BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Tanah beserta segala isinya, yakni perairan, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan bahan tambang atau mineral sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa harus dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdayaguna, berhasilguna serta berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang. Masalah pertanahan di Indonesia dewasa ini semakin menarik perhatian masyarakat untuk dicermati. Sengketa-sengketa tanah yang muncul dalam masyarakat membutuhkan perhatian pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk segera diselesaikan sebaik-baiknya menurut aturan hukum yang berlaku dengan tidak mengesampingkan aspek sosio-psikologis masyarakat.
1
Permasalahan-permasalahan
tersebut
menjadi
perhatian
nasional
maupun yang menjadi perhatian lokal di daerah-daerah. Pemerintah berdasarkan kepentingan pembangunan dengan landasan yuridis memandang perlu untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan mengenai perlindungan terhadap aturan hukum yang telah ada di masyarakat sebagai hukum adat setempat sehingga rencana-rencana pembangunan pemerintah tetap berjalan tanpa ada pertentangan antara pemerintah dan masyarakat setempat. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang selanjutnya disebut UUPA pada tanggal 24 September 1960, ada harapan bahwa undang-undang yang bersifat populis tersebut dapat memberikan perlindungan kepada berbagai pranata hukum adat yang tidak bertentangan kepentingan nasional dan negara. 1 Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; negara juga mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang. Kesatuan masyarakat hukum adat merupakan komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik tertentu. Salah satu karakteristik tersebut adalah
1
Roberth Kurniawan Ruslak Hammar, “Hak Ulayat Laut Dalam Perspektif Otonomi Daerah Di Kepulauan Kei dan Papua”, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 2, Juni 2009.
2
ketergantungan yang besar terhadap alam lingkungannya demi untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya, sehingga sebagian besar kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat hukum adat dipenuhi dari sumber daya alam di lingkungan wilayahnya. Akibat dari ketergantungan terhadap alam itu lama kelamaan timbul suatu hubungan yang kuat antara masyarakat hukum adat dengan tanah di wilayahnya. Djamanat Samosir menyatakan bahwa hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya itu bersifat abadi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.2 Ter Haar dalam Arie Sukanti Hutagulung menyatakan: Kuatnya hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan suatu hak bagi masyarakat sebagai kelompok hukum yakni hak untuk menggunakan tanah bagi keuntungan masyarakat itu sendiri.3 Hak tersebut merupakan hak asli dan utama dalam Hukum Tanah Adat 4 dan meliputi semua tanah di lingkungan masyarakat hukum adat, yang juga dianggap sebagai sumber hak atas tanah lainnya di dalam lingkungan masyarakat hukum adat dan dapat dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan.5 Hak inilah yang dikenal dengan sebutan “hak ulayat”.6 Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 memuat Piagam Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman (Pasal 41), juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk atas hak
Sri Wahyu Ananingsih, 2015, “Perkembangan Eksistensi Hak Ulayat Laut Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 3. 3 Arie Sukanti Hutagulung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), Jakarta, hlm. 135. 4 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, hlm. 183. 5 Arie Sukanti Hutagulung, Op.cit., hlm. 136. 6 B. Ter Haar Bzn, Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, 1994, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 49-50. 2
3
tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman (Pasal 6 ayat (2)). Maria S. W. Sumardjono menyebut hak ulayat sebagai kompetensi khas yang melekat pada masyarakat hukum adat berupa wewenang atau kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya.7 Ruang lingkup hak ulayat tidak hanya mengenai tanahnya saja namun juga meliputi isinya, sebagaimana dinyatakan oleh Maria S.W. Sumardjono: Perlu ditegaskan bahwa dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional, pembicaraan tentang hak ulayat tidak hanya mengenal tanahnya saja melainkan juga meliputi segala isinya, termasuk di dalamnya hutan (ulayat). Jika hak ulayat terbukti masih eksis dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu, maka apabila di atas tanah ulayat itu terdapat juga hutan, maka hutan itu juga termasuk ruang lingkup hak ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.8 Ruang lingkup hak ulayat yang meliputi seluruh daratan termasuk isinya, perkataan “isinya” dapat diartikan sebagai apa saja yang terdapat di dalam areal tanah ulayat itu, misalnya wilayah hak ulayat terdapat perairan, tumbuhan dan binatang yang hidup diatas tanah tersebut maka perairan, laut, tumbuhan dan binatang yang hidup tersebut termasuk ke dalam hak ulayat masyarakat hukum adat di wilayah itu.9 Berdasarkan penjelasan ruang lingkup yang sangat luas itu, maka objek dari hak ulayat tidak hanya berupa tanah, melainkan bisa berupa perairan, maupun tumbuh-tumbuhan. Penentuan mengenai apa saja objek dari hak ulayat suatu masyarakat hukum adat tergantung dari kondisi
7
Maria S.W. Sumardjono, 2007, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, hlm. 55. 8 Maria S.W. Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, hlm. 172. 9 Sri Wahyu Ananingsih, Loc.Cit.
4
wilayah ulayat itu sendiri. Hak ulayat yang objeknya berupa perairan dan laut dikenal istilah “hak ulayat laut”. Kekayaan sumber daya laut Indonesia yang menjadi salah satu potensi sumber daya agraria memiliki nilai sosial ekonomis yang cukup tinggi. Potensi kekayaan hayati dan non hayati memberikan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumber dayanya serta menjadi perhatian bagi pemerintah untuk melakukan regulasi terhadap pemanfaatannya. Perhatian berbagai pihak tersebut tidak terlepas dari strategi untuk menjaga keseimbangan antara konservasi dan eksploitasi terhadap sumber daya laut. Ekosistem laut juga tidak terlepas dari krisis akibat kerusakan dan pemanfaatan yang tidak terkontrol dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.10 Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Konsekuensi dari hal ini adalah tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota memiliki pemerintahan daerah, sehingga ada pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu jenis urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan konkuren, yang kemudian urusan konkuren terdiri dari urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan salah satu urusan pemerintahan pilihan yaitu kelautan dan perikanan.
10
Hariadi, Jhamtani, dan Hira Kartodiharjo, 2006, Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Cetakan Pertama, Equinox Publishing, Jakarta-Singapore, hlm. 130.
5
Berbagai cara diterapkan oleh masyarakat dalam upaya pemanfaatan dan pelestarian potensi sumber daya laut di daerahnya. Praktik penguasaan dan pengelolaan sumber daya laut tersebut melahirkan hubungan hak dan kewajiban yang bersifat komunal dan ditaati oleh seluruh warga persekutuan hukum adat dalam bentuk kelembagaan tradisional yaitu hak ulayat laut.11 Hak ulayat laut melembaga dalam kehidupan masyarakat hukum adat yang mendiami wilayah tersebut dan diatur dengan seperangkat aturan yang kemudian diterapkan oleh masing-masing warga masyarakat hukum adat di daerah tersebut secara turun temurun dan harus dipatuhi serta dijalankan. Eksistensi hak ulayat laut masyarakat hukum adat di Indonesia merupakan hal yang belum dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia. Tidak semua daerah atau kawasan di Indonesia memiliki hak ulayat laut. Menurut Polunin,12 bahwa meskipun tidak semua wilayah di Indonesia memiliki pola penguasaan wilayah laut, namun eksistensi praktik hak ulayat laut memperlihatkan konsep tradisi penguasaan laut yang bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain tersebar dari wilayah barat sampai ke kawasan Timur Indonesia. Menurut Wahyono13 dalam menegakkan legalitas tradisi masyarakat hukum adat umumnya mengenal penetapan batas-batas wilayah laut yang menjadi kawasan pengelolaan dan pemanfaatan hak ulayat laut mereka.
11
Ary Wahyono, et.all., 2000, Hak Ulayat di Kawasan Timur Indonesia, Cetakan Pertama, Media Pressindo, Yogyakarta, hlm. 8. 12 Patji, Abdul Rachman., 1996, Hak Ulayat Masyarakat Maritim, Perubahan Sistem Tradisional Pengelolaan Sumber Daya Laut Desa Alor kecil, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, PMBLIPI, Jakarta, hlm. 7. 13 Ibid., hlm. 25.
6
Umumnya memiliki batas-batas alam yang jelas seperti sungai, tanjung, batu besar, pohon besar dan pasir pantai, tetapi ada pula batas-batas yang hanya berupa batas khayal atau imajiner. Sebelum era otonomi daerah, penerapan hak ulayat laut praktis tidak mengalami hambatan yang cukup signifikan. Masyarakat dengan bebas dapat menerapkan tradisi mereka khususnya yang berhubungan dengan wilayah laut sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Namun yang menjadi permasalahan mendasar adalah bagaimana kemudian nasib masyarakat hukum adat yang menerapkan hak ulayat laut pasca otonomi daerah, karena antara provinsi dan kabupaten/kota telah ditetapkan kewenangan masing-masing dalam pengelolaan wilayah laut. Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa wilayah laut daerah provinsi sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Wilayah kabupaten/kota ditetapkan wilayah laut sejauh 1/3 (sepertiga) batas wilayah laut Provinsi (Pasal 10 ayat (3)). UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
selanjutnya
dicabut
dan
dinyatakan
tidak
berlaku
dengan
diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sama dengan pengaturan sebelumnya, di dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa kewenangan pengelolaan wilayah laut Provinsi paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah
7
laut lepas dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi diperuntukkan bagi kabupaten/kota. Lebih lanjut dinyatakan bilamana wilayah laut dari 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil maka hak pengelolaan wilayah laut harus dibagi 2 (dua) sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut (Pasal 18 ayat (5)). Seiring dengan waktu kemudian lahir dan berlaku Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (beberapa ketentuan diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah). Keberadaan peraturan baru ini mencabut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal mengenai kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 27. Pasal 27 ayat (3) menyatakan kewenangan daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau perairan pedalaman. Ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil dalam daerah kabupaten/kota, pengelolaan dan penyelenggaraan tempat pelelangan ikan, dan dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota, serta pemberdayaan usaha kecil pembudidayaan ikan maupun pengelolaan pembudidayaan ikan, karena merupakan kewenangan Kabupaten/Kota. Penentuan batas wilayah 4 (empat) mil dalam ketentuan Pasal 14 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
8
Pemerintahan Daerah hanya semata-mata untuk keperluan penghitungan bagi hasil kelautan. Selain terbatasnya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap kewenangan pengelolaan sumber daya laut yang dimiliki pemerintahan daerah kabupaten/kota, permasalahan yang terjadi hingga sekarang belum ada undang-undang tersendiri yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-haknya, meskipun telah mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari berbagai peraturan perundang-undangan baik ditingkat nasional maupun internasional (UNCLOS 1982). Pada satu sisi, secara kenyataan ada komunitas masyarakat hukum adat yang hidup di berbagai daerah di Indonesia dan diakui keberadaannya oleh negara. Pada sisi yang lain belum ada Undang-Undang tersendiri yang mengatur perlindungan masyarakat hukum adat beserta hakhaknya. Kabupaten Biak Numfor merupakan salah satu kabupaten kepulauan yang berada di Provinsi Papua, dan salah satu daerah di Indonesia yang masih menerapkan tradisi hak ulayat laut. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji bagaimana kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor dalam upaya perlindungan hak ulayat laut dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor tersebut dalam upaya memberikan perlindungan terhadap hak ulayat laut.
9
Otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri daerahnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui wakil adat, agama dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat dan hukum adat. Eksistensi masyarakat hukum adat Papua yang memiliki kebhinekaan suku bangsa dan budaya, perlu dikaji secara normatif maupun empiris sebagai masukan, dalam rangka perlindungan dan pengembangan masyarakat hukum adat di bidang kebudayaan dan hukum adat. Kajian tersebut khususnya terhadap langkah-langkah kebijakan strategis pemerintah Provinsi Papua khususnya pemerintah Kabupaten Biak Numfor dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang diberikan, seperti: perlindungan, penghormatan, dan keberpihakan terhadap hak-hak dasar masyarakat hukum adat Papua di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
10
Pemberian otonomi khusus yang sebagai salah satu macam dari otonomi daerah bagi Provinsi Papua untuk berperan serta dalam pembangunan negara dengan meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan pembangunan di segala bidang, serta pemberdayaan bagi seluruh masyarakat dan masyarakat hukum adat Papua serta aparatur pemerintah, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung di tanah Papua. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua adalah merupakan perwujudan kebijakan pemerintah dari prinsip kedaulatan rakyat, yang wajib dilaksanakan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dengan daerah lain di Indonesia, sekaligus mengembalikan rasa kepercayaan terhadap pemerintah dan negara serta menumbuhkan rasa semangat nasionalisme sebagai bangsa Indonesia dalam membangun daerah, khususnya Kabupaten Biak Numfor. Misalnya, pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor sedang merencanakan pembangunan pelabuhan Samudera di distrik Oridek. Pembangunan pelabuhan Samudera ini mengalami hambatan, karena masyarakat setempat mengklaim wilayah yang menjadi lokasi pembangunan pelabuhan Samudera tersebut terdapat wilayah yang masih termasuk dalam batas wilayah hak ulayat (baik hak ulayat tanah maupun hak ulayat laut) dan masyarakat setempat tidak mengizinkan pembangunan pelabuhan tersebut dengan alasan tidak mau melepaskan hak ulayatnya itu. Contoh kasus seperti ini sangat diperlukan suatu kebijakan dari pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor, agar pembangunan pelabuhan Samudera yang
11
sangat diperlukan oleh daerah tetap dilaksanakan, namun tidak menghilangkan hak ulayat yang ada, karena merupakan hak tradisional yang harus dihormati dan dilindungi. Berdasarkan uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat masih menerapkan hak ulayat laut dan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor dalam perencanaan dan/atau melaksanakan pembangunan daerah harus memikirkan dan menghormati keberadaan hak ulayat laut dalam masyarakat. Kepentingan pemerintah daerah dalam hal membangun daerah tetap bisa dilaksanakan dan tidak mengesampingkan maupun menghilangkan keberadaan hak ulayat laut yang ada, dengan begitu masyarakat pun akan merasakan keikut-sertaan pemerintah dalam menghormati dan melindungi hak tradisional yang mereka sudah terapkan, yang kemudian masyarakat pun mendukung pembangunan daerah tersebut. Hal-hal ini menjadikan penulis tertarik untuk meneliti dan menulis penelitian mengenai Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Biak Numfor Terhadap Perlindungan Hak Ulayat Laut.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: 1.
Bagaimana kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor terhadap perlindungan hak ulayat laut ?
12
2.
Faktor-faktor apakah yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor dalam memberikan perlindungan hak ulayat laut tersebut ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki 2 (dua) tujuan, yaitu : 1. Tujuan subjektif; penelitian ini dilakukan untuk memenuhi syarat wajib dalam mendapatkan gelar akademik Magister Hukum (M.H.) dari Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan objektif; penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mengkaji mengenai: a. kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor terhadap perlindungan hak ulayat laut; dan b. faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor tersebut.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis; Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan untuk menambah pengetahuan dalam
13
hal perlindungan hukum adat khususnya mengenai perlindungan hak ulayat laut. 2. Manfaat praktis; Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor, pembuat kebijakan, dan masyarakat. Bagi pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor dan para pembuat kebijakan, hasil penelitian ini sebagai bahan atau sumber data dalam membuat suatu kebijakan maupun dalam melaksanakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan hak ulayat laut, sedangkan bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam melindungi dan melestarikan hak-hak tradisional yang telah ada khususnya mengenai hak ulayat laut.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran yang dilakukan pada penelusuran kepustakaan, dan internet telah diketemukan beberapa penelitian yang memiliki objek kajian yang sama yaitu hak ulayat laut. Penelitian-penelitian tersebut adalah : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Ary Wahyono, Sudiyono, Fadjar Ibnu Thufail, dkk (LIPI) dengan judul Aspek-aspek Sosial Budaya Masyarakat Maritim Indonesia Bagian Timur. (Hak Ulayat Laut Desa Para Kec. Manganitu Talaud) pada tahun 1993.14 Fokus kajian dalam
14
Ary Wahyono, Sudiyono, dan Fadjar Ibnu Thufali, 1993, “Aspek-Aspek Sosial Budaya Masyarakat Maritim Indonesia Bagian Timur”, Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
14
penelitian ini membahas aspek sosial dan budaya berkaitan dengan pelaksanaan hak ulayat laut di Desa Para Kecamatan Manganitu, Sangihe Talaud. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Marthinus Kainama, Janje Ciptabudi dan J. Sahalessy (Universitas Patimura Ambon) dengan judul Eksistensi Hak Ulayat Laut Di Maluku: Suatu Studi Di Maluku Tengah pada tahun 2002.15 Penelitian ini menjawab 4 (empat) permasalahan, yaitu: a. Sampai sejauh mana hukum positif memberikan landasan hukum bagi penguasaan atas wilayah laut menurut hak ulayat laut ? b. Bagaimana dan mengapa kelompok masyarakat menguasai suatu kawasan laut dengan batas-batas tertentu ? c. Apa yang menjadi dasar atau latar belakang timbulnya sistem atau pola penguasaan atas laut menurut hak ulayat laut ? d. Hambatan-hambatan apa yang muncul terhadap pelaksanaan hak ulayat laut ? 3. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Solihin dan Arief Satria (IPB) dengan judul Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah Sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Kasus Awig-awig di Lombok Barat pada tahun 2007.16 Dalam penelitian ini ada 2 (dua) permasalahan yang dikaji, yaitu:
15
16
Marthinus Kainama, Janje Ciptabudi, dan J. Sahalessy, 2002, “Eksistensi Hak Ulayat Laut Di Maluku: Suatu Studi Di Maluku Tengah”, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon. Ahmad Solihin dan Arif Satria, 2007, “Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Kasus Awig-awig di Lombok Barat”, Laporan Penelitian,
15
a. Bagaimanakah rekonstruksi dan revitalisasi hak ulayat laut di Kabupaten Lombok Barat bagian Utara menjadi sebuah kebijakan pengelolaan perikanan secara bersama antara pemerintah dengan masyarakat di era otonomi daerah sekarang ini ? b. Bagaimanakah efektivitas peran awig-awig dalam mengelola sumber daya ikan ? 4. Penelitian yang dilakukan oleh Gatot Yuliyanto (IPB) dengan judul Kajian Kelembagaan Hak Ulayat Laut di Desa Pesisir Teluk Bintuni pada tahun 2008.17 Dalam penelitian ini menguraikan komponen penciri kelembagaan
hak
ulayat
laut
berdasarkan
tinjauan
ekonomi
kelembagaan, sehingga dampak alternatif kelembagaan pada situasi tertentu (sebagai sumber interdependensi) yang sama atau berbeda akan menghasilkan performa yang sama atau berbeda. Selain itu, pertanyaan yang dijawab dalam penelitian ini adalah apa saja komponen kelembagaan hak ulayat laut menurut tinjauan ekonomi kelembagaan ? 5. Tesis yang ditulis oleh Daud Djubedi (UGM) dengan judul Penerapan Hak Ulayat Laut Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Halmahera Selatan Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah pada tahun 2009.18
17
18
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, Volume 01, Nomor 01, IPB. Gatot Yulianto, 2008, “Kajian Kelembagaan Hak Ulayat Laut Di Desa-Desa Pesisir Teluk Bintuni”, Laporan Penelitian, Buletin Ekonomi Perikanan Volume VIII Nomor 2 Tahun 2008, IPB. Daud Djubedi, 2009, “Penerapan Hak Ulayat Laut Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Halmahera Selatan Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah”, Tesis, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
16
Dalam tesis tersebut, Daud Djubedi menjawab 2 (dua) permasalahan, yaitu: a. Bagaimanakah penerapan hak ulayat laut masyarakat hukum adat di Kabupaten Halmahera Selatan serta faktor-faktor apakah yang dapat mempengaruhi penerapan hak ulayat laut tersebut, baik sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah ? b. Bagaimanakah pemerintahan daerah Kabupaten Halmahera Selatan menyikapi praktek hak ulayat laut masyarakat hukum adat di wilayahnya, dihubungkan dengan berbagai regulasi sektor kelautan dan perikanan yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah setempat ? 6. Disertasi yang ditulis oleh Sri Wahyu Ananingsih (UGM) dengan judul Perkembangan Eksistensi Hak Ulayat Laut Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara pada tahun 2015.19 Dalam disertasi tersebut, Sri Wahyu Ananingsih menjawab 3 (tiga) permasalahan, yaitu: a. Bagaimana perkembangan keberadaan dan pelaksanaan Hak Ulayat Laut di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara ? b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan Hak Ulayat Laut di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara ? c. Bagaimana konsep pengakuan dan penghormatan Hak Ulayat Laut di Kepulauan Kei pada masa mendatang ?
19
Sri Wahyu Anangingsih, 2015, “Perkembangan Eksistensi Hak Ulayat Laut Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
17
Perbedaan antara penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas dengan penelitian ini adalah : 1. Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Biak Numfor. 2. Fokus kajian yang sama dengan penelitian ini yaitu tentang hak ulayat laut, namun substansi dari permasalahan dan pembahasan dalam penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan substansi permasalahan dan pembahasan dalam penelitian ini, yakni penelitian ini akan mengkaji mengenai kebijakan pemerintah daerah terhadap perlindungan hak ulayat laut dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah tersebut. 3. Peraturan yang digunakan dalam penelitian tesis ini bukan hanya berupa peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional maupun internasional, melainkan juga menggunakan aturan-aturan adat yang berlaku di masyarakat Biak.
18