BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul Judul dalam penelitian ini
adalah
“Kewiralembagaan dan Strategi
Pengembangan Wisata Alam Posong (Studi di Desa Tlahab, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung)”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang kapasitas wiralembagawan dalam pembentukan sebuah lembaga inovatif yang bernama Djogoreso Community. Selain itu untuk mengetahui bagaimana aksi kewiralembagaan mampu menjadi sebuah strategi awal dalam upaya pengembangan sebuah daya tarik wisata. Dari sudut pandang teoritis, umumnya dalam sebuah penelitian harus terdapat aspek aktualitas, orisinilitas, serta keterkaitan dengan bidang illmu peneliti. Adapun beberapa hal yang mendasari pemilihan judul tersebut antara lain : 1.1.1 Aktualitas Dewasa ini peran sektor pariwisata dalam perekonomian negara semakin terlihat. Akan tetapi keuntungan dan manfaat dari sektor pariwisata ini hanya dirasakan oleh pihak-pihak tertentu dan belum terasa hingga lapisan masyarakat bawah. Sebagai upaya untuk meningkatkan keuntungan bagi masyarakat terkait sektor pariwisata dapat terwujud dengan cara melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku usaha pariwisata. Hal ini menuntut masyarakat lokal untuk lebih aktif dan kreatif dalam memanfaatkan potensi-potensi pariwisata yang terdapat di daerahnya, 1
khususnya daerah pedesaan. Hal ini disebabkan karena pembangunan yang pesat dalam segi infrastruktur maupun teknologi membuat manusia jenuh dan merindukan ketenangan yang dapat diperoleh dari alam. Sehingga pariwisata dengan mengembangkan konsep alam di pedesaan dapat menjadi alternatif. Kondisi tersebut direspon oleh masyarakat lokal di Kabupaten Temanggung, dengan melihat bahwa di daerah tersebut mempunyai banyak potensi alam yang dapat dikembangkan sebagai tempat tujuan pariwisata. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan mengembangkan wisata alam Posong yang berada di Desa Tlahab, Kecamatan Kledung. Usaha pengembangan daya tarik wisata ini diinisiasi oleh masyarakat lokal dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di Desa Tlahab. Diawali dengan aksi kewiralembagaan dari masyarakat lokal dengan membentuk sebuah lembaga inovatif. Sebuah lembaga yang melibatkan aksi nyata dari anggota masyarakat lokal untuk berperan aktif dalam pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata alam Posong. Dengan kata lain aktivitas pengembangan daya tarik wisata ini dapat diartikan sebagai wadah kreatifitas masyarakat lokal untuk menginisiasi, mengembangkan, dan mengelola sebuah daya tarik wisata sebagai upaya untuk meningkatkan keuntungan dan manfaat bagi masyarakat lokal. Nilai aktualitas dari penelitian ini dapat terlihat dari latar penelitian yang berada di desa Tlahab dimana terdapat Wisata Alam Posong yang saat ini menjadi icon wisata di Kabupaten Temanggung. Kemudian melihat dari perkembangan 2
pariwisata dewasa ini, isu mengenai lembaga menjadi sesuatu hal yang menarik perhatian. Dalam hal ini pembentukan lembaga inovatif yang dapat dimanfaatkan sebagai lembaga yang berfungsi untuk melakukan pengembangan dan pengelolaan sebuah daya tarik wisata yang diinisiasi oleh masyarakat lokal. Dengan demikian, penelitian mengenai kewiralembagaan dan strategi pengembangan Wisata Alam Posong ini masih sangat aktual dan menarik untuk mengetahui hasilnya. 1.1.2 Orisinilitas Sebuah penelitian dikatakan orisinil atau asli apabila masalah yang dikemukakan belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu, ataupun jika pernah diteliti dinyatakan secara tegas perbedaannya. Penelitian mengenai kewiralembagaan dan strategi pengembangan Wisata Alam Posong ini masih orisinil dan sepengetahuan penulis belum ada penelitian lain yang meneliti dengan judul atau tema tersebut. Hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan
oleh
Sigit
Triambodo,
mahasiswa
Departemen
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan angkatan 2010 yakni mengenai “Analisis Strategi Penguatan Kelembagaan Desa Wisata Berbasis Ekonomi Kreatif (Studi di Desa Wisata Kerajinan Tenun Dusun Gamplong Desa Sumberayu, Kecamatan Moyudan, Kecataman Sleman). Penelitian tersebut menjelaskan mengenai bentukbentuk strategi penguatan kelembagaan dalam desa wisata berbasis ekonomi kreatif, dan sejauh mana dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal. Sedangkan 3
penelitian yang penulis lakukan mengambil fokus yang berbeda, yakni terkait dengan kapasitas aktor dalam pembentukan sebuah lembaga inovatif dan keterlibatan aktor dalam penentuan strategi untuk pengembangan sebuah daya tarik wisata. Penelitian yang juga dianggap relevan dengan penelitian ini adalah penelitian mengenai Dinamika Pembentukan Kelompok Sadar Wisata di Desa Wisata Nglanggeran. Penelitian tersebut dilakukan di Desa Wisata Nglanggeran, Kecamata Patuk, Kabupaten Gunung Kidul pada tahun 2015 oleh Lutfhi Nurwafi, mahasiswa Departemen Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan angkatan 2011. Hasil dari penelitian
tersebut
menunjukkan
bahwa
masyarakat
Nglanggeran
mampu
membangun lembaga atau institusi berupa kelompok sadar wisata yang mandiri setelah berhasil melalui tahapan perkembangan kelompok yaitu tahap ketergantungan terhadap pemimpin, tahap konflik, tahap membina kepercayaan, tahap bekerja, dan tahap evaluasi. Penelitian tersebut dianggap relevan dengan penelitian ini karena sama-sama membahas mengenai kewiralembagaan dalam bidang pariwisata. Namun, terdapat perbedaan yaitu dapat dilihat dari sisi objek dan tempat penelitian. Kemudian fokus dari penelitian tersebut lebih kepada dinamika pembentukan kelompok sedangkan penelitian ini fokus dengan analisis kapasitas aktor dalam pembentukan lembaga serta bagaimana strategi yang digunakan dalam pengembangan daya tarik wisata.
4
1.1.3 Relevansi dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Judul penelitian yang penulis angkat mempunyai keterkaitan dengan bidang ilmu yang penulis geluti, yaitu Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Ilmu tersebut merupakan ilmu multidisipliner yang salah satunya mempelajari hubungan antar manusia dan antar kelompok dalam masyarakat. Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan mempunyai tiga konsentrasi studi, yaitu Social Policy, Community Empowerment, dan Coorporate Social Responcibility. Ketiga konsentrasi studi tersebut mengkaji mengenai upaya penyelesaian masalah-masalah sosial dalam rangka mewujudkan kesejateraan sosial pada masyarakat. Seiring
dengan
perkembangan
pariwisata
yang
semakin
gencar,
pengembangan pariwisata dengan melibatkan masyarakat lokal menjadi salah satu upaya untuk terciptanya kesejahteraan di masyarakat. Apabila dispesifikasikan berdasarkan konsentrasi studi Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, penelitian ini termasuk dalam konsentrasi studi pemberdayaan masyarakat (Community Empowerpment). Lebih jauh, mengenai aksi kewiralembagaan yang dilaksanakan oleh masyarakat lokal sebagai strategi awal dalam upaya pengembangan daya tarik wisata di daerah pedesaan. Pemberdayaan masyarakat dalam kasus ini adalah dengan mendorong terjadinya multiflier effect dari adanya sebuah daya tarik wisata sehingga akan mendorong terciptanya lapangan pekerjaan baru dan mendukung pembangunan daerah guna mencapai kesejahteraan sosial dalam masyarakat. 5
1.2 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah sosial yang selalu hadir ditengah masyarakat dunia, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan dapat dikatakan sebagai sumber dari masalah-masalah sosial yang lain. Sehingga pengembangan konsep dan pendekatan upaya pengentasan kemiskinan masih menjadi perhatian utama para akademisi dan praktisi.
Di Indonesia masalah kemiskinan
merupakan isu pokok, terutama setelah krisis multidimensi yang memuncak pada periode 1997-1999 (Demartoto dkk, 2009 : 1). Sampai dengan saat ini pembangunan masih menjadi salah satu cara yang dianggap ampuh dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bahkan sebagai upaya menuju kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Sejak era orde baru kebijakan pembangunan di Indonesia menggunakan pendekatan pertumbuhan, yang tidak terlepas dari program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan dalam berbagai bidang. Secara umum, pendekatan pertumbuhan telah berhasil mengangkat perekonomian Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain menimbulkan suatu masalah baru yaitu tidak meratanya hasil pembangunan yang berakibat pada ketimpangan. Untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi akibat orientasi pembangunan yang salah, strategi yang dapat dilakukan adalah dengan pengembangan wilayah. Menurut Soetomo (2006 : 241-242) pengembangan wilayah merupakan upaya pembangunan yang berorientasi pada ruang atau wilayah tertentu sebagai kesatuan perkembangan fisik, sosial, dan ekonomi. Dengan demikian pendekatannya 6
berorientasi
pada
permasalahan
dan
kebutuhan
suatu
wilayah.
Dalam
pelaksanaannya, pengembangan wilayah ini dapat dilakukan dalam beberapa sektor seperti perdagangan, pertanian, industri, maupun pariwisata. Sektor pariwisata sudah lama dianggap sebagai salah satu sektor penggerak perekonomian yang dapat diandalkan. Namun, sejauh ini pembangunan pariwisata yang dilakukan masih terbatas pada pemberian keuntungan pada kelompok-kelompok tertentu. Walaupun konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat sudah lama berkembang, keuntungan dan manfaat yang diterima oleh masyarakat miskin masih sangat terbatas. Dewasa ini, dalam tingkat global berkembang sebuah konsep pembangunan pariwisata yang lebih berpihak kepada masyarakat ekonomi lemah dan berarah pada upaya pengentasan kemiskinan. konsep pembangunan pariwisata yang demikian dikenal dengan Pro-Poor Tourism. Mengacu pada konsep tersebut pariwisata dijadikan sebagai salah satu alternatif upaya pengentasan kemiskinan karena sektor ini mampu berperan penting dalam penyerapan kesempatan kerja dan pemberdayaan usaha mikro dalam jumlah yang tinggi pada daerah-daerah tujuan wisata maupun daerah-daerah lain sebagai penghasil produk pasokan daerah wisata (Demartoto, 2009 : 17). Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan potensi pariwisata yang sangat besar. Mulai dari wisata alam, wisata sejarah, wisata pendidikan, bahkan wisata budaya yang tersebar dalam berbagai wilayah. Letak geografis yang strategis juga menambah peluang Indonesia menjadi tujuan wisata masyarakat dunia. Dengan 7
adanya modal-modal tersebut, seharusnya Indonesia dapat memaksimalkan peluang dan potensi yang ada sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan. Namun, potensi-potensi yang ada sering luput dari perhatian pemerintah. Sehingga berbagai destinasi wisata di Indonesia tidak terkelola dengan baik. Kabupaten Temanggung, merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di kaki Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Sebagian besar dari wilayah kabupaten ini merupakan dataran tinggi dengan udara sejuk menjadi ciri khasnya. Kabupaten Temanggung terkenal sebagai kabupaten penghasil tembakau terbaik di Indonesia. Tembakau merupakan komoditas yang sangat diharapkan dapat mendongkrak kehidupan ekonomi masyarakat di Kabupaten Temanggung. Hal ini disebabkan karena perputaran uang terbesar di kabupaten ini adalah ketika musim panen tembakau tiba. Akan tetapi, saat ini tembakau sudah tidak dapat lagi menjadi tumpuan harapan masyarakat Kabupaten Temanggung. Tidak adanya standardisasi harga dan panjangnya mata rantai dalam tata niaga tembakau menjadi masalah utama yang menyebabkan kehidupan masyarakat Kabupaten Temanggung masih jauh dari yang diharapkan. Menurut data BPS pada tahun 2012 masih terdapat 87,8 ribu jiwa atau 12,32% dari total penduduk Kabupaten Temanggung merupakan penduduk miskin. Di sisi lain, Kabupaten Temanggung menyimpan potensi pariwisata yang cukup besar yang apabila dikembangkan dengan baik diharapkan mampu memperbaiki perekonomian masyarakatnya. Terdapat beragam tujuan wisata mulai 8
dari wisata alam, wisata sejarah, wisata pendidikan, wisata geologi, wisata tradisi, sampai dengan wisata buatan seperti Taman Rekreasi Kartini dan Pikatan Water Park yang menarik untuk di kunjungi. Ditambah lagi dengan ditemukannnya sebuah situs kuno di daerah Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo yang menambah variasi tujuan wisata di kabupaten ini. Wilayah Kabupaten Temanggung berada pada letak yang strategis, yaitu berada pada jalur perjalanan wisata Semarang-Dieng ataupun Yogyakarta-BorobudurDieng. Namun, banyak wisatawan yang mengira bahwa Temanggung merupakan Daerah Antar Tujuan Wisata (DATW) dan belum menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW). Hal ini disebabkan karena Temanggung berada di antara dua daerah yang mempunyai tujuan wisata yang sudah terlebih dahulu dikenal oleh masyarakat luas, yaitu Kabupaten Magelang dengan Candi Borobudur dan Kabupaten Wonosobo dengan Dataran Tinggi Dieng. Sebagai salah satu upaya untuk merubah pandangan masyarakat luas mengenai pariwisata di Kabupaten Temanggung, terdapat sebuah gagasan dari salah seorang warga masyarakat lokal untuk mengembangkan sebuah daya tarik wisata baru yang terletak di Desa Tlahab, Kecamatan Kledung. Destinasi tersebut bernama Wisata Alam Lembah Posong Sindoro. Gagasan tersebut muncul sekitar tahun 2009, ketika terdapat masyarakat lokal yang menyadari bahwa dari Desa Tlahab dapat terlihat fenomena matahari terbit yang sangat menakjubkan dengan pemandangan tujuh puncak gunung.
Menyadari akan adanya potensi pariwisata yang dapat 9
dikembangkan di daerah tersebut, terdapat salah satu anggota masyarakat lokal yang mulai berpikir untuk mengembangkan Desa Tlahab sebagai daerah tujuan wisata. Pro kontra muncul sebagai respon dari masyarakat Desa Tlahab terkait adanya gagasan menjadikan desa tersebut sebagai daerah tujuan wisata. Sebagian besar masyarakat pesimis dengan gagasan ini karena area yang digadang-gadang berpotensi dikembangkan menjadi destinasi wisata berupa hamparan ladang pertanian milik masyarakat yang ketinggiannya sangat baik untuk ditanami tembakau, komoditas yang selama ini menjadi harapan bagi perekonomian masyarakat Kabupaten Temanggung khusunya masyarakat Kecamatan Kledung. Terlebih sebagian area Lembah Posong merupakan tanah yang dimiliki oleh warga desa sebelah, yaitu Desa Kwadungan. Sehingga apabila di area tersebut akan dijadikan sebagai destinasi wisata peluang terjadinya konflik sangatlah besar. Meskipun terdapat respon negatif dari sebagian besar masyarakat Desa Tlahab, pergerakan untuk mengembangkan kawasan Posong sebagai daya tarik wisata tetaplah berjalan. Diawali dengan terbentuknya sebuah organisasi pemuda pecinta alam dari Desa Tlahab bernama Djogoreso Community. Organisasi yang kemudian mengalami penambahan fungsi selain menjadi wadah bagi para pemuda pecinta alam, namun juga sebagai lembaga yang mengembangkan dan mengelola Wisata Alam Posong yang saat ini menjadi salah satu andalan pariwisata di Kabupaten Temanggung.
10
Upaya mengembangkan daya tarik wisata ini juga mulai berdampak positif terhadap masyarakat sekitar Desa Tlahab. Selain masyarakat lokal dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan oleh Djogoreso Community, kegiatan lain seperti usaha menjual makanan dan minuman khas daerah setempat ataupun pengadaan fasiltas pendukung homestay, sehingga membantu masyarakat memperoleh penghasilan tambahan. Keuntungan ekonomi dari adanya sebuah destinasi wisata juga dapat meningkatkan multiplier effect di dalam masyarakat sehingga perekonomian lokal semakin berkembang (Demartoto, 2009 : 21). Dikembangkannya kawasan Posong sebagai daya tarik wisata juga berdampak positif kepada Desa Tlahab, desa dimana Wisata Alam Posong berada. Sebagian hasil dari Posong menjadi pemasukan asli desa yang dapat digunakan untuk kepentingan Desa Tlahab seperti memperbaiki infrastruktur dan tambahan dana untuk kegiatan sosial. Upaya pengembangan Wisata Alam Posong yang dilakukan oleh Djogoreso Community ini disambut baik oleh Pemerintah Desa Tlahab. Selain dapat menjadi asset desa, Posong juga dapat mendorong terjadinya desa yang mandiri dengan multiplier effect yang ditimbulkan. Pemerintah Desa Tlahab tidak menutup mata dengan adanya dampak baik dampak positif maupun negatif dari munculnya Wisata Alam
Posong,
oleh
karenanya
selain
mendukung
dengan
memfasilitasi
dikembangkannya Posong secara lebih lanjut pemerintah Desa Tlahab juga bersinergi dengan pihak pengelola untuk mengatasi dampak-dampak yang timbul bagi
11
masyarakat. Dampak-dampak yang muncul di tengah masyarakat ini menunjukkan bahwa strategi pengembangan Wisata Alam Posong sudah mulai terlihat hasilnya. Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Bidang Pariwisata Kabupaten Temanggung, daya tarik Wisata Alam Posong Sindoro sampai dengan catur wulan pertama di tahun 2015 masih menempati urutan kedua sebagai daya tarik wisata yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan setelah Pikatan Water Park yaitu sebanyak 13.551 pengunjung.
Pencapaian jumlah
kunjungan tersebut tidak terlepas dari kerja keras Djogoreso Community sebagai lembaga yang mengupayakan pengembangan dan pengelolaan Wisata Alam Posong sampai dengan saat ini. Tabel 1.1 Kunjungan Daya Tarik Wisata di Temanggung No 1 2 3 4 5
Jumlah Kunjungan Tahun 2015 Nama Daya Jumlah Tarik Wisata Januari Februari Maret April Pikatan Water 18.208 10.346 15.100 14.821 58.475 Park Lembah Posong 3.886 2.658 3.525 3.482 13.551 Sindoro Wana Wisata 750 700 730 725 2.905 Jumprit Candi Pringapus 509 347 420 247 1.523 Bioskop 4D 108 107 140 124 479 Andromeda Sumber : DINBUDPARPORA Bidang Pariwisata Kab. Temanggung Terbentuknya Djogoreso Community ini dapat dikatakan sebagai bentuk dari
aksi institutional entrepreneurship, sebuah kajian mengenai pemunculan lembaga baru oleh individu yang dikenalkan oleh DiMaggio (1988 dalam Kusworo, 2015). Dalam bahasa Indonesia Kusworo (2013) mengalihbahasakan istilah institutional 12
entrpreneurship menjadi “kewiralembagaan”. Dimana konsep ini mengakomodasi peran aktor dalam pembentukan sebuah lembaga inovatif. Aksi kewiralembagaan ini diinisiasi oleh masyarakat lokal untuk mengembangkan dan mengelola daya tarik Posong Sindoro. Penggagas dari upaya pengembangan Posong Sindoro dan pembentuk Djogoreso Community ini yang selanjutnya di sebut sebagai aktor wiralembagawan. Meskipun diinisiasi oleh masyarakat lokal, pengembangan Posong Sindoro dapat dikatakan berjalan dengan baik. Ini terbukti dengan eksistensi daya tarik wisata ini sejak diinisiasi pada tahun 2009, kemudian tahun 2011 mulai pembangunan infrastruktur, dan hingga saat ini terus mengalami perkembangan dan kenaikan jumlah pengunjung. Sampai saat ini Djogoreso Community sebagai lembaga pengembang dan pengelola Posong Sindoro tetap melakukan inovasi-inovasi baik dari sisi infrastruktur maupun variasi atraksi wisata. Praktik kewiralembagaan ini berhasil membuktikan bahwa walaupun diinisiasi, dikembangkan, dan dikelola oleh masyarakat lokal, namun tetap dapat eksis dan dapat menjadi inspirasi maupun menjadi percontohan pengembangan daya tarik wisata lain di wilayah Temanggung. Keberhasilan Djogoreso Community dalam mengembangkan dan mengelola Wisata Alam Posong tidak dapat terlepas dari aktor yang menggerakkannya. Aktor yang disebut sebagai wiralembagawan ini tentunya mempunyai kapasitas yang dapat mendukung semua tindakan-tindakan yang dilakukan. Sehingga dapat terbentuk
13
sebuah lembaga inovatif dan upaya pengembangan Wisata Alam Posong dapat dilaksanakan. Melalui penelitian ini, peneliti ingin melihat kapasitas wiralembagawan sebagai individu dengan segala atribut yang dimilikinya baik dari sisi modal manusia, modal sosial, modal budaya, dan keterampilan sosial yang kemudian berhadapan dengan diskursus yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat mengenai cara pandang mereka terhadap gagasan pengembangan daya tarik wisata di Desa Tlahab. Bagaimana wiralembagawan menciptakan ataupun menemukan peluang-peluang di dalam struktur sehingga dapat terbentuk sebuah lembaga inovatif yang bernama Djogoreso
Community.
Sebuah
organisasi
yang
terbentuk
dalam
rangka
mengupayakan pengembangan Wisata Alam Posong di Kabupaten Temanggung. Dalam pengembangan daya tarik wisata aspek lembaga atau institusi menjadi sangat penting sebagai perantara dalam pencapaian tujuan dari aktor yang mempunyai gagasan pengembangan Desa Tlahab sebagai daerah tujuan wisata. Melalui lembaga juga diharapkan pengembangan destinasi Wisata Alam Posong dapat terus berjalan dan berkelanjutan. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah terurai di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana proses kewiralembagaan yang terjadi di Wisata Alam Posong? Maka untuk mengetahui hal tersebut berdasarkan pada : 14
a. Bagaimana relasi aktor dan struktur dalam pengembangan Wisata Alam Posong? b. Bagaimana kapasitas wiralembagawan dalam pengembangan Wisata Alam Posong? c. Bagaimana kerja wiralembagawan dalam pengembangan Wisata Alam Posong? d. Bagaimana dampak dari pengembangan Wisata Alam Posong bagi masyarakat Desa Tlahab? 1.4 Tujuan Penelitian Suatu penelitian pada dasarnya mempunyai tujuan untuk memecahkan suatu masalah. Penentuan tujuan penelitian diperlukan agar penelitian yang dilakukan mempunyai arah yang jelas. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : a. Relasi aktor dan struktur dalam pengembangan Wisata Alam Posong. b. Kapasitas wiralembagawan dalam pengembangan Wisata Alam Posong. c. Kerja wiralembagawan dalam pengembangan Wisata Alam Posong. d. Dampak pengembangan Wisata Alam Posong bagi Masyarakat Desa Tlahab. 1.5 Manfaat Penelitian a. Menjadi sumbangan pemikiran terhadap penelitian-penelitian sejenis, serta memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan pada khususnya dan pengembangan ilmu sosial pada umunya.
15
b. Menjadi sumbangan pemikiran serta tambahan referensi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan oleh pemerintah atau instansi-instansi terkait. 1.6 Definisi Konsep 1.6.1 Kewiralembagaan Dalam literatur sosiologi, institutional entrepreneurship diperlakukan hampir sama dengan konsep yang telah berkembang sebelumnya meskipun dengan bingkai dan perspektif yang berbeda, dalam arti lembaga muncul sebagai aspek yang lebih dalam dan lebih tegas daripada struktur sosial (Scott, 2004 dalam Henrekson dan Sanandaji, 2010 : 18). Sementara sebelumnya, DiMaggio telah memperkenalkan konsep institutional entrepreneurship untuk menjelaskan bagaimana peran individu dalam
membawa perubahan yang melebihi jangkauan lembaga (Henrekson dan
Sanandaji, 2010 : 18). Kewiralembagaan merupakan sebuah konsep yang mengakomodasi peran aktor
dalam
pembentukan
sebuah
lembaga
inovatif.
Konsep
mengenai
kewiralembagaan dalam bingkai Institutional Individual Opportunity Nexus (IION) (Kusworo, 2015) membuka ruang untuk mempelajari lebih jauh peran dan posisi aktor dalam pembentukan lembaga sosial inovatif. Secara lebih jauh peran aktor adalah untuk mempertahankan atau mengembangkan lembaga inovatif tersebut, yang memungkinkan untuk melakukan modifikasi atau membuat fungsi dan formasi baru
16
yang mengarah kepada pencapaian tujuan dan tetap mempertahankan keberlanjutan lembaga. Menurut Kusworo (2015), kewiralembagaan berkaitan dengan tindakan seseorang menciptakan atau mengembangkan lembaga sosial inovatif berdasarkan kapasitas individu dan peluang kelembagaan dalam suatu struktur tertentu. Dengan demikian kewiralembagaan merupakan atribut yang melekat pada tindakan seseorang menciptakan atau mengembangkan sebuah lembaga. Sedangkan wiralembagawan merupakan predikat yang didapatkan oleh seseorang atau individu yang melakukan aksi mengenali, memodifikasi, atau menciptakan sebuah lembaga inovatif. a. Kapasitas Wiralembagawan Dalam kajian Tang (2010) yang membahas mengenai bagaimana pengusaha di Cina menemukan peluang bisnis, dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik individu yang berupa modal manusia (human capital), modal sosial (social capital), dan keterampilan sosial (social skill) yang berhubungan dengan kemampuan mengenali peluang bisnis, turbulensi pribadi yang dialami oleh pengusaha, dan persepsi terhadap lingkungan sangat berperan dalam mengintegrasikan informasi dan pengetahuan untuk mengidentifikasi peluang ketika menghadapi pelemahan infrastruktur dan mampun mengubah fungsi dan formasi lembaga. Walaupun kajian tersebut dilakukan dalam bidang bisnis, namun dalam banyak hal relevan apabila dihubungkan dengan pengembangan lembaga sosial (Kusworo, 2013).
17
Tindakan
wiralembagawan
dalam
mengenali,
memodifikasi,
ataupun
menciptakan lembaga inovatif sangat bergantung kepada kapasitas yang dimilikinya. Kapasitas wiralembagawan dapat dikatakan sebagai modal awal dalam melakukan praktik
kewiralembagaan.
Dengan
menggunakan
modal-modal
yang
telah
dimilikinya, diharapkan wiralembagawan dapat mengenali kesempatan-kesempatan kelambagaan yang muncul sehingga dapat “berkreasi” dengan memodifikasi atau mencipatakan fungsi dan formasi pada sebuah lembaga inovatif. Tabel 1.2 Kapasitas Wiralembagawan Modal Aspek Sumber daya a. Pengetahuan manusia b. Kemampuan kognitif
Fungsi 1. Meningkatkan produktifitas dan efisiensi wiralembagawan dalam beraktifitas. 2. Membangun jaringan yang kuat. 3. Membangun sumber informasi. 4. Menemukenali kesempatan. Modal sosial a. Interaksi sosial 1. Menjalankan fungsi dan menciptakan b. Kepercayaan kebercayaan wiralembagawan. 2. Mengidentifikasi dan mengumpulkan informasi penting dan kerentanan sumber daya. 3. Mengenali, menemukan, menciptakan, dan menggali kesempatan. 4. Melibatkan wiralembagawan dalam mentransformasi, menegosiasi, dan memperoleh infrastruktur institusi. Keterampilan a. Persepsi sosial 1. Menemukenali dan mengelola berbagai sosial b. Adaptasi sosial interaksi sosial. c. Kemampuan 2. Menghimpun sumberdaya dari luar. mempengaruhi 3. Membangun antusiasme dan komitmen. d. Managemen 4. Menjalin komunikasi efektif. pengearuh atau kesan 5. Mengembangkan jaringan. 6. Mengembangkan kepercayaan dan legitimasi. 7. Melakukan negosiasi terhadap isu. Sumber : Battilana (2004), Pacheco (2010), Tang (2010) dalam Astuti (2015) 18
Kusworo (2015) mensyaratkan bahwa seseorang dapat menyandang predikat sebagai institutional entrepreneur atau wiralembagawan apabila dapat memanfaatkan segala atribut yang melekat pada dirinya seperti modal manusia (human capital), modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital) dan keterampilan sosial (social skill) untuk memobilisasi struktur yang baru. Kemudian kapasitas wiralembagawan tersebut ditandai dengan adanya kemampuan untuk mengenali, memodifikasi, atau menciptakan perangkat kelembagaan dalam menyusun atau menyusun ulang lembaga sosial. Penelitian yang dilakukan (Kusworo, 2015) dalam konteks Urban Tourism, kapasitas wiralembagawan dalam menemukan peluang kelembagaan
yang
selanjutnya
digunakan
mengenali,
memodifikasi,
atau
menciptakan lembaga inovatif berkaitan dengan diskursus, pengetahuan, jaringan, dan relasi. Dari penelitian tersebut, peneliti terinspirasi untuk menerapkan konsep kewiralembagaan dalam penelitian ini. Peneliti mencoba menggali potensi modal manusia yang dapat mempengaruhi kapasitas wiralembagawan dari sisi pengetahuan dan pengalaman wiralembagawan. Selain itu peneliti juga mencoba menggali potensi modal sosial dari sisi kepercayaan yang terbangun dalam relasi. Kemudian dari keterampilan
sosial,
dalam
penelitian
ini
mencoba
memahami
kapasitas
wiralembagawan dari sisi kemampuan mempengaruhi atau kemampuan persuasi. Serta modal budaya yang dimiliki oleh wiralembagawan.
19
1. Pengetahuan dan Pengalaman Terdapat dua dimensi yang berperan sangat penting dalam sumber daya manusia yaitu pengetahuan dan pengalaman kerja terdahulu (Shane, 2000; Davidsson dan Honig, 2003; dalam Tang, 2010). Seseorang yang mempunyai pengetahuan dapat meningkatkan kemampuan kognitifnya yang menyebabkan aktivitasnya lebih produktif dan efisien. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dapat mempengaruhi tindakan-tindakan yang dilakukannya. Dalam kaitannya dengan kewiralembagaan, pengetahuan yang dimiliki oleh aktor atau wiralembagawan dapat digunakan untuk menyusun strategi dalam mengenali, memodifikasi, ataupun menciptakan sebuah lembaga baru. Pengetahuan diakui sebagai dimensi utama yang membentuk sumber daya manusia, akan tetapi sumber daya manusia bukan hanya mengenai pengetahuan. Pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh aktor juga mempunyai peran penting. Menurut Bird (1989 dalam Tang, 2010) pengalaman berkontribusi pada pengembangan keterampilan, kemampuan, kompetensi, nilai, kebutuhan, insentif, dan pengendalian sumber daya pada gagasan kewirausahaan. 2. Relasi dan Kepercayaan Modal sosial mengacu pada seberapa besar sumber daya aktual dan potensi yang terdapat dalam hubungan individu, komunitas, jaringan, atau masyarakat. Hal ini mencakup interaksi sosial, hubungan saling percaya, dan sistem nilai yang mungkin dimobilisasi melalui jaringan (Nahapiet dan Ghoshal, 1998 dalam Kusworo, 20
2015). Dalam konsep modal sosial, relasi menjadi suatu aspek yang terbentuk karena adanya interaksi antar individu yang mempunyai kepentingan. Adanya relasi mengasumsikan bahwa individu-individu mempunyai kepentingan dan berusaha untuk memperjuangkan kepentingan tersebut melalui interaksi yang dibangun. Dalam memperjuangkan kepentingan, individu akan berusaha membangun relasi yang baik dan juga membangun sebuah kepercayaan. Coleman dan Putnam adalah dua orang yang mendefinisikan kepercayaan atau trust sebagai komponen utama dalam modal sosial (Field, 2010 : 101). Kepercayaan sering kali diibaratkan sebagai pelumas yang melumasi roda dari berbagai transaksi sosial yang tanpanya akan sangat mahal dan butuh waktu. Dengan demikian jaringan dengan kepercayaan tinggi akan berfungsi lebih baik daripada jaringan dengan kepercayaan rendah. 3. Modal Budaya Kapasitas wiralembagawan dapat dilihat dari bagaimana aktor memanfaatkan modal budaya yang dimiliki untuk membentuk lembaga inovatif. Modal budaya merupakan modal yang sama pentingnya dengan sumber daya manusia, modal sosial, dan keterampilan sosial yang dimiliki oleh seorang wiralembagawan. Secara khusus, Bourdieu (1986 dalam Kusworo, 2015) berpendapat bahwa modal budaya meliputi hal-hal seperti rasa, gaya, dan kepercayaan diri yang merupakan suatu keuntungan sosial bagi individu untuk memberikan status yang lebih tinggi di dalam masyarakat sehingga dapat membantu aktor untuk mengembangkan relasi sosialnya. Kemudian 21
Bourdieu menegaskan, modal budaya yang dimiliki seseorang dibangun oleh kondisi keluarga dan pendidikan yang dapat dimanfaatkan oleh individu untuk meraih kekuasaan atau status (Jenkins, 1992; Robbins, 2000 dalam Field, 2010 : 21-22). Dengan modal budaya, wiralembagawan dapat merakit model tata kelola, membentuk budaya dan struktur dalam mengembangkan atau menciptakan lembaga inovatif. Modal budaya dapat dikonversikan menjadi modal sosial, yang berfungsi sebagai elemen penting dari wiralembagawan untuk melakukan transformasi, negosiasi, dan membentuk infrastruktur kelembagaan. Dalam konteks ini modal budaya bertindak sebagai sarana wiralembagawan untuk mengakumulasi modal sosial dan meningkatkan akses untuk memperluas hubungan sosial dan dukungan (Kusworo, 2015). 4. Kemampuan Mempengaruhi Terakhir, kapasitas wiralembagawan juga berkaitan dengan keterampilan sosial yang dimiliki. Menurut Baron dan Markman (2003 dalam Tang, 2010 dalam Kusworo, 2015) keterampilan sosial mengacu kepada efektivitas interaksi aktor dengan orang lain. Terdapat empat dimensi keterampilan sosial, yaitu : (1) persepsi sosial, yaitu ketepatan dalam memahami sifat, motif, niat dan emosi orang lain. (2) kemampuan beradaptasi sosial, mengacu pada kemampuan untuk beradaptasi atau rasa nyaman dalam berbagai situasi sosial. (3) kemampuan mempengaruhi (persuasi), yaitu kemampuan untuk mengubah pandangan atau perilaku orang lain. (4)
22
managemen kesan, mengenai berbagai teknik untuk memberikan reaksi positif kepada orang lain. Dalam penelitian ini, peneliti lebih fokus terhadap keterampilan sosial yang dimiliki oleh wiralembagawan yaitu kemampuan mempengaruhi orang lain. Dengan melihat kasus yang terjadi dalam pengembangan Wisata Alam Posong yang semula gagasan wiralembagawan untuk mengembangkan kawasan Posong sebagai kawasan wisata ditolak oleh mayoritas masyarakat Desa Tlahab. Akan tetapi, pada akhirnya dukungan datang dari masyarakat dan juga pemerintah Desa Tlahab sendiri. Hal ini tidak dapat terlepas dari kemampuan wiralembagawan dalam mempengaruhi masyarakat dan pemerintah Desa Tlahab untuk mendukung dan mengikuti gagasannya untuk mengembangkan Desa Tlahab sebagai daerah tujuan wisata melalui Wisata Alam Posong. b. Relasi Aktor dan Struktur Diskusi mengenai kewirausahaan yang pada umumnya berorientasi bisnis telah sampai pada titik yang memberikan ruang luas untuk mempelajari peran aktor dalam hubungannya dengan struktur. Konsep Individual Opportunity Nexus (ION) (Shane dan Venkataraman, 2000 dalam Kusworo, 2015) menjelaskan bagaimana individu berperan dan berinteraksi dengan peluang bisnis yang diciptakan oleh struktur. Konsep mengenai kewiralembagaan dalam konteks Institutional Individual Opportunity Nexus (IION) (Kusworo, 2015) membuka ruang untuk mempelajari lebih jauh peran dan posisi aktor dalam pembentukan lembaga sosial inovatif. Secara lebih 23
jauh peran aktor adalah untuk mempertahankan atau mengembangkan lembaga inovatif tersebut, yang memungkinkan untuk melakukan modifikasi atau membuat fungsi dan formasi baru yang mengarah kepada pencapaian tujuan dan tetap mempertahankan keberlanjutan lembaga. Dalam penelitian mengenai diskursus, jaringan, pengetahuan, dan relasi dalam konteks Urban Tourism Dipowinatan, Kusworo (2015) membuat skim keterhubugan konsep-konsep tersebut dalam bingkai Institutional Individual Opportunity Nexus (IION). Bagan 1.1 Institutional Individual Opportunity Nexus (IION)
structure
discourse
networks
institutional opportunity
innovative institution
motivation
knowledge
outcome
recognition
relationship
modification creation
actor
Sumber : Kusworo, 2015 Relasi antara aktor dan struktur dalam bagan di atas, berbagi menjadi dua entitas yaitu struktur dan aktor. Salah satu cara untuk dapat terhubung dengan 24
struktur, aktor harus hidup dalam diskursus, mempunyai motivasi, tujuan, relasi dan jaringan. Dinamika dari adanya dikursus dimana terdapat tujuan yang dinegosiasikan, diharapkan dapat menjadi faktor penarik dari praktik kewiralembagaan. Sementara, motivasi mewakili kebutuhan psikologis wiralembagawan yang berfungsi sebagai faktor pendorong. Kedua faktor tersebut saling berfungsi sebagai pondasi keterlibatan wiralembagawan dalam struktur. Kewiralembagaan dalam kerangka Institutional Individual Opportunity Nexus (IION) menyarankan pendekatan kesempatan kelembagaan yang menjadi penghubung antara aktor dan struktur. Kemudian lembaga atau institusi inovatif merupakan hasil dari praktik kewiralembagaan. Dimana terdapat tujuan lembaga yang dapat diberi label sebagai infrastruktur kelembagaan yang di dalamnya terdapat kesempatan dan fungsi kelembagaan yang akan membentuk identitas lembaga. Lembaga inovatif, merupakan sesuatu yang dihasilkan dari praktik kewiralembagaan
yang
dilakukan
oleh
wiralembagawan.
Wiralembagawan
menciptakan atau mengembangkan lembaga inovatif berdasarkan atas peluang kelembagaan dalam struktur tertentu. Seorang wiralembagawan berkemungkinan memperjuangkan dan membingkai lembaga sosial yang sesuai dengan tujuan tertentu yang diinginkannya dengan kapasitas, motivasi, dan tujuan tertentu untuk mengubah peluang kelembagaan dalam struktur menjadi perangkat kelembagaan (Kusworo, 2013). Dalam penelitian ini, lembaga inovatif dimaknai sebagai lembaga yang mengalami kebaruan. Dimana kebaruan dalam lembaga tersebut memunculkan 25
perubahan, dalam arti perubahan untuk mengembangkan fungsi dari lembaga tersebut. Peran dan kinerja wiralembagawan sangat berpengaruh terhadap perubahan konteks kelembagaan. Hal ini disebabkan karena wiralembagawan berperan sebagai inovator yang berkaitan kegiatan pengembangan lembaga inovatif. c. Kerja Wiralembagawan atau Institutional Entrepreneurial Task Menurut Kusworo (2015), dalam upaya pencapaian tujuan, relasi antara aktor dan struktur memunculkan tiga elemen institusi yaitu tujuan atau goal, formasi atau formation yang berkaitan dengan sumber daya, dan fungsi dalam konteks tata kelola atau governance yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya dalam hubungan interaktif. Gambar 1.1 Elemen Institusi Goal Structure
Structure Actor
Formation
Function
Menempatkan istilah formasi untuk menggantikan struktur (mikro), dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara formasi dan fungsi lembaga. Terkait dengan pencapaian tujuan lembaga, suatu konfigurasi formasi dan fungsi tertentu berkemungkinan memberikan hasil lebih baik untuk memberikan pencapaian tujuan tertentu yang merupakan target dan arena dimana kewiralembagaan dan wiralembagawan semestinya bekerja (Kusworo, 2015). 26
Walau demikian, fungsi dan formasi bisa saja sudah tersedia dalam ekaternalitas yang sedang berjalan. Kerja wiralembagawan adalah mengidentifikasi adanya fungsi da formasi tersebut serta kemungkinan-kemungkinan dapat digunakannya fungsi dan formasi yang sudah tersedia. Untuk menentukan langkah yang seharusnya dilakukan oleh wiralembagawan dalam melakukan praktik kewiralembagaan adalah dengan mengidentifikasi ketersediaan fungsi dan formasi tersebut ke dalam kuadran. Agar semakin jelas apa
tindakan yang seharusanya
dilakukan. Bagan 1.2 Institutional Entrepreneurial Task
clear / yes
formation II
I modify or discover function
utilise function and formation
modification
unclear / no
recognition
clear / yes
function
function creation
III
modification
modify function and formation or discover function and formation
modify or discover formation
IV unclear / no
formation
: institutional entrepreneurial task
Sumber : Kusworo (2015) 27
Dalam bagan di atas, ruang terbagi dalam empat kuadran yaitu kuadran I, II, III, dan IV. Dimana pada kuadran I , fungsi dan formasi telah tersedia. Pada tahap ini tugas wiralembagawan adalah mengenali fungsi dan formasi tersebut agar dapat digunakan untuk mencapai tujuan. Pada kuadran II menunjukkan bahwa fungsi tidak tersedia atau tidak jelas akan tetapi tersedia formasi, sehingga tugas wiralembagawan adalah memodifikasi agar dapat pembentukn institusi. Kemudian pada kuadran III, menunjukkan bahwa baik fungsi dan formasi belum tersedia, sehingga tugas wiralembagawan adalah membuat atau menciptakan fungsi dan formasi agar dapat terbentuk institusi sebagai jalan pencapaian tujuan. Terakhir pada kuadran IV menunjukkan telah tersedianya fungsi, akan tetapi formasi tidak tersedia atau tidak jelas. Sama halnya yang terjadi pada kuadran II, tugas wiralembagawan adalah memodifikasi agar terpenuhinya elemen institusi. 1.6.2 Strategi Pengembangan Daya Tarik Wisata a. Konsep Strategi Konsep strategi yang dirumuskan Chandler (Rangkuty, 1997 dalam Purwanti, 2009) adalah strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, serta prioritas alokasi sumber daya. Sedangkan Hax dan Majkuf (Salusu, 1998 dalam Purwanti, 2009) menawarkan rumusan strategi sebagai : (1) Suatu pola yang konsisten, menyatu, dan integral; (2) Menentukan dan menampilkan tujuan organisasi dalam arti sasaran jangka panjang, program bertindak dan prioritas alokasi sumber daya; (3) Menyeleksi bidang yang digeluti dan akan 28
digeluti organisasi; (4) Mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama dengan memberikan respon tetap terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal organisasi dan kekuatan serta kelemahan organisasi; dan (5) Melibatkan semua tingkat hierarkhis organisasi. Pada dasarnya setiap orang mempunyai strategi karena untuk mewujudkan tujuannya harus mempunyai rencana kegiatan. Strategi menjadi suatu kerangka yang fundamental tempat suatu organisasi akan mampu menyatakan kontinuitasnya yang vital (Purwanti, 2009). Dalam rangka upaya mengembangkan daya tarik wisata, penentuan strategi merupakan sesuatu yang sangat penting. Dengan konsep pengembangan yang tepat diharapkan keuntungan dari bidang pariwisata dapat menyentuh lapisan masyarakat bawah. Pelibatan masyarakat lokal dalam upaya pengembangan daya tarik wisata merupakan langkah yang harus ditempuh sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal tersebut dapat mencegah masyarakat untuk tidak terlibat dalam lakon sebagai penonton, tetapi penanggungjawab dan pelaku aktif dalam pariwisata (Damanik, 2010). Dalam penelitian ini, strategi dimaknai sebagai cara atau sarana untuk mencapai tujuan. Dimana aktor mempunyai tujuan untuk mengembangkan kawasan Posong sebagai daya tarik wisata. Beragam cara dilakukan agar gagasan pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata dapat diterima oleh masyarakat dan pemerintah Desa Tlahab. Peran aktor dalam penentuan strategi tidak berhenti pada tahap diterimanya gagasan pengembangan sebuah daya tarik wisata, tetapi lebih 29
lanjut kepada upaya pengembangan dan pengelolaan setalah daya tarik wisata tersebut terbentuk baik dari sisi objek wisata maupun lembaga yang mengelolanya. b. Komponen Daya Tarik Wisata Pengertian Daya tarik Wisata menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan meyebutkan, Daya Tarik Wisata sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Untuk menjadikan suatu daerah sebagai tujuan wisata, daerah tersebut harus memenuhi tiga syarat agar dikunjungi oleh wisatawan (Putra, 2006) yaitu : 1. Harus mempunyai “something to see”, artinya di daerah tersebut harus ada objek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah lain, harus mempunyai daya tarik khusus. 2. Harus tersedia “something to do”, artinya di daerah tersebut di samping ada yang dapat dilihat harus pula disediakan fasilitas rekreasi yang dapat membuat wisatawan lebih lama tinggal. 3. Harus ada “something to buy”, artinya di daerah tersebut disediakan tempat untuk berbelanja, terutama souvenir kerajinan masyarakat setempat sebagai kenang-kenangan.
30
Lebih lanjut Middleton (1989, Ricardson dan Fluker, 2004 dalam Pitana dan Diarta, 2009 : 130-131) mengemukakan bahwa terdapat lima komponen yang harus dimiliki sebuah daya tarik wisata, yaitu : 1. Atraksi, merupakan elemen yang terkandung dalam daya tarik wisata dan lingkungannya yang memegang peran penting dalam memotivasi wisatawan untuk berkunjung. 2. Fasilitas, berhubungan denga segala hal yang memungkinkan wisatawan tinggal untuk menikmati atau berpartisipasi dalam atraksi yang ditawarkan. 3. Aksesibilitas, merupakan mudah atau sulitnya wisatawan menjangkau daya tarik wisata yang diinginkan. 4. Imej (image), merupakan ide atau kepercayaan wisatawan tentang produk atau pelayanan yang mereka beli atau akan beli. 5. Harga, merupakan jumlah keseluruhan dari biaya-biaya selama perjalanan wisata yang mencakup akomodasi, makanan dan minuman, biaya perjalanan, serta partisipasi dalam pelayanan yang dikonsumsi selama berada di daya tarik wisata yang dituju. Dalam pengembangan daya tarik wisata diperlukan strategi yang tepat untuk membentuk komponen-komponen yang tersebut di atas. Penentuan strategi dalam pembentukan komponen daya tarik wisata ini menjadi sangat penting karena berkaitan langsung dengan upaya untuk menarik minat dan perhatian pengunjung. 31
Karena salah satu parameter keberhasilan daya tarik wisata adalah dengan melihat pertumbuhan dari sisi jumlah pengunjung. c. Strategi Pengembangan Penentuan strategi dalam pengembangan daya tarik wisata sangat penting dilakukan. Melalui konsep pengembangan daya tarik wisata yang tepat diharapkan diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat lokal dan memberikan gambaran mengenai esensi pariwisata melalui potensi yang dimiliki oleh suatu daerah, khususnya daerah pedesaan. Menurut Sastrayuda (dalam Triambodo, 2015) terdapat dua poin penting yang diperlukan dalam upaya pengembangan kawasan wisata pedesaan yaitu dari sisi kelembagaan dan daya tarik wisata. Upaya pengembangan pariwisata tidak dapat terlepas dari lembaga atau organisasi yang menjadi pelakunya. Begitupun dengan keberlanjutan daya tarik wisata akan sangat tergantung dengan lembaga. Oleh sebab itu dibutuhkan strategi khusus untuk mempertahankan sebuah daya tarik wisata berkaitan dengan aspek kelembagaan. Menurut Sastrayuda (2010) model kelembagaan dan sumber daya manusia pada pariwisata pedesaan khususnya desa wisata harus menekankan kepada : 1. Investasi pada modal manusia (human capital), baik dalam bidang pendidikan mapun kesehatan. Bidang pendidikan lebih diarahkan kepada peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam bentuk pekerjaan yang dibutuhkan oleh pasar. Pendidikan tidak hanya 32
memberikan keilmuan, tetapi lebih penting kepada kesadaran untuk tumbuhnya sikap menerima, bekerja sama, dan menumbuh perilaku baru dalam
upaya
mengentaskan
kemiskinan,
keterbelakangan
dan
ketergantungan. 2. Peningkatan kapasitas organisasi di pedesaan, disamping organisasi pemerintahan desa yang secara bersama-sama mempunyai keinginan untuk mengembangan wisata pedesaan sebagai upaya pembangunan. 3. Memperluas dan mengintegrasikan mandat organisasi sehingga efisiensi bisa tercapai. 4. Memperbaiki budaya kerja, kerja keras, dan tanggung jawab dalam organisasi. 5. Menghilangkan sifat dan mental negatif yang dapat merusak produktifitas. Pada dasarnya pengembangan pariwisata secara umum tidak terlepas dari kegiatan yang menyentuh dan melibatkan peran serta masyarakat. Sehingga kegiatankegiatan dalam bidang pariwisata pasti akan menimbulkan dampak bagi masyarakat serta lingkungan dimana sebuah daya tarik wisata tumbuh dan berkembang. Dalam rangka pengendalian dampak-dampak yang ditimbulkan dengan adanya sebuah daya tarik wisata yang ada di kawasan desa, harus diperhatikan mengenai strategi untuk mengatasinya. Sejalan dengan konsep tersebut menurut Sastrayuda (2010) terdapat tiga pilar penting yang harus diperhatikan yaitu : 33
1. Pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan wisata pedesaan. 2. Pemerataan hasil secara professional. 3. Pencapaian sumber daya yang berkelanjutan. Ketiganya secara bersama dan seimbangan akan mendukung keberadaan suatu sumber daya alam yang dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat. Dalam proses pengembangan pariwisata tentunya akan menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif. Oleh karenanya dibutuhkan strategi yang tepat untuk dapat meningkatkan dampak positif dan menekan dampak negatif yang ditimbulkan. James J. Spillane (dalam Demartoto, 2008) menjelaskan mengenai dampak positif dan negatif dari pengembangan pariwisata, yaitu sebagai beikut : 1. Dampak positif : menciptakan lapangan kerja, sebagai sumber devisa asing, dan pariwisata sebagai distributor pembangunan spiritual dimana pariwisata cenderung mendistribusikan pembangunan dari pusast industri kearah wilayah desa yang belum berkembangan. 2. Dampak negatif : terjadinya vulnerability ekonomi khusunya pada negara yang tergantung pada satu pasar asing, kebocoran dana dalam pembangunan pariwisata, polarisasi spasial dari industri pariwisata, sifat dari pekerjaan dalam bidang pariwisata yang cenderung bergaji rendah maupun menjadi pekerjaan musiman, alokasi sumberdaya ekonomi yang tidak mudah, dan dampak terhadap lingkungan. 34