BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup bermasyarakat. Namun dalam membina hubungan bermasyarakat tersebut, sering terjadi gesekan kepentingan diantara mereka. Gesekan-gesekan kepentingan tersebut biasanya menjadi sengketa hukum diantara mereka. Adakalanya para pihak yang merasa dirugikan tidak puas dengan solusi yang ada, sehingga ia mengajukan sengketanya ke pengadilan. Demikian pula didalam ruang lingkup hukum perdata dimana seorang yang merasa dirugikan didalam suatu sengketa dapat mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan kepada pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” (tindakan menghakimi sendiri). 1 Hakim tidak boleh menolak tuntutan hak yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan walaupun dengan dalih bahwa hukumnya tidak diatur atau kurang jelas (Pasal 16 ayat 1 UndangUndang No.4 Tahun 2004). Larangan menolak memeriksa tuntutan hak atau penuntutan karena hakim tidak tahu akan hukumnya (ius curia nouvit), maka hakim harus menggali dan mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat (Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004). 1 Sudikno Merto Kusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 2006, h. 52
Universitas Sumatera Utara
Hukum acara perdata positif yang masih berlaku hingga saat ini adalah Rbg dan HIR, khusus diluar Jawa dan Madura seperti kita yang ada di Sumatera berlaku penuh ketentuan Rbg sebagai hukum acara perdata positif, sesuai dengan ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan IV Undang-Undang Dasar RI tanggal 18 Agustus 1945. Namun RBG dan HIR tidaklah merupakan aturan yang lengkap yang mampu mencakup semua ruang lingkup hukum acara positif di Indonesia. Peraturan-peraturan yang melengkapi RBG dan HIR contohnya antara lain : H. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 juncto Undang-Undang No .4 Tahun 2004 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman. I. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Banding (hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura). J. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum. K. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. L. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. M. RV dan RO, yang dinyatakan tidak berlaku lagi, namun dalam prakteknya dua aturan ini masih dijadikan acuan pelengkap bila ada aturan-aturan yang tidak jelas.
Selain beberapa peraturan baru diatas, Surat Edaran Mahkamah Agung yang disingkat SEMA tidak kalah penting peranannya dalam hukum acara perdata positif. SEMA khusus ditujukan pada pengadilan-pengadilan dibawahnya seperti Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri yang berisikan petunjuk-petunjuk bagi hakim dalam menghadapi perkara-perkara perdata. Para pihak yang mengajukan tuntutan hak ke pengadilan tentunya akan beracara sesuai hukum acara perdata yang berlaku mulai dari pengajuan tuntutan hak sampai jatuhnya putusan pengadilan. Tentunya para pihak tidak hanya mengharap putusan pengadilan semata yang berisi penyelesaian
Universitas Sumatera Utara
perkara yang diselesaikan dimana didalamnya ditentukan dengan pasti hak maupun hubungan hukum para pihak dengan objek yang dipersengketakan.2 Namun sudah pasti putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekusi sehingga putusan pengadilan tersebut dapat dilaksanakan seluruhnya sehingga tercapai apa yang disebut Rule of Law atau demi tegaknya hukum dan keadilan.
Hal ini dapat diartikan bahwa suatu putusan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu berkekuatan untuk dilaksanakan sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara 3. Kekuatan eksekutorial putusan hakim terdapat pada kepala putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Walaupun putusan pengadilan itu dapat dilakukan dan mempunyai kekuatan eksekutorial, tetapi banyak pihak yang masih merasa khawatir bahwa selama proses persidangan berlangsung tergugat akan menjual barang-barangnya atau dengan jalan lain mengalihkan hak atas barangnya, sehingga jika waktunya telah tiba putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan hendak dilaksanakan, barang yang menjadi objek persengketaan tidak dapat dieksekusi karena barang tersebut tidak berada ditangan tergugat lagi yang tentunya sangat merugikan bagi pihak penggugat. Untuk mengatasi permasalahan diatas didalam hukum acara perdata diatur sebuah lembaga yang bernama Lembaga Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang diatur dalam Pasal 261 Rbg atau 227 ayat 1 HIR. Pasal 261 Rbg menjelaskan sebagai berikut : Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang berhutang, sebelum dijatuhkan putusan atasnya, atau sebelum putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, berdaya upaya akan menghilangkan atau membawa barangnya yang bergerak ataupun yang tidak bergerak, dengan maksud menjauhkan barang itu dari para penagih hutang, maka 2 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 797 3 Sudikno Merto Kusumo, Op Cit, h. 247
Universitas Sumatera Utara
atas permintaan orang yang berkepentingan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan perintah supaya disita barang itu akan menjaga hak memasukkan permintaan itu, selain daripada itu kepada orang yang meminta diberitahukan pula, bahwa ia akan menghadap pada persidangan Pengadilan Negeri yang akan ditentukan, seboleh-bolehnya dalam persidangan yang pertama akan datang untuk menyebut dan meneguhkan gugatan. Biasanya dengan tidak adanya barang-barang yang dipersengketakan yang bisa dieksekusi dengan putusan yang ada tentunya sangat merugikan bagi pihak penggugat. Untuk itulah sangat diperlukan peranan lembaga sita jaminan. Lembaga sita jaminan dapat menjaga barang-barang yang disengketakan itu dari perbuatan penggugat yang mau menjual ataupun mengalihkan hak atas barang tersebut, sehingga bila tiba waktunya putusan pengadilan akan dilaksanakan dapat menjamin kepentingan dari pihak penggugat. Dalam prakteknya sita jaminan yang dalam gugatan dikabulkan oleh hakim dan dinyatakan sah dan berharga otomatis akan menjadi sita eksekutorial dalam rangka mendukung putusan tersebut. Namun tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan secara sebenar-benarnya yaitu secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan yang bersifat condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan, sedangkan putusan yang bersifat declaratoir dan consitutif tidak memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakannya 4. Penggugat disini sangat berkepentingan sekali sita jaminan yang diajukan kepada pengadilan dikabulkan dan dinyatakan sah dan berharga oleh hakim. Namun disini hakim diminta untuk benarbenar waspada terhadap putusan pengabulan sita tersebut dikemudian hari putusan pengabulan sita tersebut tidak terlalu merugikan pihak tergugat. Dalam kenyataanya sering penyitaan dilaksanakan terhadap barang-barang yang nilainya lebih tinggi atau bahkan lebih rendah dari objek sengketa,
4 Sudikno Mertokusumo, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sehingga apabila barang yang disita tidak memenuhi dari nilai objek sengketa, maka penggugat memohon kepada pengadilan agar dilakukan sita jaminan terhadap barang-barang tetap atau tidak bergerak milik tergugat. Selain itu hakim dituntut untuk lebih teliti dalam pengabulan sita jaminan yang menjadi sita yang sah dan berharga karena sering kali sita jaminan yang telah dilakukan kemudian diakhiri putusan sita tersebut dicabut kembali oleh hakim. Tentunya ini sangat merugikan pihak tergugat. Hal ini terjadi karena hakim kurang teliti terhadap syarat- syarat untuk mengabulkan permohonan sita jaminan. Disamping itu di dalam perkara pelunasan hutang kadang- kadang di dalam waktu pelaksanaan sita jaminan ada pihak ketiga yang mengaku bahwa barang yang disengketakan tersebut adalah miliknya. Sehingga pelaksanaan sita jaminan bahwa tersebut merupakan warisan yang belum terbagi waris dan pihak ketiga tersebut merupakan ahli waris yang berhak pula atas barang yang disita. Sehingga kepentingan hukum atas barang tersebut terganggu dengan adanya sita jaminan tersebut. Di dalam pelaksanaan di tempat barang tersebut berada belum tentu berjalan mulus saja. Bisa saja terjadi barang yang ditujukan oleh penggugat tidak diketemukan. Hal ini tentunya sangat membingungkan bagi kita. Selain itu sering kali amar putusan kurang jelas, sehingga mengakibatkan eksekusi sita jaminan jadi terhambat. Misalnya berbeda ukuran objek barang yang disita antara apa yang ditetapkan di amar putusan dengan yang ada di lapangan. Ada lagi pelaksanaan eksekusi menjadi keliru dan bagaimana pengaturannya dan tindak lanjutnya tentu sangat membingungkan. Disamping itu belum lagi apabila terjadi kasus dimana harta tereksekusi yang disita berdasarkan permohonan pemohon eksekusi hanya cukup untuk melunai tagihan yang satu, kemudian datang penggugat yang satu lagi memohonkan untuk melunasi hutang tagihan. Tentunya hal ini sangat merugikan penggugat yang satunya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian tersebut diatas hakim sekali lagi harus teliti dalam memeriksa suatu permohonan sita jaminan. Para hakim harus benar- benar melihat suatu permohonan sita jaminan secara utuh dan menyeluruh tidak hanya melihat syarat dan pertimbangan hukumnya saja tetapi harus melihat fakta yang ada di lapangan agar putusan nanti dapat dilaksanakan dan mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak. Oleh karena atas dasar pemikiran- pemikiran tersebut di atas, penulis tertarik untuk memilih judul skripsi yang menyangkut tentang hal- hal yang berkaitan dengan lembaga sita jaminan dan bagaimana cara pelaksanaan eksekusi sita jaminan yang sesuai dengan aturan hukum acara perdata yang berlaku, berserta bagaimana keadaan berakhirnya pelaksanaan sita jaminan. Adapun judul skripsi ini adalah “PELAKSANAAN EKSEKUSI SITA JAMINAN DALAM PROSES PERADILAN MENURUT RBG”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan atas uraian-uraian tersebut pada latar belakang maka penulis mencoba merumuskan permasalahan yang akan dibahas serta dianalisa dengan bertitik tolak pada peraturan-peraturan yang berlaku, teori, pendapat para sarjana, serta azas-azas hukum guna melengkapi pembahasan secara lengkap dan menyeluruh. Perumusan masalah ini penulisan angkat karena hal-hal ini merupakan kendala-kendala yang biasanya sering dihadapi hakim didalam pelaksanaan eksekusi sita jaminan terutama prakteknya dilapangan.
Universitas Sumatera Utara
Adapun permasalahan yang penulis angkat didalam skripsi ini adalah sebagai berikut : F. Bagaimana sinkronisasi pelaksanaan putusan hakim dengan eksekusi sita jaminan. G. Bagaimana tata cara pelaksanaan eksekusi sita jaminan menurut RBG. H. Bagaimana peranan hukum terhadap eksekusi sita jaminan. I. Bagaimana penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan eksekusi sita jaminan. J. Bagaimana keadaan berakhirnya pelaksanaan eksekusi sita jaminan.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Didalam penulisan skripsi ini penulis mempunyai beberapa tujuan pokok yang akan dicapai didalam pembahasan skripsi ini. Pembahasan tersebut didukung dengan adanya pendekatan-pendekatan ilmiah terhadap suatu permasalahan yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diwajibkan untuk mengambil mata kuliah penulisan skripsi dan berakhir pada pelaksanaan ujian skripsi. Hal ini dimaksudkan untuk menarapkan atau mempraktekkan ilmu yang diperoleh mahasiswa selama perkuliahan berlangsung di fakultas. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah : M. Untuk mengetahui peranan lembaga sita jaminan dalam proses peradilan perdata dan kemungkinan untuk menggunakan lembaga sita jaminan tersebut. N. Berusaha mengetahui gambaran secara jelas tentang tata cara atau proses pelaksanaan eksekusi sita jaminan yang dilakukan oleh pengadilan berdasarkan perintah ketua pengadilan. O. Dari hasil penulisan skripsi ini penulis dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang bagaimana
Universitas Sumatera Utara
seharusnya pelaksanaan sita jaminan itu berjalan sesuai aturan yang berlaku. P. Dari hasil kesimpulan tersebut akhirnya penulis akan menarik saran-saran guna pengembangan teori-teori hukum terutama dibidang sita jaminan. Q. Memenuhi kurikulum yang ditetapkan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan sebagai syarat untuk menyelesaikan program pendidikan strata 1 (satu).
Selanjutnya penulisan skripsi ini, diharapkan bermanfaat untuk : 1. Manfaat secara teoritis. Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan eksekusi sita jaminan dalam proses peradilan menurut Rbg. Skripsi ini juga mendorong kita semua terutama bagi mahasiswa untuk mencoba mengembangkan teori yang pernah diperoleh dimasa perkuliahan dengan fakta-fakta yang ada didalam praktek peradilan perdata.
2. Manfaat secara praktis. Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi pengetahuan tentang penggunaan lembaga sita jaminan didalam menjamin agar barang-barang yang menjadi objek sengketa tidak dijual atau dialihkan hak-haknya pada pihak lain semasa persidangan. Oleh karena pemakaian lembaga sita jaminan merupakan sesuatu tindakan eksepsional bagi hakim, karena dengan dijatuhkannyalah sita jaminan maka secara psikologis akan berdampak pada diri tergugat. Disini hakim dituntut untuk lebih teliti dan jeli dalam melihat posisi kasus secara keseluruhan. Universitas Sumatera Utara
Selain itu penulis juga berharap dapat memberikan pengetahuan tentang pelaksanaan eksekusi sita jaminan sesuai aturan yang berlaku, disamping juga menjelaskan tentang arti dan prinsip- prinsip sita dalam proses peradilan perdata. Terakhir, penulis juga berusaha menjelaskan aturan-aturan yang masih berlaku bagi pelaksanaan eksekusi sita jaminan, yang kemudian kelak akan berguna bagi pembaca terutama bagi mereka yang berminat dan tertarik pada lembaga sita jaminan.
D. Tinjauan Kepustakaan
Tinjauan kepustakaan didalam skripsi ini adalah menguraikan beberapa istilah-istilah atau katakata yang berkaitan erat dengan judul skripsi ini. Istilah-istilah yang akan diuraikan ini sangat erat hubungannya dengan pembahasan dan isi skripsi ini sendiri. Dengan cara mengumpulkan data-data dari sumber-sumber yang ada kemudian mempelajarinya dengan cara analisis deduktif, pengertian dari istilah-istilah atau kata-kata kunci ini akan dijabarkan secara umum. Ini bertujuan untuk menghindari terjadinya pengulangan dari pengertian tentang istilahistilah atau kata-kata kunci ini. Istilah yang pertama akan penulis uraikan adalah mengenai istilah eksekusi. Eksekusi menurut bahasa Indonesia diartikan dengan nama pelaksanaan putusan. Menurut Prof. Subekti, beliau mengalihkan istilah eksekusi dengan istilah “pelaksanaan” putusan5. Begitu pula Retno Wulan Susianto mengalihkannya kedalam bahasa Indonesia dengan istilah “pelaksanaan” putusan6. Pendapat kedua
5 Subekti, Acara Perdata, BPHN, Jakarta, 1967, halaman 128 6 Retno.W Susianto dan Iskandar O Kartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,Alumni,Bandung h. 111
Universitas Sumatera Utara
penulis tersebut dapat dijadikan sebagai perbandingan, bahkan hampir semua penulis telah membakukan istilah pelaksanaan putusan sebagai kata ganti eksekusi. Hal ini telah dianggap sudah tetap karena jika kita bertitik tolak dari ketentuan bab ke 10 bagian ke 5 HIR atau title ke 4 bagian ke 4 Rbg, pengertian eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten uitvoer ligging van vonnissen). Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain dari pada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankan putusan pengadilan tersebut secara sukarela (vrijwillig, voluntary). Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata Indonesia, ia menyimpulkan bahwa pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakikatnya tidak lain adalah realisasi daripada kewajiban para pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang dicantumkan dalam putusan tersebut. Disini dapat diamati bahwa Sudikno Mertokusumo mengistilahkan eksekusi dengan pelaksanaan putusan hakim. Selain itu eksekusi adalah serangkaian tindakan hukum yang dilakukan pengadilan pada pihak yang kalah dalam suatu perkara yang merupakan sebuah aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemiraksaan perkara, dimana eksekusi tiada lain adalah tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Menurut Victor M. Situmorang dan Cornentya Sitanggang menyimpulakan bahwa eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang mempunyi kekuatan hukum tetap. Kedua ahli ini menekankan pelaksanaan eksekusi dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Di dalam HIR dan Rbg ditentukan bahwa pelaksanaan eksekusi adalah panitera pengadilan negeri dengan dibantu oleh juru sita dan dua orang saksi, yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa eksekusi adalah merupakan serangkaian tindakan pengadilan dalam perkara perdata kepada pihak yang kalah agar mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap demi menjaga dan memenuhi hak-hak dari si penggugat dalam suatu perkara perdata yang dilakukan dengan memakai bantuan kekuatan umum yang dipimpin oleh ketua pengadilan, dilakukan oleh panitera dan dibantu oleh juru sita dan dua orang saksi.
Istilah lain yang berhubungan dengan judul skripsi ini adalah kata “sita jaminan”. Sita jaminan salah satu lembaga yang terdapat dalam hukum acara perdata yang diatur dalam Pasal 227 HIR atau Pasal 261 Rbg. Sita jaminan adalah sita yang dapat dilakukan oleh pengadilan atas permohonan penggugat untuk mengamankan barang yang sedang dipersengketakan agar tidak rusak, dihilangkan, atau dipindahtangankan sebelum perkara itu berakhir. Untuk melaksanakan sita jaminan haruslah berdasarkan permohonan dari penggugat yang biasanya dicantumkan dalam surat gugatan dengan menyebutkan alasan- alasannya. Langkah ini diambil oleh penggugat karena khawatir akan adanya perbuatan dari pihak tergugat selama jalannya persidangan akan menjual atau mengalihkan hak-hak atas objek yang dipersengketakan sehingga dapat membuat putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan karena tergugat tidak mempunyai harta kekayaan lagi. Sita jaminan juga memiliki arti berupa tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua majelis persidangan untuk menjamin dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat. Menurut Retno Wulan Sutianto dan Iskandar Oerip Kartawinata, menyimpulkan bahwa sita jaminan juga mengandung arti bahwa untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan dikemudian hari atas barang- barang milik tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses peradilan
Universitas Sumatera Utara
berlangsung terlebih dahulu disita, atau dengan kata lain bahwa terhadap barang- barang yang sudah disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan, atau dipindahtangankan kepada pihak lain. Disisi lain pengertian sita jaminan diatur dalam Pasal 261 Rbg atau Pasal 227 HIR bahwa menyita barang debitur selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara tersebut. Tujuannya adalah agar barang tersebut tidak digelapkan atau diasingkan tergugat selama proses persidangan berlangsung, sehingga saat putusan dilaksanakan, pelunasan pembayaran utang yang dituntut penggugat dapat terpenuhi dengan jalan menjual barang sitaan itu. Sita jaminan adalah merupakan tindakan hukum yang diambil pengadilan mendahului pemeriksaan pokok perkara atau mendahului putusan sehingga dapat disimpulkan bahwa sita jaminan merupakan tindakan yang eksepsional.Selain itu sita jaminan pada hakekatnya merupakan perintah perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat atas permohonan tergugat baik bersifat temporer maupun bersifat permanen. Ini dapat diartikan bahwa sita merupakan satu cara untuk memenuhi kepentingan dari penggugat dalam melunasi pembayaran utang tergugat kepada tergugat. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa sita jaminan merupakan upaya hukum untuk menjamin barang yang menjadi objek sengketa agar tidak dijual atau dialihkan hak kepemilikannya oleh tergugat kepada pihak lain yang dimohonkan pada proses persidangan kepada ketua majelis yang menangani perkara yang disengketakan agar pada suatu saat putusan telah berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan dan dijalankan sebagaimana mestinya.
Istilah lain yang berhubungan dengan judul skripsi adalah kata “Rbg”. Rbg adalah singkatan dari Rechtsreglement Voor de Buitengewesten atau dapat diartikan sebagai hukum acara perdata untuk Golongan Bumi Putera diluar Jawa dan Madura.
Universitas Sumatera Utara
Rbg sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 6 Keputusan Raja dalam Stb. No. 23 Tahun 1847 guna menjamin adanya kepastian hukum acara tertulis di muka pengadilan bagi golongan bumi putera dan timur asing di luar Jawa dan Madura (daerah seberang), maka pada tahun 1927 Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam Stb. No. 227 tahun 1927 dengan sebutan Rbg diundangkan. Ketentuan hukum acara perdata dalam Rbg adalah ketentuan hukum acara perdata yang sudah ada dalam Inladsch Reglement (IR) untuk golongan Bumi Putera dan Timur Asing di Jawa dan Madura, ditambah ketentuan- ketentuan hukum acara perdata yang telah ada dan berlaku dikalangan mereka sebelumnya. Dari uraian diatas sebelumnya dapat penulis simpulkan bahwa Rbg ditetapkan pada Pasal 3 Ordonansi 11 Mei Tahun 1927 di dalam Stb. No. 227 Tahun 1927 dan mulai berlaku pada Tanggal 1 Juli Tahun 1927 adalah merupakan pengganti berbagai peraturan yang berupa reglement-reglement. Reglement-reglement yang tersebar ini hanya berlaku dalam suatu daerah tertentu saja seperti Reglement bagi daerah Ambon, Aceh, Sumatera Barat, Palembang, Kalimantan, Minahasa, dan lainlain. Rbg terdiri dari lima bab, dari Pasal 1 sampai Pasal 723. Bab I, III, IV, dan V yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya dan acara pidana sudah tidak berlaku lagi berhubungan dengan Undang- Undang Darurat No.Tahun 1951. Sedangkan tentang acara perdata termuat dalam bab III terdiri dari Pasal 104 sampai Pasal 323 (yang merupakan bagian kecil RBG), masih berlaku. Bagian acara perdata yang termuat dalam Bab III, terdiri dari tujuh titel. Namun titel I, II, III, VI, dan VII telah tidak diperlukan lagi, karena pengadilan Districhtgerecht, Districraad, Magistraadgerecht, Residentiegerecht, dan Raad Van Justitie sudah tidak ada lagi. Yang masih diperlukan adalah titel IV dan V yang berlaku bagi Landraad yang sekarang menjadi Pengadilan Negeri yang terdiri dari: 1. Titel IV Universitas Sumatera Utara
Bagian I (Pasal 142 s/d Pasal 188) tentang Pemeriksaan Perkara dalam Persidangan. Bagian II (Pasal 189 s/d Pasal 198) tentang Musyawarah dan Putusan. Bagian III (Pasal 199 s/d Pasal 205) tentang Banding. Bagian IV (Pasal 206 s/d Pasal 258) tentang Menjalankan Putusan. Bagian V (Pasal 259 s/d Pasal 272) tentang Beberapa hal mengadili perkara yang istimewa. Bagian VI (Pasal 273 s/d Pasal 281) tentang Izin berperkara tanpa ongkos perkara. 2. Titel V (Pasal 282 s/d Pasal 314) tentang Bukti.
E. Metode Penelitian
1. Sifat / Bentuk Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, langkah pertama yang dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturanperaturan yang berkaitan dengan pemakaian instrumen hukum tata cara pelaksanaan eksekusi sita jaminan dalam proses peradilan menurut Rbg. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian ini bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini di
Universitas Sumatera Utara
dalam perspektif hukum perdata khususnya berkaitan dengan penggunaan instrumen pelaksanaan eksekusi sita jaminan menurut Rbg.
2. Data Bahan atau data yang diteliti berupa data sekunder yang terdiri dari : a. bahan / sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja. b. bahan / sumber sekunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah, surat kabar, internet, peraturan perundangundangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
Metode yang digunakan yang menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.
Universitas Sumatera Utara
F. Keaslian Penulisan
Pembahasan skripsi ini dengan judul : “PELAKSANAAN EKSEKUSI SITA JAMINAN DALAM PROSES PERADILAN MENURUT RBG” adalah merupakan wacana yang sebenarnya telah lama didengungkan. Pemakaian lembaga sita jaminan ini mengingat adanya kekhawatiran bahwa selama gugatan diajukan ada niat dari pihak tergugat untuk menjual atau mengalihkan hak-hak atas barang yang menjadi objek sengketa tersebut. Selain itu penggunaan sita jaminan ditujukan agar gugatan tidak hampa (illusioner). Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada dalam melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum USU. Dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah di dalam pembahasan skripsi mengenai Pelaksanaan Eksekusi Sita Jaminan Dalam Proses Peradilan Menurut RBG, maka dalam hal ini penulis membaginya dalam beberapa bab. Sistematika penulisan tersebut dibagi dalam 5 bab, yaitu sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Bab I
:
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II
:
Tinjauan Umum Penyitaan yang terdiri atas pengertian penyitaan, tujuan penyitaan, syarat dan alasan penyitaan, bentuk-bentuk penyitaan, dan ruang lingkup penyitaan.
Bab III
:
Prinsip-Prinsip Pokok Sita yang terdiri atas prinsip sita berdasarkan permohonan, permohonan berdasarkan alasan, penggugat wajib menunjukkan barang objek sita, permintaan sita sepanjang pemeriksaan sidang, mendahulukan penyitaan barang bergerak, penggugat tidak boleh diberikan penjagaan sita, pengabulan berdasarkan pertimbangan objektif, kekuatan mengikat sita, sita penyesuaian,sita terhadap barang perdata dalam perkara pidana, dilarang menyita barang-barang tertentu, dan dilarang memindahkan atau membebani barang sitaan.
Bab IV
:
Pelaksanaan Eksekusi Sita Jaminan dalam Proses Peradilan Menurut RBG yang terdiri atas sinkronisasi pelaksanaan putusan hakim dengan eksekusi sita jaminan, tata cara pelaksanaan eksekusi sita jaminan menurut Rbg, perlawanan hukum terhadap eksekusi sita jaminan, penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan eksekusi sita jaminan, dan berakhirnya pelaksanaan eksekusi sita jaminan.
Bab V
:
Adalah Penutup yang terdiri atas kesimpulan berdasarkan pembahasan permasalahan dalam skripsi ini, dan saran-saran yang menjadi harapan penulis di dalam pelaksanaan eksekusi sita jaminan menurut Rbg.
Universitas Sumatera Utara