BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penulisan sejarah merupakan bentuk dan proses pengisahan atas peristiwa-
peristiwa masa lalu umat manusia. Pengisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan subjektif, karena setiap orang atau setiap generasi dapat mengarahkan sudut pandangnya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai interpretasi yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, atau orientasinya. Oleh karena itu, perbedaan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, yang pada dasarnya adalah objektif dan absolut, pada gilirannya akan menjadi suatu kenyataan yang relatif. 1 Ditinjau dari segi administrasi pemerintahan, kota Tarutung dewasa ini adalah ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Secara geografis kota Tarutung berbatasan dengan Kecamatan Siborong-borong di sebelah utara, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sipoholon, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Adiankoting, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Siatas Barita. Pada umumnya masyarakat Tarutung adalah orang Batak Toba. Orang Batak ini adalah salah satu dari sub etnik suku Batak yang berasal dari Sumatera Utara yang terdiri dari sub etnik Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, Angkola, dan Mandailing. 2 Kota Tarutung mayoritas penduduknya adalah orang Batak Toba yang beragama
1
Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah , Yogyakarta: Ar-Ruz Media Group, 2007, hal. 16. 2 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan,2004, hal. 94-95.
1
Universitas Sumatera Utara
Kristen Protestan dan Katolik. Tarutung merupakan kota di mana masyarakatnya cukup baik untuk menerima pendatang dari luar suku Batak Toba sendiri. Hal tersebut dapat dilihat sejak masuknya pengaruh Barat ke wilayah Silindung khususnya ke wilayah Tarutung. Nommensen yang tiba di Tanah Batak (di Sibolga) pertama kali tahun 1862 adalah salah seorang penginjil yang datang ke wilayah Silindung
yang berhasil menyebarkan agama Kristen di sana. Bahkan untuk
mengenang jasa Nommensen tersebut maka oleh masyarakat Kristen di Silindung didirikan sebuah monumen yaitu Salib Kasih yang diresmikan dalam tahun 1997. Pada awalnya memang terjadi konflik mengenai pengaruh Barat yang masuk, tetapi akhirnya pangaruh tersebut dapat diterima. Dengan adanya pengaruh Barat tersebut, menempa masyarakat Batak Tarutung menjadi masyarakat yang menjalani perubahan budaya baru. Hal ini juga terjadi pada saat banyaknya masyarakat pendatang dari luar Tarutung yang masuk ke Tarutung. Para pendatang ini umumnya adalah orang-orang Minangkabau dan Jawa yang mulai banyak berdatangan sekitar tahun 1960-an. Para pendatang ini dari segi budaya dan agama sangat berbeda dengan orang-orang Batak di Tarutung. Dari pendatang inilah muncul komunitas Islam di Tarutung. Mereka membawa kebudayaan dan agama dari tempat asal mereka dan tetap menjalankannya di wilayah Tarutung. Pada awalnya Islam di Tarutung juga ada orang Batak Toba sendiri yang sudah menjadi Islam jauh sebelum para pendatang suku Minangkabau dan Jawa datang ke Tarutung. Jika ditinjau secara garis besar kota Tarutung adalah kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Bahkan pusat gereja HKBP di Asia Tenggara juga
2
Universitas Sumatera Utara
berada di kota ini. 3 Kota Tarutung juga disebut sebagai kota Wisata Rohani dengan salib Kasih sebagai monumen kebanggaannya, namun di sini dapat pula ditemukan adanya masyarakat Islam. Sebelumnya masyarakat Islam yang ada di Tarutung banyak berasal dari daerah-daerah Tapanuli Selatan, yang juga pengaruh dari Minangkabau. Secara lambat laun Islam juga berkembang di wilayah Silindung khususnya di kota Tarutung. Islam yang masuk merupakan pengaruh dari pasukan Paderi yang datang ke Tapanuli dengan niatan untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Batak. Namun demikian usaha tersebut tidak berhasil dengan baik, tetapi tetap saja meninggalkan jejak Islam di Silindung khususnya Tarutung dan sekitarnya terutama daerah Pahae yang cukup dekat letaknya dengan Tarutung. Kota yang dahulunya sebagai ibu kota pemerintahan Afdeling Batak Landen, yang penduduknya mayoritas beragama Kristen, tetapi kini Islam dapat berkembang secara berdampingan dengan agama Kristen di kota ini. Suatu hal yang menarik, sebuah kerukunan umat beragama yang berbeda yaitu Kristen dan Islam. Adapun tentang Islam di Tanah Batak khususnya di Tarutung mempunyai sejarah panjang. Agama Islam telah menyebar dengan cepat sekali ke seluruh Tapanuli Selatan setelah kekalahan kaum Paderi. Meskipun invasi Islam di sana sebelumnya mengalami kegagalan, namun para pemimpin Mandailing menganggap bahwa agama asli mereka itu tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga mereka kemudian menganut agama Islam dan mengikuti serta mencontoh unsur-unsur
3
Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Utara The Beautiful Land, Jakarta: Seni Jurnal Photography Workshops, 2002, hal. 81.
3
Universitas Sumatera Utara
budaya Melayu-Islam lainnya. Sementara ketika itu agama Kristen tidak mungkin menjadi suatu pilihan. Pada waktu itu belum ada misionaris, apalagi sangat sulit bagi Belanda untuk ikut aktif dalam menyebarkan agama Kristen, sebab tindakan demikian akan sangat membahayakan seluruh strategi pemerintah kolonial Belanda yang sangat mengharapkan dukungan dan bantuan golongan “hitam” ( Muslim anti-Paderi dan pro-adat) di Sumatera Barat. Maka sejak sekitar tahun 1850-an berbagai kelompok Kristen mengeluh bahwa kebijakan pemerintah amat mendukung proses Islamisasi. 4 Di kalangan orang-orang Belanda yang anti Islam dengan sebagian didasari oleh pertimbangan imperialis dan sebagian lagi oleh pertimbangan kemajemukan nasional menyatakan “orang Batak sangat terbuka pada peradaban”, seperti terlihat pada orang Mandailing yang tidak hanya menerima Islam, tetapi juga sama beradabnya dengan para tetangga mereka yang muslim, bahkan
sekarang telah
melampaui orang Melayu (maksudnya orang Minangkabau). Orang Batak menganggap kita sebagai sekutunya, sehingga kita juga harus memperlakukan mereka layaknya sekutu. 5 Perkembangan agama Kristen di Tanah Batak sejalan dengan penguasaan Belanda atas wilayah ini menyusul didirikannya sekolah-sekolah. Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah gubernemen atau sekolah Melayu di Tanah Batak bagian selatan hanya di kota-kota agak besar seperti Padangsidempuan, Batunadua, Hutapadang, Angkola, Natal, Hutagodang, Kotanopan, Panyabungan, 4
Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915 – 1940, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001, hal. 18. 5 Lance Castles, ibid, hal. 19.
4
Universitas Sumatera Utara
Siabu, Tanobato, Maga, Gunungtua, Sibuhuan, Sipirok, Bungabondar, Baringin, Batangtoru, Sibolga, Barus, Singkil, dan lain-lain. Berbeda dengan Zending, mendirikan sekolah hampir di setiap negeri atau kampung, yaitu di mana ada guru di situ ada sekolah Zending. 6 Setidaknya hingga dasawarsa kedua abad ke-20, Islam di Silindung mencakup Tarutung penuh fenomena. Sifat mendua pemerintah dan “kebijakan penyekatan” terhadap Islam diuji dalam pemilihan kepala negeri yang baru di Janji Angkola pada tahun 1919. Yaitu dengan calon ketika itu adalah Haji Ibrahim (ketua SI di Pahae) dan calon lain Aristarcus (putera seorang Pendeta Batak di Janji Angkola). Keduanya sama-sama bermarga Sitompul dan merupakan tokoh paling berhak atas “harajaon” di Janji Angkola. Sebenarnya Aristarcus bukanlah penduduk asli Janji Angkola, tetapi ia berasal dari Sigompulon, yaitu beberapa kilometer di hulu sungai dan menjadi guru sekolah di Tarutung. Begitupun akibat perbandingan jumlah rumah tangga Kristen dan rumah tangga Islam mencolok sekali, ialah 400 berbanding 60, Aristarcus berkeras mencalonkan diri. Pemerintah Belanda sangat kesal, karena pemenangnya adalah Haji Ibrahim, meskipun dengan perbedaan angka tipis. Kontrolir Silindung, Heringa, yang amat tidak senang melihat kenyataan adanya isyarat keharmonisan antaragama di wilayah itu menyarankan kepada Asisten Residen Vorstman untuk mengangkat Aristarcus dan bukan Haji Ibrahim. Memang petunjuk Gubernur Jenderal bulan Agustus 1917 melarang pengangkatan seorang muslim menjadi raja di daerah non-Muslim, Heringa menuding kemenangan Haji
6
E. St. Harahap, Perihal Bangsa Batak, Jakarta: Dep. PP dan K, 1960, hal. 65 – 68.
5
Universitas Sumatera Utara
Ibrahim itu berkat kerja sama antara SI dengan sebuah organisasi Kristen baru, yaitu Hatopan Batak Kristen (HKB). Menghadapi situasi demikian, Asisten Residen Vorstman yang lebih tua dan arif serta telah merasakan pahit getirnya bergumul dengan kontroversi agama di Sipirok, menjawab dengan melaksanakan pemungutan suara kedua pada bulan Juli 1919. Hasilnya Haji Ibrahim tetap menang dengan perbandingan perolehan suara 228 lawan 204. Oleh karena tidak ada penolakan dari Gubernur Jenderal dari Batavia, Vorstman mengangkat Haji Ibrahim menjadi kepala negeri Janji Angkola. Dalam kasus ini memang pemerintah Belanda adalah benar membatasi kegiatan misi demi tercapainya “ketenangan dan ketertiban”. 7 Uraian di atas menunjukkan bagaimana peran agama Islam dalam sejarahnya di Silindung dengan pusatnya di Tarutung. Kemudian sebagaimana diketahui bahwa di Tarutung akhirnya penduduknya mayoritas beragama Kristen, akan tetapi sejak sekitar tahun 1960-an ke Tarutung masuk komunitas orang-orang Jawa dan Minangkabau yang beragama Islam. Apabila mobilitas Islam dalam tahun 1960-an tertuju pada ideologi, namun munculnya small group orang-orang Jawa dan Minangkabau yang Islam di tengahtengah mayoritas orang-orang Batak yang beragama Kristen di Tarutung. Yang ingin dikaji dalam skripsi ini adalah hubungan-hubungan sosiologis di antara etnis-etnis tersebut dalam pergaulan kesehariannya. Hal tersebut di ataslah yang membuat penulis tertarik untuk mendalami kehidupan masyarakat Islam di Tarutung dengan judul “Islam di Tarutung Tahun 7
Lance Castles, op.cit, hal. 79 – 81.
6
Universitas Sumatera Utara
1962–2000 ”. Skop temporal yang diambil adalah antara tahun 1962 sampai 2000. Sekitar tahun 1962 merupakan tahun di mana awal pesatnya para pendatang Islam orang-orang Minangkabau dan orang-orang Jawa masuk ke Tarutung. Tahun 2000 merupakan batas akhir penelitian sebagai skop temporal penelitian sejarah ini. Rentang waktu antara tahun 1962 sampai 2000 adalah masa di mana penulis membahas bagaimana perkembangan masyarakat Islam di Tarutung.
1.2
Rumusan Masalah Dalam melakukan sebuah penelitian, maka yang menjadi landasan dari
penelitian adalah akar masalah yang ada dalam topik yang dibahas. Hal inilah yang diungkapkan dalam pembahasannya. Akar permasalahan merupakan hal yang sangat penting karena di dalamnya diajukan konsep yang dibahas dalam penelitian dan menjadi alur dalam penulisan. Sesuai dengan judul ”Islam di Tarutung Tahun 1962–2000”, maka dibuatlah suatu batasan pokok masalah. Untuk mempermudah memahami permasalahan dalam penelitian ini maka penulis menurunkan beberapa pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ke beberapa pertanyaan sebagai berikut. 1. Apa latar belakang masuknya para pendatang Islam ke Tarutung? 2. Bagaimana terbentuknya masyarakat Islam di Tarutung? 3. Bagaimana hubungan sosiologis masyarakat Islam di Tarutung khususnya orang-orang Jawa dan Minangkabau serta interaksinya dengan masyarakat non-Islam dalam kurun waktu 1962–2000?
7
Universitas Sumatera Utara
1.3
Tujuan dan Manfaat Setelah menetapkan apa yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas oleh
penulis, selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penulisan dalam melakukan panulisan ini serta manfaat yang dapat dipetik. Adapun tujuan penelitian ini adalah. 1. Menjelaskan latar belakang masuknya pendatang Islam ke Tarutung. 2. Menguraikan bagaimana terbentuknya komunitas Islam di Tarutung. 3. Menguraikan bagaimana hubungan sosiologis masyarakat
Islam orang-
orang Jawa dan Minangkabau di Tarutung dan interaksinya dengan masyarakat non-Islam selama kurun waktu 1962-2000. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi masyarakat Tarutung khususnya akan menyadari keberagaman etnis semakin memperkaya
berbagai kebutuhan yang diperlukan masyarakat.
Masyarakat agar bisa lebih memahami bahwa keragaman etnis dan budaya adalah khasanah kekayaan dalam persatuan bangsa. 2. Bagi pemerintah, kedatangan masyarakat Islam yang minoritas ke tengahtengah masyarakat Tarutung yang mayoritas Kristen akan memperkuat simbol kota Tarutung sebagai kota wisata rohani. 3. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala penelitian ini dirasa perlu penyempurnaan ataupun sebagai referensi.
8
Universitas Sumatera Utara
1.4
Tinjauan Pustaka. Ada beberapa literatur yang dapat digunakan dalam mendukung penelitian ini
di antaranya sebagai berikut. Lance Castle dalam bukunya yang berjudul: “Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940”. Dalam buku ini diungkapkan mengenai kehdupan masyarakat Islam di wilayah Silindung yang secara administratif berpusat di Tarutung. Dalam buku ini juga diuraikan bagaimana sikap masyarakat Batak Toba dan sikap mendua pemerintah Belanda terhadap agama Islam, bahkan sempat terjadi penolakan yang diawali oleh penolakan pemerintah kolonial yang berkedudukan di Silindung pada saat itu. Buku ini memang menguraikan mengenai kehidupan masyarakat Tapanuli sebelum tahun 1962, tapi dipandang sangat berguna untuk mengetahui latar belakang sejarah bagaimana kehidupan masyarakat Islam pada masa sejak berakhirnya Perang Paderi terutama setelah pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Kemudian Fritzjof Shuon dalam bukunya, “ Mencari Titik Temu Agamaagama”, terjemahan Saafroedin Bahar, menjabarkan mengenai konsep agama, apa pengertian dari agama. Buku ini mengungkapkan mengenai hubungan antara dua agama yakni Islam dan Kristen. Dalam buku ini dijelaskan mengenai konsep ketuhanan yang dimiliki antara Islam dan Kristen, ajaran Kristen lebih mementingkan aspek Tritunggal dari Yang Ilahi. Tuhan menjelma sebagai manusia dan menebus dunia. Azas turun dalam suatu wujud untuk menertibkan kembali keseimbangan dunia yang terganggu. Menurut ajaran Islam, Tuhan mengukuhkan diri-Nya sendiri
9
Universitas Sumatera Utara
dengan Keesaan-Nya. Tuhan tidak menjelma menjadi manusia berdasarkan perbedaan rahaniah. 8 Ada sebuah buku lama terbitan tahun 1960 berjudul “Perihal Bangsa Batak”. Meskipun buku lama tapi cukup penting karena mengungkapkan awal masuknya ajaran-ajaran Kristen ke tengah-tengah masyarakat Batak oleh orang-orang Inggris sebelum kedatangan Zending. Buku ini juga mengemukakan bagaimana Belanda untuk menguasai Tarutung atau Silindung setelah terlebih dahulu menguasai Tanah Batak bagian selatan, kemudian mendirikan sekolah-sekolah, tetapi lebih banyak mendirikan sekolah-sekolah Zending dalam usaha Kristenisasi. Di sini dijelaskan bahwa pada awalnya orang Belanda tidak membedakan orang Angkola, Mandailing maupun Batak Toba sebagai orang Batak. Mereka yang pertama memperoleh pengetahuan dari pengajaran Kristen di Sipirok adalah berupa kepandaian bertukang dan sebagai guru.
1.5
Metode Penelitian Dalam penulisan sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah yang ilmiah
sangatlah penting. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis. 9 Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum di dalam metode sejarah sangat membantu setiap penelitian di dalam merekonstruksi kejadian pada masa yang telah lalu.
8 9
Frizjof Shuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, terj, Jakarta; Pustaka Firdaus. 1987. hal 119. Dudung Abdurahman op.cit. hal 53.
10
Universitas Sumatera Utara
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam metode sejarah adalah: 1. Heuristik, mengumpukan data atau sumber melalui studi kepustakaan (library research) dari buku, arsip, artikel. Pengumpulan data tidak hanya berupa literatur tetapi juga data yang didapatkan dari penelitian lapangan. 2. Kritik sumber, mengusahakan peneliti untuk lebih dekat dengan nilai kebenaran dan keaslian sumber, terdiri dari kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal yaitu menelaah tentang kebenaran isi atau fakta dari sumber, baik sumber tersebut dari buku, artikel, maupun arsip serta wawancara lisan dengan narasumber. Kritik eksternal dilakukan dengan cara pngujian untuk menentukan keaslian sumber baik dari buku maupun wawancara. Adalah sangat penting untuk melakukan kritik eksternal demi menjaga objektifnya suatu data. 3. Interpretasi, merupakan tahap di mana peneliti mencoba menafsirkan data yang diperoleh yang diharapkan dapat menjdi data yang objektif. Dalam hal ini adalah interpretasi dari hasil pengumpulan sumber, kritik tentang objek kajian peneliti terhadap Islam di Tarutung. Interpretasi ini diharapkan dapat menjadi data sementara sebelum peneliti menuangkannya ke dalam sebuah tulisan. 4. Historiografi, adalah tahapan akhir dari penelitian atau dapat juga dikatakan sebagai penulisan akhir. Dengan hasil akhir dari suatu penulisan yang diperoleh dari fakta-fakta yang dilakukan secara sistematis dan kronologis untuk menghasilkan tulisan sejarah yang ilmiah dan objektif. Historiografi ini
11
Universitas Sumatera Utara
merupakan hasil dari pngumpulan sumber, kritik (baik kritik internal maupun eksternal) serta hasil dari interpretasi.
12
Universitas Sumatera Utara