BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Membahas mengenai pacaran dalam era globalisasi ini sudah tidak asing lagi. Pacaran sekarang bahkan seolah–olah sudah merupakan aktifitas remaja dalam kehidupan sehari–hari. Dilihat dari segi definisi memang sangat tergantung dari siapa dan dari sudut mana orang mendefinisikan. Istilah Pacaran tidak dapat mutlak diartikan dari satu sudut pandang saja. Sehingga istilah pacaran seolah-olah menjadi sebuah misteri yang tidak ada habisnya untuk dibahas. sangat sulit mencari referensi mengenai definisi pacaran. Karena banyak orang mendefinisikan tentang pacaran maka definisi pacaran makin beragam. Dalam berpacaran pasti berhubungan dengan perilaku dan pelaku berpacaran, dari sinilah yang
menimbulkan
berbagai
pandangan
makna
berpacaran.
Mendefinisikan pacaran sebenarnya juga dilatar belakangi oleh perilaku dan pelaku berpacaran. Dari perilaku dan pelaku berpacaran inilah yang menimbulkan pandangan dalam memahami dan menyikapi pacaran. Masa pacaran banyak dialami oleh remaja, berbicara remaja yang masih mencari identitas diri atau jati diri menimbulkan perilaku pacaran yang seenaknya sendiri dan bersikap dominan kepada pasangannya yang dapat melakukan kekerasan dalam pacaran (KDP) hingga ke tindakan
1
kriminal. Sebenarnya kekerasan dalam pacarantidak hanya dialami oleh perempuan saja atau remaja putri saja, tapi laki-laki pun juga ada yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya. Setyawati, (2010) menyatakan bahwa tingginya ketidakladilan terhadap derajat dalam hal gender masih sering kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap makhluk yang lemah, penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa pantas menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena. Moral sangat dipengaruhi oleh masa peralihan, banyak sekali dari remaja yang terpengaruh oleh lingkungan dan bersikap melanggar aturanaturan yang di tentukan oleh masyarakat. Bukan hanya faktor lingkungan saja yang dapat mempengaruhi remaja dalam pembentukan moral tapi budaya juga sangat berpengaruh besar baik dari budaya lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Para remaja sangat senang mencoba hal-hal baru yang sering kalangan remaja sebut dengan “sensasi”. Dimana hal-hal baru ini biasanya dapat menjadi melanggar aturan dan kegiatan criminal. Selain itu perubahan fisik yang terjadi juga dapat mengakibatkan ketegangan emosi yang tinggi. Hurlock, (1999), menyatakan bahwa pada masa remaja perubahan yang terjadi tersebut menimbulkan konflik tersendiri bagi remaja, dimana bahaya psikologis utama dari masa transisi ini berkisar di sekitar kegagalan dalam melaksanakan penyesuaian kearah
2
kematangan, yang merupakan tugas perkembangan terpenting dalam masa remaja. Rendahnya perhatian orang tua, remaja, dan guru yang belum sepenuhnya memahami masalah kekerasan dalam masa pacaran (KDP), mengakibatkan anggapan tentang berpacaran dikalangan remaja masih dianggap sebagai aktifitas main-main, cinta monyet, hanya untuk bersenang-senang belaka. Padahal data di lapangan dan kondisi aktiftas pacaran dikalangan remaja kita terjadi secara besar-besaran dalam intensitas jumlah dan kualitas pelanggaran atau kekerasan yang semakin meningkat. Menurut Demartoto (2002), masa pacaran adalah suatu fase atau saat yang dimulai oleh sepasang kekasih untuk mengenal lebih dekat. Hubungan ini diikat dengan suatu komitmen atau janji tertentu seperti janji, setia, pengertian, sehidup semati, dan lain sebagainya. Pada umumnya pacaran yang ideal adalah hubungan cinta yang didalamnya ada perasaan saling memahami, memberi semangat, saling menjaga dalam hal-hal yang mengarah ke arah yang positif. Namun suatu yang ideal tersebut kadang bertentangan dengan kenyataan yang ada, sehingga muncullah suatu bentuk pacaran yang negatif, atau yang mengandung kekerasan. Biasanya, kekerasan dalam pacaran timbul karena dipicu oleh kurangnya komunikasi, jarak, rasa saling tak percaya, adanya rasa cemburu yang berlebihan, sikap terlalu ingin
3
memiliki sepenuhnya, over protektif kurang adanya rasa hormat kepada pasangannya, adanya sikap tidak menerima pasangan apa adanya, adanya dominasi dalam berpacaran, adanya proyeksi dari pelaku kekerasan dengan melimpahkan semua kesalahan dan menuduh pasangannya melakukan hal yang tidak-tidak dan pelaku kekerasan memiliki kontrol emosi yang lemah sehingga ketika pasangan melakukan kesalahan sekecil apapun, para pelaku kekerasan tersebut akan mudah melakukan tindakan kekerasan, apalagi ketika sang pacar tidak menanggapinya. PKBI Yogyakarta mendapatkan bahawa dari bulan Januari hingga Juni 2001 saja, terdapat 47 kasus kekerasan dalam pacaran. 57% diantaranya adalah kekerasan emosi, 20% mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik dan 8% lainya merupakan kasus kekerasan ekonomi (BKKBN dalam Zulfah, 2007). Hasil survey Set, (2009) menyatakan bahwa 1 dari 5 remaja putri di Indonesia pernah mengalami kekerasan dalam berpacran (KDP). Data kasus kekerasan yang ditangani oleh Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002Juni 2007, yaitu dari 273 kasus kekerasan yang masuk, ada 92% korban perempuan (242 orang). Sepertiganya (31% atau 75 orang) merupakan kekerasan dalam pacaran (KDP). Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asas Manusia (LRC-KJHAM) melaporkan, selama setahun setidaknya ada 557 kasus kekerasan berbasis jender di Jawa Tengah. Koordinator Divisi Monitoring LRCKJHAM, Fatkhurozi mengatakan, kasus perkosaan menduduki urutan teratas, disusul Kekerasan Dalam
4
Rumah Tangga (KDRT), kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual, dan pelanggaran hak Tenaga Kerja Wanita (TKW). Pacaran dikalangan remaja, bukanlah masa-masa paling indah lagi tetapi dalam banyak kasus pacaran dikalangan remaja juga diwarnai dengan berbagai penyimpangan, bahkan dalam pacaran dibuat sebagai ajang bagi hubungan dominasi. Dominasi adalah awal dari terjadinya tindak kekerasan dan penindasan. Ciri khas yang biasanya muncul terjadi korban hanya berdiam saja, dengan alasan bahwa korban kekerasan sangat mencintai pasangannya, disamping itu korban kekerasan dalam masa pacaran cenderung lemah, kurang percaya diri. Apalagi ditambah sang pacar sudah menunujukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Kekerasan dalam pacaran dapat dihindari ketika para pelaku pacaran dapat mengkomunikasikan emosinya dengan baik. Tingginya kasus yang sudah ada dari data diatas, tampak bahwa orang-orang
yang
melakukan
tindakan
kekerasan
dalam
pacaran
kebanyakan dikarenakan orang tersebut tidak memiliki kontrol emosi yang baik. Kontrol emosi di sini dikaitkan dengan kecerdasan emosi, dimana pelaku kekerasan tersebut belum dapat mengenali, memahami, dan mengatur emosi dengan efektif sebagai tolok ukur dari kecerdasan emosi. Setiap saat orang berurusan dengan emosi, baik dari diri sendiri ataupun emosi orang lain. Semua orang perlu memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, dengan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan memudahkan 5
seseorang dalam urusan sehari-hari dan hubungan dengan orang lain akan terjalin dengan baik. Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosi lebih ditujukan kepada upaya mengenali diri, upaya mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain, agar terkendali dan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan, terutama yang terkait dengan hubungan antar manusia. Apabila kecerdasan emosinya rendah maka kecenderungan bersikap melakukan kekerasan menjadi tinggi. Begitu pula, apabila kecerdasan emosi seseorang tinggi maka kecenderungan melakukan kekerasan rendah, dikarenakan dapat mengelola emosi diri sendiri maupun dengan orang lain dengan baik, sehingga cenderung untuk menghindari konflik. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hapsari (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan perilaku kekerasan dalam pacaran terhadap remaja, dengan r=-0,469 dan p = 0,000. Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang semakin rendah perilaku kekerasan dalam pacaran. Begitu sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi maka semakin tinggi perilaku kekerasan dalam pacaran. Sebaliknya peneltian yang dilakukan olehChristiana, (2010) yang dilakukan pada siswa SMA Negeri 2 Ungaran, dimana dalam penelitiannya menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap informasi mengenai kekerasan dalam pacaran dari orangtua dan kecerdasan emosi dengan sikap terhadap kekerasan dalam pacaran pada 6
remaja, dengan r=-0,157 dengan p=0,115 (p> 0,05) dimana mempunyai arti tidak ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan sikap terhadap kekerasan dalam pacaran pada remaja. Selain adanya keragaman hasil penelitian tentang hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku kekerasan dalam pacaran, kenyataannya fenomena kekerasan dalam pacaran juga terjadi pada mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling (Progdi BK). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara kepada beberapa mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa pernah mengalami dan melakukan kekerasan dalam pacaran. Mahasiswa Progdi BK mampu bersosialisasi dengan baik terhadap teman sesama mahasiswa, juga mampu mengendalikan diri dan mampu menghargai satu sama lain. Namun hal ini berubah ketika sedang bersama dengan pacarnya, ditunjukkan dengan bersikap lebih mendominasi diri terhadap hubungan yang sedang dijalani, menunjukkan siapa yang menjadi pihak superioritas, siapa yang paling berkuasa dalam hubungan yang sedang dijalani. Berbanding terbalik dengan yang diajarkan dalam beberapa mata kuliah seperti;
Landasan dan Dasar Bimbingan dan Konseling,
Pendekatan Konseling, dan beberapa mata kuliah yang lain dimana didalam mata kuliah tersebut mengajarkan rasa berempati terhadap klien. Empati adalah salah satu hal yang membentuk kecerdasan emosi. Dalam berpacaran terdapat rasa empati yang ditunjukkan dengan saling mengasihi/ 7
menyayangi. Azwar (1998), menyatakan bahwa kecerdasan emosional, adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sikap. Dalam hal ini adalah sikap mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling
terhadap
kekerasan dalam pacaran. Oleh karena itu, tingkat kecerdasan emosional menjadi faktor yang berpengaruh bagi mahasiswa dalam menentukan sikap terhadap kekerasan dalam pacaran. Dapat disimpulkan bahwa manusia begerumul dengan emosi dalam kegiatan sehari-harinya. Jika individu mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi maka tidak akan terjadi kekerasan dalam pacaran. Dan dapat membina hubungan baik dengan orang lain, diri sendiri, khususnya dalam pacaran. Dari inilah peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku kekerasan dalam pacaran pada
mahasiswa Bimbingan dan Konseling
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Angkatan 2010-2013. 1.2. Rumusan masalah Berdasarkan uraian diatas maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku kekerasan dalam pacaran pada mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Angkatan 2010-2013? 1.3. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui signifikansi hubungan antara kecerdasaan emosi
8
dengan perilaku kekerasan dalam pacaran pada mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Angkatan 20102013. 1.4. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan dan sekaligus sebagai bahan masukan bagi pengurus lembaga non formal, mahasiswa khususnya Program Studi Bimbingan dan Konseling dalam pengelolaan emosi, sehingga dapat mengurangi kasus kekerasan yang akan terjadi. Selain itu diharapkan dapat membantu peneliti lain sebagai bahan referensi jika ingin meneliti penelitian yang berkaitan dengan kecerdasaan emosi dan perilaku kekerasan dalam pacaran. 1.5. Manfaat Teoritis Hasil penelitian dapat menjadi sumbangan pengetahuan dalam Bimbingan dan Konseling mengenai hubungan antara kecerdasaan emosi dengan perilaku kekerasan dalam pacaran pada mahasiswa dan diharapkan dapat memperkaya teori bimbingan dan konseling khususnya dalam hal kecerdasaan emosi dan perilaku kekerasan dalam pacaran pada mahasiswa. Jika dalam penelitian terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasaan emosi dengan perilaku kekerasan dalam pacaran pada mahasiswa maka hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hapsari, (2007). Sebaliknya jika tidak terdapat hubungan yang
9
signifikan antara kecerdasaan emosi dengan perilaku kekerasan dalam pacaran pada mahasiswa maka sesuai dengan penelitian yang dilakukan olehChristiana, (2010). 1.6. Sistematika Penelitian Dalam upaya menyelesaikan laporan ini, penulis menggunakan sistematika sebagai berikut : BAB I
Pendahuluan Bab ini meliputi uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
Kajian Pustaka Bab ini menjelaskan tentang kajian pustaka mengenai kecerdasan emosi dan kekerasan dalam pacaran serta kajian penelitian yang berhubungan dengan penelitian dan hipotesis.
BAB III
Metode Penelitian Bab ini menguraikan jenis penelitian, subjek penelitian, variabel penelitian, teknik pengumpulan data, uji validitas dan reliabilitas, dan teknik analisa data.
BAB IV
Hasil Penelitian Dan Pembahasan Bab ini menjelaskan mengenai analisa deskriptif, uji hipotesis, dan pembahasan.
BAB V
Penutup Kesimpulan dan saran
10