BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Selama ini media sering dilihat sebagai aktor yang tertawan kepentingan, yang dimaksud dengan tertawan kepentingan adalah media sebagai aktor yang ditawan oleh berbagai kepentingan, baik itu kepentingan ekonomi dalam persaingan antara sesama industri media. Maupun kepentingan dari pemodal atau pemilik media yang secara bersamaan memiliki agenda politik tersembunyi. (Syahputra, 2013 : 41) Dalam cara pandang ini, media menempati posisi yang dilematis karena keluar dari fitrahnya dan melakukan penyimpangan, yang oleh Paul Jhonson disebut sebagai “Tujuh Dosa mematikan” (seven deadly sins) (Syahputra, 2013 : 41). Sudut pandang ini tidak salah, mengingat cara pandang ini tidak terlepas dari apa yang terjadi pada media dewasa ini. Fenomena banyaknya kepemilikan media oleh aktor berkepentingan seperti kepemilikan stasiun televisi oleh elit yang duduk di kursi kekuasaan, maupun yang sedang bertarung untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan sudah menjadi rahasia umum.
Akan tetapi selain sudut pandang ini ada sudut pandang lain yang dapat digunakan dalam melihat media, yakni diposisikan sebagai pemilik kepentingan itu sendiri atau sebagai aktor yang berdinamika, dan sebagai arena. Sudut pandang media sebagai aktor yang memiliki kepentingan, berbeda dengan sudut pandang media sebagai tawanan. Jika pada sudut pandang tawanan, media menjadi
1
tawanan dari kepentingan pasar dan politik, maka pada sudut pandang aktor media akan menjadi aktor politik dan pelaku ekonomi itu sendiri. Sebagai aktor ekonomi, media massa bekerja dengan logika sebagaimana logika para pelaku ekonomi pada umumnya bekerja dengan berorientasi pada profit atau keuntungan. Dalam hal ini media memposisikan diri layaknya pedagang yang menjual informasi atau berita kepada penonton atau pendengar sebagai konsumen. Seperti aktor ekonomi yang bekerja dengan logika dagang, sebagai aktor politik, media juga bekerja dengan logika yang aktor politik miliki. Yakni berorientasi pada kekuasaan. Salah satunya media yang berdinamika atas kepentingannya sendiri adalah Radio Suara Surabaya.
Radio Suara Surabaya berbeda dengan media pada umumnya, bahkan dengan radio yang sama-sama menggunakan format news. Perbedaan dari Radio ini dapat dilihat dari bagaimana caranya bergerak. Radio ini bergerak dengan memerankan tiga peran. Peran yang pertama adalah sebagai aktor politik. Dalam perannya ini, radio Suara Surabaya berupaya ikut mempengaruhi kebijakan yang ada dalam lingkup Jawa Timur pada umumnya dan Kota Surabaya khususnya. Peran yang kedua yakni sebagai ruang publik, tempat dimana masyarakat (dalam hal ini pendengar) dapat dengan bebas mengutarakan ide, gagasan dan pendapatnya pada forum yang di sediakan oleh radio ini melalui programnya. Dalam perannnya ini Radio Suara Surabaya berupaya menyelesaiakan apa yang menjadi permasalahan publik dengan menghubungi langsung pihak-pihak yang berwenang. Dan perannya yang terakhir, adalah sebagai arena. Pada perannya yang terakhir ini, Radio Suara Surabaya bertindak sebagai pihak penyelenggara
2
forum atau ruang bagi publik. Ruang ini berfungsi sebagai tempat dimana berbagai aktor dan berbagai kepentingan bertemu. Pertemuan berbagai kepentingan dan aktor inilah yang nantinya akan membentuk otoritas publik.
Dalam memerankan ketiga perannya ini, Radio Suara Surabaya memanfaatkan power yang dimilikinya. Dan power itu datang dari keberadaan ruang publik yang diselenggarakannya. Ruang publik memiliki power yang di dapatkan dari pengakuan atau legitimasi. Legitimasi diperoleh melalui pengakuan, partisipasi dan kerjasama dari aktor atau pihak lain seperti masyarakat dan para pemangku kebijakan yang ikut berpartisipasi meramaikan ruang publik. Dengan legitimasi yang dimilikinya inilah kemudian Radio Suara Surabaya berusaha membentuk opini guna mempengaruhi kebijakan dan menekan pihak-pihak yang berwenang.
Cara kerja yang berbeda sebagai media inilah yang kemudian membuat penulis menjadi tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Ketertarikan dimulai saat setelah penulis mendengarkan siaran Radio Suara Surabaya FM. Sampai saat ini telah banyak kajian tentang media, akan tetapi banyaknya kajian tersebut lebih cenderung pada kajian komunikasi dan demokrasi yang memangdang media sebagai faktor pendukung demokrasi atau bahkan memandang media sebagai ‘tawanan’ kepentingan. Sedangkan kajian yang memandang media sebagai pihak yang dapat juga memiliki kepentingan sering kali terlupakan. Oleh karenanya melalui tulisan ini penulis ingin memberikan sudut pandang yang berbeda dari media dan hubungannya dengan kekuasaan.
3
Karena hubunganya dengan kekuasaan, maka kajian tentang ruang publik ini tidak terlepas dari dinamika politik yang di kaji dalam studi ilmu sosial dan ilmu politik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada maka masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut : Bagaimana politik intermediari terjadi dalam pemanfaatan ruang publik yang ada di Radio Suara Surabaya ?
C. Tujuan Penelitian o Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana keberadaan ruang publik yang ada di Radio Suara Surabaya di manfaatkan oleh aktor intermediari o Bertujuan untuk melihat bagaimana cara kerja Radio Suara Surabaya sehingga dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat Kota Surabaya (pendengar) o Untuk melihat bagaimana radio Suara Surabaya dapat membangun relasi dengan instansi-instansi pemerintahan atau pihak-pihak berwenang lainnya yang menjadi patner penyelesaian masalah o Untuk melihat tujuan dari radio ini dalam upayanya memberikan solusi dari permasalahan yang ada masyarakat
D. Kerangka Teori Untuk menjawab rumusan masalah yang ada; Bagaimana Politik Intermediari terjadi dalam Pemanfaatan Ruang Publik yang Ada di Radio Suara
4
Surabaya?, maka teori yang akan di gunakan untuk membantu menjelaskan adalah teori citizen journalism, teori aktor intermediari dan teori ruang publik Habermas. Ketiga teori ini digunakan untuk mencoba membantu menjelaskan tiga peran yang dimainkan oleh radio Suara Surabaya yakni sebagai arena, aktor politik dan ruang bagi publik. Teori citizen journalism akan digunakan untuk membantu menjelaskan peran Radio Suara Surabaya sebagai ruang bagi publik. Teori Ruang Publik Habermas akan digunakan untuk menjelaskan peran Radio Suara Surabaya sebagai arena, dan Teori Aktor Intermediari akan digunakan untuk membantu menjelaskan peran Radio Suara Surabaya sebagai aktor yang memiliki kepentingan. D.1. Ruang Publik Habermas Secara umum ruang publik dapat artikan sebagai tempat dimana berbagai kepentingan publik bertemu, yang di dalamnya terbentuk otoritas publik (public authority). (Piliang : 2005) Akan tetapi yang juga harus kita sadari adalah, bahwa kata ‘ruang publik’ merupakan polisemi, yang itu berarti kata ini mempunyai lebih dari satu arti. Pembedaan pemaknaan ruang publik dapat dilihat dari konteks dimana kata ini digunakan. Apakah digunakan dalam untuk menggambarkan peristiwa, bangunan, lembaga atau opini (Piliang : 2005). Dalam konteks untuk menggambarkan bangunan, maka ruang publik mengacu pada artinya secara fisik, tempat-tempat umum yang dapat di akses oleh publik secara luas misalnya kantorkantor pemerintahan, taman kota dan lain sebagainya. Lantas apa yang di maksud sebagi publik itu sendiri? Saat berbicara tentang publik tentu kita tidak akan lepas dari private. Publik dan private
5
merupakan dua hal yang bertolak belakang dan memang harus di sandingkan untuk diperbandingan agar ditemukan pengertian yang jelas. Bila private kemudian mengacu pada hal-hal yang bersifat pribadi atau tertutup, maka yang di maksud sebagai publik adalah hal-hal yang bersifat umum atau suatu hal yang lebih dapat dimiliki bersama oleh masyarakat. Melihat sejarah penggunaan kata publik yang gunakan Habermas dalam bukunya; Ruang Publik; Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Penggunaan kata publik mengacu pada sesuatu yang dapat di akses oleh seluruh golongan atau lapisan masyarakat. Hal ini dikarenakan kala itu, kekuasaan istana masih sangat kuat sehingga membatasi akses untuk hal-hal tertentu. Dalam hal seni misalnya, seni peran, musik dan seni rupa (patung) yang aksesnya -baik untuk melihat, menggunakan jasa atau mempelajarinya,- hanya boleh di enyam oleh golongan tertentu atau bahkan hanya di khususkan untuk internal istana itu sendiri. Oleh karena ada pemberontakan atas kemapanan istana, kemudian akses bagi masyarakat untuk menikmati hal yang sama baru terbuka, hal inilah yang kemudian memunculkan istilah publik. Sejak saat itu istilah publik mulai di gunakan untuk mengacu pada hal-hal yang dapat di akses secara umum seperti musik publik, yang berarti musik yang dapat dinikmati oleh semua golongan bukan hanya istana, sekolah pendidikan patung publik yang mana sekolah itu menerima siswa di luar kalangan bangsawan dan istana, dan lain sebagainnya. Jadi publik disini di mengacu pada sesuatu yang tidak lagi bersifat ekslusif. Sama dengan publik yang dimaksudkan oleh Habermas, dalam tulisan ini publik juga mengacu pada artian umum. Sehingga ruang publik yang dimaksudkan dalam
6
tulisan ini adalah ruang yang dapat di akses secara bebas. Ruang publik yang di maksudkan dalam tulisan ini bukanlah ruang publik sebagai bangunan melainkan sebagai forum. Forum tempat dimana masyarakat atau publik secara luas dapat saling bertukar pikiran, dan menyampaiakan pendapat mereka, sehingga di hasilkan satu manfaat bersama. Forum yang ada pada tulisan ini merujuk pada forum publik yang di ada-kan oleh Radio Suara Surabaya melalui programnya. Pada hakikatnya sebagai forum, keberadaannya dijadikan sebagai tempat bertukar pikiran atau penyampaian aspirasi. D.1.2 Ruang Publik Habermas Dalam Ruang Publik Radio Suara Surabaya. Istilah ruang publik lahir dari kelompok borjuis pada abad ke-14 sampai dengan abad-18. Kemunculan Ruang Publik di awali dari surat-surat yang di kirimkan oleh sesama saudagar, saudagar mengirimkan surat kepada saudagar lain untuk bertukar informasi tentang urusan keniagaan. Surat-surat tersebut berisi informasi penting seputar harga barang pokok. Karena seringnya surat menyurat ini berlangsung maka dibentuklah lembaga korspondensi yang dinamai ‘pos umum’. Lembaga ini didirikan dengan tujuan untuk mempermudah proses pengiriman surat yang selama ini dibawa sendiri oleh para saudagar, di samping itu keberadaan pos umum juga bertujuan untuk mempercepat penyampaian informasi karena surat-surat tersebut nantinya akan di kirim secara berkala. Pada abad ke-16 sistem kapital masuk dan membuat urusan perniagaan semakin luas. pedagang-pedagang dari luar daerah mulai masuk, hal ini membuat
7
urusan perniagaan bukan lagi hanya tetang barang pokok akan tetapi juga saham. Melihat fenomena ini, oleh karenanya pos umum berinisiatif untuk menerbitkan surat-surat yang di tulis oleh para saudagar menjadi jurnal. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperluas informasi mengenai saham kepada khalayak yang lebih luas. Akan tetapi saudagar-saudagar tersebut tidak ingin tulisannya di publikasikan, karena bagi mereka informasi tentang perniagaan adalah urusan mereka (golongan saudagar) dan tidak ada urusannya dengan orang di luar mereka (saudagar), sehingga tidak perlu di terbitkan jurnal, meski begitu pos umum tetap melanjutkan rencananya dengan menerbitkan jurnal. Penerbitan jurnal inilah yang dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya ruang publik. Karena jurnal bersifat publik, atau dengan kata lain dapat diakses oleh semua golongan. merupakan ruang publik, karena informasi yang ada di dalam jurnal tersebut dapat di akses oleh semua golongan tidak terbatas oleh satu golongan saja. (Habermas, 2010 : 21-40) Ketidak setujuan golongan saudagar akan di terbitkannya surat-surat niaga menjadi jurnal ternyata tidak terhenti saat jurnal sudah di terbitkan. Dalam perjalanan penerbitan jurnal, berita-berita tentang keniagaan semakin lama semakin berkurang, kalaupun ada informasi tentang keniagaan, informasi tersebut tidak terlalu penting. Hal ini disebabkan karena masyarakat borjuis menyeleksi sendiri surat yang masuk sebelum nantinya diterbitkan dalam bentuk jurnal. Ternyata di luar dugaan, jurnal yang minim informasi tentang keniagaan tersebut malah mendapat sambutan yang baik oleh masyarakat. hal ini kemudian di lihat oleh golongan saudagar sebagai sebuah peluang untuk menjadikan jurnal sebagai komoditas dagang. Sejak saat itu saudagar menjadi lebih banyak menulis dengan
8
mengangkat tema yang beragam tidak lagi tentang ekonomi saja, tetapi juga politik dan informasi lain seperti peritiwa lain dan persoalan umum. (Habermas, 2010 : 21-40) Negara awalnya tidak terlalu peduli akan pertumbuhan informasi ini, karena negara menganggap hal ini sebagai urusan publik di kalangan saudagar, bukan publik dalam artian luas. sehingga hal ini tidak termasuk menjadi tanggung jawab negara untuk memfasilitasi. Akan tetapi menyadari pertumbuhan informasi ini, negara kemudian mendirikan pers. Melalui pers negara mulai ikut menulis berita. Bahkan negara juga memerintahkan pada pejabat-pejabat tinggi di instansinya seperti duta-duta besar untuk menulis tentang apa yang terjadi di bidangnya masing-masing untuk di informasikan kepada masyarakat. Bentuk komunikasi seperti ini berjalan dengan baik, akan tetapi bukan berarti tidak ada masalah dan kendala. Kendala nya adalah pertama, masyarakat menjadi semakin jauh dari negara karena informasi yang selalu berputar adalah informasi yang datang hanya dari golongan tertentu saja. Kedua, pengendalian informasi yang terjadi secara tidak sengaja ini menjadikan kaum borjuis semakin berpengaruh di masyarakat bahkan melebihi istana itu sendiri. Sehingga muncul lah ‘kota’ sebagai oposisi dari kemapanan istana. Dalam perkembangannya di berbagai negara, seperti Jerman, Prancis dan Inggris ‘kota’ terus melakukan kajian untuk melawan otoritas istana melalui forum yang ada di kedai-kedai kopi, salon dan tischgesellschaften (himpunan masyarakat meja). (Habermas, 2010 : 47-52) Logika kerja forum yang ada di kedai-kedai kopi, salon dan tischgesellschaften (himpunan masyarakat meja) hampir sama seperti logika kerja
9
lembaga perwakilan yang kita kenal selama ini. setiap kedai-kedai kopi memiliki pelanggan tetap yang berasal dari latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda. Pelanggan-pelanggan tersebut akan berdiskusi tentang topik-topik yang mereka dapat melalui bahasan jurnal atau pertunjukkan-pertunjukkan seni. Masingmasing dari kedai-kedai kopi mempunyai juru bicara yang akan mewakili forum yang ada di masing kedai-kedai kopinya untuk berbicara di ‘kota’. Hasil dari diskusi tersebut akan kembali diterbitkan dalam bentuk jurnal atau bahkan di pentaskan melalui pertunjukkan panggung dengan harapan mendapat perhatian dari istana. (Habermas, 2010 : 47-52) Ruang publik abad 14-18 sebagaimana yang Habermas ceritakan dalam bukunya, Ruang Publik; Sebuah kajian Tentang masyarakat Borjuis. Memiliki kemiripan dengan ruang publik yang ada pada Radio Suara Surabaya. Kemiripan keduannya dapat dilihat antara lain dari: pertama, keduannya sama-sama muncul secara tidak sengaja. Cikal-bakal kelahiran ruang publik Habermas adalah dengan terbitkan nya jurnal oleh pos umum, sedangkan ruang publik Radio Suara Surabaya (SS) lahir karena adanya siaran interaktif yang merespon permintaan pendengar. Antara jurnal dan siaran interaktif, memiliki kesamaan. Kesamaanya keduannya adalah sama-sama berhubungan dengan perluasaan informasi. Kedua, pada perkembangannya keberadaan jurnal pada Habermas, memunculkan forum yang ada di kedai-kedai kopi, salon dan tischgesellschaften (himpunan masyarakat meja). Logika kerja forum yang ada di kedai-kedai kopi, salon dan tischgesellschaften (himpunan masyarakat meja) hampir sama seperti logika kerja lembaga perwakilan daerah yang kita kenal selama ini. Keberadaan
10
siaran interaktif juga sama, keberadaannya melahirkan forum. Hanya saja forum yang ada pada Radio Suara Surabaya bukan forum dalam bentuk real atau tatap muka langsung sebagaimana forum yang ada pada kedai-kedai kopi, salon dan tischgesellschaften. Forum yang ada di SS adalah berupa program di radio yang berhasil mempertemukan kepentingan beberapa pihak atau aktor yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Ketiga,
forum
yang
ada
pada
kedai-kedai
kopi,
salon
dan
tischgesellschaften melahirkan ‘kota’, oposisi dari kemapanan istana. Posisi kota hampir sama dengan dewan perwakilan rakyat, karena kota terbetuk dari juru bicara-juru bicara yang berasal dari forum yang ada pada kedai-kedai kopi, salon dan tischgesellschaften. Sedangkan siaran interaktif berbasis citizen journalism menghasilkan ruang publik Radio Suara Surabaya sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Hanya bedanya dari ‘kota', ruang publik SS tidak memposisikan diri sebagai opposisi. Akan tetapi keberadaan kedua nya sama-sama berupaya mengontrol pemerintahan atau mempengaruhi kebijakan. Melihat kemiripan kasus ruang publik Habermas dan kasus ruang publik yang ada di Radio Suara Surabaya, maka Teori Ruang Publik milik Habermas inilah yang akan digunakan sebagai pisau untuk menganalisis kasus Radio Suara Surabaya sebagai arena.
D.2. Aktor Intermediari Secara normatif cara yang paling tepat untuk mempengaruhi kebijakan adalah dengan masuk kedalam lingkaran para pembuat kebijakan atau bahkan mengambil peran menjadi pembuat kebijakan itu sendiri, meski begitu bukan
11
berarti aktor-aktor yang berada di luar ‘lingkaran’ tidak mungkin tidak bisa ikut andil dalam upaya mempengaruhi. Para pemain yang berada di luar tersebut juga dapat ikut ‘bermain’, hanya saja cara bermain yang di gunakannya tidak sesederhana aktor yang berada dalam lingkaran. Menyepakati teori politik yang berkembang kurang dari tiga puluh tahun belakangan ini, yang mengatakan bahwa pemerintah pada dasarnya hanya menjalankan perekonomian dan pemerintahan saja, sedangkan yang memerintah sebenarnya adalah aktor lain yang di sebut sebagai badan publik. Badan publik merepresentasikan beberapa kepentingan yang di gabungkan menjadi kepentingan golongan tengah. Kepentingan inilah yang kemudian di perjuangkan dengan cara mengendalikan pemerintahan melalui hubungan baik yang di bangun secara kuat oleh badan publik kepada para pembuat kebijakan. Mereka yang di sebut sebagai badan publik dan memperjuangkan kepentingan golongan tengah adalah aktoraktor yang ada di sektor private maupun publik (Smith,2004) Maka dapat disimpulkan bahwa para aktor yang berada di luar lingkaran memiliki pengaruh terhadap kebijakan bahkan daripada pemilik ‘kursi’ itu sendiri. Cara para aktor tengah mempengaruhi kebijakan adalah dengan membangun hubungan baik. Hubungan baik salah satunya dilakukan dengan cara memposisikan diri sebagai patner atau rekan kerja, sebagaimana yang dilakukan oleh salah satu media, yakni Radio Suara Surabaya. Sebagai salah satu aktor yang memiliki kepentingan pada kebijakan, media juga berusaha masuk kedalam lingkaran para pembuat kebijakan. Akan tetapi dengan fungsi yang dimilikinya, -secara umum fungsi media adalah sebagai
12
penjaga, forum, guru dan sumber hiburan- (Schramm, 34 via River, William L dkk : 2003) dan sebagai sarana promosi iklan (Schramm dalam Wahyuni, 2000: 10-11).- media akan dilibatkan oleh para pembuat kebijakan. Pelibatan tersebut karena peran media dibutuhkan oleh para pembuat kebijakan khususnya dalam tahap agenda setting atau pencetusan masalah. Beberapa peran media yang dibutuhkan dalam agenda kebijakan antara lain adalah pertama, media massa mempunyai segmen pembaca atau penonton yang lebih luas sehingga memungkinkan pemberitahuan informasi yang lebih luas kepada publik. Dengan adanya penyebaran informasi yang lebih luas, maka jika ada hal-hal yang tidak di kehendaki publik, keputusan agak banyak terpengaruh (atau mungkin merasa malu) jika aspirasi publik tidak sejalan dengan aspirasi pengambil keputusan. Kedua, media merupakan wahana kontrol yang cukup efektif terhadap sebuah kebijakan publik khususnya dalam konteks memberikan apresiasi baik positif maupun negatif kepada pembuat kebijakan. Dengan wahana pengawasan ini maka pembuat kebijakan jelas akan lebih berhati-hati dan banyak melakukan berbagai pertimbangan mendalam sebelum membuat sebuah kebijakan. Efektivitas dan pengaruh pencetus ide, sesudah di publikasikan melalui media massa jauh lebih cepat dan responsive dibandingkan jika tidak dipublikasikan lewat media. disinilah arti penting media
dalam menjalankan
fungsi agregasi kepentingan publik sebagaimana yang di jelaskan oleh Schraman. Akan tetapi lebih dari hanya menjadi agenda setter, media massa juga dapat terlibat dalam proses kebijakan lainnya seperti formulasi, implementasi dan proses lainnya. Atau bahkan media lah yang mendorong pihak yang berwenang
13
untuk merumuskan kebijakan sebagaimana yang radio Suara Surabaya lakukan. Proses pendorongan pihak yang berwenang ini antara lain dilakukan oleh Radio Suara Surabaya dengan mempolitisasi proses intermediari. Yang dimaksud dengan proses intermediari adalah proses penyaluran informasi dimana hal ini masih merupakan fungsi dari media massa. Salah satu cara politisasi proses intermediari yang dilakukan SS adalah dengan cara memanfaatkan ruang publik yang dimilikinnya untuk menekan aktor atau pihak-pihak yang berwenang. Proses penekanan ini dilakukan dengan cara yang ‘cantik’ yakni dengan mengarahkan dan membentuk opini publik (agenda setting) melalui forum (ruang bagi publik). Dengan mengatas namakan opini publik inilah kemudian SS menekan pemerintah untuk memformulasikan kebijakan. Akan tetapi daripada dianggap sebagai sebuah tekanan. Aksi Radio Suara Surabaya ini lebih dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan. Radio Suara Surabaya dianggap sebagai media partner oleh pihak-pihak yang berwenang. Atas dasar anggapan inilah kemudian teori aktor intermediari digunakan dalam tulisan ini karena dianggap dapat menjelaskan fenomena yang terjadi.
D.3. Citizen Journalism Yang dimaksud sebagai citizen jornalism adalah konsep dimana warga biasa yang tidak terlatih sebagai wartawan profesional, namun dengan peralatan tehnologi informasi yang dimilikinya bisa menjadi saksi mata atau sebuah peristiwa yang terjadi di sekitarnya, meliput, mencatat, mengumpulkan, menulis dan menyiarkannya di media online karena memiliki semangat berbagi dengan
14
pembaca
lain.
(Nugraha,
2012:18-19)
konsep
citizen
journalism
yang
dimaksudkan Nugraha dalam tulisannya memang lebih mengarah pada citizen journalism pada media cetak. Sehingga konsep citizen journalism nya memang di fokukan pada hasil-hasil peliputan masyarakat yang ada pada bidang tulismenulis. Hasil liputannya pun di laporkan atau di bagikan pada pembaca lainnya melalui media online. Dimana ruang online adalah tempat dimana setiap orang dapat mengaksesnya dengan mudah. Konsep citizen journalism pada radio tidak jauh berbeda dengan konsep citizen journalism yang ada pada media cetak. bedanya hanya terletak pada cara pembagian atau publikasi hasil liputan nya saja. karena radio adalah media dengan tehnologi audio maka cara membagi berita atau publikasi hasil peliputan oleh citizen journalism dilakukan dengan cara live di radio yang diantaranya dilakukan dengan membuka line telpone. Keberadaan konsep citizen journalism ini semata-mata hadir untuk menyebarkan semangat berbagi (share) informasi sesuai minat dan bidang masing-masing orang. Dengan berbagi informasi, terjadi pertukaran pengetahuan dan pengalaman warga biasa yang tidak terbatas wilayah, ruang, dan bahkan waktu. (Nugraha, 2012). Semangat berbagi informasi seputar lalu lintas kemudianlah yang membuat Radio Suara Surabaya menerapkan siaran interaktif berbasis citizen journalism. Penerapan ini dilakukan atas dasar pemenuhan need dan want dari pendengar. Melalui program ini Radio Suara Surabaya menjelma menjadi ruang bagi publik dimana publik dapat berbagi seputar hal yang dianggapnya menarik dan penting yang ditemuinnya di jalan. Akan tetapi ternyata pada kenyataanya berkembang. Siaran interaktif berbasis citizen journalism tidak
15
lagi terbatas hanya membahas tentang persoalan lalu lintas tetapi juga seputar permasalahan publik. Hal inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya ruang publik SS. Oleh karena itu penggunaan teori citizen journalism dalam tulisan ini digunakan dengan tujuan untuk membantu menjelaskan bagaimana proses keterbukaan ruang dan proses transfer informasi terjadi di Radio Suara Surabaya, sehingga Radio Suara Surabaya dapat menjadi ruang bagi publik. E. Definisi Konseptual E.1 Media Sebagai Aktor Politik Media juga tidak lepas dari kepentingan. Hanya saja bedannya kepentingan yang dimiliki oleh media dalam tulisan ini bukanlah kepentingan yang datang dari pihak lain ; pemilik media atau elit yang berusaha memanfaatkan media
sebagai
instrumen
kekuasaan
untuk
mencapai
kepentingannya.
Kepentingan disini lahir dari tubuh media itu sendiri sebagai sebuah institusi. Untuk mencapai kepentingannya ini kemudian media berdinamika selayaknya aktor politik.
E.2 Politisasi Ruang Publik
Dikatan politisasi karena penggunaan ruang publik yang ada di Radio Suara Surabaya tidak benar-benar hanya di fungsikan sebagai ruang bagi publik (forum) bertukar pendapat. Lebih dari itu, ruang ini digunakan sebagai alat untuk mendatangkan kekuasaan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kebijakan.
16
E.3 Pengaruh keberadaan Ruang Publik Terhadap Kebijakan
Ruang publik yang ada di Radio Suara Surabaya memiliki andil dalam mempengaruhi kebijakan yang ada di Jawa Timur umumnya dan Kota Surabaya khususnya. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan ruang publik mendatangkan kekuasaan yang terlegitimasi oleh masyarakat.
F. Metode Penelitian F.1. Jenis Penelitian Untuk menjawab apa yang menjadi pertanyaan umum sebagai mana yang ada pada rumusan masalah. Peneliti memilih untuk menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian ini dipilih karena penelitian kualitatif menekankan pada quality dari suatu kejadian atau fenomena atau gejala sosial. Makna yang ada di balik kejadian tersebutlah yang nantinya diharapkan dapat dijadikan pelajaran berharga bagi suatu pengembangan konsep teori, kebijakan, masalah-masalah sosial dan tindakan.(Satori, 2009). Hal ini sesuai dengan apa yang penulis ingin cari dari penelitiannya yang juga melihat fenomena atau gejala sosial. Fenomena atau gejala sosial yang di maksud kan dalam tulisan ini adalah politisasi ruang publik. Dan dengan melihat fenomena ini diharapkan akan ada pembelajaran yang diambil baik itu dalam hal akademis untuk masyarakat secara luas dan dalam hal kebijakan untuk stake holders. Untuk tehnik penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Ada beberapa alasan mengapa studi kasus kemudian dipilih dalam penelitian ini antara lain: pertama, studi kasus digunakan untuk meneliti kasus yang unik dan menarik, disamping itu desain penelitian ini juga dapat berfokus pada suatu individu,
17
organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau kejadian sekitar. Kedua, karena proses penelitian studi kasus melihat secara mendalam dan menyeluruh terhadap suatu kasus, sehingga hasil yang di dapatkan dari penelitian tersebut bukan hanya sekedar jawaban, akan tetapi juga pelajaran yang dapat bermanfaat. Sebagaimana pula yang Lincoln dan Guba (1985) paparkan dalam struktur studi kasusnya, yaitu: The problem, the context, the issues, and the “lessons learned”. (Lincoln & Guba via Creswell: 1998, 36) F.2. Tehnik Pengumpulan Data Dilihat dari metode pencarian dan tehnik pengumpulan data yang dipakai, dilakukan metode pengumpulan dan pencaharian data melalui tiga cara yakni; wawancara, studi literatur dan observasi. Wawancara dilakukan kepada beberapa narasumber dengan menggunakan interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya dan dapat di modifikasi sesuai dengan kebutuhan saat wawancara. Wawancara yang digunakan dapat berupa wawancara terstruktur dan tidak terstruktur, disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk narasumber, narasumber dipilih dengan menggunakan tehnik research partisipants (Esterberg, 2002 :93) yakni narasumber yang dipilih adalah narasumber yang dirasa menguasai topik yang di teliti. Dalam penelitian ini, yang dipilih menjadi narasumber adalah penanggung jawab tim gate keeper Radio Suara Surabaya, penanggung jawab siaran Radio Suara Surabaya, announcher, dan bisnis development Radio Suara Surabaya sebagai pihak yang ada di balik layar strategi radio. Untuk mengcrosscheck data yang disampaikan oleh pihak Radio Suara Surabaya, peneliti juga melakukan wawancara dengan pihak penyedia layanan publik seperti Humas PLN
18
(Perusahaan Listrik Negara) Provinsi Jawa Timur, sebagai pihak yang sering di sebutkan oleh Radio Suara Surabaya. Untuk Observasi, yang di lakukan adalah mengamati secara langsungg obyek yang diteliti dalam hal ini Radio Suara Surabaya, dengan cara mendengarkan siaran radionya secara rutin dan mengikuti perkembangan nya melalui twitter dan website resmi nya. Untuk studi pustaka sendiri, yang akan penulis lakukan adalah mencari dan membaca beberapa sumber literatur seperti buku, koran, jurnal, majalah, dan dokumen-dokumen lainnya yang berwujud penelitian dan dapat digunakan sebagai referensi penunjang penelitian. Dokumendokumen, buku atau literatur yang digunakan oleh peneliti antara lain adalah buku yang di terbitkan oleh Radio Suara Surabaya sendiri dan di tulis oleh salah seorang pendengar setia Radio Suara Surabaya, yang berisi tentang perjalanan Radio Suara Surabaya. Berita-berita yang pernah di terbitkan oleh Suara Surabaya melalui website resminya, dan berita-berita yang berisikan tentang Radio Suara Surabaya atau tulisan-tulisan yang berasal dari peliputan media lain. F.3. Tehnik Analisis data Penulis mengumpulkan semua data yang didapatkannya dari lapangan baik itu melalui wawancara, observasi lapangan, maupun studi literatur. Kemudian data-data tersebut di cocokkan dan digabungkan, kemudian di buat transkrip, hal ini
dilakukan
untuk
mempermudah
peneliti
memilah
data-data
dan
mengurutkannya sesuai dengan alur penulisan. Tahap selanjutnya yakni reduksi data. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi
19
data secara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat direduksi dan di verifikasi (Valdano, 2011:42) Tahap analisis data ini merupakan tahapan yang penting. Karenanya, apabila ada kesalahan pada tahap analisis data ini bisa-bisa hasil yang diharapkan tidaklah sesuai atau valid. Oleh sebab itu agar penulis tetap berada pada jalan yang sesuai dengan rute penelitiannya, penulis harus berpegang teguh pada teori yang telah di gunakan. Setelah data selesai di oleh peneliti menuliskan kesimpulan dari penelitian ini dan menjawab masalah yang telah dirumuskan. G. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan dituliskan ke dalam lima bab. Dan sistematika penulisan bab akan di bagi berdasarkan peran yang dimainkan oleh Radio Suara Surabaya: sebagai ruang publik, sebagai aktor, dan sebagai arena. Penjabaran lebih rinci tentang sistematika bab akan di jabarkan secara sebagai berikut :
Bab 1 yang akan saya tuliskan adalah :
Latar belakang, mengapa saya memilih topik ini, dan mengapa topik ini menarik untuk di kaji.
Rumusan masalah, yakni masalah yang akan diteliti dan di cari jawabannya. Rumusan masalah adalah hal paling penting, karena keberadaan rumusan masalah inilah mengapa tulisan ini dibuat.
Kerangka teori, yakni teori yang dipakai untuk mengkerangkai penelitian ini agar mencapai jawaban yang dicari.
Definisi Konseptual, landasan Operasional, dan terakhir
20
Metode penelitian, yang berisi penjelasan tentang jenis penelitian yang akan digunakan, tehnik pengumpulan data, dan tehnik analisis data.
Dan hal-hal teknis lainnya yang berkaitan dengan tulisan ini.
Bab 2 Radio Suara Surabaya Sebagai Ruang Publik Pada bab ini pembahasan akan dimulai dengan memperkenalkan secara singkat Radio Suara Surabaya, penjelasan akan meliputi sejarah tentang Radio ini. Apa latar belakang radio berdirinya radio ini, tujuan dan pengaruh keberadaan radio ini terhadap masyarakat yang ada di Kota Surabaya. Pembahasan selanjutnya akan menjelaskan tentang bagaimana Radio Suara Surabaya berperan sebagai Ruang bagi publik. Bagaimana proses ruang publik itu terbentuk, mengumpulkan power dan sampai bagaimana ruang publik tersebut keberadaanya di manfaatkan oleh Radio Suara Surabaya.
Bab 3 Radio Suara Surabaya Sebagai Aktor Politik Akan berisi pembahasan tentang bagaimana keberadaan Ruang Publik digunakan oleh Radio Suara Surabaya dengan perannya sebagai aktor politik. Sebagai aktor politik, SS menggunakan ruang publik ini untuk menekan pihak-pihak yang berwenang memformulasikan kebijakan.
Bab 4 Radio Suara Surabaya Sebagai Arena Politik Intermediari Akan berisi penjelasan tentang bagaimana peran Radio Suara Surabaya sebagai arena. Bagaimana cara atau proses yang dilakukan oleh SS untuk mempertemukan
21
aktor dengan kepentinganya yang berbeda-beda dalam satu wadah oleh Radio Suara Surabaya akan di jelaskan lebih lanjut pada bab ini.
Bab 5 Kesimpulan dan Refleksi
22