BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Judul penelitian ini adalah kepentingan Amerika Serikat dalam reunifikasi di Semenanjung Korea. Amerika Serikat adalah salah satu faktor eksternal yang dominan di Korea, oleh karena itu, penelitian ini berusaha menganalisis kepentingan Amerika Serikat dalam reunifiksi Korea. Kepentingan Amerika Serikat dalam reunifikasi Korea akan menjelaskan tindakan yang dilakukan oleh salah satu negara adidaya ini di Korea maupun di Asia Timur secara keseluruhan. Keamanan adalah salah satu masalah mendasar bagi sebuah negara-bangsa. Ia merupakan salah satu syarat penting agar suatu negara-bangsa dapat bertahan hidup dalam sistem internasional. Hal itu adalah dasar pemikiran kaum realis, yang percaya bahwa keberadaan negara lain dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi suatu negara.1 Situasi yang dipenuhi dengan rasa ketidakpercayaan dan perasaan saling terancam kemudian menyebabkan tiap-tiap negara harus mampu menjamin keamanannya sendiri dengan berbagai upaya. Lebih jauh dalam upaya menjaga keamanan nasional, sebuah negara dapat pula menjadi ancaman bagi negara lain. Hal ini menyebabkan hampir sebagian besar konflik dan perang yang terjadi antarnegara di dunia karena masing-masing negara mencoba melindungi keamanan nasionalnya.
1
B. Buzan, People, States and Fear: An Agenda for International Security Studies in the PostCold War Era, London , 2nd Edn, Harvester Wheatsheaf, 1991, p. 1.
1
Berakhirnya Perang Dingin pada 1991 mengakibatkan perubahan mendasar pada tatanan internasional. Di antaranya ialah negara-negara di dunia justru lebih menyadari betapa pentingnya membangun kerja sama dengan negara lain daripada meningkatkan derajat ketegangan dan permusuhan. Kejatuhan rezim komunis di Uni Soviet (US) membuat Amerika Serikat (AS) tampil sebagai ‘pemenang’ dalam Perang Dingin momentum itu sekaligus memperkokoh pemikiran bahwa liberalisme adalah paham yang paling baik untuk diterapkan dalam berbagai pemerintahan, terlebih dalam melihat relasi antarnegara-bangsa di dunia. Bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi satu negara Jerman yang menganut liberalisme, juga kian memperlihatkan keunggulan paham liberalisme. Hampir setiap kawasan di dunia membangun forum kerjasama regional guna membangun kemitraan yang lebih erat dikawasan mereka. Keadaan yang berbeda justru terjadi di kawasan Asia Timur. Meski negaranegara di kawasan ini mulai membangun berbagai forum komunikasi dan kerja sama antarnegara, tetapi menariknya, masalah keamanan masih merupakan aspek yang sangat kritis dan krusial. Dinamika keamanan regional di kawasan Asia Timur berkisar pada tiga isu sentral, yaitu pertama,
masalah hubungan Jepang dengan
negara-negara tetangganya terkait dengan masalah warisan Perang Dunia, kedua, ketegangan hubungan antara Cina dan Taiwan, serta ketiga, perang yang tidak terselesaikan antara dua negara di Semenanjung Korea.2 Kompleksitas hubungan
2
B. Buzan and O. Waever, Regions and Power The Structure of International Security, Cambridge, Cambridge University Press, 2003, p. 152.
2
antarnegara di kawasan ini menjadikan kadar dan potensi konflik yang ada semakin membesar. Selain itu, tingkat kecurigaan yang tinggipun menjadikan kawasan ini sulit untuk membangun forum kerjasama di tingkat regional. Konflik antara Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) adalah warisan Perang Dingin. Pecahnya Semenanjung Korea menjadi dua negara, yakni Korut dan Korsel, sejak tahun 1950-an adalah dampak dari persaingan AS dan US. Rivalitas ideologi antara dua kekuatan adiddaya internasional, AS dan US mendorong keduanya untuk melakukan perluasan hegemoni ke berbagai kawasan, termasuk di Semenanjung Korea.3 Sekalipun Perang Dingin telah berakhir lebih dari dua dekade yang lalu, tetapi Korut dan Korsel hingga kini masih terpisah secara ideologi dan pemerintahan. Meskipun melewati jalan yang berbeda, baik Korut maupun Korsel tetap menginginkan Korea yang bersatu. Reunifikasi Korea adalah usulan penyatuan kembali Korut dan Korsel di bawah satu pemerintahan. Semenjak berakhirnya Perang Korea (1950-1953), bukan berarti kedua negara ini tidak melakukan upaya reunifikasi. Akan tetapi, masing-masing mereka memiliki konsep yang berbeda dalam reunifikasi. Di satu pihak, Korut menghendaki Korea bersatu dibawah bendera komunis.4 Sementara, Korsel, di sisi lain, ingin mempersatukan seluruh semenanjung dengan kepemimpinan yang sifatnya liberal demokratis. Karena konsep yang berbeda 3
S.M. Hanes and R. C. Hanes, Cold War Biographies, Volume 2: K-Z, The Gale Group, Inc., 2004, p. vii, introduction. 4 C.K. Amstrong, “Inter-Korean Relations : A North Korean Perspective” dalam Inter-korean Relations, Problems and Prospect, S. S. Kim (Eds), New York, Plagrave Macmillan, 2004, p. 41.
3
inilah, yang menyebabkan kedua Korea mengalami masa yang cukup sulit dalam mencapai reunifikasi.5 Dari masa ke masa, upaya reunifikasi terus dilakukan, mulai dari penggunaan kekuatan militer hingga menempuh jalur diplomasi. Dapat dikatakan, Korsel merupakan pihak yang paling berkeinginan untuk mewujudkan satu Korea, terlebih sejak tahun 1960, ketika Presiden Rhee Syngman digulingkan dari posisinya sebagai pemimpin Korsel. Rhee merupakan Presiden pertama Korsel, ia memiliki hubungan yang dekat dengan AS. Kedekatannya dengan AS itu memberi pengaruh yang berarti terhadap bentuk pemerintahan Korsel. Hampir seluruh kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintahan Korsel mendukung peerintahan AS.6 Dengan kata lain, campur tangan AS sangat terasa pada masa pemerintahan Rhee. Akibatnya sikap ini membuat Korut semakin jauh dari reunifikasi. Sejak awal, Korut memang melihat AS sebagai ancaman. Kedekatan Korsel dengan AS, terutama pada masa Perang Dingin menjadikan Korut pesimis terhadap upaya reunifikasi dengan jalan yang damai meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Korut mendapatkan dukungan dari dua negara komunis besar saat itu, US dan Cina. AS dan US yang merupakan aktor utama dalam Perang Dingin berhadapan langsung di Semenanjung Korea. Korea, oleh karena, itu menjadi bentuk nyata dari Perang dingin itu sendiri.
5
S. Snyden, “Inter-Korean Relations : A South Korean Perspective” dalam Inter-korean relations, Problems and Prospect, S.S. Kim (Eds), New York, Plagrave Macmillan, 2004, p. 21- 22. 6 J.W. Kim, Devided Korea, The Politics of Development 1945-1972, Seoul, South Korea, Hollym International Publisher, 1997, p. 116.
4
Pada saat Presiden Rhee digulingkan dari jabatannya, sempat muncul anggapan bahwa AS juga akan kehilangan sebagian besar pengaruhnya di Korsel. Anggapan tersebut tidak terbukti, karena faktanya pemimpin Korsel setelah Rhee juga mempunyai sikap yang tidak jauh berbeda; ia memliki kedekatan yang kuat dengan AS. Lebih jauh lagi, kerjasama pertahanan AS-Korsel kian kuat sehingga kondisi itu berdampak signifikan kepada hubungan antar-Korea yang semakin renggang. Korut selalu memiliki persepsi bahwa AS dan Korsel bisa menyerang mereka sewaktu-waktu. Untuk mengantisipasi ‘serangan’ AS-Korsel, Korut membangun kekuatan militer dan melengkapi persenjataannya dengan hulu ledak nuklir sebagai bentuk pertahanan diri yang kuat.7 Hubungan antar-Korea kembali menjadi perhatian dunia pada tahun 2000, ketika Presiden Korsel pada saat itu, Kim Daejung, mengunjungi dan bertemu dengan pemimpin Korut, Kim Jong Il. Mereka mengadakan pertemuan puncak kedua negara. Harapan untuk bersatunya kedua negara kembali muncul karena dua pemimpin menyepakati beberapa usulan kerjasama yang diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan antara utara dan selatan. Kebijakan Kim Daejung yang sangat terkenal, yakni Sunshine Policy, disambut baik oleh Korut. Alhasil, hubungan kedua Korea mulai menuju kearah yang lebih baik dan itu diharapkan pula dapat mewujudkan
7
G. Ford & S. Kwon, North Korea on the Brink, Struggle for Survival, London, Pluto Press, 2008, p. 94.
5
reunifikasi dengan cara yang damai.8 Terlebih kedua Korea juga mengadakan kerjasama dalam bidang ekonomi dan pariwisata. Namun tantangan yang dihadapi sunshine policy adalah soal hubungan AS dan Korsel. Manakala AS menjalin hubungan yang baik dengan Korsel, di satu pihak, maka dipihak lain yang terjadi justru sebaliknya, AS memperlakukan Korut dengan keras. Dalam suatu pidatonya pada tahun 2002, mantan Presiden AS, George W. Bush di depan state of union menyatakan dengan jelas bahwa Korut, bersama Irak dan Iran, adalah axis of evil (poros setan), yaitu sekelompok negara yang membahayakan perdamaian dunia. Bagi AS sendiri, Korut yang secara konsisten mengembangkan senjata nuklir dimaknai sebagai ancaman nyata yang dapat membahayakan perdamaian dunia, khususnya stabilitas di Asia Timur. Sedangkan bagi Korut, pernyataan AS ini dianggap tidak pantas. Korut menuntut AS untuk menghilangkan nama negara mereka dari daftar axis of evil tersebut. Komunikasi AS-Korut yang sempat berjalan baik sejak tahun 1998 kembali berada dalam kondisi kritis. Puncaknya adalah ketika Korut secara terang-terangan mengaktifkan kembali program nuklir mereka yang sebelumnya dibekukan dan juga mengeluarkan diri dari perjanjian Non Proliferation Nuclear (NPT). Dengan keluarnya Korut dari forum six party talks, semakin menghambat komunikasi dan diskusi dengan AS, mengingat hanya dalam forum ini Korut dan AS berhadapan langsung terkait masalah nuklir. Pasang-surut hubungannya dengan Korut semakin 8
K.S. Kim, “Inter-Korean Relations and the future of the Sunshine policy”, the Journal of East Asian Affairs,Vol. XVI, No. 1 Summer 2002, Seoul, The Research Institute for International Affairs, 2002, p. 105.
6
menyulitkan AS untuk mengawasi perkembangan nuklir Korut, sehingga nuklir Korut kemudian masuk dalam ancaman yang harus diwaspadai dalam National Security Strategy AS semenjak tahun 2006. Uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korut pada tahun 2006 dan 2009 serta beberapa serangan terhadap Korsel sepanjang tahun 2010 menjadikan hubungan kedua negara kembali menjauh. Hingga saat ini, reunifikasi di Semenanjung Korea masih belum bisa diwujudkan. Berbagai upaya yang dilakukan mendapatkan banyak hambatan, baik itu hambatan yang berasal dari dalam negeri kedua Korea maupun hambatan eksternal. Dari dalam negeri, ada ideologi Juche-nya Korea Utara yang dianggap sebagai dasar perilaku yang cukup ekstrem, yaitu keinginan penyebaran komunis di seluruh Semenanjung Korea jika memang kedua Korea bersatu.9 Sedangkan dari pihak Korsel, beberapa kelompok garis-keras menginginkan tindakan yang tegas untuk mewujudkan reunifikasi, termasuk dengan cara penggunaan kekuatan militer. Semenjak tahun 2008, ketika Lee Myunbak menjabat sebagai Presiden Korsel, sebagian besar tindakan yang berhubungan dengan Korut melibatkan aktor eksternal, yaitu AS. Relasi AS dan Korsel yang sedemikian akrab menjadikan Korut bersikap pesimis terhadap upaya perwujudan reunifikasi lewat jalan damai yang selama ini telah dirintis sejak masa kepemimpinan Korsel terdahulu, Kim Daejung dan Roh Moo-hyun. Sikap agresif Korut yang secara terang-terangan berani
9
C.K. Amstrong, “Inter-Korean Relations : A North Korean Perspective” dalam Inter-korean Relations, Problems and Prospect, p. 41-42.
7
menyerang Korsel bermakna bahwa hubungan dua Korea berada di titik yang buruk dan bahkan semakin jauhnya harapan kearah penyatuan kembali dua Korea. AS di bawah kepemimpinan Barack Obama semakin memainkan peran penting dalam hubungan dua Korea. Secara tidak langsung, keberhasilan reunifikasi akan sangat tergantung pada bagaimana negara adidaya itu memainkan posisi dan peran kuncinya di tingkat regional Asia Timur dan di level internasional. Tindakan AS menghadapi Korea akan selalu berjalan beriringan dengan kepentingan AS di Semenanjung tersebut. Kepentingan AS dalam upaya reunfikasi Korea inilah yang akan menjadi fokus dalam tesis ini, terutama semenjak tahun 2008, ketika AS berada dibawah kepemimpinan Presiden Barack Obama.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang dikemukakan di atas, bahwa AS memiliki kepentingan yang krusial dalam hubungan antara dua Korea, khususnya menyangkut isu reunifikasi di Semenanjung Korea. Sehingga, di dalam tesis ini, peneliti berupaya menjawab satu pertanyaan mendasar, yaitu : Apa kepentingan Amerika Serikat dalam reunifikasi di Semenanjung Korea? Penelitian akan dibatasi pada peran AS terhadap reunifikasi di Semenanjung Korea dari tahun 2008-2012. C. Signifikansi atau Relevansi Pertanyaan Penelitian
8
Reunifikasi merupakan tujuan nasional yang ingin dicapai, baik Korut maupun Korsel. Hingga tesis ini ditulis, kedua negara masih berupaya untuk mencapai reunifikasi tersebut. Berbagai usaha untuk mencapai reunifikasi telah dilakukan semenjak tahun 1960an. Akan tetapi reunifikasi itu tidak akan terwujud tanpa terlebih dahulu mengakhiri ketegangan dan permusuhan antara Utara dan Selatan, termasuk membangun kepercayaan diantara keduanya agar dapat hidup dengan damai. Upaya reunifikasi semenanjung Korea tidak hanya melibatkan Korut dan Korsel, tapi juga melibatkan semua negara tetangga mereka yang berada di kawasan Asia Timur dan juga AS. Keberadaan AS
di wilayah Asia Timur memberi sumbangan terhadap
dinamika hubungan antara Korut dan Korsel. Selama lebih dari setengah abad, AS menjadi salah satu tokoh dominan dalam menghadapi masalah di Semenanjung Korea, termasuk dalam masalah reunifikasi. Penelitian ini berupaya menemukan kepentingan AS dalam reunifikasi di Semenanjung Korea yang nantinya dapat menjelaskan latar belakang AS terlibat dalam upaya-upaya reunifikasi di Korea serta pengaruhnya dalam upaya reunifikasi itu sendiri.
D. Reviu Literatur Terdapat beberapa literatur yang membahas keterlibatan AS dalam upaya reunifikasi dua Korea yang digunakan oleh penulis guna membantu dalam pembuatan tesis ini. Antara lain adalah buku yang berjudul A Troubled Peace, U.S. Policy and the Two Koreas. Buku ini menganalisis hubungan Amerika Serikat (AS) dan kedua 9
Korea dari awal masuknya AS di semenanjung tersebut.10 Secara garis besar, buku ini membahas kebijakan luar negeri AS terhadap Semenanjung Korea dipengaruhi oleh situasi internasional, dimulai ketika AS yang tergabung dalam pasukan sekutu menjadi salah satu pengawas di Korea setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet (US).Setelah Perang Dingin berakhir, kebijakan yang diambil oleh AS-pun mengalami pergeseran, dari containment to engagement (yang terjadi pada masa Presiden Clinton), hingga model diplomasi hegemoni (yang dilakukan oleh AS semasa pemerintahan Bush). Buku ini lebih banyak membahas tentang kebijakan AS di Korea yang mengalami perubahan sesuai dengan situasi internasional. Sementara, meskipun pembahasan didalam tesis ini hampir serupa dengan yang telah dielaborasi Lee, akan tetapi, penulis lebih melihat kepentingan AS dalam hubungannya dengan reunifikasi Korut dan Korsel. Buku ini menjadi rujukan penulis untuk menambah informasi mengenai hubungan AS dengan keadaan di Semenanjung Korea. Buku yang berjudul The Two Koreas and The Great Powers, yang salah satu babnya menguraikan hubungan AS dengan dua Korea.11 Hampir serupa dengan bahasan dalam buku A Troubled Peace, U.S. Policy and the Two Koreas, yang telah penulis kemukakan di bagian awal, buku ini juga memaparkan perubahan-perubahan strategi kebijakan luar negeri AS selama masa pendudukannya di Korea. Mulai dari
10
C.J. Lee, A Troubled Peace, U.S. Policy and the Two Koreas, Maryland, The John Hopkins university Press, 2006. 11 S. S.Kim, The Two Koreas and The Great Powers, New York, Cambrige University Press, USA by Cambrige University Press, 2006.
10
masa awal Perang Dingin, AS menjadikan Korsel bersama dengan Jepang sebagai ‘dinding pembendung’ pengaruh komunisme yang masuk ke wilayah lainnya dia Asia. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di kawasan Asia Timur terus mendapat respon dari AS dengan ‘memperbaiki posisi’-nya dalam lingkaran peristiwa tersebut. Hanya saja, dalam bukunya hampir keseluruhannya membahas mengenai sejarah AS di Korea, tidak secara spesifik menyebutkan kepentingannya. Disamping buku diatas, ada beberapa buku lainnya yang penulis reviu. Korean Endgame, A Strategy for Korean Reunification and U.S. Disengagement, yang membahas tentang sejarah keterlibatan AS dalam hubungan Korut dan Korsel. Buku ini singkat menjelaskan mengenai hubungan AS dengan negara-negara Asia Timur, kepentingan AS, pandangan AS serta keadaan militer AS di kawasan Asia Timur juga. Buku ini akan menjadi rujukan bagi penulis untuk membantu menggambarkan sejarah hubungan AS dengan kawasan Asia Timur. 12 Buku lainnya adalah The Korean Conundrum, America’s Troubled Relations with North and South Korea yang menggambarkan tentang hubungan yang dibangun oleh Amerika Serikat dengan kedua Korea.13 Bagaimana AS tetap menjaga hubungan keamanannya dengan Korsel dan sikap yang dilakukan oleh AS ketika Korut memutuskan untuk mengembangkan senjata nuklir. Carpenter dan Bandow juga menulis tentang kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur dan alasan inilah yang membuat
12
S.S. Harrison, Korean Endgame, A Strategy for Korean Reunification and U.S. Disengagement, New Jersey, Princeton University Press, 2002. 13 T.G.Carpenter and D. Bandow, The Korean Conundrum, America’s Troubled Relations with North and South Korea, Hampshire, Palgrave Macmillan, 2004.
11
Amerika Serikat cukup banyak terlibat dalam permasalahan region tersebut, khususnya masalah Semenanjung Korea. Buku ini memberi informasi kepada penulis untuk melihat kepentingan AS sebagai salah satu dari Great Powers di Semenanjung Korea yang memberi pengaruh terhadap upaya reunifikasi kedua Korea. Buku lainnya adalah Preparing for Korean Unification, Scenario and Implication yang membahas tentang scenario-skenario yang dapat digunakan untuk mewujudkan unifikasi Korea.14 Secara
umum ada empat scenario yang bisa
mewujudkan reunifikasi Korea, yaitu penyatuan dan unifikasi dengan jalur damai, penyatuan akibat collaps dan pemaksaan, unifikasi yang dicapai melalui konflik dan intervensi eksternal. Selain membahas scenario, dalam buku ini juga menyebutkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi terhadap kawasan Asia Timur juka reunifikasi terwujud. Buku ini membantu penulis untuk melihat prospek dan tantangan dari reunfikasi Korea. Selain buku, penulis juga menemukan beberapa artikel yang dapat membantu membangun pemahaman dalam penulisan tesis ini. Artikel yang berjudul Prospect from Korean Reunification yang secara garis besar menelaah antusiasme reunifikasi Korea semenjak tahun 1990.15 Artikel yang ditulis oleh Coghlan
ini
fokus
membahas prospek dari reunifikasi ke depannya, bukan melihat bentuk dan upaya dari Korsel dalam reunifikasi dan pihak asing yang terlibat di dalamnya. Artikel ini
14
J.D. Pollack dan C.M. Lee, Preparing for Korean Unification, Scenario & Implication,Wahington D.C, Rand, 1999. 15 D. Coghlan, Prospect from Korean Reunification, (online) 2008,
, diakses pada 28 Maret 2011.
12
secara singkat membahas bagaimana dua Korea memiliki hubungan dengan negaranegara asing disekitar kawasan dan bagaimana pula negara-negara asing tersebut mempertahankan pengaruh mereka. Bila kedua Korea telah bersatu, maka pengaruh negara-negara besar tersebut secara langsung akan berkurang di Asia Timur. Penulis memiliki fokus perhatian yang hampir sama dengan Coghlan mengenai AS dan reunifikasi Semenanjung Korea. Hanya saja penulis akan menjelaskan alasan yang membuat AS terlibat dalam upaya reunifikasi Semenanjung Korea tersebut secara terperinci, terutama pada masa pemerintahan Presiden Obama. Artikel yang berjudul “Shouldv the United States support Korean unification, and if so, how?” secara umum berisi argument yang menjadi prioritas aliansi AS dan Korsel dalam upaya mewujudkan reunifikasi.16 Terdapat beberapa alasan yang membuat AS harus mendukung terwujudnya reunifikasi, pertama bahwa reunifikasi adalah jalan terbaik untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di Asia Timur, kedua, sesuai dengan perjanjian gencatan senjata Perang Korea bahwa AS akan mengupayakan untuk membantu Korea bersatu kembali seperti sebelum terjadinya pemisahan, ketiga adalah alasan praktis dan moral. Bahwa dengan reunifikasi akan membantu terwujudnya stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur. Secara moral, AS adalah salah satu
pihak yang turut membagi Korea. Artikel ini membantu
memberi informasi mengenai dukungan AS terhadap reunifikasi Korea yang
16
D.S. Maxwell, Should the United States support Korean unification, and if so, how?” International Journal of Korean Studies, Vol. XVIII, No. 1.
13
merupakan fokus dari penelitian penulis. Hanya saja penulis mencoba untuk menggali kepentingan AS yang ada dalam upaya reunifikasi Korea. Artikel lainnya adalah US policy interest and the concept of North Korean Neutrality yang terdapat dalam buku The Future of North Korea . Artikel ini menguraikan tentang kepentingan-kepentingan dari AS terhadap Korut yang kemudian mereka refleksikan dengan kebijakan-kebijakan yang ditujukan kepada Korut. Sebagian besar kebijakan AS yang ditujukan kepada Korut adalah mengenai masalah keamanan. Bagi AS, pengembangan senjata nuklir Korut akan selalu menjadi ancaman yang serius bagi stabilitas keamanan di Asia Timur. Kawasan Asia Timur sendiri menjadi salah satu wilayah penting bagi AS mengingat cukup banyaknya kepentingan nasional AS yang berada di wilayah ini. Penulis memiliki fokus yang sama dengan Moltz, hanya saja penulis mencoba meneliti kepentingan AS dalam reunifikasi kedua Korea. Dalam artikel yang berjudul Explaining the US ‘Pivot’to Asia yang secara singkat membahas mengenai kebijakan luar negeri AS yang berupaya untuk ‘menyeimbangkan’ kebijakan luar negeri mereka yang sebelumnya lebih mengarah kepada wilayah Timur Tengah. Melalui kebijakan Pivot ini, kerjasama ekonomi, politik, keamanan dan lainnya lebih ditingkatkan kepada region Asia Pasifik.17 Artikel ini membantu penulis untuk mengetahui lebih lanjut mngenai kebijakan Pivot
17
K. Campbell and B. Andrews, Explaining the US ‘Pivot’ to Asia, 2013, http://www.chathamhouse.org, diakses pada 24 Maret 2015.
14
to Asia yang mulai dijalankan AS semenjak tahun 2009. Melalui kebijakan ini, AS lebih mengedepankan hubungannya dengan negara-negara yng berada di kawasan Asia Pasifik. Secara tidak langsung kebijakan ini juga mendukung keberadaan AS di semenanjung Korea. .Dari beberapa uraian literatur diatas, penulis mencoba untuk meneliti kepentingan
AS dalam
upaya
reunifikasi di Semenanjung Korea.
Meskipun telah banyak tulisan mengenai kepentingan AS dalam hubungan dua Korea, penulis mencoba melihat secara keseluruhan kepentingan AS dalam reunfikasi Korea. Apa yang AS dapatkan dan apa kerugian yang akan dialami AS ketika reunifikasi tersebut terlaksana. Ketertarikan dan kepentingan AS di Semenanjung Korea yang menjadikan alasan mengapa AS turut terlibat dan berperan dalam upaya reunfikasi antara dua Korea tersebut.
E. Metodologi Penelitian 1. Konsep Keamanan Nasional Bagi pemikiran realis, struktur internasional adalah anarki, sehingga negaranegara memerlukan power sebagai dasar untuk survive.
Oleh karena itu, setiap
negara akan mengembangkan power mereka untuk memastikan negara mereka aman dan tujuan nasional mereka terpenuhi. Masalah pertahanan dan keamanan selalu menjadi kepentingan utama dalam politik luar negeri suatu negara, karena keduanya merupakan basis bagi eksistensi negara dan merupakan prasyarat bagi tercapainya tujuan-tujuan negara yang lain. Sebagaimana tujuan politik luar negeri pada 15
umumnya, masalah keamanann (security) suatu negara ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh negara lain. Hal ini membuat keamanan nasional menjadi bagian penting dari kepentingan nasional sebuah negara. Menurut realis, kepentingan nasional dapat diartikan sebagai kepentingan negara sebagai unitary actor yang penekanannya pada peningkatan kekuatan nasional untuk mempertahankan keamanan nasional dan survival dari ancaman yang disebabkan oleh negara atau aktor lainnya.18 Pergesekan antara kepentingan nasional juga dapat memicu terjadinya konflik antar negara. Tentunya setiap negara akan bersikap agresif untuk memenuhi kepentingan nasional mereka. Dengan begitu, tiap negara akan melakukan berbagai upaya untuk menjamin keamanan negara mereka. Peningkatan kemampuan militer, kebijakan dalam mengatasi ancaman dan persenjataan yang memadai merupakan beberapa bentuk upaya negara-negara dalam menjamin keamanan mereka. Selain dari upaya-upaya yang diatas, ada beberapa upaya lain, seperti aliansi pertahanan dan menjaga negara-negara yang dianggap ‘penting’ dalam konsep keamanan bagi negara yang bersangkutan. Negara akan menjadi sangat egois mengenai kepentingan nasionalnya sehingga mereka melakukan apapun demi memenuhi kepentingan mereka. Maka, ketika terjadi benturan atau konflik dengan negara lainnya yang berbeda kepentingan, maka mereka tidak segan untuk melakukan perang. Dengan adanya ancaman perang karena pergesekan kepentingan itu, negara menjadi cemas akan keselamatan diri
18
A. Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktek, Graha Ilmu, Yogyakarta, Graham Ilmu, 2008, p. 67.
16
mereka sendiri sehingga selalu menimbulkan kewaspadaan tinggi terhadap negara lain yang akan mengganggu kepentingannya. Mereka cenderung akan saling curiga kepada negara yang lainnya. Ancaman militer merupakan ancaman paling
nyata yang dihadapi oleh
sebuah negara. Ancaman ini tidak hanya mengahancurkan unsur vital dalam sebuah negara, namun dapat pula menghancurkan ekosistem serta unsur kehidupan sosial dan politik. Pencegahan ancaman militer hingga saat ini merupakan prioritas setiap negara. Sehingga dapat di katakana bahwa keamanan nasional merupakan bagian penting dalam kepentingan nasional sebuah negara. Para analis keamanan nasional dan pembuat kebijakan khawatir mengenai integrasi teritorial dan pertahanan militer di kawasan perbatasan. Mereka mengartikan keamanan sebagai kedaulatan Negara. Sudah menjadi sifat dalam konflik yang terjadi bahwa negara harus dapat memenuhi kebutuhan sumber-sumber mereka untuk bertahan dan melindungi rakyat mereka. Teori keamanan selalu sepakat dengan Hans Morgenthau yang memiliki argumen bahwa setiap negara harus fokus terhadap kekuatan nasional sebagai pelindung dari kepentingan nasional. 19 Menurut Barry Buzan dalam People, States and Fear: an Agenda for International Security Studies in the Post Cold War Era bahwa penerapan strategi keamanan suatu negara selalu memperhitungkan aspek-aspek threat (ancaman) dan vulnerability (kerentanan) negara tersebut. Bahwa ketidakamanan merupakan refleksi
19
H. Smith (ed.), Reconstituting Korean Security, A Policy Primer, Tokyo, United Nation University Press, 2007, p. 22.
17
gabungan dari ancaman dan kerentanan yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan.20 Ancaman dan kerentanan merupakan dua konsep yang berbeda namun memiliki keterkaitan yang erat di dalam perwujudan keamanan nasional. Suatu ancaman terhadap keamanan nasional yang dapat dicegah akan mengurangi derajat kerentanan suatu negara pada keamanan nasionalnya. Kedua aspek dari keamanan nasional tersebut sangat ditentukan oleh kapabilitas yang dimiliki negara tersebut.21 Buzan membagi ancaman menjadi beberapa tipe dalam sektor tertentu, yaitu : 1. Keamanan militer, merupakan keamanan tradisional yang menjadi jantung dalam kepentingan nasional. Keamanan militer mencakup interaksi antar dua tingkat dan kekuatan yaitu kemampuan defensif dan persepsi militer mengenai intensi masing-masing pihak. 2. Keamanan Politik, yaitu ancaman terhadap stabilitas organisasi suatu negara atau sistem pemerintahan serta ideologi yang dapat mempengaruhi sistem dalam negara tersebut. 3. Keamanan ekonomi, yaitu ancaman terhadap akses pada sumber daya finansial maupun pasar yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan dan kekuatan negara.
20
B. Buzan, People,States, and Fear: An Agenda For International Security Studies in the PostCold War Era, p. 112. 21 B. Buzan, People,States, and Fear: An Agenda For International Security Studies in the PostCold War Era , p.112-114
18
4. Keamanan
sosial,
yaitu
ancaman
terhadap
kemampuan
untuk
mempertahankan dan menghasilkan pola-pola tradisional dalam bidang bahasa, kultur, agama dan identitas nasional. 5. Keamanan lingkungan, merupakan bentuk ancaman terhadap pemeliharaan lingkungan local sebagai pendukung utama kelangsungan hidup manusia. 22 Karena menggunakan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan sebuah negara secara langsung dan berdampak terhadap banyak sektor kehidupan, ancaman militer merupakan prioritas utama dalam keamanan nasional. Menurut Buzan, ancaman militer bisa juga terjadi secara tidak langsung. Sasarannya tidak langsung mengancam terhadap negara itu sendiri, melainkan berdampak kepada kepentingan eksternal negara tersebut yang menyangkut langsung dengan masalah keamanan negara, misalnya mengancam aliansi mereka.23 Hal ini yang mendorong banyak Negara bergabung dalam kelompok atau aliansi keamanan, dengan tujuan untuk mempermudah mendapat perlindungan dan jaminan keamanan. AS adalah salah satu negara yang sangat konsen terhadap keamanan nasionalnya. Sehingga keamanan nasional AS menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan didalam kepentingan nasional yang harus dicapai oleh negara tersebut. Paska Perang Dunia II, AS mengembangkan konteks modern mengenai keamanan nasional yang berisi persyaratan dasar untuk menjaga kelangsungan hidup suatu
22
B. Buzan, People,States, and Fear: An Agenda For International Security Studies in the PostCold War Era , p. 116-134 23 B. Buzan, People,States, and Fear: An Agenda For International Security Studies in the PostCold War Era, p.118.
19
Negara adalah dengan mempergunakan instrumen ekonomi, kekuatan politik, diplomasi dan kekuatan militer.24 Dalam konstitusi AS, tanggung jawab utama dari pemerintahan AS adalah melindungi warga Amerika. Lebih dari 200 tahun tentara AS telah melakukan tugas mereka untuk melindungi seluruh warga negara AS dari berbagai bentuk ancaman, baik itu dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar.25 Masalah keamanan telah menjadi salah satu alasan AS untuk melakukan tindakan seperti serangan militer atau perang, terhadap ancaman yang dianggap dapat membahayakan negara mereka. Keterlibatan AS dalam Perang Dunia II juga dikarenakan ancaman yang diterima negara tersebut dari serangan-seragan yang dilakukan oleh pihak lawan. Setelah Perang Dunia II berakhir dengan AS menjadi salah satu dari negara pemenang perang, dan duduk menjadi anggota tetap DK PBB. Pembagian Korea dalam wilayah AS dan US setelah Perang Dunia II berakhir merupakan ekspresi yang menunjukkan bahwa kedua negara yang bersangkutan memiliki kepentingan di wilayah tersebut.26 Apapun kepentingan tersebut, pada masa Perang Dingin, semenanjung Korea merupakan ‘aset’ yang cukup berharga bagi AS dan US. Adanya persaingan antara komunis dan liberal semakin mempertajam perbedaan antara Korut dan Korsel, dan semakin jauh pula hubungan kedua negara 24
R Nugroho, National Security Policy, Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, p. 5. 25 National Defense Strategy June 2008, Departmen of Defense Unites States of America, diakses dari http://www.isn.ethz.ch/Digital-Library/Publications/Detail/?ots591=0c54e3b3-1e9cbe1e-2c24a6a8c7060233&lng=en&id=154949, pada 16 Desember 2014. 26 H.J. Morgenthau, Politics Among Nations: the Struggle for Power and Peace, 6th edn, edisi Bahasa Indonesia Politik Antarbangsa, diterjemahkan oleh S.Maimoen, A.M. Fatwan dan Cecep Sudrajat, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010, p.501.
20
kearah reunifikasi. Hingga Perang Dingin berakhir, AS masih menjadi aktor penting dalam hubungan dua Korea. Hal ini menjadikan isu reunifikasi Korea masuk kedalam daftar kepentingan AS, terutama jika berkaitan langsung dengan nuklir Korut dan stabilitas keamanan kawasan Asia Timur. Program pengembangan nuklir yang dilakukan oleh Korut tidak hanya menjadi ancaman bagi regional Asia Timur, tetapi juga bagi AS yang memiliki aliansi dan kepentingan di kawasan tersebut. Meski demikian, bukan berarti kedua Korea tidak ingin kembali menjadi satu negara. Anggapan bahwa reunifikasi dapat membawa perdamaian dalam jangka panjang di Korea menjadikan isu reunifikasi mendapat perhatian oleh AS. AS harus menjamin kepentingan nasional mereka terjamin di kawasan Asia Timur, termasuk keamanan nasional mereka yang berkaitan dengan bentuk reunifikasi. Jika reunifikasi terwujud, dan Korea bersatu, baik itu dalam bentuk komunisme Korut atau menjadi negara demokrasi seperti Korsel, maka akan mempengaruhi keberadaan AS di kawasan ini, dan hal ini akan berpengaruh juga terhadap kepentingan nasional mereka. Konsep keamanan nasional digunakan dalam penelitian ini untuk membantu menganalisis kepentingan AS dalam reunifikasi Korea. 2. Konsep Balance of Power Power adalah salah satu cara yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini menjadikan power sebagai kekuatan yang diperlukan sebuah negara untuk menjaga kedaulatan dan eksistensi mereka. Definisi power menurut Morgenthau pada dasarnya adalah kontrol manusia terhadap pikiran dan perilaku manusia lainnya atau kemampuan untuk mengatur tindakan sesuai dengan cara yang 21
diinginkan.27
Dalam hubungan internasional, power erat kaitannya dengan
kepentingan nasional, setiap negara berlomba-lomba untuk mendapatkan power guna menjamin kepentingan negara mereka. Balance of power merupakan salah satu konsep realis yang didasarkan pada asumsi, pertama, Negara, minimal akan berusaha untuk menjaga kedaulatannya, dan maksimal akan berusaha untuk menguasai negara-negara lainnya. Asumsi kedua adalah keseimbangan politik dalam kelompok negara dapat dipelihara jika power didistribusikan di antara negara-negara itu, sehingga tidak ada satu negara atau gabungan negara yang memperoleh kekuatan gabungan negara yang memperoleh kekuatan dominan atas negara lain. Melalui cara perimbangan kekuatan, setiap negara dapat melindungi kebebasan dan kedaulatan negaranya, atau dapat menangkal setiap ancaman serangan dari negara lain. Oleh karena itu, setiap negara akan selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuan ekonomi, militer dan kekuatan-kekuatan strategis lainnya, sebagai usaha-usaha internalnya atau dapat juga dengan memperkuat aliansinya untuk menangkal dan melemahkan kekuatan musuh sebagai usaha eksternalnya.28 Jadi balance of power menekankan pada efektifitas kontrol terhadap kekuatan sebuah Negara oleh kekuatan Negara-negara lain. Secara teoritis, balance of power menganggap bahwa kekuatan internasional khususnya, upaya sebuah Negara yang
27
P. Toledo, Classic Realism and the Balance of Power Theory, Toronto, Glendon Papers, Vol. 4, Desember 2005, hlm. 59. 28 D. Krisna, Kamus Politik Internasional, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993, p. 14-15.
22
hendak menguasai sebuah kawasan tertentu, akan dapat membentuk peningkatan kekuatan dari satu Negara atau lebih. Dalam keadaan yang demikian, proses keseimbangan kekuatan dapat mendorong terciptanya dan terjaganya stabilitas hubungan antar Negara yang beraliansi karena merasa terancam oleh kekuatan yang muncul di awal tersebut. Hal ini dapat menjelaskan alasan banyak negara melakukan aliansi dan kerjasama pertahanan untuk menghindari ancaman yang muncul dari sebuah negara. Dan yang lebih utama, kontrol dapat dilakukan untuk mengurangi resiko munculnya negara dominan yang agresif. Menurut Morgenthau, balance of power dapat artikan menjadi sebagai sebuah situasi atau sebagai sebuah kebijakan. Jika dilhat sebagai sebuah situasi, balance of power dibagi menjadi dua keadaan, yaitu equilibrum dan disequilibrum. Balance of power dikatakan equilibrium dimana power sebuah negara atau beberapa negara dalam keadaan yang seimbang dan sama besarnya dengan sebuah negara atau kelompok negara lainnya. Contoh keadaan equilibrum adalah pada saat Perang Dingin berlangsung antara AS dan US atau keseimbangan antara NATO dan Pakta Warsawa. Sedangkan keadaan disequilibrum mendeskripsikan situasi dimana distribution of power antar negara tidak seimbang. Kondisi seperti ini akan mengarah kepada hegemoni oleh negara yang kuat.29 Balance of power yang dilihat sebagai sebuah kebijakan biasanya mengacu kepada usaha untuk membentuk dan memelihara keadaan yang equilibrium. Biasanya balance of power dalam bentuk kebijakan ini akan diarahkan kepada pembentukan 29
P. Toledo, Classic Realism and the Balance of Power Theory, hlm. 59.
23
atau pemeliharaan status quo. Menurut Morgenthau ada empat cara balance of power yang dilakukan dalam memelihara status quo, pertama adalah melemahkan negara musuh dengan membaginya atau tetap dalam keadaan terbagi. Kedua, menjaga atau membentuk kembali keseimbangan diseluruh wilayah. Ketiga adalah bahwa kebijakan sering berubah, menjaga dan membentuk kembali keseimbangan termasuk dengan arm races dan disarmament. Dan yang keempat adalah dilihat dari sejarah, bahwa hal yang penting dari perwujudan balance of power itu sendiri, yaitu membentuk aliansi. Dimana aliansi ini akan sama bentuknya meski kebijakan dan keadaan dapat berubah, namun bentuk dari alinsi itu akan selalu tetap ada dan menjaga atau membentu keseimbangan itu sendiri.30 Dapat dilihat bahwa balance of power sebagai sebuah kebijakan biasanya digunakan untuk membentuk dan menjaga kesimbangan yang sangat rentan bahkan bisa juga mencegah terbukanya perang. Awal keterlibatan AS di Korea tidak lepas dari kepentingan AS yang berada di Asia Timur. Setelah PD II berakhir, AS adalah salah satu aktor dominan di Asia Timur. Selain mengawasi Jepang, AS juga terlibat dalan pembagian Semenanjung Korea. Secara historis, kawasan Asia Timur adalah kawasan yang cukup kompleks. Nilai strategis kawasan ini menjadikan banyak negara menginginkan berhubungan dengan negara-negara Asia Timur. Di kawasan tersebut terdapat distribusi power yang dinamis dan masih menyisakan potensi konflik terbuka antara negara-negara di dalamnya. Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, dan Cina masih memiliki sejarah
30
P. Toledo, Classic Realism and the Balance of Power Theory, hlm. 60-61.
24
konflik yang belum selesai hingga kini. Masuknya US dan AS pada awal abad ke-20 semakin melengkapi dinamika hubungan di Asia Timur. Sistem internasional paska PD II terpusat pada dua kubu, AS dan US. Keduanya terlibat dalam perebutan dalam menyebarkan pengaruh ideologi masingmasing yang kemudian mengarahkan dunia kepada konflik yang dikenal dengan Perang Dingin. Pada masa Perang Dingin, baik AS dan US berupaya untuk menarik sebanyak mungkin negara di setiap kawasan untuk dijadikan aliansi. Namun kawasan yang sangat terlihat pola rivalitas AS dan US adalah Asia Timur. AS berupaya untuk menjadi balancer dikawasan ini agar tidak jatuh seluruhnya ketangan komunis. Setelah Perang Korea, AS semakin memiliki kepentingan strategis dengan kawasan ini, sehingga melakukan sejumlah upaya menjaga kestabilan keamanan kawasan yang secara khusus melibatkan negara-negara aliansinya Jepang dan Korsel. Pada masa perang dingin, dua negara tersebut masuk kedalah wilayah containment AS. Kebijakan containment ini adalah upaya AS dalam membangun aliansi berbasis geostrategi untuk mempertahankan teritori negaranya dari ancaman ekspansi komunis.31 Penting bagi AS untuk memastikan Jepang dan Korsel cukup aman, terutama dari lawan komunisnya, US yang beraliansi dengan Cina dan Korut. Perang dingin diakhiri dengan kemenangan liberal dan bubarnya US. Namun AS tidak langsung menjadi aktor tunggal dalam perpolitikan internasional. Meski memiliki nama sebagai negara super power, dalam kenyataannya muncul beberapa
31
R. Jervis, The Impact of the Korean War om the Cold War, The Journal of Conflict Resolution, Vol. 24, No. 4, Sage Publications, Inc, 1990, p.571.
25
negara atau kelompok aliansi yang cukup kuat yang berusaha untuk menandingi kemampuan AS, terutama dalam bidang militer, terutama di Asia Timur. Kebangkitan kekuatan Cina sebagai negara besar dengan militer yang kuat telah menjadi ancaman bagi negara sekitarnya. Korut yang mengembangkan senjata nuklir serta Jepang yang mulai memperbaiki sistem pertahanan nasionalnya, menjadikan Asia Timur berkembang menjadi kawasan yang sangat ‘panas’. Tidak hanya pada masalah stabilitas keamanan yang berkembang, namun sektor ekonomi juga berkembang pesat di kawasan ini. Hubungan kerjasama antar negara Asia Timur cukup tinggi dan sama seimbangnya dengan tingkat kecurigaan mereka antara satu dengan lainnya. Terlebih ketika potensi Cina dan Jepang semakin besar sebagai great powers di Asia Timur, dan Asia secara umumnya. Keberadaan AS di Asia Timur dapat dikatakan sebagai balancer dari kekuatan-kekuatan yang muncul di kawasan tersebut. AS memastikan tidak ada kekuatan yang mendominasi di Asia Timur sehingga stabilitas keamanan dapat terwujud di kawasan.
F. Hipotesis Adanya Campur tangan AS di Semenanjung Korea merupakan upaya mewujudkan kepentingan nasional negara besar tersebut, terutama yang berkaitan dengan masalah keamanan nasional negara tersebut yang terkait dengan reunifikasi Korea. Bagaimana bentuk Korea setelah reunifikasi akan mempengaruhi pengaruh AS di kawasan Asia Timur. Selain itu, reunifikasi juga memberi pengaruh terhadap peran AS sebagai balance of power di region tersebut. Bagi AS, Korut dan nuklirnya 26
tidak hanya mengancam Korsel sebagai aliansinya, tetapi ia juga mengancam AS sendiri. Hal ini membuat AS menjadi salah satu dari beberapa great powers yang hingga saat ini masih terlibat intensif dalam dinamika di Semenanjung Korea, terutama yang berkaitan dengan masalah reunifikasi.
G. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu prosedur atau cara yang digunakan dalam penelitian yang memiliki langkah-langkah sistematis. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif-analitis, di mana peneliti akan memberikan gambaran secara jelas peran Amerika Serikat dalam reunifikasi di Semenanjung Korea. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai literature, buku, koran, jurnal serta situs internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan lewat analisis terhadap bahanbahan pustaka seperti buku, artikel, koran, majalah, laporan penelitian sebelumnya serta bahan pustaka penunjang lainnya dan internet, untuk memperoleh data terbaru yang tidak dapat penulis dapatkan melalui studi kepustakaan.
H. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab. Setelah Bab I Pendahuluan ini, Bab II akan memberikan gambaran mengenai keadaan Semenanjung Korea secara umum dan 27
bagaimana dinamika politik dan keamanan di wilayah tersebut. Dalam bab ini akan disampaikan pula secara singkat sejarah masuknya AS dan keterlibatan beberapa negara lain seperti Cina, Jepang dan Rusia dalam perjalanan sejarah Korea. Di dalam Bab III, penulis mencoba menggambarkan reunifikasi di Korea, baik upaya dan hambatannya serta arti reunifikasi Korea bagi AS dan beberapa momen AS dalam upaya untuk mewujudkan reunifikasi tersebut. Dalam Bab IV penulis akan menganalisis kepentingan AS dalam reunifikasi di Semenanjung Korea. Diawali dengan menguraikan kepentingan yang dimiliki AS dalam reunifikasi sehingga ketika reunifikasi terwujud makan akan memberi pengaruh terhadap kepentingankepentingan tersebut. Bab ini akan mengelaborasi kepentingan AS dalam reunifikasi Korea sehingga akan menjelaskan tindakan AS dalam upaya reunifikasi Korea yang juga berpengaruh terhadap keberadaan AS sebagai balancer di Asia Timur. Tesis ini akan ditutup dengan Bab V, yang memberikan kesimpulan berupa ringkasan analisis dan inferens berupa pelajaran yang bisa ditarik dari kasus yang diteliti.
28