BAB I. PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG Gelombang Tsunami di Aceh (2004) yang manandai pergeseran pada sendi-sendi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakatnya bukanlah merupakan satu satunya faktor yang menyebabkan kebangkitan lokal di Aceh, tetapi agenda ini juga merupakan akibat dari sejarah masa lalu Aceh, seperti konflik GAM (1976), pemberontakan DI/TII (1953), hingga perang melawan Belanda (1873). Bahkan lebih dari 130 tahun lamanya Aceh telah mengalami masa-masa perang yang berkelanjutan, seperti
bentuk-bentuk
rebellion,
repression, termasuk mengalami tekanan-tekanan politik (Reid, 2007: 2)1. Sejarah masa lalu Aceh sudah sepatutnya menjadi dasar pijakan dalam studi tentang identitas keacehan secara umum. Sejalan dengan itu, mengidentifikasi setiap perkembangan dan perubahan sosial masyarakat Aceh belakangan menjadi hal yang sangat penting, terutama tehun-tahun terakhir pasca tsunami. Peristiwa tsunami yang melanda Aceh 26 Desembar 2004 silam telah memporak-porandakan tidak kurang dari 236.116 jiwa manusia2. Tidak hanya menelan ratusan ribu jiwa, ribuan sektor sosial (perumahan, pendidikan, kesehatan, agama dan budaya), insfrastruktur seperti (transportasi, komunikasi, air dan sanitasi) dan sektor-sektor produksi seperti (pertanian, perikanan industri dan
1
Menurut Anthony Reid, konflik Aceh atau masa krisis Aceh dimulai dari masa penjajahan Portugis yaitu pada tahun 1521. Baca Anthony Reid. Verendah of Violence, the Background of the Aceh Problem. Singgapure: NUS Press. 2007. Hal: 2 2 Data dikeluarkan oleh tim Satkorlak provinsi NAD (Serambi Indonesia, Sabtu 19 Februari 2005)
1
perdagangan)3 juga telah menjadi korban tsunami ini. Gempa dengan kekuatan 8,9 sekala richter ini tidak hanya melenyapkan meterial bangunan dan perumahan penduduk serta fasilitas sosial yang lain tetapi juga hilangnya peluang ekonomi dan luka mental yang diderita oleh masyarakat Aceh pada umumnya. Belum lagi proses recovery Aceh juga telah menyisakan berbagai persoalan identitas lokal yang kompleks. Aceh
sebagai
representasi
gejala
umum
kebencanaan,
memiliki
karakteristik yang berbeda dengan konteks sosial dan kultural di tempat lain. Latarbelakang konflik GAM yang berkepanjangan juga menentukan bagaimana masyarakat Aceh mendefinisikan hubungan-hubungan simbolik yang terus menerus berkembang antara pengalaman masa lalu Aceh dengan masa pasca tsunami. Bahkan Irwan Abdullah menegaskan bahwa perang dan konflik bersenjata juga telah memecahbelah masyarakat dan melemahkan kelembagaankelembagaan tradisional yang menyebabkan tidak jelasnya sistem referensi nilai dan tokoh, hingga melemahnya ikatan komunal secara sistematis (Abdullah, 2006). Dengan demikian persoalan Aceh telah menjangkau sampai pada batasbatas teritori kesejarahan, budaya, hingga persoalan masa depan Aceh yang kini dapat dilihat melalui proses pembangunan Aceh . Studi tentang konstruksi identitas keacehan setidaknya melibatkan tiga unsur pentiing di atas, yaitu aspek kesejarahan, budaya, serta aspek strategis sebagai bentuk perkembangan modernitas. Identitas merupakan suatu entitas yang selalu melekat dalam setiap subjek yang menyertainya. Stuart Hall (1976) mendefinisikan bahwa identitas bukanlah suatu tanda atau ciri yang bersifat
3
Sumber :Bappenas 2005
2
mutlak dan komplit/sempurna bahkan statis, tetapi ia akan selalu berubah dan direproduksi setiap saat. Melalui teori inilah identitas kemudian menjadi suatu yang berpeluang untuk dinegosiasikan, direkonstruksi, bahkan direproduksi. Oleh karena itu, tesis mengenai tafsir atas kenyataan dunia sosial yang dirumuskan oleh Berger dan Luckman (1966) dalam subjektifikasi, objektivasi, dan internalisasi telah menandai terbukanya identitas akan proses-proses dialogis, negosiasi, hingga bahkan identitas layak untuk direkonstruksi sepanjang zaman. Apa yang terjadi di Aceh belakangan ini merupakan suatu gerakan budaya yang menunjukkan upaya sistematis penggalian kekuatan-kekuatan dari dalam untuk menciptakan tatanan Aceh baru yang lebih baik. Modal social (social capital) Aceh merupakan entitas kebudayaan yang penting terutama dalam meletakkan pondasi bagi pembangunan Aceh kedepan. Sebut saja seperti mengaktifkan kembali ruang publik seperti Gampong, Meunasah, Dayah, lembaga-lembaga adat, LSM lokal, termasuk juga ruang budaya seperti “Warung kopi” di Aceh menjadi penting diidentifikasi sebagai peluang ruang publik yang dinamis, dialogis, bahkan negosiatif. Dengan demikian perannya tidak saja menjadi ajang kontestasi antar aktor dan agensi yang merepresentasi kekuatan dari dalam, akan tetapi juga merepresentasi kekuatan dari luar yang ikut terlibat dalam proses-proses pembangunan Aceh selama ini. Bagi pandangan konstruktivis, sebagai suatu yang bersifat dinamis, identitas lokal keacehan juga mengalami berbagai bentuk perkembangan, di mana entitas yang dinilai sebagai suatu yang membedakan antara identitas satu dengan yang lainnya dihadapkan dengan berbagai sentuhan budaya baik nasional, maupun internasional. Oleh karena itu, asumsi tentang kompleksitas perubahan sosial pada
3
tingkat lokal telah menandai berbagai bentuk perubahan sosial di berbagai aspek di Aceh, mulai dari persoalan budaya, ekonomi, politik, keamanan, sampai persoalan disorientasi identitas lokal serta bahkan kearifan masyarakat setempat yang mau tidak mau telah menjadi fakta sosial yang tak terbantahkan. Melalui pergeseran identitas di beberapa tingkat ini persoalan kegelisahan empiris masyarakat lokal mulai teridentifikasi secara jelas. Bahkan setidaknya telah menyumbang konsekuensi-konsekuensi paradigmatik, termasuk mempertanyakan otentisitas pandangan kelompok esensialisme dalam pemetaan teori identitas Hall (1996)4. Jika demikian faktanya, maka harus diakui bahwa di Aceh telah mengalami perubahan struktur identitas lokal keacehan yang terakumulasi pada perilaku sosial di beberapa tingkat, misalnya dari yang biasanya mengedepankan aspek-aspek kebersamaan, kini masyarakat mulai cenderung menunjukkan perilaku yang sebaliknya karena akibat tuntutan hidup yang serba cepat dan canggih di tengah masa-masa sulit pasca konflik dan tsunami, serta didukung oleh kecenderungan pasar yang sedang menguat di Aceh5; dari masyarakat yang memegangi sistem anutan kelembagaan-kelembagaan tradisional seperti tokoh, orang tua, ulama bergeser ke dalam kelembagaan modern seperti media elektronik TV, Internet, maupun cetak, inilah yang oleh Irwan Abdullah disebut deteritorialisasi budaya (Abdullah, 2006:130, 136). Sikap ini tidak saja memicu munculnya praktik sosial baru, tetapi juga mempengaruhi konstruksi identitas; 4
Baca juga dalam Chris Barker. Cultural Studies, theory and practice. London: Sage Publication. 2000 hal: 166 5 Hasil pengamatan terlibat pada masa-masa krisis tsunami di Banda Aceh 2009. Gejala ini hampir menjadi praktik keseharian masyarakat Aceh di tengah maraknya euforia kebebasan dan keterbukaan pasca konflik dan tsunami. Pengamatan ini di dukung oleh hasil penelitian kawan-kawan Aceh Institute pada dua tahun pertama pasca tsunami dalam Sulaiman Tipa. Problematika Kebudayaan di Aceh, Aceh Institute, Banda Aceh. 2006 hal: 35-37
4
seperti masyarakat yang dulunya memegangi nilai-nilai kesederhanaan, kini bergeser ke arah gaya hidup konsumtif, orientasi pada McDonaldisasi, Amerikanisasi, termasuk dalam praktik tingkah laku dalam memahami fashion. Bahkan pada tahun-tahun belakangan beberapa anak muda Aceh tergabung dalam jaringan komunitas “Punk”6 yang kehadirannya telah memicu wacana kontraproduktif di tengah krisis identitas lokal yang dialami Aceh. Di tengah pergeseran perilaku sosial di atas, fakta lain yang dapat menjadi konteks penting dalam studi identitas ini adalah bahwa masyarakat Aceh secara umum menginginkan kembalinya identitas lokal seperti nilai-nilai keacehan menjadi sistem anutan dalam praktik kehidupan sosial masyarakatnya7. Bahkan praktiknya justru masyarakat Aceh sedang dihadapkan pada upaya untuk memformalkan
beberapa
produk
kearifan
lokal
dalam
bentuk
qonun
(Kamarruzaman, 2012: 56)8. Selain itu menguatnya pusat-pusat kebudayaan di Aceh dengan berbagai kegiatan dan gerakan sosial menjadi indikator lahirnya kebangkitan lokal di Aceh, seperti MAA (Majelis Adat Aceh) telah memberikan advokasi pada masyarakat di tingkat Gampong dan Meunasah; Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga melakukan sosialisasi melalui kegiatan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) 2013 tingkat Internasional, yang dalam bebarapa temanya menekankan pada isu-isu dan tema revitalisasi nilai-nilai lokal melalui visit Aceh 2013; institusi-institusi agama meningkatkan pemberlakuan Syariat Islam secara
6
. Selain hasil pengamatan terlibat, data atau berita ini bisa dilihat dalam beberapa media cetak dan elektronik Aceh, serambi news, Acehkita, dll. Komunitas Pank di Aceh, tidak saja dipahami sebagai bagian dari suatu proses globalisasi di Aceh, tetapi juga terbukanya jaringan modernitas yang begitu luas di Aceh. 7 . Hasil wawancara peneliti dengan Badruzzaman Ismail, Ketua MAA Banda Aceh, dan para elit agama dan adat di Banda Aceh. 8 . Qanun yang menjelaskan tentang pelaksanaan kearifan lokal bisa dibaca lebih lanjut dalam Qanun Aceh No.2 tahun 2011 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
5
ketat9; JKMA (Jaringan Kebudayaan Masyarakat Aceh) mempelopori gerakan kebudayaan di tingkat Mukim dengan memperkuat dayah dan pesantren sebagai miniatur pendidikan nilai-nilai lokal/keacehan, serta memperkuat kesenian Aceh sebagai industri budaya. Gerakan kultural yang diciptakan instansi-instansi adat dan agama ini juga didukung oleh NGO-NGO lokal yang memiliki perhatian pada isu-isu kearifan lokal semacam ini. Mereka menginginkan nilai lokal tetap menjadi praktik anutan sehari-hari yang tidak tergantikan oleh sistem anutan yang lain meskipun faktanya desakan global semakin mengancam keberadaan identitas lokal keacehan secara umum10. Dari rangkaian fakta perubahan sosial yang digambarkan di atas, ada persoalan mendasar yang harus dipikirkan, yaitu: di satu sisi, masyarakat Aceh sedang perhatian pada upaya kebangkitan lokal, seperti beberapa hal yang dilakukan di antaranya adalah gerakan sosial penciptaan wacana publik melalui advokasi adat, kelangsungan pendidikan dayah dan meunasah, penegasan peradilan hukum, hingga restrukturisasi peran-peran keulamaan pada tingkat lembaga pemerintahan. Pada saat yang sama sebuah gagasan menegaskan perlunya pembangunan Aceh sebagai Aceh baru, Aceh yang tidak lagi hidup dalam kungkungan konflik, penjajahan, tekanaan-tekanan politik nasional maupun internasional, Aceh yang merdeka dari aspek budaya dan politik, Aceh yang
9
. PERDA Syariat Islam tidak lagi sebagai simbol formalitas masyarakat dalam menjalankan Islam, akan tetapi PERDA Syariat Islam kemudian dinterpretasi sedemikian rupa melalui rapat kajian di MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama), diharapkan Syariat Islam dapat dipahami secara lebih kontekstual dan dapat diterima oleh konteks sosial masyarakat Aceh, yaitu dengan dibubuhi istilah Syariat Islam “kaffah” yang artinya komprahensif, menyeluruh, tidak parsial. 10 . Wawancara dengan salah satu pengurus JKMA (Jaringan Kebudayaan dan Masyarakat Adat), dengan menyebutkan bahwa gerakan ini memberi semangat untuk menjaga keseimbangan antara Identitas, budaya dan kepentingan berbagai kelompok atau organisasiorganisasi internasional yang selama ini terlibat dalam program-program rehabilitasi Aceh dan rekonstruksi pasca tsunami, 9 September 2012
6
mampu berdaulat, tidak ditentukan oleh suatu kekuatan dari luar, tetapi dibentuk oleh kekuatan negosiasi yang seimbang, sampai Aceh yang lebih kondusif, aman, damai dan berdaulat kini kondisi itu juga sedang diupayakan. Implikasinya hampir di semua lini kehidupan Aceh dihadapkan pada tuntutan modernitas dan globalitas yang mau tidak mau akan menggeser kekuatan-kekuatan dari dalam. Sementara, di sisi yang lain fakta historis bahwa Aceh dikenal sebagai tempat di mana agama dan adat menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial, Adat bak po Teumeureuhum, hukom bak Syiah Kuala. Sisi-sisi kehidupan sosial budaya Aceh dibangun atas dasar agama dan adat. Hal ini yang membentuk suatu sumber dalam penataan sosial yang berlangsung di Aceh. Dalam peribahasa yang sedikit berbeda “hukom ngon adat han jeuet cre, lagee dat ngon sifeuet” yang artinya hukum agama tidak dapat dipisahkan dari adat, seperti tidak dapat dipisahkannya antara dzat Tuhan dengan sifat-Nya11. Termasuk keberadaan ulama merupakan menifestasi dari adanya pilar agama dan adat yang perannya sangat penting bagi kehidupan sosial masyarakat Aceh. Oleh karena itu, yang menjadi kegelisahan akademis sekaligus empirik dari fakta ini adalah bahwa entitas agama dan adat Aceh yang diterjemahkan sebagai yang mewakili kepentingan identitas lokal telah dihadapkan pada persoalan riil praktik-praktik global dan perilaku sosial baru di luar sistem anutan lokal yang mengejawantah dalam tatanan sosial masyarakat Aceh sebelumnya. Sementara hubungan lokal dan global tidak bisa dipisahkan, terutama dalam membangun spirit kebangkitan lokal yang kini sedang digerakkan di Aceh. Konsekuensinya adalah bahwa gejala semacam ini harus direspon sebagai suatu 11
Ibrahim Alfian. Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan mengenai Hikayat Perang Sabil. Jakarta: Balai Pustaka.1992
7
tuntutan modernitas yang dapat mendukung harapan-harapan akan Aceh yang lebih baik.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latarbelakang persoalan keacehan di atas, dapat kita rumuskan beberapa masalah penelitian, diantaranya adalah bahwa identitas selalu mengalami perubahan yang terus menerus, bersifat dinamis, tidak stagnan, dan karena itu ia dikonstruksi oleh banyak hal, terutama yang berkaitan dengan kondisi objektif kesejarahan masyarakat Aceh, struktur kebudayaannya, serta lingkungan sosial-politiknya. Oleh karena itu, desakan kultur global yang meluas pada masa-masa periode pasca konflik dan tsunami telah memberi pengaruh sosial-budaya masyarakat secara masif. Tidak saja pada aspek sistem nilai, sistem keyakinan, dan gaya hidup, tetapi juga pada identitas lokal. Alfred Schutz menekankan peran-peran subjek dalam pembentukan identitas, sebagaimana yang berkembang di Aceh, bahwa identitas Aceh juga telah dikonstruksi oleh para subjek/aktor baik mereka yang menggerakkan sebuah institusi-institusi sosial/masyarakat/adat, ataupun ekonomi/pasar, maupun politik atau negara. Terlepas dari relasi para aktor, proses-proses negosiasi identitas juga harus dilihat sebagai fakta penting dalam pembentukan identitas dan dalam menentukan pilihan-pilihan hidup dan kehidupannya. Adapun yang menjadi kegelisahan empiris sekaligus akademis penelitian ini adalah bahwa mengapa identitas keacehan yang menguat pada periode pasca konflik dan tsunami ini, justru cenderung dibangun berdasarkan spirit universalisme, melalui kerangka kekuatan-kekutan global? Seperti penyeragaman
8
yang terjadi pada pemberlakuan PERDA Syariat Islam melalui kanonik agama menjadi tanda dari sebuah konstruksi negara. Sementara spirit lokalitas keacehan dinilai lamban –meski juga bersikap terbuka-- dalam memberdayakan peran-peran institusi keagamaan dan adat, terutama dalam merespons geliat yang justru akan melemahkan basis-basis lokal keacehan ini? seiring berjalannya waktu bersamaan dengan proses pembangunan Aceh, kini masyarakat mulai menemukan bentuknya, lalu pertanyaannya adalah: peta kekuatan lokal seperti apa yang dapat menggerakkan masyarakatnya hingga Aceh mampu membangun kembali kebangkitan Aceh yang kini sedang diupayakan? Dari uraian rumusan masalah di atas dapat dijabarkan ke dalam tiga pertanyaan penelitian di bawah ini: 1. Bagaimana identitas keacehan mengalami perkembangan pembentukannya sejak sebelum dan sesudah tsunami? 2. Bagaimana relasi masyarakat, negara, dan pasar dalam pembentukan identitas keacehan di tanah rencong berlangsung? 3. Bangunan negosiasi identitas seperti apa yang telah dilakukan di Aceh, sehingga dapat menggerakkan masyarakatnya mewujudkan gagasangagasan Aceh baru, serta membangun kembali kebangkitan Aceh yang dicita-citakan? C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan kajian penelitian disertasi ini mengacu pada tiga hal yang telah dirumuskan dalam pertanyaan penelitian ini, oleh karena itu tujuan penelitian ini dapat diuraikan dalam tiga tujuan utama di bawah ini, yaitu:
9
1. Penelitian ini ingin memetakan perkembangan identitas keacehan selama masa atau periode sebelum dan sesudah tsunami sebagai sebuah proses konstruksi identitas Aceh yang berlangsung secara dinamis. 2. Penelitian ini selain memetakan perkembangan identitas di Aceh, juga menjelaskan para aktor yang terlibat dan relasi-relasinya dalam menjelaskan tentang pembentukan identitas keacehan pasca konflik dan tsunami 3. Selain itu, penelitian ini juga berusaha menjelaskan bangunan negosiasi yang telah diciptakan, terkait hubungan identitas lokal dan global, sehingga
dapat
mewujudkan
gagasan-gagasan
Aceh
baru,
serta
membangun kembali kebangkitan Aceh yang dicita-citakan.
D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian dapat dilihat dalam rumusan penjelasan di bawah ini: 1. Penelitian ini dapat mengetahui peta perubahan konstruksi identitas keacehan sejak sebelum dan sesudah tsunami 2004. 2. Pembahasan bagian ke dua bermanfaat untuk memahami sekaligus mengetahui aktor atau subjek-subjek yang terlibat dalam menjaga kesimbangan antara identitas, kultur dan kepentingan, terutama dalam merespon gejolak globalitas pasca tsunami. 3. Penelitian ini dapat menunjukkan lebih jauh tentang kerja-kerja negosiasi yang telah dilakukan masyarakat Aceh melalui tema-tema yang berkaitan dengan menguatnya arus globalisasi dan modernisasi di Aceh, terutama di Banda Aceh.
10
E. KERANGKA KONSEP DAN LANDASAN TEORI Penelitian ini berlangsung dengan kerangka konsep dan paradigma konstruktivisme, di mana teori-teori yang digunakan banyak bersentuhan dengan teori-teori konstruksi sosial. Penelitian ini dibangun dengan dua konsep utama, yaitu konsep yang berhubungan dengan dunia konstruksi sosial dan konsepkonsep yang dibangun dengan pendekatan fenomenologis. Oleh karena itu, pertama, meletakkan teori konstruksi sosial yang dikenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann tentang tafsir atas realitas sosial untuk menjelaskan proses pembentukan identitas yang selama ini berlangsung di Aceh mulai dari Aceh yang dikonstruksi oleh sejarah perang atau aspek-aspek kolonialitas, disusul juga aspek kebudayaan khususnya budaya Melayu yang hampir berpengaruh pada wilayah nusantara, dan juga Islam sendiri yang bahkan dalam praktiknya telah menjadi anutan dan referensi tindakan bagi masyarakatnya, hingga yang terakhir soal konstruksi modernitas yang dapat dilihat pada dinamika Aceh pasca konflik dan tsunami ini; Kedua, penelitian ini menggunakan basis fenomenologi Alfred Schutz untuk membantu menganalisis hubungan-hubungan antar subjek yang terumus dalam teori paradigma fenomenologi sosial/konstruktivis, di mana digambarkan dalam penelitian ini sebagai pembahasan tentang hubungan antar aktor. 1. Kerangka konseptual dan teoritis tentang konstruksi sosial Bagian pertama dari studi ini menggunakan teori konstruksi sosialnya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Sebelum sampai pada penjelasan inti tentang teori konstruksi sosial, peneliti merasa perlu menjelaskan bagaimana
11
bentuk-bentuk konstruksi dalam ilmu sosial. Sejauh ini ada tiga macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis;
dan
konstruktivisme biasa12. 1). ”Konstruktivisme radikal” hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu. 2.) “Realisme hipotesis” pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. 3.) “Konstruktivisme biasa” mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.
Dari ketiga macam konstruktivisme di atas terdapat kesamaan di mana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial. Sebagai catatan akademik, pemikiran Peter L. Berger dan Thomas Luckmann secara utuh dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul “the Social 12
Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta:Kanisius, 1997,Ibid, hlm. 25
12
Construction of Reality: A Treatisein the Sociology of Knowledge”. Keduanya meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya, “reality is socially constructed”. Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Dalam penjelasan Deddy N Hidayat, bahwa ontologi paradigma konstruktivis memandang realitas sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat, 1999: 112). Melihat berbagai karakteristik dan substansi pemikiran dari teori konstruksi sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. Oleh karena itu, pemikiran Berger banyak terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang “makna-makna subjektif”, DurkheimianParsonian tentang “struktur” Marxian tentang “dialektika” serta Mead tentang “interaksi simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial sebagai sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme.
13
Beberapa argumen Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial berikut ini dapat dipertimbangkang untuk membantu menganalisis gejala konstruksi identitas yang berlangsung di Aceh: Pertama, realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial di sekelilingnya; Kedua, hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan; Ketiga, kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus; Keempat, membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Selanjutnya Berger dan Luckman mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya. Jika dilihat dari perspektif teori Berger dan Luckman, maka konstruksi sosial berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas
14
yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-sintesis, Berger dan Luckman menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan eksternalisasi-objektivasiinternalisasi. Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”. Sedangkan Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. Sementara internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product” (Berger dan Luckmann, 1966: 213).. Jika teori-teori sosial tidak menganggap penting atau tidak memperhatikan hubungan timbal balik (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini menyebabkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada dalam diri atau kenyataan subyektif. Selanjutnya sumbangan Schutz dalam penelitian ini. Bagi Schutz memang pengetahuan mengenai dunia sosial itu merupakan pengetahuan yang sifatnya inderawi belaka dan tidak lengkap, tidak akan pernah utuh, karena kemampuan indera manusia dalam menyerap pengetahuan itu memang memiliki keterbatasan.
15
Konsep Schutz mengenai dunia sosial sesungguhnya dilandasi oleh kesadaran (consciousness) karena menurutnya di dalam kesadaran itu terdapat hubungan antara orang (orang-orang) dengan objek-objek (Basrowi, 2005:8). Dengan kesadaran itu pulalah kita dapat memberi makna atas berbagai objek yang ada. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama adalah bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap-muka dengan orang lain. Kategori pengetahuan kedua adalah berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut oleh semua anggota budaya dengan memfokuskan pada pemahaman dan pemberian makna atas berbagai tindakan yang dilakukan seseorang atau orang lain di dalam kehidupan keseharian sehingga fenomenologi memang merupakan pengetahuan yang sangat praktis serta bukan merupakan pengetahuan yang sifatnya intuitif dan metafisis. Sosiologi memang termasuk ke dalam pengetahuan yang sifatnya praktis karena sosiologi dapat memberikan penjelasan mengenai dunia sosial. Fenomenologi mengatakan bahwa kenyataan sosial itu tidak bergantung kepada makna yang diberikan oleh individu melainkan pada kesadaran subyektif para aktor. Tujuan dari fenomenologi adalah menganalisis dan melukiskan kehidupan sehari-hari atau dunia kehidupan sebagaimana disadari oleh aktor. Dalam melakukan studi ini seorang individu harus mengurungkan (bracketing off) atau meninggalkan semua asumsi atau pengetahuan yang sudah ada tentang struktur sosial dan mengamati sesuatu secara langsung. Pendukung teori ini berpendapat bahwa sekalipun orang melihat kehidupan sehari-hari seperti terjadi begitu saja, namun analisis fenomonelogi bisa menunjukkan bagaimana dunia sehari-hari itu tercipta. Schutz mengawali pemikirannya dengan mengatakan bahwa objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan degan
16
interpretasi terhadap realitas. Jadi, sebagai peneliti ilmu sosial, kita pun harus membuat interpretasi terhadap realitas yang diamati. Orang-orang saling terikat satu sama lain ketika membuat interpretasi ini (Bernard Raho, 2007:126). Fenomenologi sosial yang diintrodusir oleh Schutz mengandaikan adanya tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yaitu dunia sehari-hari, tindakan sosial dan makna. Dunia sehari-hari adalah dunia yang paling fundamental dan terpenting bagi manusia. Di katakan demikian Dikarenakan dunia sehari-hari adalah lokus kesadaran intersubjektif yang menjembatani adanya kesadaran sosial. Dalam dunia ini, seseorang selalu berbagi dengan teman, dan orang lain, yang juga menjalani dan menafsirkannya. Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada satu
bentuk dari subyektivitas yang
disebutnya, antar subyektivitas. Konsep ini menunjuk kepada pemisahan keadaan subyektif atau secara sederhana menunjuk kepada dimensi dari kesadaran umum ke kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling berintegrasi (because motive and in order to motive). Intersubyektivitas yang memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi, tergantung kepada pengetahuan tentang peranan masing-masing yang diperoleh melalui pengalaman yang bersifat pribadi dan fenomnologi. Konsep intersubyektivitas ini mengacu kepada suatu kenyataan bahwa kelompokkelompok sosial saling menginterpretasikan tindakannya masing-masing dan pengalaman mereka juga diperoleh melalui cara yang sama seperti yang dialami dalam interaksi secara individual. Faktor saling memahami satu sama lain baik antar individu maupun antar kelompok ini diperlukan untuk terciptanya kerja sama di hampir semua organisasi sosial. Schutz memusatkan perhatiannya kepada struktur kesadaran yang diperlukan untuk terjadinya saling bertindak atau
17
interaksi dan saling memahami antar sesama manusia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa interaksi sosial terjadi dan berlangsung melalui penafsiran dan pemahaman tindakan masing-masing
baik antar individu maupun antar
kelompok.
2. Kerangka Konsep dan Teori tentang Pembentukan Identitas Pandangan Stuart Hall dalam artikelnya yang berjudul The Question of Cultural
Identity,
mengidentifikasi
tiga
perbedaan
cara
yang
mengkonseptualisasikan identitas, yaitu (a) subyek pencerahan; (b) subyek sosiologi, dan (c) subyek posmodernisme. Dalam perspektif era pencerahan berkembang gagasan bahwa pribadi dipandang sebagai agen kesatuan yang unik dan bersekutu terhadap Pencerahan (Enlightenment). Hall menuturkan: The enlightenment subject was based on conception of the human person as a fully centred, unified individual, endowed with the capacities of reason, consciousness and action, whose „centre‟ consisted of an inner core …. The essensial centre of the self was a person‟s identity (Hall, 1992: 275).
Hall juga menganjurkan bahwa untuk memahami konsep identitas kebudayaan juga erat kaitannya dengan asumsi-asumsi yang berkembang dalam aliran pemikiran esensialisme dan anti-esensialisme kebudayaan (Barker, 2000: 166). Dalam pandangan kaum esensialis, bahwa pribadi-pribadi mempunyai hakekat tentang diri yang disebut identitas. Kaum esensialisme berasumsi bahwa diskripsi diri kita mencerminkan hakekat yang didasari identitas. Dengan demikian akan bisa ditetapkan apa itu hakekat femininitas, maskulinitas, orang Asia, remaja dan semua kategori sosial yang lain. Sebaliknya, terdapat pula pandangan bahwa
18
identitas sepenuhnya merupakan kebudayaan, yang dibentuk berdasarkan ruang dan waktu. Ini merupakan pandangan kaum anti-ensensialisme yang menjelaskan bahwa bentuk-bentuk identitas senantiasa berubah dan berkaitan dengan kondisi sosial dan kebudayaan. Identitas adalah konstruksi-konstruksi yang tidak saling berkaitan, makna-maknanya senantiasa berubah mengikuti ruang dan waktu, serta penggunaannya. Asumsi kaum esensialisme meyakini bahwa kebudayaan terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah selesai, mantap, baku dan berdiri sendiri. Dalam pandangan mereka, tingkah laku sekelompok orang akan tergantung kepada nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan yang dianutnya. Jadi, untuk mengubah tingkah laku budaya perlu diubah terlebih dahulu seluruh perangkat nilai dan norma kebudayaan yang menjadi pendoman bagi tingkah laku budaya. Salah satu ungkapan yang khas kaum esensialisme budaya ini adalah: “Jangan salahkan kebudayaan, tetapi salahkan orangnya.” Kalau ada yang menyimpang dalam kebudayaan maka yang harus diubah adalah tingkah laku budaya dan bukannya nilai dan norma-norma kebudayaannya. Dalam pandangan mereka, sistem dan norma itu sudah baku, tidak bisa diubah, sehingga jika ada fenomena penyimpangan, tingkah laku manusia dianggap sebagai menyimpang dari sistem nilai dan norma yang berlaku (Hall, 1992: 275). Berdasarkan konsep anti-esensialisme di atas, konsep identitas sendiri juga sangat ditentukan oleh bagaimana identitas itu dibentuk dan dinegosiasikan. Untuk itu menurut Hall (1996: 2). “konsep identitas juga tidak bisa dilepaskan dari konsep menganai diri dan identifikasinya. Identifikasi dibangun berdasarkan pengakuan atas asal-usul yang sama atau ciri-ciri yang sama dengan orang lain atau atas gagasan
19
gagasan tertentu, dan atas ikatan solidaritas atau persekutuan yang terbentuk di atas fondasi ini”.
Dengan demikian, identifikasi selalu berproses dan berada dalam pembentukan secara terus-menerus. Karena identifikasi merupakan proses artikulasi dan pengenalan diri dalam hubungannya dengan faktor-faktor yang berpengaruh yang ada di lingkungannya. Jika dihubungkan dengan sejarah, maka identitas merupakan subjek dari konstruksi sejarah yang selalu dalam proses transformasi dan perubahan yang terus-menerus. Dengan kata lain, identitas dibangun dalam perkembangan sejarah yang dapat dilihat dari praktik-praktik dalam masyarakat dan kebudayaan. Ia dihasilkan dalam ruang lingkup historis bukan a historis, dan proses institusionalisasi tertentu, serta dalam pembentukan wacana yang spesifik, karena ia dibangun melalui sebuah wacana. Selanjutnya Hall menekankan bahwa: “sesungguhnya masalah identitas itu adalah pertanyaan tentang bagaimana menggunakan sumber-sumber sejarah, bahasa, dan kebudayaan, dalam proses yang “menjadi” bukan semata-mata “ada”, sebagaimana harapan akan menjadi bagaimana, apa yang telah kita tampilkan, dan bagaimana kita menampilkan diri kita” (Hall, 1996:4-5).
Terlepas dari identitas sebagai sebuah produksi wacana, Hall menegaskan bahwa konsepnya tentang identitas bukanlah konsep esensialis, melainkan strategis dan posisional. Dengan demikian, konsep identitas bukan berarti keadaan diri yang stabil, permanen, dan bahkan tetap dari awal sampai akhir tanpa perubahan. Identitas tidak pernah menyatu selalu terpecah-pecah dan terbagi-bagi, karena telah dibangun dalam sebuah wacana, praktik-praktik, dan posisi, serta menjadi subjek kesejarahan yang radikal dan selalu dalam transformasi yang terus
20
berubah-ubah. Masih menurut Hall, bahwa identitas itu dibentuk mellaui representasi dari dalam bukan dari luar, sebagaimana yang dikonsepsikan Darrida dalam memandang konstruksi identitas. Oleh karena itu, rasa memiliki yang melaluinya, identitas itu dibangkitkan, terletak dalam representasi simbolik dan imajiner, dan oleh karenanya terbentuk dalam ranah imajiner (Hall, 1996: 4). Melalui pengertian di atas, Hall kemudian menegaskan kembali bahwa sesungguhnya identitas adalah semacam “titik singgung” “titik temu” antara praktik dan wacana di satu sisi, kemudian disisi lain proses prodeksi subjektivitas yang membentuk kita sebagai subjek. Oleh karena itu, identitas merupakan titik singgung yang menghubungkan antara posisi subjek dengan praktik diskursif yang membentuknya. Identitas adalah posisi di mana subjek “mengetahui” dan posisi tersebut merupakan sebuah representasi yang selalu dibentuk melalui pembedaan dan dari sudut pandang orang lain, sehingga identitas itu tidak pernah permanen. Oleh karena itu. Posisi titik temu bisa dianggap sebagai sebuah artikulasi dari sebuah identifikasi (Hall, 1996: 6-5). Proses inilah yang menentukan bahwa identitas itu berada dalam proses negosiasi. Dalam hal proses negosiasi identitas ini Hall meminjem Althusser melalui apa yang disebut sebagai “titik interpelasi” antar subjek dan aparat-aparat ideologis. Terlepas dari soal titik temu atau titik interpelasi suatu identitas, Anthony Giddens (1991)13 juga memberi kontribusi yang sangat nyata dalam hal perdebatan identitas ini. Sebuah teori identitas yang cair muncul dengan asumsi identitas diri sebagai projek. Identitas merupakan apa yang oleh person pikirkan, identitas bukanlah merupakan kumpulan ciri-ciri tertentu sebagaimana yang kita 13
Baca dalam Chris Barker. Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage Publication, 2000. P. 166-168. Lebih langkapnya baca Anthony Giddens. Modernity and Self Identity. Cambridge: Polity Press 1991
21
miliki, bukan pula sesuatu yang kita miliki, entitas yang menyebabkan kita mendapat poin tertentu. Melainkan lebih dari itu, identitas adalah sebuah “mode of thinking” tentang diri kita sendiri. Oleh karena itu, identitas adalah apa yang kita bayangkan bahwa kita berubah dari suatu keadaan ke keadaan dalam suatu ruang dan waktu tertentu, ini lah apa yang disebut Giddens bahwa identitas sebagai sebuah projek. Dengan demikian, bagi Giddens identitas adalah suatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses. 3. Kerangka konsep Identitas dan budaya lokal Oleh karena itu, secara tidak langsung, pandangan di atas telah menginspirasi pandangan-pandangan generasi selanjutnya. Seperti bagaimana Liliweri misalnya membagi bentuk identitas menjadi tiga jenis, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial, dan identitas budaya. Identitas pribadi adalah identitas yang didasarkan pada keunikan karakteristik pribadi yang berbeda degan orang lain, seperti kemampuan bakat, minat, serta pilihan-pilihan pribadi lainnya. Sedang identitas sosial sebagai hasil dari keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau sebuah komunitas tertentu. Identitas sosial adalah sebuah identitas yang diperoleh melalui usaha dan pembelajaran dalam jangka waktu yang lama. Bentuk-bentuk kelompok sosial yang dapat memberikan identitas sosial bagi anggotanya antara lain kelompok sosial yang berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas sosial, agama, profesi, atau bahkan lokasi tertentu. Sementara identitas budaya adalah karakteristik-karakteristik yang diperoleh karena seorang itu menjadi anggota dari suatu kelompok budaya tertentu. Identitas budaya meliputi proses pembelajaran dan penerimaan dari tradisi, ciri-ciri khas alami atau bawaan,
22
bahasa, keyakinan agama yang diajarkan secara turun temurun dalam suatu kebudayaan atau kelompok budaya tertentu (Liliweri, 2002:96-98). Dari penjelasan Liliweri di atas dapat disimpulkan bahwa identitas itu selalu dibentuk dalam strukstur sosial dan budaya masyarakat. Dengan demikian berarti bahwa pengertian identitas budaya adalah karakteristik dari suatu budaya yang dapat diketahui batas-batasnya dibanding identitas yang lain. Identitas budaya bukan hanya bermakna karakteristik fisik semata, tetapi lebih sebagai sebuah sistem yang merepresentasi cara, motivasi, orientasi dalam berfikir, merasa, dan bahkan berperilaku (Liliweri, 2002: 71-73). Terlepas dari konteks identitas pribadi, sosial, maupun identitas budaya, teoritikus asal Jepang, ikut menyumbangkan pemikirannya dalam persoalan konstruksi identitas. Dia adalah Amartya Sen, dalam bukunya “identity and violance”2006, menjelaskan bahwa identitas itu selalu bergantung pada konteks sosial, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan identitas pasti bergantung pada lingkungan sosialnya (Sen, 2006:26-27). Dengan demikian, manusia menjadi anggota dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda, bisa melalui kelahiran, hubungan sosial, mapun persekutuan. Dari keanggotaan ini, setiap identitas kelompok akan memberikan rasa keterikatan dan loyalitas pada seseorang. Karena manusia bisa bergabung pada kelompok sosial yang berbeda-beda. Dengan begitu, setiap bentuk kolektifitas akan memberikan identitas yang berbeda pula. Oleh karena itu, identitas adalah masalah pilihan dan batasan-batasan, dan seluruh proses ini bergantung pada signifikansi sosial. Sen memberikan ilustrasi contoh yang baik untuk menguatkan teorinya tersebut, yaitu ketika seorang warga negara Jepang yang tinggal di Inggris menolak untuk menjadi warga negara
23
Inggris, karena ia tidak ingin kehilangan identitas Jepangnya, menunjukkan sebuah loyalitas kepada identitas nasional kejepangannya (Hall, 2006: 29). Sedangkan loyalitas sendiri bisa berpotensi konflik dalam memberikan prioritasprioritas, terutama pada masalah-masalah suku, agama, kewarganegaraan, afiliasi politik, dan juga termasuk tugas profesional. Oleh karena itu, seseorang dalam identitas jamaknya harus memutuskan kepentingan identitas-identitas yang berbeda secara relatif, di mana penalaran dan ketelitian berperan penting dalam mengambil keputusan. Di sinilah dapat ditegaskan bahwa manusia sesungguhnya selalu membuat pilihan-pilihan atas prioritas yang diberikan pada suatu afiliasi atau ikatan (Hall, 2006: 30). Pada batas itulah, Sen juga menegaskan suatu prioritas identitas yang bebasis kamunitas adalah berdasarkan filsafat komunitarian, yang memberi prioritas pada pentingnya menjadi anggota komunitas tertentu, dan memandang bahwa kamunitas adalah sebuah “perluasan” dari diri seseorang. Oleh karena itu, identitas dalam sebuah komunitas menjadi suatu yang utama atau dominan dalam identitas seseorang. Latarbelakang sosial seseorang tidak bisa dilepaskan dari komunitas dan kebudayaan, yang menentukan cara-cara untuk melakukan penalaran dan pilihan. Pada ujung diskusi ini Sen menegaskan bahwa apabila proses pembantukan identitas dianggap sebagai sebuah “penemuan baru”, maka identitas komunitarian tetep merupakan sesuatu yang utama dan dipertahankan (Hall, 2006: 33-33). Secara lebih longgar, hubungan komunitas dan identitas juga dijelasakan oleh Irwan Abdullah (2006), yang menunjukkan bahwa makna dari istilah komunitas itu sendiri juga mengandung kesamaan identitas atau kaerakteristik
24
dari para anggotanya. Abdullah mengilustrasikan sebuah kelompok yang para anggotanya mempunyai minat atau hobi yang sama atau yang disebut dengan “komunitas hobi” (community of interest) (Abdullah, 2006: 141-142). Dalam hal ini, Abdullah mengutip Robert Redfield dalam menjelaskan karakteristik sebuah komunitas, yaitu suatu kelompok yang memiliki ciri-ciri: 1) unit-unit yang kecil, 2) homogenitas pemikiran dan aktifitas dari para anggotanya, 3) kemandirian, dan 4) adanya kesadaran akan perbedaan dengan kelompok yang lain. Alhasil, kesadaran sebuah kelompok tentang perbedaan identitas mereka dengan kelompok lain memerlukan penafsiran yang lebih kontekstual. Di satu sisi, perbedaan identitas
muncul sebagai
bagian dari pilihan rasional
dan
bergemingnya sebuah kelompok melawan gerakan sosial dan ekonomi yang ekspansif, kesadaran sebuah kelompok untuk memelihara dan melestarikan identitasnya terjadi dalam interaksi yang dinamis di dalam kelompok itu sendiri, serta dalam jaringan dan sistem sosial yang lebih luas, dan bukan semata-mata sebagai kesadaran yang muncul dan terbentuk berdasarkan sistem internal kelompok itu sendiri yang tertutup (Abdullah, 2006: 148-149). Identitas yang dilekatkan pada ideologi terhubung dengan faham yang biasanya di bawah kontrol suatu negara untuk menjalankan hubungan diplomasi dengan bangsa-bangsa lain. Identitas dalam konteks ini sering digolongkan sebagai identitas bangsa, hasil konstruksi dari berbagai kelompok identitas etnis. J. Jones (1972) menguraikan etnis atau kelompok etnis adalah sebuah himpunan manusia yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa bahkan peran dan fungsi tertentu (Alo Liliweri, 2007: 14).
25
Dalam studi tentang lokalitas dan globalitas, keacehan merupakan subjek yang dikonstruksi dalam ranah lokal, sehingga perspektif global (outsider) melihat keacehan sebagai miniatur lokal yang berisi sistem anutan lokal yang menurut penelitian ini dapat disandingkan maknanya menjadi identitas lokal. Local identity atau identitas lokal yang merupakan representasi lokal dapat digambarkan sebagai suatu konstruksi lokal dengan berdasarkan etnisitas suatu kultur tertentu. Salah satu yang merepresentasi identitas keacehan adalah local wisdom atau “kearifan lokal”, yang secara literal bisa disandingkan dengan pengertian sejenis seperti; “nilai indegenous” (Indegenous values), atau bahkan beberapa ahli antropologi menyebut “local genius”. Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila Clifford Geertz (1989), mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan, kreativitas, dan pengetahuan
lokal
menjadi
penentu
dalam
pembangunan
peradaban
masyarakatnya. Dalam masyarakat kita, kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaankebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat
26
tertentu dan menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan dan dapat diamati melalui sikap dan perilaku masyarakat sehari-hari. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah “local genius”. Local genius ini merupakan istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal di antaranya: mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, mampu memberi arah pada perkembangan budaya. I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www. balipos.co.id, didownload 17/9/2013, mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
27
dalamnya dianggap sangat universal. S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, http://www.balipos.co.id mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving). Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture). Untuk itu dalam konteks Aceh, kebangkitan lokal yang mengusung nilainilai dan kearifan lokal kembali menjadi referensi anutan kehidupan sehari-hari bagi masyarakatnya, di mana kini menjadi agenda yang terbuka, artinya kebangkitan lokal telah secara terang-terangan diusung menjadi orientasi baru, terutama pasca tsunami. Bahkan, masyarakat saat ini sedang dihadapkan pada pemformalan produk “kearifan lokal” dalam bentuk qanun. Oleh karena itu, studi
28
tentang identitan keacehan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari harapan-harapan umum masyarakat Aceh saat ini. Wacana tentang kebangkitan lokal hampir menjadi isu yang sangat populer di tengah berlangsungnya masa-masa transisi pasca tsunami. Secara teoritis, Keesing (1999:257)14 menjelsakan bahwa kebangkitan lokal adalah perubahan komunitas karena kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh suatu cara hidup dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah lampau. Keesing lebih menekankan pada kesadaran baru terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang sudah menyimpang dari tradisi-tradisi lama. Kebangkitan lokal dapat berupa cara hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturanaturan yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap mengikuti pola kehidupan lama yang telah diturun-temurunkan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Oleh karena itu, dalam era global ini, menurut Ardana, telah muncul upaya-upaya untuk membangkitkan kembali atau pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan peran dari lembaga adat (Ardana, 2004: 34). Menggunakan nilai-nilai budaya lokal untuk menjawab berbagai tantangan global. Inilah sebagai wujud nyata dari konteks yang melatari studi ini yaitu kebangkitan lokal. Oleh karena itu, perlunya lebih ditingkatkan peran lembaga adat dalam menangani persoalan-persoalan konflik politik, krisis ekonomi, degradasi budaya sebagai akibat pengaruh globalisasi. Kebudayaan nasional merupakan proses dari bawah, dengan bertumpu pada dualistik antara kebudayaan lama dan kebudayaan baru. Meskipun pada kenyataannya, kebudayaan baru terus mendominasi 14
Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif kontemporer. (Samuel Gunawan, Pentj). Jakarta: Erlangga.
29
kebudayaan lama yang sarat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dapat menangkal gelombang pasang globalisasi dan bergulirnya proses transformasi berbagai dimensi kehidupan sosial yang mengarah pada satu pusat budaya kosmopolitan. Strategi kebudayaan melalui revitalisasi identitas lokal, harus membuka akses partisipatif dan membangkitkan respon mutualistik dari eksponen budaya yang beragam.
F. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bagian ini dibicarakan tentang tinjauan pustaka relevan yang dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama. Pustaka yang memiliki perhatian pada sejarah keacehan, terutama pada masa sebelum tsunami dan sebelum kemerdekaan. Pembicaraan meliputi masa pra kolonial, kolonial, hingga pasca kolonial. Tidak hanya itu, di bagian ini juga digambarkan kondisi pada masa-masa menjelang kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan, sampai pada masa-masa konflik yang berkepanjangan, di mana masa-masa itu merupakan momentum sejarah keacehan yang tidak bisa lepas dari studi tentang pembentukan identitas keacehan. Kedua, adalah pustaka yang juga perhatian pada perkembangan identitas keacehan pasca konflik, perdamaian Aceh, hingga pasca tsunami. Dalam kaitan ini ada beberapa kepustakaan relevan yang banyak membantu menemukan gagasan, kerangka, serta starting point yang menjelaskan kekhususan penelitian yang sedang peneliti ajukan, serta isu-isu yang belum disentuh dalam kajian atau penelitian sebelumnya. Atas alasan kekhususan penelitian ini, pada bagian berikut akan dipetakan beberapa kepustakaan menurut isu, konteks dan ranah masing-masing. Pertama,
30
karya-karya yang muncul sebagai sebuah kajian yang mengupas tentang masa sebelum dan awal konflik yaitu yang direpresentasi dalam kajian pra kolonial, kolonial, hingga pasca kolonial. Kajian James T. Siegel The Rope of God (1969), menggambarkan akibat perang di Aceh yang mempengaruhi identitas keacehan. Buku ini secara umum telah menggambarkan bagaimana transisi Aceh (sebelum tsunami) mempengaruhi pemaknaan identitas, simbol-simbol keagamaan, juga menggambarkan keterlibatan para elit Aceh dalam perang/pemeberontakan, seperti Sultan dan nasionalisme Aceh, ulama’ dan pesantren. Di dalamnya juga dibicarakan bagaimana kondisi Aceh di bawah jajahan Belanda serta ide tentang agama pada saat itu. Yaitu menyangkut gejala sosial yang dijelaskan kurang lebih lima dasawarsa yang lalu. Penelitian yang dilakukan Siegel tidak memperlihatkan krisis Aceh pasca tsunami, tetapi paling tidak konstruksi identitas keacehan pada masa-masa perang melawan Belanda banyak digambarkan. Karya sejarah monumental yang ditulis Anthony Reid yang berjudul “Asal Mula Konflik Aceh; Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke–19” terbit 2005. Secara historis buku ini banyak memberikan
pathokan-pathokan
yang
penting
dalam
menulis
tentang
perkembangan identitas keacehan. Buku ini sebenarnya adalah disertasi doktoral Anthony Reid di Cambridge University yang ditulis lebih dari 40 tahun silam. Judul asli disertasi ini adalah The Contest for North Sumatera Acheh, The Netherlands and Britain 1858-1898) sangat tepat menggambarkan kenyataan hidup orang-orang Aceh, baik pada periode dan paska kolonial. Buku yang sumbernya banyak berasal dari arsip historis Eropa (terutama Belanda dan Inggris) ini banyak menawarkan kajian menarik, antara lain upaya diplomasi
31
Aceh yang sudah dilakukan di abad ke-19, latar pertarungan ekonomi politik Barat di Aceh, hubungan luar negeri, peristiwa politik yang bermuara pada konflik fisik dan peperangan, hingga berakhirnya kerajaan Aceh. Latarbelakang konflik yang cukup panjang itu kemudian telah meletakkan dasar-dasar historis, sosiologis, serta bahkan politis dalam pembentukan identitas keacehan. Oleh karena itu, kata Reid apa yang terjadi hari ini bukanlah konflik yang a-historis, tetapi suatu pertarungan perebutan sumberdaya ekonomi-politik yang tak kunjung usai. Pembedanya hanya waktu dan pelaku, selebihnya nyaris sama. Reid menemukan bahwa Aceh memiliki marwah (martabat) yang tak mudah dirampas atau dihancurkan. Marwah itu berupa sumber daya, tradisi, kebudayaan, kehidupan sosial, ekonomi dan politik, serta suku-suku mereka. Semua telah membuktikan kekuatan marwah itu, baik kolonial Portugis, Inggris dan Belanda, serta terakhir Indonesia. Sebagai sebuah karya sejarah keacehan, beberapa hal yang masih luput dari diskusi buku ini adalah belum disentuhnya sejarah masa-masa menjelang dan pasca kemerdekaan. Disadari atau tidak masa-masa itu banyak menentukan bagaimana identitas keacehan dikonstruksi. Baik soal kelanjutan perebutan ekonomi politik, janji-janji keistimewaan Aceh yang tidak saja segampang memperjuangkan hak makan, tetapi juga menyangkut harga diri masyarakat Aceh, dan masih banyak sisa-sisa peninggalan masa lalu dan bergabungnya dengan Indonesia. Buku selanjutnya masih kontribusi dari Anthony Reid yang berjudul An Indonesia Frontier; Acehnese and Other History of Sumatra, terbit (2005). Perjalanan sejarah Aceh memang tidak bisa lepas dari geopolitik Sumatra. Buku
32
ini ditulis sejak periode modern awal sampai sekarang. Mulai dari periode klasik sampai sekarang. Studi ini banyak mengupas tentang "era perdagangan" dengan sejarah dan politik Sumatera Utara. Mungkin buku ini sebagai yang paling revolusioner yang pernah ditulis oleh Anthony Reid tentang sejarah Asia Tenggara, dengan revolusi Indonesia, termasuk manifestasi hubungan pusat dan daerah, serta masalah-masalah kontemporer. Masalah yang dia kembangkan cukup beragam dan penting seperti identitas masyarakat, etnis dan agama, pembangunan, kependudukan, kemakmuran, kekerasan dan akomodasi, ideologi dan legitimasi. Sebagai sebuah karya induk, buku ini baik untuk sebuah referensi bagi studi yang multi interest, tetapi bukan sebuah representasi karya tunggal yang membidik perjalanan sejarah keacehan tertentu. Buku ini berisi esai pencarian identitas Sumatera, gerakan perpindahan dan demografi, kontestasi elit, konflik etnis, dan agama. Salah satu aspek yang paling menarik dan bermanfaat adalah mengenali cara-cara di mana hal perdebatan antara masa lalu dan sekarang berevolusi. Mungkin contoh yang paling mengejutkan tentang bagaimana pendekatan moral dan politik yang berubah (tetapi tidak, mengubah moral). Yakni sebuah studi tentang latarbelakang kontemporer identitas Aceh. Di sini, desain sejarah yang sebelumnya berperan dalam hal perjuangan yang adil dan heroik indigeneity terhadap asing (terutama Belanda) penindasan dan pengkhianatan tidak berjalan. Oleh karena itu, buku ini adalah buah dari studi 40 tahun sejarah Sumatera, dari abad ke-16 hingga saat ini. Sementara mencari pola koherensi di pulau yang luas, berfokus pada Aceh, yang memiliki masa lalu yang paling terkenal dan saat ini yang paling bermasalah dari wilayah yang ada di Sumatera.
33
Sejalan dengan itu yang membedakan dari penelitian buku ini adalah bahwa identitas distudi sebagai sebuah studi kasus (material culture), sedangkan di dalam penelitian yang sedang peneliti ajukan adalah bahwa identitas distudi dari bagaimana identitas itu dikonstruksi, direproduksi, bahkan diwacanakan. Untuk itu, menjelaskan pada aspek struktur dan agensi/aktor menjadi kajian yang urgen dalam penelitian ini, dan perlu diketahui bahwa yang demikian ini tidak didiskusikan secara komprehensif dalam buku ini. Selanjutnya karya penting Denys Lombard: Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) terbit edisi Indonesia (2007). The golden age of Acheh in which the mohammedan law prevailed or in wich the Adat Meukuta Alam may be regarded as the fundamental law of the kingdom, belongs to the realm of legend.” Statemen C. Snouck Hurgronje inilah yang membuat penasaran Sejarawan Prancis Denys Lombard dalam menulis buku ini. Dalam buku ini Lombard membantah pendapat Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa kegemilangan Aceh pada masa itu sekadar legenda atau isapan jempol belaka. Menurut Lombard secara historis disebutkan bahwa Aceh dulunya berbentuk kerajaan, berdaulat, dan tidak tunduk apalagi takluk di bawah kekuasaan asing, kerajaan Aceh masa itu memang benar-benar sukses bahkan menjadi penghubung Nusantara dan Barat. Lombard membahas segenap aspek kehidupan Kerajaan Aceh, baik politik, ekonomi, kemiliteran, maupun budaya, agama, dan filsafat. Bagian awal menceritakan tentang muasal nama “Aceh” itu sendiri, kemudian sejarahnya, hingga persoalan kebudayaan. Pada bagian penutup, Lombard memaparkan juga perihal kerja sama Aceh dengan beberapa negara luar yang sangat fantastis
34
Sumber yang digunakan Lombard adalah naskah lokal (Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat Aceh), sumber-sumber Eropa dan Tionghoa. Ia juga memakai laporan perjalanan para kelana Eropa seperti Frederik de Houtman, John Davis, dan terutama Augustin de Beaulieu. Selain itu kita mengenal Denys Lombard melalui karya magnum opusnya “Nusa Jawa: silang Budaya”, sebuah buku komprehensip mengenai peranan pulau Jawa dalam percaturan sejarah Nusantara, semenjak zaman Hindu, Islam, hingga era kolonial. Dalam buku kerajaan Aceh ini, Lombard selain menggunakan sumber-sumber Melayu setempat, Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat Aceh, juga menggunakan sumber-sumber laporan autentik eropa dan tionghoa. Selain itu Lombard juga menggunakan sumber dari kesaksian para musafir eropa yang sempat tinggal di Aceh waktyu itu, seperti Frederick De Houtman, John Devis dan Lombard. Dokumen-dokumen tersebut sangat berharga sekali karena merupakan suatu korpus linguistik yang amat langka sebagai sebuah tonggak dalam perkembangan bahasa Melayu. Buku ini bisa dibilang dapat menyajikan fakta sejarah Aceh secara lebih transparan dan acuntable sesuai dengan aslinya. Di buku ini Lombard telah membuat antithesis dari peneliian C.S. Hurgronje. Lombard menggambarkan situasi dan kondisi sosial masyarakat Aceh pada saat itu. Seperti mengapa masa keemasan Sultan Iskandar Muda sedemikian bercahaya, demikian pula intrikintrik politik dibalik dinding istana. Oleh karena itu, menurut Henry Chambartloin dalam pengantarnya; buku ini telah meluruskan sejarah yang telah dibengkokkan oleh Christian Snouck Hurgronje, di mana dalam karyanya yang
35
sangat terkenal itu, “The Acehnese” ia menggabarkan bahwa kisah tentang Sultan Iskandar Muda merupakan dongen belaka. Tulisan Peter G. Riddell yang mengupas tentang “serambi mekkah” dan identity, dalam Anthony Reid “Verandah of Violance” (2006) juga merupakan sumberdaya pustaka penting yang membahas tentang identitas keacehan pada abad 16-17 an. Tulisan ini menjelaskan tentang bagaimana pada abad tersebut Identitas masyarakat Aceh banyak bersentuhan dan bahkan ditentukan oleh makna sebuah serambi Mekkah yang artinya Identitas Aceh tidak bisa dilepaskan dari konstruksi Islam dengan simbol “Serambi Mekkah”nya. Untuk itu, sebuah pertanyaan penting dalam buku ini adalah apakah Islam yang dikembangkan lebih merupakan Islam konstruksi Arab ataukah Islam yang sudah mengalami dialektika pada ranah lokal Aceh? persoalan ini tidak banyak diuraikan secara tegas dalam tulisan ini. Oleh karena itu, sub bagian dari penelitian yang sedang dikerjakan ini adalah mencoba untuk membahas persoalan itu. John R. Bowen, The Transformation of An Indonesian Property System “Adat”, Islam, and social change in the Gayo highland” (1988) adalah salah satu karya penting lainnya dalam melihat Aceh dari perspektif kawasan dengan fokus pada etnis Gayo. Karya ini menempatkan Gayo sebagai sebuah peradaban tunggal, karena ia memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan Aceh secara umum. Mulai dari bahasa, budaya, dan sejarah. Hanya kemudian ketika sampai pada persoalan konteks bagaimana menempatkan identitas Gayo yang bersifat kawasan dilekatkan pada Islam sebagai sebuah peradaban yang bersifat religi. Belum lagi jika hal ini dikaitkan dengan adat istiadat Gayo yang telah dipengaruhi
36
Islam. Persoalan ini merupakan kesulitan tersendiri bagi sebuah keberadaan identitas Gayo. Persoalan lain yang melingkupi sejarah Identitas ke-Gayo-an juga muncul seperti bagaimana sejarah, budaya dan bahasa Gayo dihubungkan dengan konsepkonsep kebangsaan, atau juga konsep-konsep ideologis Gerakan Aceh Merdeka yang kemudian dipahami sebagai realitas objektif ke Indonesiaan. Pertanyaanpertanyaan di atas adalah bagian dari persoalan yang menyelimuti sejarah identitas Gayo selama ini. Oleh karena itu karya ini musti lebih didekatkan dengan beragam perspektif atau multidisipliner agar mendapatkan suatu tesis yang lebih komprehensif. Studi ini memberi warna lain terkait studi yang peneliti kerjakan saat ini yaitu tentang konstruksi identitas keacehan yang secara umum akan membahas tentang perkembangan identitas, agensi-agensi/aktor, serta persoalan globalisisi yang melilit wajah identitas keacehan belakangan ini. Meskipun secara spesifik tidak membahas persoalan Gayo, tetapi identitas kegayoan akan menjadi landasan berfikir komparatif bagi sebuah eksistensi identitas keacehan secara umum. Terlebih perdebatan antar aktor yang tentu akan mempengaruhi konstruksi identitas, baik dalam sejarah maupun nilai-nilai keethnikan. Kedua, kepustakaan yang akan dipilih untuk pemetaan kedua ini adalah kepustakaan yang berhubungan dengan sejarah, dinamika, dan pembentukan identitas keacehan yang hingga saat ini dampaknya masih melekat pada konstruksi keidentitasan masyarakat Aceh. Kepustakaan dipilih sesuai dengan perkembangan isu, konteks, serta ranah di mana rata-rata membahas persoalan keacehan atau diteliti pada masa konflik, pasca konflik dan perdamaian, dan pasca 37
tsunami. Selain itu, kepustakaan juga akan diperlihatkan dari karya atau tulisan di luar konteks keacehan, tetapi memiliki kerangka yang hampir sama dengan studistudi masyarakat yang sedang berubah seperti Aceh. Sebuah buku yang disajikan sebagai hasil riset pasca konflik di Aceh yaitu: Konflik Aceh: menuju damai di serambi mekah” dalam Disintegrasi pasca Orde Baru, Nagara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional, terbit (2006), sebuah karya bersama tim Peneliti FISIP UI yang diketuai oleh Syamsul Hadi. Di dalam buku ini ada satu bab tersendiri yang membahas tentang konflik Aceh: Menuju Damai di Serambi Mekah. Bagian dari bab ini mengurai tentang Aceh dalam kilasan sejarah. Menurutnya ada 4 hal yang menjadi dasar pijakan yang tak bisa dilupakan yaitu: kekecewaaan historis rakyat Aceh, peminggiran identitas kulural masyaakat Aceh, eksploitasi dan ketimpangan ekonomi, serta gerakan separatis. Empat hal tersebut telah banyak membantu menjelaskan persoalan pembentukan identitas keacehan di masa konflik, jadi bagaimana identitas dikonstruksi pada masa konflik. Tentu akan berbeda hasilnya dengan pembentukan identitas yang dihasilkan dari tatanan masyarakat yang penuh kedamaian. Oleh karena itu, empat hal di atas sebagai bentuk studi kritis atas kondisi sejarah sosial politik masyarakat Aceh paling tidak wajah keacehan dapat dilihat melalui empat masalah di atas. Hanya sebagai sebuah hasil riset juga perlu kiranya diuji melalui perdebatan kepustakan-kepustakaan yang perhatian pada isu yang sama. Terlebih jika pembahasan dalam bab ini terhitung tidak kaya akan data-data, sehingga tampak tidak komprehensif. Hampir semua isu diungkap dalam bab ini, mulai dari bagaimana proses dan penyelesaian konflik yang tak 38
kunjung selesai, juga seperti otonomi khusus sebagai jalan keluar, pemberlakuan darurat sipil, disusul dengan dinamika internasional yang dihubungkan dengan gejolak pasca tsunami, serta bagaimana Aceh melakukan perjanjian damai. Sehingga karya ini memuat banyak hal dengan analisis yang terbatas karena data yang dimiliki tidak dapat mencover semua isu yang digarap. Literatur selanjutnya buku yang membahas tentang identitas kultural sebuah Gampong di Aceh, dengan judul “Runtuhnya Gampong di Aceh, studi masyarakat desa yang sedang bergejolak”, terbit (2008). Buku ini telah ditulis oleh tim peneliti LIPI sebagai sebuah hasil penelitian yang melihat dinamika kelembagaan desa Gampong dalam era otonomi khusus Aceh. Beberapa hal yang digarap dalam penelitian ini adalah menganalisis dinamika peran dan fungsi kelembagaan gampong, serta menggambarkan persepsi masyarakat lokal terhadap kebijakan penataan kelembagaan gapong, dan juga memetakan persoalan demokratisasi dan otonomi yang muncul di lingkungan gampong. Asumsi dari penulisan buku ini adalah bahwa Indonesia sebuah negara yang tengah berada dalam proses transformasi sosial-dan politik. Salah satu arenanya adalah di wilayah desa atau gampong di Aceh. Sebelum terbentuknya negara modern, desa merupakan entitas sosial yang memiliki identitas dan kelengkapan budaya asli, termasuk sistem ekonomi pertanian, serta tradisi atau pranata lokal yang beragam. Pasca diberlakukannya UU tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan kelembagaan desa semacam ini. Akibatnya Desa telah mengalami berbagai tekanan politik. Oleh karena itu, IDENTITAs Gampong telah dibentuk oleh suatu tekanan politik yang sekian puluh tahun mengalami abnormalitas politik akibat berlangsungnya konflik bersenjata. Buku ini belum banyak ditemukan perdebatan
39
antar agen/aktor dalam pembentukan identitas gampong secara lebih terbuka, tetapi kalau toh ada dialektikanya masih strukturatif seperti hubungan negara dan masyarakat, sebuah kelompok dominan dan tertindas. Selanjutnya karya Edward Aspinal “Islam and Nation” Separatist Rebellion in Aceh Indonesia, terbit (2009). Sebuah buku babon yang layak menjadi literatur pilihan yang akan menjadi referensi penting bagi suatu projek disertasi ini. Buku ini jelas membahas tentang identitas etnis yang dikaji dalam perspektif sosial-politik secara kritis. Meski karya ini disampaikan dengan kerendahan hati, karya ini merupakan studi yang ambisius. Aspinall telah memberikan narasi sejarah yang seimbang dan menyeluruh dari konflik Aceh, sekaligus membicarakan kasus Aceh dalam kaitannya dengan penjelasan yang luas dari perdebatan teoritis dan studi banding terkait dengan Islam, nasionalisme, perang saudara, dan konflik internal. Tujuannya bukan hanya untuk menggunakan perspektif teoretis sebagai alat analisis dalam menjelasakan studi tentang Aceh untuk efek yang lebih besar. Tetapi juga untuk berkontribusi pada perdebatan komparatif yang lebih luas. Berdasarkan tahun penelitian, termasuk beberapa ratus wawancara yang dilakukan di Aceh maupun di negara-negara lain seperti Swedia dan Malaysia, studi ini berhasil dalam mencapai tujuan tersebut. Dalam proses penelitian ini Aspinall telah menyampaikan wawasan penting, dikemas dan disajikan menjadi serangkaian karya yang berkelanjutan dan argumentasi yang halus dan elegan yang menambah luas pemahaman kita tentang konflik di Aceh dan resolusi yang dicapai. Hanya kemudian yang luput dari penjelasan buku ini adalah bahwa dampak konflik di Aceh tidak ditunjukkan secara lebih terbuka
40
pada pembentukan identitas keacehan yang pengaruhnya sebenarnya sampai pada perkembangan identitas keacehan belakangan ini, terutama pasca tsunami. Selanjutnya karya Arndt Graf, Susanne Schroter, dan Edwin Wieringa (ed) yang berjudul Aceh: History, Politic and Culture. Iseas. 2010. Sebuah karya penting lainnya pasca konflik dan tsunami yang mencoba menunjukkan beberapa informasi penting yang sangat membantu tentang sejarah Aceh, politik dan budaya. Tentu saja juga menjelaskan bagaimana lembaga donor, sebagaimana orang asing maupun intelektual domestik lainnya telah membangun jaringan dengan orang Aceh. Buku ini ditulis sebagian oleh orang-orang Indonesia dan para peneliti Aceh dari berbagai negara bersama intelektual Aceh sendiri. Buku ini juga mewakili banyak aspek baru, seperti aspek kesejarahan keluarga Sultan, hubungan orang-orang Turki Aceh dengan perang kolonial Belanda di Aceh. Utamanya buku ini menekankan pada perkembangan kontemporer mengenai isuisu ekonomi, politik, Islam, dan media sebagaimana telah mewarnai literatur Aceh. Sebagai litaratur yang ditulis oleh banyak orang, tentu ditulis juga dengan aneka perpektif dan temuan-temuan yang layak didedikasi dan disumbangkan sebagai studi Aceh. Hanya dalam konteks tinjauan pustaka ini persoalan yang masih menjadi kegelisahan peneliti adalah berbagai temuan yang didapatkan dari para intelektual baik dari Indonesia maupun luar Indonesia belum menyentuh pada persoalan pembentukan identitas keacehan sendiri sebagaimana konsentrasi tema yang peneliti tulis. Temuan dilihat sebagai relasi-relasi antar variabel saja. Aspek ekonomi, politik, maupun budaya berhenti didiskusikan lewat analisis interpretatif kritis. Sementara hubungan yang sifatnya fenomenologi konstruktifis 41
belum banyak dieksplorasi dengan teori-teori kontempores sebagaimana kajian identitas yang berkembang saat ini. Dan terahir buku dengan judul “Acehnologi” yang ditulis oleh intelektual Aceh sendiri Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, (2012). Buku ini terbilang masih sangat segar dan fresh, bahkan ditulis dengan tampak ambisius namun mampu menunjukkan data dan sumber-sumber pendukungnya. Buku ini sebenarnya telah berkeinginan memetakan, sekaligus menjelaskan studi tentang Aceh (studi keacehan) menjadi bagian dari disiplin keilmuan tersendiri seperti yang saya inginkan bahwa studi-studi Aceh menjadi disiplin ilmu yaitu semacam Aceh Studies. Artinya studi Aceh bukan lagi sebagai pelengkap tetapi menjadi objek studi. Terlebih jika Aceh diletakkan dalam kajian interdisipliner, sehingga Aceh bisa dilihat dari pendekatan sosiologis, antropologis, bahkan politik, dan teologis. Namun formasi semacam ini masih sulit dilakukan karena selain sumberdaya yang terbatas juga memang aspek filosofi studi ini belum terstruktur dengan matang. Sebagai sebuah buku yang ditulis secara matang, tema-tema di dalamnya tentu tidak sekedar basa-basi intelektual, tetapi juga dibarengi dengan penjelajahan tema-tema, sumber kepustakaan yang berhubungan dengan disiplin keacehan, serta data dan analisis yang cukup seimbang dan representatif. Selain itu Kamaruzzaman juga berusaha membangun dasar-dasar pemikiran untuk suatu bidang keilmuan Aceh Studies. Oleh karena itu, menurut pengamatan peneliti identitas keacehan yang disajikan dalam buku ini bukan sebuah proses sejarahkultural tentang keacehan secara empiris, yang dilalui oleh masa-masa perang, konflik, hingga periode tsunami, tetapi merupakan bagian dari identitas keacehan 42
yang berbasis pada sumber-sumber pengetahuan, yaitu melalui pemahaman Aceh Studies. Seperti yang tampak pada dua bab berturut2 yang secara khusus ingin mendalami cara memahami alam pikiran keacehan yaitu melalui studi tentang kearifan lokal dan isu yang paling dilarang di Aceh pada masanya yakni tradisi tasawuf wahdat-al-wujud. Pada tataran kearifan lokal orang Aceh sangat dianjurkan untuk menerapkannya walaupun sebenarnya terkadang berasal dari tradisi Hindu dan Budha. Di sini tugas studi keacehan adalah menjelaskan bagaimana orang Aceh bisa melegalkan tradisi-tradisi yang melawan keyakinan mereka pada agama yang dianut. Dengan kata lain seorang Acehnologist perlu mendalami akar kebudayaan dan dunia keacehan secara komprehensif. G. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptifinterpretatif, yaitu selain didasarkan pada pengolahan data-data kualitatif, metode penelitian deskriptif-interpretatif dirumuskan sebagai alat untuk menggambarkan suatu fenomena melalui gejala, variabel-variabel, serta keadaan tertentu yang menjadi kondisi objektif tema penelitian ini. Fenomena itu bisa berbentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, serta perbedaan antara fenomena satu dengan fenomena yang lain, antara kondisi sejarah tertentu dengan masa sejarah kemudian. Salah satu pendukung metode ini adalah Whintney (1960), ia turut menjelaskan mengenai metode deskriptif-interpretatif ini adalah sebuah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajarai masalahmasalah dalam masyarakat serta tatacara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap43
sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dalam metode deskriptif interpretatif ini, masih menurut Whitnay, peneliti bisa membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga merupakan suatu setudi komparatif. Dengan demikian, melalui metode deskriptif-interpretatif ini tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan dan penyusunan data, tapi juga meliputi analisis dan interpretasi tentang arti yang tersembunyi dari data tersebut, termasuk fakta-fakta ralasional yang berkembang. Oleh karena itu, melalui metode penelitian deskriptif–interpretatif ini salah satunya adalah ditandai dengan bentuk-bentuk penelitian komparatif, yaitu suatu penelitian yang membandingkan satu fenomena atau gejala keacehan tertentu dengan fenomena atau gejala keacehan yang lain. Unit analisis penelitian atau juga disebut sebagai subjek penelitian ini dibagi ke dalam dua penggolongan utama: Pertama, tentang pengamatan menganai kondisi sosial-budaya masyarakat secara umum seperti sistem dan praktik sosial masyarakat, sistem kekerabatan, praktik keagamaan dan adat, pandangan hidup, lifestyle, serta hubungan sosial-kemasyarakatan pasca konflik dan tsunami, kemudian mencoba membandingkan dengan kondisi sosial-budaya masyarakat Aceh pada masa konflik dan sebelum tsunami; Kedua, secara khusus penelitian ini fokus pada dua kategori subjek penelitian yaitu: a). Pada tingkat personal, di antaranya tokoh agama, politik, pemerintah, maupun tokoh adat; representasi perempuan; anak muda Aceh dan “para korban konflik dan tsunami”. b). Tingkat kelembagaan, di antaranya: NGO lokal dan International, Ormas, lembaga pendidikan dan pesantren, lembaga kebudayaan, Dinas pemerintahan daerah maupun sektor swasta / kelompok bisnismen.
44
Adapun beberapa hal menjadi kreteria dalam memilih subjek penelitian, antara lain: a) lembaga atau personal yang memiliki tingkat representasi publik yang kuat, seperti: lembaga yang masih aktif dan punya kegiatan membawa misi dan visi, serta wacana keacehan, lembaga yang banyak melakukan kegiatan bersama masyarakat secara kongkrit, universitas-universitas, lembaga yang sevisi dengan pengembangan dan pembangunan keacehan, dan begitu juga berlaku untuk tingkat personal, aspek ketokohan seseorang, integritas ketokohan, aspek popularitas, aspek pengakuan publik, aspek kepedulian terhadap masalah umat, dan lain-lain, b) lembaga atau personal yang memiliki hubungan tematik dengan isue atau concern terhadap objek penelitian, yang mana ditunjukkan dengan program-program dan aktifitas lembaga yang relevan, c) lembaga independen dari luar Aceh yang bekerja untuk pembangunan keacehan, seperti: lembaga donor, lembaga penelitian, lembaga advokat, dan lain lain. Karena tidak mudahnya menemukan kreteria tersebut, maka metode pengumpulan datanya diperluas sampai pada metode-metode yang dapat menyaring pandangan, aspirasi, ataupun kecenderungan-kecenderungan secara kolektif , termasuk dengan menggunakan FGD (Focus Group Discussion) maupun juga FGI (Focus Group Interview). Metode yang terkait dengan teknik pengumpulan data penelitian ini adalah: Pertama, penelitian terhadap dokumen-dokumen dan data pendukung, baik berbentuk buku-buku, jurnal, maupun hasil penelitian yang berbasis sejarah, pemikiran, gaya hidup, perilaku keberagamaan, serta buku-buku yang bertemakan konflik di Aceh, dan termasuk di antaranya adalah dokumen yang diperoleh dari Kementrian Agama wilayah Banda Aceh, juga lembaga-lembaga NGO internasional, pesantren, Ormas, lembaga adat dan Ulama dan juga dari lembaga-
45
lembaga penelitian yang memiliki perhatian pada studi-studi keacehan, seperti The Aceh Institute, Kata hati, kontras, dll. Kedua, dalam riset ini menggunakan metode partisipant observation (pengamatan terlibat), indepth interview, dan Focus Group Discussion (FGD). Ketiga metode penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi langsung terkait dengan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan dan adat, baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif; program-program kerja lembaga atau pusatpusat kebudayaan; aktifitas dan hubungan antar elit baik pemerintah, aktifis NGO, elit agama, maupun elit adat serta pimpinan kebudayaan Aceh; selain itu pertanyaan
juga
difokuskan
pada
perubahan-perubahan
perilaku
sosial-
keagamaan, dan juga yang terpenting adalah melihat efek sosial-budaya pasca konflik dan tsunami; juga tidak lupa menemukan informasi terkait dengan keterlibatan seseorang, ataupun kelompok dalam kegiatan-kegiatan sosial hubungannya dengan objek riset ini. Indepht interview di dalam studi ini dilakukan juga untuk menggambarkan hubungan pola setiap tahap perubahan historis (makro) dengan kecenderungan-kecenderungan sikap serta pandangan masyarakat maupun responnya atas kondisi krisis pasca konflik dan tsunami. Selain itu dalam melakukan indepth interview, peneliti menggunakan (interview guide) pedoman wawancara yang sifatnya terbuka agar dapat berkembang sesuai keperluan dan situasi yang dihadapi serta untuk membuat masyarakat merasa nyaman dalam mengungkapkan semua pengetahuan, pengalaman dan informasi penting lainnya yang sekiranya berhubungan dengan subjek penelitian ini. Dalam pendekatan FGD ini peneliti mengundang perwakilan lembagalembaga sosial keagamaan, maupun dari perwakilan lembaga pemerintah. Mereka
46
dibagi dalam 3 (tiga) cluster. Pertama cluster lembaga adat, agama dan budaya, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Majelis Adat Aceh (MAA), Lembaga Adat dan Kebudayaan (LAKA), Dinas Syariat, Kyai dayah / pesantren tradisonal, pesantren modern, dan juga tarekat groups, ; kedua, cluster organisasi masyarakat, dan LSM lokal maupun Internasional seperti Yayasan Pengembangan Sumber Daya Insani, Remaja Melati Tunas Marhamah, Lembaga Pembinaan dan Pengembangan
Masyarakat
Aceh,
Masyarakat
Kota,
Aceh
Foundation
Community and Education, Yayasan Pembinaan Masyarakat Desa, Mitra Sejati Perempuan Indonesia, Pusat Gerakan dan Advokasi Rakyat, Aceh Institute, Kata Hati, Kontras, dan lain-lain. Sementara dari NGO Internasional, seperti: CWS, Islamic Relief, IOM, Caritas, dan Bunda Suci, world Bank, USAID-CSSP, Mercy, dan lain-lain. Ketiga, adalah cluster instansi pemerintah, sektor swasta, Akademisi dan peneliti. Ketiga cluster di atas masing-masing mengirimkan perwakilan dan ketiganya dilaksanakan dalam waktu yang berbeda. Ketiga, berkaitan dengan menguji keabsahan data: untuk mengecek keabsahan data digunakan metode triangulasi yaitu menggunakan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan dan pembandingan. Ada empat cara dalam triangulasi yaitu 1) membandingkan data pengamatan dengan hasil wawancara, 2) membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, 3) mengkonfirmasi hasil wawancara dari satu orang ke orang lain yang sifatnya cross-cek, 4) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Keempat, berkaitan dengan tahapan menganalisis data: yaitu dilakukan dengan cara 1) tematis, yakni berdasarkan data-data yang relevan, 2) kontekstual,
47
yakni menguji kaitan data dengan konteks eksternal seperti lingkungan dan komunitas, nilai dan pandangan hidup dsb 3) interpretative, yakni: melihat makna yang terkandung dalam data yang telah didapatkan.
48