BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah surat kabar Harian Jogja Express tertanggal 13 September 2012 menulis sebuah artikel yang sangat menarik. Dalam tulisannya, diinformasikan bahwa batas usia pensiun Pegawai Negeri Sipil diperpanjang menjadi 58 tahun atau bertambah 2 tahun lebih lama dari sebelumnya yakni 56 tahun. Penambahan batas usia abdi negara ini tentu saja memberikan banyak dampak baik itu berdampak positif maupun dampak negatif yang akan dirasakan oleh masingmasing pihak baik pegawai bersangkutan, pegawai lain yang tidak mendapat imbas langsung, maupun dampak bagi instansi tempat Pegawai Negeri Sipil tersebut berdinas. Keputusan mengenai penambahan masa tugas Pegawai Negeri Sipil ini tertuang dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang disahkan DPR RI pada tanggal 10 September lalu. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwasanya ketentuan ini hanya berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil yang masuk usia pensiun per januari 2013 dan seterusnya. Artinya, bagi pegawai yang pensiun tahun ini tetap hanya sampai batas usia 56 tahun. Hingga saat ini, dari data yang diperoleh dari BKD Kabupaten Sleman total Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Sleman mencapai 12.728 orang. Pegawai yang pensiun di tahun ini sebanyak 526 orang tersebar di segala bidang mulai dari kesehatan, pendidikan sampai tenaga teknis. Rata-rata perbulan antara 40 – 45 orang yang pensiun.
1
Dalam konteks kebijakan penambahan masa tugas bagi Pegawai Negeri Sipil yang masuk usia pensiun ini, ada sejumlah alasan yang menjadi latar belakang pemerintah seperti yang secara eksplisit tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 65 tahun 2008 yang merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1979. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah untuk menjamin keberlangsungan tugastugas tertentu. Dengan memperpanjang masa tugas Pegawai Negeri Sipil yang memiliki keahlian tertentu, maka diharapkan tugas-tugas tertentu yang strategis dan fital dapat terus diisi oleh orang – orang yang kompeten di bidangnya, misalnya peneliti, dokter, hakim dan lain sebagainya. Alasan kedua yang melatar belakangi keputusan ini adalah meningkatnya tingkat harapan hidup penduduk Indonesia. Dengan semakin bertambah usia harapan hidup, maka ini berarti Pegawai Negeri Sipil masih memiliki kinerja yang positif di usia yang memasuki masa senja. Dengan kenyataan ini, maka diharapkan kinerja yang masih positif ini bisa terus dimanfaatkan dengan menambah masa kerja pegawai bersangkutan. Alasan ketiga, penambahan usia pensiun ini merujuk pada rata-rata usia pensiun di negara lain yang saat ini mencapai kisaran usia 60 – 62 tahun. Fenomena peraturan pemerintah mengenai penambahan batas usia kerja Pegawai Negeri Sipil di atas lantas melahirkan efek beragam baik positif maupun negatif. Isu efisiensi adalah efek positif yang mungkin muncul oleh kebijakan ini. Namun efek negatifnya, cukup banyak permasalahan serius yang bisa timbul oleh kebijakan ini yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Baik dalam konteks manajemen sumber daya manusia maupun kinerja instansi secara
2
keseluruhan seperti gangguan atas kesehatan neraca keuangan instansi. Dalam konteks manajeman sumber daya manusia, permasalahan muncul dalam hal bagaimana timbulnya persepsi tertentu atas kebijakan ini, kebutuhan-kebutuhan pegawai, motivasi kerja, kepuasan kerja pegawai, bahkan dalam mana kebijakan ini mempengaruhi produktivitas kerja pegawai. Seperti diungkapkan sebelumnya, keputusan penambahan masa abdi Pegawai Negeri Sipil tentu akan berdampak beragam. Di satu sisi, kebijakan ini dapat mengurangi proses rekrutmen pegawai baru yang umumnya memakan biaya yang cukup besar, perhatian yang intens pemerintah setempat, hingga proses rekrutmen yang memakan waktu yang relatif lama yang kemudian membuat konsentrasi instansi menjadi terganggu. Dengan memperpanjang masa tugas, maka pegawai senior ini diharapkan mampu mengemban tugas yang telah diamanatkan sebelumnya dengan bekerja lebih baik mengingat faktor pengalaman yang dimiliki serta menyelesaikan tugas-tugas yang belum terselesaikan tanpa harus merekrut lagi pegawai baru. Tujuan ini sejalan dengan semangat efisiensi yang beberapa tahun belakangan sudah didengungkan pemerintah. Namun di sisi lain, kebijakan memperpanjang masa tugas pegawai ini dapat mendatangkan masalah baru yang kompleks, misalnya seperti masalah anggaran, terutama untuk penggajian. Selama ini, gaji Pegawai Negeri Sipil diambil dari belanja tidak langsung dana alokasi umum (DAU) yang penganggarannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selain mengganggu kestabilan keuangan, kebijakan ini dikhawatirkan mengganggu proses kaderisasi birokrasi di seluruh sektor instansi pemerintahan.
3
Gangguan kaderisasi ini berdampak buruk karena hambatan ini secara langsung akan menghambat pegawai-pegawai yang seharusnya mendapat promosi jabatan. Selain itu, kecemburuan hampir dipastikan muncul diantara sesama pegawai terutama apabila perpanjangan pegawai tersebut bersifat subjektif dalam arti tidak ada aturan atau mekanisme yang pasti seperti apa pegawai yang layak diperpanjang masa pensiunnya dan apa kriterianya. Seperti yang dikatakan oleh Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Sleman, Rendradi Suprihandoko yang dikutip dari Koran Kedaulatan Rakyat tertanggal 25 September 2012, bahwa: “kami sarankan bupati membuat kriteria pejabat eselon II yang bisa diperpanjang. Jangan sampai nanti muncul tuduhan pilih kasih terhadap pejabat yang diperpanjang atau tidak diperpanjang. Tapi kalau sudah ada kriterianya, tidak akan menimbulkan kecemburuan”. Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa penambahan batas usia pensiun Pegawai Negeri Sipil ini dapat mengganggu kestabilan kinerja pemerintah. Dalam konteks manajerial secara spesifik, kebijakan ini akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja pegawai bersangkutan melalui proses pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhannya. Dan dalam hal bagaimana efek yang ditimbulkan akibat kebijakan ini, permasalahan kepuasan kerja pegawai adalah masalah paling mendasar dan krusial. Motivasi secara umum didefinisikan sebagai dorongan untuk melakukan tindakan tertentu yang dianggap penting. Untuk memiliki tingkat motivasi kerja yang tinggi, maka langkah awalnya adalah pegawai harus merasa menjadi bagian penting dan tidak terpisahkan dari
4
organisasi atau instansi. Pegawai harus merasa masuk dalam organisasi tersebut atau paling tidak memiliki dorongan untuk terlibat dalam organisasi. Pendorong utama seseorang memasuki organisasi tertentu ialah adanya persepsi dan harapan bahwa dengan memasuki organisasi tertentu itu berbagai kepentingan pribadinya akan terlindungi dan berbagai kebutuhannya akan terpenuhi (Sutrisno. 2011). Dalam konteks ini, semakin tinggi motivasi kerja Pegawai Negeri Sipil yang memasuki usia pensiun, semakin baik kinerja yang dihasilkan secara individu dan kemudian memperbaiki kinerja instansi. Terkait dengan isu tentang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pegawai, motivasi kerja, dan perbaikan kinerja individu, kebijakan memperpanjang masa pensiun ini tampaknya menimbulkan perdebatan. Hal ini dikarenakan bahwa terdapat banyak ahli manajemen yang berasumsi kuat bahwa terdapat korelasi antara usia pegawai dengan kinerja mereka pada instansi. Ada keyakinan yang meluas bahwa kinerja merosot dengan meningkatnya usia (Robbins. 2008). Dengan semakin tua usia pegawai, maka keluwesan dalam bekerja semakin berkurang dan rendahnya keinginan untuk belajar dan berubah. Apabila pemerintah menginginkan kinerja instansi yang lebih baik, maka kebijakan ini tentu bertolak belakang dengan asumsi di atas. Hal ini kemudian semakin menguatkan perlunya kajian atas kebijakan pemerintah tersebut. Selain itu, fakta empirik diperoleh melalui beberapa sumber informasi baik melalui media elektronik, surat kabar maupun wawancara langsung di mana cenderung terdapat kekhawatiran dari berbagai pihak mengenai kinerja pegawai yang berusia lanjut.
5
Menurut mereka, usia yang semakin tua akan membuat kinerja organisasi secara keseluruhan melambat yang disebabkan oleh beberapa hal. Manusia adalah makhluk yang berkebutuhan. Setiap manusia memiliki cara tersendiri dalam hal bagaimana mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Begitu pula dalam pekerjaan, pegawai satu dan pegawai lain berbeda dalam hal apa yang menjadi kebutuhan mereka, dan bagaimana cara mereka agar kebutuhan tersebut terpenuhi. Ada pegawai yang membutuhkan kondisi kerja yang kompetitif dan persaingan sehat, ada pula yang membutuhkan suasana yang hangat dan bersahabat. Namun, ada juga pegawai yang justru lebih membutuhkan rasa hormat dan menjadi panutan bagi orang lain. Banyak pendekatan yang dapat dilakukan organisasi atau instansi agar mengetahui apa yang paling dibutuhkan karyawannya dan dampaknya bagi organisasi. Diantara pendekatan yang terkenal seperti teori hirarki – Abraham Maslow, teori dua faktor – Herzberg, teori X dan Y – Douglas McGregor, teori ERG – Clayton P. Alderfer, teori kebutuhan – David McClelland, dan lain sebagainya. Semua teori-teori ini terbukti mampu menjelaskan fenomena motivasi manusia dalam konteks pemenuhan kebutuhankebutuhannya. Salah satu bentuk nyata dari usaha memberikan dorongan kerja bagi Pegawai Negeri Sipil adalah mengeluarkan kebijakan atau aturan dalam instansi yang mampu memberikan dorongan untuk berkinerja baik seperti gaji yang adil, bonus dan lain sebagainya. Termasuk di dalamnya adalah kebijkan pemerintah untuk memberikan kesempatan perpanjangan kerja bagi pegawai negeri yang memasuki masa-masa pensiun. Kebijakan ini tentu saja memiliki beberapa tujuan 6
seperti yang tertuang dalam Undang-Undang yakni untuk menjamin posisi tertentu tetap terisi oleh orang-orang yang tepat. Namun, secara implisit kebijakan tersebut memiliki dampak lain yaitu dorongan kerja bagi Pegawai Negeri Sipil bersangkutan. Dalam hal ini, semangat bekerja bisa lahir karena kebijakan ini berarti pegawai tersebut masih memiliki sumber pemasukan keuangan. Sesuatu yang paling dikhawatirkan oleh pegawai yang memasuki usia pensiun. Hal ini merupakan asumsi awal yang masih bisa diperdebatkan mengingat uang tentu saja bukan satu-satunya alasan yang semerta-merta mampu memberikan dorongan bagi pegawai, khususnya bagi mereka yang akan pensiun. Sehingga, pertanyaan yang muncul adalah apakah kebijakan pemerintah yang memungkinkan posisiposisi tertentu diperpanjang masa pensiunnya memberikan dampak semangat bekerja bagi pegawai negeri bersangkutan atau justru tidak berdampak sama sekali. Dan jika benar pegawai negeri tersebut menjadi lebih bergairah dalam bekerja, kebutuhan apa yang secara spesifik ingin dipenuhi oleh pegawai-pegawai tersebut. Instansi pemerintah, selayaknya organisasi lain baik profit maupun nonprofit merupakan sekumpulan individu yang saling bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasinya. Karenanya, kepentingan instansi seharusnya menjadi prioritas pencapaian tujuan. Karena itu, instansi seharusnya terus melakukan perbaikan diri dengan cara memperbaiki pegawai-pegawainya. Baik dengan memperbaiki etos kerja, memenuhi kebutuhan-kebutuhan pegawai, memperbaiki kepuasan kerja, menciptakan lingkungan kerja yang layak, menciptakan suasana kompetitif yang sehat, menciptakan suasana perbaikan dan pembelajaran dan lain
7
sebagainya. Asumsi yang berkembang adalah pekerja-pekerja yang relatif lebih muda cenderung memiliki indikasi-indikasi psikologis yang mengarah pada individu yang mendukung instansi yang baik. Pegawai yang relatif lebih muda secara umum diasumsikan sebagai pegawai yang memiliki semangat kerja yang tinggi, kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi, memiliki motivasi lebih dalam bekerja, mau belajar dan peka terhadap perubahan. Kondisi ini sepertinya tidak sejalan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di atas. Perbaikan organisasi adalah perbaikan kinerja yang dihasilkan. Untuk perusahaan, maka perbaikan kinerjanya adalah berupa peningkatan penjualan atau loyalitas pelanggan. Sedangkan untuk instansi pemerintah, perbaikan kinerja berupa pelayanan masyarakat yang semakin membaik. Kinerja yang dihasilkan pegawai dipengaruhi oleh tingkat motivasi dalam diri pegawai tersebut (Husaini. 2008). Karena hubungan positif antara pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan individual, motivasi dan kinerja, maka adalah sesuatu yang mustahil mengharapkan kinerja instansi yang baik sedangkan pada kenyataannya kebutuhan-kebutuhan individual pegawai tidak dipenuhi, dan atau motivasi kerja pegawai yang sangat rendah. Terkait dengan kebijakan pemerintah di atas, maka pengaruh pemenuhan atas kebutuhan pegawai terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil yang memasuki masa-masa pensiun adalah point pertama yang penting diperhatikan dan kemudian mengetahui kebutuhan apa yang paling dominan melahirkan kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil tersebut adalah point selanjutnya.
8
Selain masalah pemenuhan atas kebutuhan pegawai, permasalahan kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil juga penting untuk diperhatikan. Faktor motivasi kerja dan kepuasan kerja adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain dan saling mempengaruhi kinerja organisasi. Sama halnya seperti pemenuhan kebutuhan pegawai, kepuasan kerja juga bersifat individual yang berarti tingkat kepuasan seseorang berbeda dengan dengan tingkat kepuasan orang lain. Kepuasan berkaitan erat dengan harapan. Semakin dekat antara apa yang diharapkan dengan apa yang benar-benar dirasakan, maka semakin puaslah seseorang tersebut hal ini juga terjadi di dunia kerja. Artinya, kepuasan kerja seseorang juga dipengaruhi oleh harapan yang dimiliki seorang pegawai atas performa kerjanya atau harapan-harapan lainnya seperti gaji, bonus dan lain sebagainya. Memberikan kepuasan kerja bagi pegawai bukanlah hal mudah. Sebab, banyak bukti yang menunjukkan bahwa banyak pegawai yang ternyata mengalami tingkat kepuasan kerja yang rendah meskipun mereka menerima gaji yang cukup tinggi. Artinya, fakta tersebut menunjukkan bahwa permasalahan kepuasan kerja merupakan permasalahan yang kompleks yang tidak bisa dengan mudah diselesaikan hanya dengan memberikan gaji tinggi – sesuatu yang paling sering dilakukan. Hal ini karena seperti halnya pemenuhan atas kebutuhan pegawai, bahwa banyak hal di luar gaji atau uang yang ternyata memberikan dampak kepuasan kerja bagi pegawai. Inilah tantangan bagi manajemen atau pengambil kebijakan.
9
Mengetahui tingkat kepuasan Pegawai Negeri Sipil adalah sesuatu yang krusial karena seperti sudah dijelaskan di atas bahwa kepuasan kerja adalah seperti halnya pemenuhan atas kebutuhan pegawai di mana keduanya memiliki pengaruh terhadap kinerja instansi. Menurut Veithzal Rivai (2004), ada beberapa alasan mengapa perusahaan atau instansi harus benar-benar memperhatikan kepuasan kerja, yaitu: Pertama, manusia berhak diberlakukan secara adil dan hormat, pandangan ini menurut perspektif kemanusiaan. Kepuasan kerja merupakan perluasan refleksi perlakuan yang baik. Penting juga memperhatikan indikator emosional atau kesehatan psikologis. Kedua, perspektif kemanfaatan bahwa kepuasan kerja dapat menciptakan perilaku yang mempengaruhi fungsifungsi perusahaan atau instansi. Perbedaan kepuasan kerja antara unit-unit organisasi atau instansi dapat mendiagnosis potensi persoalan. Menurut Buhler, upaya organisasi berkelanjutan harus ditempatkan pada kepuasan kerja dan pengaruh ekonomis terhadap perusahaan. Perusahaan yang percaya bahwa karyawan dapat dengan mudah diganti dan tidak berinvestasi dalam bidang karyawan akan menghadapi bahaya. Biasanya berakibat pada tingginya tingkat turnover,
diiringi
dengan
membengkaknya
biaya
pelatihan.
Gaji
akan
memunculkan perilaku yang sama di kalangan karyawan, yaitu mudah bergantiganti perusahaan dan dengan demikian menjadi tidak loyal. Kedua alasan mengapa pengukuran atas kepuasan kerja penting dilakukan menunjukkan betapa masalah kepuasan kerja menentukan sehat tidak nya orangorang di dalam perusahaan atau instansi tempat ia bekerja. Kepuasan kerja merupakan cerminan perilaku yang diterima pegawai. Artinya, kepuasan kerja
10
merupakan petunjuk yang sebenarnya mengenai apakah perilaku yang ia terima dari atasan atau rekan sekerja sudah sesuai dengan yang ia harapkan. Kepuasan kerja juga petunjuk yang nyata mengenai apakah kebijakan yang ditetapkan sesuai dengan yang ia harapkan. Implikasi dari penelitian mengenai pengaruh kebutuhan untuk beprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk berkuasa terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil ini sangatlah penting. Mau tidak mau, suka ataupun tidak pengambil keputusan harus memanfaatkan pengetahuan tentang kebutuhankebutuhan apa yang ada dalam diri pegawai dan kepuasan kerja pegawainya mengenai berbagai segi kehidupan organisasionalnya termasuk upah, tunjangan, bonus, pangkat, tanggung jawab, kebebasan bekerja, ruang kerja yang menyenangkan, atmosfir kerja yang positif, dan lain sebagainya. Setiap pegawai baik swasta atau pemerintah merupakan orang-orang profesional yang bekerja untuk menghidupi diri mereka dan keluarga dengan memanfaat pemasukan dari pekerjaan tersebut berupa gaji, kompensasi, tunjangan, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, mendapatkan kesempatan untuk terus bekerja merupakan kebahagiaan yang berarti sumber pemasukan keuangan tetap terjaga. Gaji, kompensasi, dan tunjangan merupakan alat pemenuhan kebutuhan yang paling ampuh bagi perusahaan atau instansi pemerintah untuk mendorong para karyawan atau pegawai bekerja dengan baik (Sutrisno. 2011). Artinya, gaji yang terus diterima sebagai akibat dari kebijakan perpanjangan masa pensiun melahirkan persepsi yang positif atas kebijakan itu sendiri sehingga mampu menimbulkan dorongan lebih dalam bekerja. Sebagai salah satu sumber 11
kebahagiaan, faktor keuangan ini merupakan alasan mengapa kebijakan pemerintah melakukan perpanjangan usia pensiun mendapatkan dukungan oleh pegawai-pegawai yang masuk pada usia menjelang pensiun. Penelitian ini sendiri secara spesifik dilakukan di lingkup Kabupaten Sleman dengan subjek penelitian adalah Pegawai Negeri Sipil yang memasuki masa pensiun yaitu Pegawai Negeri Sipil yang berusia 50 sampai 55. Alsannya adalah karena Pegawai Negeri Sipil yang berada pada kisaran usia 50 sampai 55 tahun adalah para Pegawai Negeri Sipil yang memasuki usia menjelang pensiun. Meneliti tentang pengaruh kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk berkuasa terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil yang memasuki usia menjelang pensiun sangat penting dilakukan. Kepentingan tersebut terutama bagi peningkatan kinerja instansi itu sendiri. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang jelas terkait bagaimana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pegawai yakni kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk berkuasa mempengaruhi kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil dan kebutuhan apa diantara kebutuhan-kebutuhan tersebut yang paling dominan mempengaruhi kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil yang menjelang pensiun ini. Dengan mengetahui hal tersebut, maka diharapkan pemerintah melakukan tindakan-tindakan lanjutan yang merupakan respon dari hasil penelitian. Isu yang diangkat dalam penelitian merupakan isu yang spesifik dalam lingkup instansi pemerintah kabupaten Sleman. Oleh karena itu bisa dipastikan
12
bahwa permasalahan yang coba dijawab dalam penelitian ini merupakan penelitian yang belum dipecahkan sebelumnya. Sehingga, diharapkan penelitian ini bisa menjadi jawaban atas permasalahan yang terjadi dan hasilnya dapat dijadikan acuan pengambilan keputusan. Selain manfaat praktis tersebut, dari sisi ilmu pengetahuan diharapkan penelitian ini bisa menjadi rujukan teoritis dalam rangka menjawab fenomena-fenomena yang terjadi di kemudian hari. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang mendasari penelitian ini: 1. Apakah kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk berkuasa secara simultan berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil fungsional yang berusia 50 – 55 tahun di Kabupaten Sleman? 2. Apakah kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk berkuasa secara parsial berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil fungsional yang berusia 50 – 55 tahun di Kabupaten Sleman?
13
C. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apakah kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk berkuasa secara simultan berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil fungsional yang berusia 50 – 55 tahun di Kabupaten Sleman. 2. Untuk mengetahui apakah kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk berkuasa secara parsial berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil fungsional yang berusia 50 – 55 tahun di Kabupaten Sleman.
D. Manfaat penelitian 1. Manfaat akademis: a. Memberikan sumbangan berupa temuan-temuan dan pemikiran berkaitan dengan bagaimana pengaruh kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk berkuasa terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil yang berusia 50 – 55 tahun di kabupaten Sleman, DIY. b. Menambah khazanah konseptual khususnya mengenai kebutuhankebutuhan dominan yang menimbulkan kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil yang berusia 50 – 55 tahun di kabupaten Sleman, DIY.
14
c. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berniat melaksanakan penelitian serupa.
2. Manfaat praktis: a. Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para praktisi di lingkungan pendidikan, perusahaan dan pemerintah. b. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran yang detil mengenai bagaimana pengaruh kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk berkuasa terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil di kabupaten Sleman. c. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam pengambilan kebijakan selanjutnya.
15