BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Literasi media dikenal sebagai cerdas media (atau biasa disebut juga melek media), hal tersebut seperti konsep sebuah “pagar” dalam menghadapi serangan program media yang berkualitas rendah. James Potter mengemukakan bahwa Media literasi yaitu: A set of perspectives that we actively expose ourselves to the media to interpret the meaning of the messages we encounter. We build our perspectives from knowledge structures. To build our knowledge structures, we need tools and raw material. These tools are our skills. The raw material is information from the media and the real world. Active use means that we are aware of the messages and are consciously interacting with them (Potter, 2005).
Melalui definisi tersebut dapat dipahami bahwa literasi media adalah sebentuk “alat”, sementara kumpulan informasi atau pesan adalah “bahan mentahnya”. Dengan demikian, literasi media bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan kecakapan pada individu dalam menggunakan media. Media membantu manusia untuk berkomunikasi dengan mudah. Sayling Wen (dalam Yunus, 2007) mengatakan bahwa ada enam jenis media, yaitu: teks, grafik, suara, musik, animasi, dan video. Keenam jenis media tersebut telah menyatu dalam sebuah media modern, yaitu televisi. Televisi telah menjadi “the other parent” (orangtua lain). Televisi memiliki kekuatan membentuk realita, merancang apa yang menjadi harapan, mengarahkan perilaku, membentuk citra diri, dan mendikte tentang kepentingan, pilihan serta nilai-nilai (Tompo, 2007). Besarnya potensi media televisi terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan kontra. Pandangan pro melihat
1
televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai positif masyarakat. Sebaliknya, pandangan kontra melihat televisi sebagai ancaman yang dapat merusak moral dan perilaku destruktif lainnya. Secara umum kontraversi tersebut dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu pertama, tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah ada. Kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada. Ketiga televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan remaja dan perilaku berbahasanya. Dalam hal ini Dwyer (1994) menyimpulkan, sebagai media audio visual, TV mampu merebut 94% saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. TV mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50% dari apa yang dilihat dan didengar dilayar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Secara umum orang akan ingat 85% dari apa yang dilihat di TV setelah 3 jam kemudian dan 65% setelah 3 hari kemudian. Dengan demikian terutama bagi remaja yang pada umumnya selalu meniru apa yang dilihat, remaja selalu menganggap bahwa tayangan televisi yang disaksikan adalah tayangan yang sebenarnya dan tanpa rekayasa. Tayangan televisi tentang kekerasan yang dilakukan oknum guru kepada siswa, senior kepada juniornya, bahkan kekerasan teman sebaya hal tersebut adalah salah satu contoh literasi media yang buruk. Beragam pandangan muncul secara otomatis di masyarakat. Dunia periklan saat ini cenderung mengeksploitasi gaya hidup konsumtif, kekerasan dan monopoli cinta yang belum layak dikonsumsi oleh remaja.
2
Menurut Kotler (2002), periklanan didefinisikan sebagai bentuk penyajian dan promosi ide, barang atau jasa secara nonpersonal oleh suatu sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran. Iklan diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yakni: iklan
informatif
(Informative
Advertising),
iklan
persuasif
(Persuasive
Advertising), iklan reminder (Reminder Advertising). Pengaruh iklan, promosi dan sponsor rokok sangat hebat dan menyebabkan kenaikan perokok anak dan remaja yang sangat cepat pada berbagai tingkat umur. Pada kelompok umur 15-19 tahun, prevalensi perokok meningkat dari 7,1% (1995) menjadi 12,7% (2001) dan 17,3% (2004) atau naik 144% selama tahun 1995-2004. Dari tahun 2001-2004 prevalensi perempuan perokok meningkat 9,5 lipat dari 0,2% menjadi 1,9%. Pada tahun yang sama peningkatan perokok pemula anak usia 5-9 tahun meningkat hampir 5 kali lipat, dari 0,4% menjadi 1,8%. Remaja yang memiliki literasi media rendah, akan sulit membedakan makna-makna yang tersirat dalam media. Sebab, remaja tidak akan mampu secara kritis membandingkan pesan-pesan dalam media dengan kenyataan yang dialaminya sehari-hari. Pesan-pesan yang ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan masyarakat ke arah perilaku prososial maupun antisosial. Berdasarkan pemaparan di atas hal ini berkaitan dengan pemberikan layanan bimbingan pribadi sosial tentang memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat, bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya, dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
3
Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai model bimbingan klasikal literasi media televisi melalui iklan untuk siswa kelas VII SMP Negeri 2 Pabelan, karena di SMP Negeri 2 Pabelan kelas VII belum memiliki model bimbingan literasi media televisi melalui iklan.
1.2. Rumusan Masalah Masalah pokok yang akan diteliti lebih lanjut adalah : Bagaimana Model Bimbingan Literasi Media Televisi melalui Iklan Bagi Siswa SMP kelas VII di SMP Negeri 2 Pabelan?.
1.3.Tujuan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan yang ingin dicapai adalah menyusun model bimbingan literasi media televisi melalui iklan untuk siswa kelas VII SMP Negeri 2 Pabelan.
1.4. Manfaat Penelitian Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat antara lain sebagai berikut: 1. Secara Teoritis a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang penyusunan model bimbingan literasi media televisi melalui iklan. b. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya pada kajian yang sama tetapi pada ruang lingkup yang lebih luas.
4
c. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya literasi media dalam teori W. James Potter (2001). 2. Secara Praktis a. Bagi penulis, dapat menambah pengalaman dan keterampilan dalam penyusunan model bimbingan literasi media. b. Bagi sekolah, tersedianya model bimbingan literasi media televisi melalui iklan yang dapat digunakan untuk pembelajaran. c. Bagi guru pendidik, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan tambahan informasi kepada orang tua tentang menggunakan literasi media televisi melalui iklan yang baik untuk remaja. d. Bagi orang tua, diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas untuk mengetahui iklan televisi yang dilihat remaja dan diupayakan tindakan-tindakan guna
menanggulangi dampak
negatif dari iklan televisi. e. Bagi siswa, diharapkan dapat memilih secara efektif tentang pesan yang tersirat pada tayangan iklan televisi sehingga tidak bergaya konsumtif. Memilih secara selektif nilai-nilai dalam tayangan iklan televisi yang akan dipraktekkan dalam kehidupan nyata.
5