam semesta. Perasaan menyatu dengan realitas alam
75
semesta, menjadikan seorang idividu merasa ada dalam satu kesatuan yang serasi, saling berhubungan, tertib dan terstruktur, sebagaimana sifat yang menyeluruh yang dirasakan seseorang yang ada dalam pengalaman puncak (peak experience). Perasaan menyatu, baik dengan dirinya sendiri, lingkungan, maupun alam, terlihat dari kepribadiannya yang damai, tanpa prasangka, tidak ada rasa dendam maupun iri hati, dan tanpa pertentangan pribadi. Persamaan lainnya adalah adanya kondisi yang datang secara tiba-tiba yang dirasakan oleh seseorang yang mengalami pengalaman puncak. Merasa bahwa seseorang tersebut adalah orang yang sangat istimewa, namun tanpa ada perasaan sombong dalam dirinya. Seseorang tersebut hanya merasa beruntung karena telah mengalami pengalaman puncak. Prinsip lain yang menjadi dasar kesamaan antara konsep peak experience Abraham Maslow dan konsep ma‟rifat Abu Hamid al-Ghazali adalah penekanannya pada pengalaman spiritual yang bersifat pribadi. Sehingga kedalaman spiritual seseorang hanya dapat diukur oleh pribadi yang mengalaminya. Meski terdapat karakter-karakter tertentu yang dapat diamati oleh orang lain, di luar pribadi yang mengalami, namun pengamatan tersebut masih tetap bersifat subyektif. Perbedaan diantara kedua nya merupakan hal yang nyata terlihat. Karena kedua tokoh tersebut berada pada dua dunia yang berbeda. Dunia psikologi dan dunia tasawuf. Abraham Maslow yang cenderung berada pada sisi duniawi. Sedang Abu Hamid al-Ghazali berada pada ruang lingkup ukhrawi. Perbedaan yang menjadi tujuan akhir dari apa yang seseorang inginkan. Di dalam konsep Abraham Maslow,
76
tujuan akhir nya adalah terpenuhinya seluruh keinginan sampai dengan keinginan tertinggi sehingga individu yang mengalaminya merasakan bersatu dengan alam. Sedangkan konsep Abu Hamid al-Ghazali memiliki tujuan akhir untuk mengenal Tuhan (ma‟rifatullah).
77
BAB IV KESIMPULAN
Konsep pengalaman puncak (peak experience) Abraham Maslow berawal dari teorinya mengenai hierarki kebutuhan yaitu tingkat kebutuhan setiap manusia yang ingin mencapai pengalaman puncak. Ia menjelaskan lima hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: pertama, kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan kedua, meta-kebutuhan-meta-kebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dsb. Aktualisasi diri merupakan tingkat tertinggi dari hierarki kebutuhan sebelum mencapai pengalaman puncak. Maslow menemukan bahwa beberapa orang yang telah mencapai aktualisasi diri sering mempunyai pengalaman puncak atau transenden, sedangkan yang lainnya tidak. Ini menunjukkan perbedaan penting antara aktualisasi diri dan transendensi diri. Aktualisasi diri merupakan hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginannya dan pengungkapan potensi yang dimilikinya. Sedangkan transendensi diri merupakan keadaan kesadaran dimana rasa tentang diri meluas melampaui definisi-definisi sehari-hari dan citra-citra diri kepribadian individual bersangkutan. Transendensi diri mengacu kepada pengalaman langsung akan suatu kesatuan yang mendasar dengan orang lain dan dengan alam semesta.
78
Abu Hamid al-Ghazali dengan konsep pengalaman puncak (peak experience) nya yang lebih dikenal dengan konsep ma‟rifat menjelaskan bahwa ma‟rifat diawali dalam bentuk latihan-latihan jiwa dan diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dari kedua konsep tersebut, tentunya akan muncul sebuah pertanyaan ada atau tidaknya persamaan dan perbedaan mengenai pengalaman puncak (peak experience). Kesamaan yang ada mengenai konsep pengalaman puncak antara Abraham Maslow dan Abu Hamid al-Ghazali adalah bahwa manusia memiliki potensi dalam dirinya untuk menuju pada kebaikan. Dan untuk mencapai suatu pengalaman puncak diperlukan jalan yang sebelumnya harus dilalui. Melalui tingkata-tingkatan, mulai dari tingkatan terendah sampai pada tingkatan tertinggi. Prinsip lain yang menjadi dasar kesamaan antara konsep peak experience Abraham Maslow dan konsep ma‟rifat Abu Hamid al-Ghazali adalah penekanannya pada pengalaman spiritual yang bersifat pribadi. Sehingga kedalaman spiritual seseorang hanya dapat diukur oleh pribadi yang mengalaminya. Persamaan lainnya adalah adanya kondisi yang datang secara tiba-tiba yang dirasakan oleh seseorang yang mengalami pengalaman puncak. Perbedaan diantara kedua nya merupakan hal yang nyata terlihat. Di dalam konsep Abraham Maslow, tujuan akhir nya adalah terpenuhinya seluruh keinginan sampai dengan keinginan tertinggi sehingga individu yang mengalaminya merasakan bersatu dengan alam. Sedangkan konsep Abu Hamid al-Ghazali memiliki tujuan akhir untuk mengenal Tuhan (ma‟rifatullah).
79
. Setelah diteliti lebih jauh, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa tidak tedapat suatu hubungan komparasi yang mendalam antara kedua tokoh, yaitu Abraham Maslow dan Abu Hamid al-Ghazali, dalam konsep pengalaman puncak
80