BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan nasional yang meliputi segala bidang dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur baik materil maupun sepirituil yang merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945. Pembangunan dalam bidang hukum merupakan salah satu sarana pendukung pembangunan nasional, mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka, untuk itu pembangunan dibidang hukum mengarah pada unifikasi dan kodifikasi hukum dengan memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat demi terciptanya keadilan dan kepastian hukum. Hukum waris yang berlaku di Indonesia hingga saat ini masih bersifat pluralistik. Artinya, bermacam-macam sistem hukum waris di Indonesia berlaku bersama-sama. Dalam waktu dan wilayah yang sama pula. Hal itu terbukti dengan masih berlakunya Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum waris BW secara bersama-sama. Berdampingan mengatur hal waris bagi para subyek hukum yang tunduk pada masing-masing sistem hukum tersebut. Disamping itu dalam bidang hukum adat masih menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan pengaturan hukum waris. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sistem kekeluargaan yang dianut dan terdapat masyarakat
1
2
Indonesia, yaitu sistem patrilenial, matrilenial, bilateral dan parental dan sistem kekeluargaan yang lainnya yang mungkin ada sebagai hasil paduan serta variasi dari ke tiga sistem tersebut. Prinsip-prinsip kekeluargaan sangatlah berpengaruh, terutama dalam penetapan ahli waris maupun dalam hal penetapan bagian harta peninggalan yang akan diwarisi.1 Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang mempunyai peranan penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hukum kewarisan sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia karena terkait dengan harta kekayaaan dan manusia yang satu dengan yang lainnya. Kematian atau meninggal dunia adalah peristiwa yang pasti dialami oleh setiap seseorang karena kematian merupakan akhir perjalanan hidup manusia. Jika seorang yang meninggal dunia disebut pewaris meninggalkan keluarga dan harta kekayaan yang disebut warisan. Dengan cara apa kita membagi warisan yang telah ditinggalkan pewaris serta hukum apa yang diterapkan untuk membagi warisan tersebut. Hukum yang membahas peralihan harta peninggalan, pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia diatur dalam hukum kewarisan. Bagi penduduk Indonesia yang beragama Islam kepada mereka dapat memilih Hukum Waris Islam, bagi pewaris golongan penduduk eropa atau timur asing, bagi mereka berlaku Hukum Waris Barat dan bagi orang yang
1
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif islam, adat dan BW, Bandung: PT Refika Aditama, 2007, hal. 5-6
3
semula dikenal sebagai bumi putra yang beragama Islam kepada mereka dapat memilih Hukum Waris Adat.2 Hukum merupakan suatu sistem yang didasarkan atas kebulatan alam fikir atau rasa keadilan, oleh karena itu hukum waris KUHPerdata (BW), hukum waris Islam dan hukum waris adat merupakan suatu sistem yang memiliki dasar alam pikir atau rasa keadilan yang berbeda satu sama lain, dan telah mengendap sebagai kesadaran hukumnya. Dengan berlakunya ketentuan pilihan hukum mengenai hukum waris tersebut bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam sebetulnya apabila dilihat dari sudut pandang akademis telah menimbulkan persoalan atau kerancuan dalam pemahaman tentang asasasas hukum waris dan dalam praktek penerapan hukumnya di masyarakat. Dalam syari‟at masalah waris mewarisi bukanlah sesuatu yang muncul dengan sendirinya. Di dalam hukum waris Islam mewarisi ada sebab, yaitu Nasab, Nikah dan Wala‟. Sebab nasab adalah mununjuk pada hubungan keluarga antara pewaris dengan ahli waris. Sedangkan sebab nikah ialah seseorang memperoleh warisan karena menjadi suami atau istri. Sebab wala‟ menunjuk kepada keadaan apabila seseorang memerdekakan hamba, kemudian hamba yang dimerdekakan itu meninggal dunia tanpa meninggalkan „ashobah laki-laki, maka orang yang memerdekakan hamba tadi mendapat bagian.3 Hukum kewarisan Islam yang lazim disebut Hukum Faroidl merupakan bagian dari keseluruhan hukum islam yang khusus mengatur dan
2 3
110
Ibid., hal. 8 Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Belateral, Jakarta: PT Rineka Putra, 1991, Cet. 1, hal.
4
membahas tentang proses peralihan harta peninggalan dan hak-hak serta kewajiban seseorang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup. Dalam Kompilasi Hukum Islam hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan bagiannya masing-masing serta mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan.4 Dasar hukum kewarisan diatur dengan tegas dalam Al-Qur‟an diantaranya dalam Surat An-Nisa‟ ( )
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”5 Dalam Al-Qur‟an tidak langsug menyebutkan penggantian tempat ahli waris (plaatsvervulling) diatur dalam surat An-Nisa‟ (33)
4
M. Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Didunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 108 5 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Semarang: CV Asy Syifa‟, 2001, hal. 116
5
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”6 Sistem kewarisan yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek (BW) atau (kitab undang-undang hukum perdata) yang menganut sistem individual, dimana setelah pewaris meninggal dunia maka harta peninggalan pewaris segera dilakukan pembagian kepada ahli waris. Ketentuan ahli waris dalam KHUPerdata diatur dalam Buku II. Hukum kewarisan KUHPerdata merupakan bagian dari hukum harta kekayaan, oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud . Hukum pewarisan berdasarkan Undang-Undang dikenal dua (2) cara mewarisi, yaitu: 1. Mewarisi karena haknya/kedudukannya sendiri. 2. Mewarisi karena penggantian tempat (Plaatsvervulling)7. Pada kenyataannya bidang kewarisan mengalami perkembangan yang berarti, disebabkan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan pola pemikirannya bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Diantaranya hukum kewarisan Islam yang mengalami perkembangan dengan adanya ahli waris pengganti yang penerapannya di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. 6 7
Ibid J. Satrio, Hukum Waris, Bandung:Penerbit Alumni, 1992, hal.56
6
Dalam KUHPerdata diatur dengan tegas tentang pergantian tempat ahli waris (plaatsvervulling), Pasal 841 B.W. “Penggantian tempat memberi hak kepada seorang yang mengganti untuk betindak sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti.”8 Yang terpenting untuk diperhatikan didalam pewarisan berdasarkan penggantian tempat adalah bahwa orang yang menggantikan tempat mempunyai/mendapat hak dan kedudukan yang sama dengan yang dipunyai oleh orang yang tempatnya digantikan. Selain itu, dala pasal 842 BW dijelaskan bahwa penggantian tempat ahli waris dalam garis lurus kebawah yang sah, berlangsung terus tanpa akhir.9Hasil Rakernas Mahkamah Agung RI pada tahun 2010 dan tahun 2011 dijelaskan bahwa ahli waris pengganti hanya sampai cucu, sesuai pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan: 1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. 2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.10 Berdasarkan ketetapan tersebut, maka Plaatsvervulling ini diatur dalam Hukum Perdata (BW) maupun KHI. Namun ada sedikit perbedaan, jika dalam BW penggantian ini tidak ada batasannya, maka dalam KHI
8
R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2008, Cet 39, pasal, 841 9 Ibid., pasal 842 10 Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Semarang: Fokus Media, 2012, Pasal. 185
7
dijelaskan bahwa penggantian ini hanya sampai pada cucu saja, oleh karena itu terjadi kontroversi antara ketentuan ahli waris pengganti yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dengan Hukum Perdata (BW). Berdasarkan uraian diatas perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap persoalan yang sangat urgen. Sehingga penulis mengangkat sebuah judul skripsi “ Studi Perbandingan Tentang Ahli Waris Pengganti Antara Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Perdata (BW) “
B. Penegasan Judul Untuk menghindari kerancuan, kesalah pahaman serta membatasi permasalahan yang penulis maksudkan, maka perlu adanya penegasan dalam peristilahan yang penulis pakai dalam judul skripsi ini. Perbandingan Ahli Waris Pengganti
: Perbedaan, Persamaan : Ahli waris yang menggantikan orang yang berhak mewarisi karena yang bersangkutan meninggal dunia lebih dulu dari pewaris11
KHI
: Sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum.12
Hukum Perdata (BW)
: Segala peraturan yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain.13
11
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung;PT Citra Aditya Bakti, 2010, hal.219 12 Marzuki Wahid, Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001, cet. 1, hal. 143
8
Dengan demikian, pokok masalah dalam judul skripsi ini adalah ketentuan tentang Ahli Waris Pengganti (plaatsvervulling) Antara Kompilasi Hukum Islam dan Ketentuan Tentang Ahli Waris Pengganti Hukum Perdata (BW) dan perbedaan dari keduanya.
C. Rumusan Masalah Untuk mempermudah dalam penyusunan skripsi, rumusan masalah yang penulis paparkan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ketentuan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam? 2. Bagaimana ketentuan ahli waris pengganti dalam Hukum Perdata (BW)? 3. Bagaimana persamaan dan perbedaan ketentuan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW)?
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami ketentuan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui dan memahami ketentuan ahli waris pengganti dalam Hukum Perdata (BW). 3. Untuk mengetahui persamaaan dan perbedaan ketentuan Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW).
13
Abdulkadir, Op.Cit., hal. 1
9
Sedang manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain sebagai berikut: a. Teoritis 1. Menambah referensi ilmu pengetahuan hukum pada umumnya. 2. Memberikan
informasi
kepada
masyarakat
untuk
mendapatkan
pemahaman tentang Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW). b. Praktis 1. Bagi umat islam khususnya di Indonesia, tentang ketentuan Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam dan dalam Hukum Perdata (BW), dengan demikian masyarakat akan mengetahui dengan jelas sehingga lebih berhati-hati dalam permasalahan pembagian waris. 2. Sumbangan pemikiran kepada praktisi hukum khususnya para hakim di pengadilan agama di Indonesia, tentang ketentuan Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW), berikut perbedaan dan persamaannya. c. Akademik Sebagai sumbangan pemikiran yang berupa karya ilmiah kepada para pembaca umumnya dan bagi civitas akademika UNISNU khususnya.
Jepara pada
10
E. Telaah Pustaka Beberapa penelitian Skripsi memang telah banyak dilakukan yang ada kaitannya dengan ahli waris pengganti, seperti halnya hasil Penelitianpenelitian (Skripsi oleh Heru Budi Utomo, “Studi Analisis terhadap Kompilasi Hukum Islam Tentang Kedudukan Ahli Waris Pengganti (MAWALI)”, Fakultas Syari‟ah INISNU Jepara, (tahun 2011), Makalah-makalah yang berkaitan dengan talak, Kamus-kamus Hukum dan ensiklopedi di bidang hukum. Dalam buku-buku yang berkaitan dengan ahli waris pengganti dalam Al-Qur‟an (dasar hukum kewarisan islam: QS. An-Nisa‟ (4) 7, 11, 12, 33, 176), KHI (buku II tentang kewarisan, pasal 185), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (buku II titel XII sampai XVII, pasal 841 sampai 850), hukum waris Indonesia “dalam perspektif islam, adat dan hukum perdata”, hukum keluarga Islam di dunia Islam, hukum waris,hukum waris adat, hukum waris dan sistem bilateral. F. Metode Penelitian Metode mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai suatu tujuan, dengan memakai teknik serta alat-alat untuk mendapatkan kebenaran yang objektif dan terarah dengan baik. 1. Metode Pendekatan Metode yang digunakan penulis dalam mengadakan penelitian guna mengumpulkan data yang dianalisis, yaitu melalui penelitian yuridis
11
normatif. Penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder atau juga disebut penelitian hukum kepustakaan yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, perbandingan hukum serta sejarah hukum untuk memahami adanya hubungan antara ilmu-ilmu hukum dengan hukum positif.14 2. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Deskriptif adalah untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejalagejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesis-hipotesis agar dapat membantu memperkuat teori-teori baru. Jadi deskriptif analisis disini mempunyai tujuan untuk menggambarkan aspek-aspek yuridis atau hukum ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW). 3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini meliputi sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung melalui sumber dari pihak pertama atau data yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan yakni dari orang yang melakukan ahli waris pengganti dan pihak lain yang terkait. Disamping itu juga dari sumber data sekunder yaitu sumber data yang berupa peraturan perundang-undangan yang relevan, buku-buku, tulisantulisan dan sumber data tertulis lainnya dari hasil data pustaka dan arsip. 14
Soerjono Soekanto & Sri Mamujdi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 14.
12
4. Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data yang diperlukan untuk penelitian, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Data Primer Pengumpulan data menggunakan cara denagn mengadakan penelitian langsung ke objek penelitian atau riset lapangan (field research) untuk memperoleh data dengan jalan: 1) Observasi Cara pengumpulan data observasi yaitu perhatian terfokus terhadap
gejala,
menafsirkannya, menemukan
kejadian
atau
mengungkapkan
kaidah-kaidah
sesuatu faktor-faktor
yang
dengan
maksud
penyebab
mengaturnya.
15
dan
Metode
pengumpulan data dilakukan dengan cara langsung mengenai bagaimana gambaran tentang ahli warsi pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW). 2) Wawancara Pengumpulan data dengan wawancara, dalam penelitian ini pada dasarnya merupakan metode tambahan atau pendukung dari keseluruhan bahan hukum yang dihimpun melalui studi kepustakaan. Adapun wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan wawancara dengan cara meminta informasi atau ungkapan 15
Emir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, jakarta: Rajawali Pers, 2011, Cet 2, hal. 37
13
kepada orang yang diteliti yang berputar disekitar pendapat dan keyakinannya.16 Hal ini dilakukan adanya keterbatasan waktu, biaya dalam penelitian. Sampel yang diambil dari penelitian ini adalah pelaku ahli waris pengganti, Ulama dan Hakim. b. Data Sekunder Dalam pengumpulan data sekunder ini dipergunakan caracara: 1) Riset Kepustakaan / Library Research Riset kepustakaan yaitu metode pengumpulan data dengan cara mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literaturliteratur, catatan-catatan, laporan-laporan 17 serta obyek penelitian yang berkaitan dengan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW). 2) Jenis Data dari sudut sumber dan kekuatan mengikat Oleh karena karena yang hendak diteliti adalah perilaku hukum, dalam penelitian ini data sekunder yang dari sudut mengikatnya digolongkan dalam: a) Bahan
hukum
primer
yaitu
bahan-bahan
hukum
yang
mempunyai kekuatan mengikat, terdiri dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam.
16
Ibid., hal. 49 Nur Khoiri, Metode Penelitian Pendidikan, Jepara: INISNU, 2012, hal. 115
17
14
b) Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, makalah, hasil penelitian dan lain-lain. c) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus-kamus dan ensiklopedi dibidang hukum.18 5. Analisis Data Untuk menganalisis data dipergunakan analisis kualitatif yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasi dengan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara induktif, setelah data terkumpul maka langkah berikutnya adalah menganalisis data yang merupakan carauntuk mencari dan menata secara sistematis catatan hasil wawancara, observasi dan lainnya.19 Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menggambarkan mengenai ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW). G. Sistematika Penulisan Untuk mengetahui isi atau materi skripsi secara menyeluruh, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: 1. Bagian Muka, terdiri dari: 18 19
Soejono Soekanto, Op. Cit., hal. 13 Nur Khoiri, Op.Cit., hal. 117
15
Halaman judul, halaman nota pengesahan, halaman nota persetujuan pembimbing, Abstrak, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi. 2. Bagian Isi, terdiri dari beberapa bab: BAB I
: Pendahuluan Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
: Kajian Pustaka Bab ini membahas tentang waris dalam islam, waris dalam hukum adat, waris dalam KUHPerdata (BW).
BAB III
: Objek Kajian Bab ini membahas ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam, ahli waris pengganti dalam Hukum Perdata (BW).
BAB IV
: Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini membahas analisis tentang ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam, analisis tentang ahli waris pengganti dalam Hukum Perdata (BW), serta persamaan dan perbedaan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW).
BAB V
: Penutup Mencakup kesimpulan, saran-saran dan penutup.
16
3. Bagian Akhir, terdiri dari: Daftar pustaka, lampiran, Riwayat hidup
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG AHLI WARIS
A. Pengertian Waris Di dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan, dengan mengambil kata waris dengan dibubuhi awalan ke dan akhiran an. Kata waris itu sendiri dapat berarti orang, pewaris sebagai subyek dan dapat berarti pula proses. Dalam arti yang pertama mengandung makna hal ihwal orang yang menerima warisan dan dalam arti yang kedua mengandung makna hal ihwal peralihan harta yang sudah mati kepada yang masih hidup dan dinyatakan berhak menurut hukum yang diyakini dan diakui berlaku mengikat untuk semua orang yang beragama Islam.20 Dalam bahasa Belanda, erfgenaam, waris adalah orang yang menggantikan kedudukan si meninggal, mengoper semua hak dan kewajiban hukum si meninggal.21 Mawaris adalah bentuk plural dari kata mirats dalam bahasa arab biasanya digunakan untuk dua makna, pertama al-baqa‟ (kekal, dari sini pula Allah disebut al-warits, maksudnya adalah yang Maha Kekal). Kedua, 20
H. Moh. Muhibbin, H. Abdul Hamid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Ed. 1, cet. 1, hal. 9 21 R. Subekti, Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Paradnya Paramita, 2005, cet. 16, hal. 110
17
perpindahan dari satu kaum ke kaum yang lain dalam syari‟at islam, al-warits biasanya didefinisikan sebagai seseorang yang mempunyai hak tertentu setelah pemilik harta meninggal dunia dengan sebab-sebab tertentu dan dengan syarat tertentu pula.22 Kata mawaris diambil dari bahasa arab. Mawaris bentuk jamak dari (mirats) yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya.23 Berkaitan dengan definisi waris, beberapa ahli mengemukakan dalam pengertian yang berbeda-beda: 1.
Prof. Ali Afandi, S.H. mengutip definisi dari Mr. A. Petlo “Hukum Waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya didalam kebendaan, diatur yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal kepada ahli waris baik didalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga”24
2.
Soepomo: “Hukum Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya. Proses ini telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akuut” oleh sebab orang tua meninggal dunia”.25
22
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Mazhab, Jakarta: Pustaka AlKausar, 2009, Cet. 1, hal. 3 23 Moh. Muhibbin, H. Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 7 24 Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hal. 11 25 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung: Refika aditama, 2007, cet. 2, hal. 3
18
3.
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy : Mawaris jamak dari mirats, (irts, wirts, wiratsah dan turats, yang dinamakan dengan mauruts) adalah “Harta peninggalan orang yang meninggal yang diwariskan kepada para pewarisnya”. Orang yang meninggalkan harta disebut Mawarits. Sedang yang berhak menerima pusaka disebut Warits.26
4.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) : Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.
B. Sumber Hukum Waris 1. Sumber Hukum Kewarisan Islam Dasar dan utama dari hukum Islam sebagai hukum agama Islam adalah nash atau teks yang terdapat didalam Al-Qur‟an dan sunnah Nabi. Ayat-ayat Al-Qur‟an dan sunnah-sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut: a) Ayat-ayat Al-Qur‟an Firman Allah dalam Q.S. An-Nisa‟ ayat 7:
26
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris Hukum Pembagian Warisan Menurut Syari‟at Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010, ed. 3, hal. 5
19
“ Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.” 27
Said bin Jubair dan Qatadah berkata “ Adalah kaum musyrik memberikan harta pusaka kepada anak-anak yang sudah besar: Mereka tidak memberi harta pusaka sedikit pun kepada perempuan dan anakanak” maka Allah SWT menurunkan ayat, “Bagi laki-laki ada hak bagian dari Peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya.” Yakni, semua orang sama dihadapan hukum Allah. Mereka sama menurut prinsip hukum waris, meskipun bagiannya berbeda-beda sekarang dengan bagian yang telah ditetapkan Allah bagi setiap ahli waris sejalan dengan hubungannya dengan mayat (pewaris), apakah itu hubungan kekerabatan, perkawinan atau perwalian, lantaran pewaris itu seperti daging pertalian nasab.28 Ketentuan dalam ayat diatas, merupakan landasan utama yang mewujudkan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai hak waris dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Tidak demikian halnya pada masa Jahiliyyah, dimana
27
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Semarang: CV Asy Syifa‟, 2001, hal. 116 Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. 1, hal. 654 28
20
wanita dipandang sebagai objek bagaikan benda biasa yang dapat diwariskan.29 Firman Allah dalam Q.S. An-Nisa‟ ayat 8:
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.30 b) Al-Hadits Hadits Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan diantaranya adalah sebagai berikut: Hadits Nabi dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori. Dari ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah bersabda. “Bagikanlah harta warisan kepada ahli waris yang berhak (sesuai jatah masing-masing), sedangkan sisanya adalah bagi ashobah lakilaki yang terdekat.31 c) Ijtihad Para Ulama‟ Salah satu metode ijtihad adalah Ijma‟ (Kesepakatan semua ahli hukum) dalam usaha menggali dan merumuskan hukum. Contoh Ijtihad adalah Kompilasi Hukum Islam yang digunakan di Indonesia merupaka
29
H. Moh. Muhibbin, H. Abdul Hamid, Op. Cit, hal. 12 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Semarang: CV Asy Syifa‟, 2001, hal. 31 M. Nashiruddin Al-Albani, Op.Cit, Hal. 470 30
21
Ijma‟ atau kesepakatan alim ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 5 februari 1988.32 C. Azas–Azas Hukum Kewarisan Islam Menyangkut azas-azas kewarisan Islam dapat digali dalam ayat-ayat hukum kewarisan seta sunnah Nabi Muhammad SAW. Asas-asas yang dimaksud dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Asas Ijbari Secara etimologis kata Ijbari mengandung arti paksaan yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya. Maksudnya tanpa ada perbuatan hukum pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi terjadi peralihan tersebut. Dengan perkataan lain, dengan adanya kematian si pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, tanpa terkecuali apakah ahli warisnya suka menerima atau tidak (demikian juga halnya bagi si pewaris). Asas ijbari ini dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu: a. Dari segi peralihan harta b. Dari segi harta yang beralih 32
Badriyah Harun, Panduan Praktis Pembagian Waris, Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009, cet. 1, hal. 51
22
c. Dari segi kepada siapa harta itu beralih33 2. Asas Bilateral Asas bilateral berarti bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat keturunan perempuan. 34 Sistem keturunan yang ditarik mengikuti garis orang tua, garis dua sisi baik bapak (lelaki) maupun garis ibu (perempuan). Perkawinan dalam masyarakat ini bisa exogam bisa juga indogam, dan kalau ada pemberian dalam proses kawin sekalipun pemberian itu besar, bukan jujur namanya sebab tidak bernilai magis. Apabila lelaki yang meninggal dunia sama saja dengan yang perempuan, yaitu anak-anak mereka menjadi ahli waris dua kali yaitu sebagai ahli waris ayah setelah ayah meninggal dan sebagai ahli waris ibu setelah ibu meninggal.35 3. Asas Individual Dengan asas ini dimaksudkan bahwa dalam hukum kewarisan Islam harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa
33
Suhrawardi K. Lubis, komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, ed. 2, cet. 2, hal. 39 34 H. Mohammad Daud Ali, hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, ed. 6, hal. 142 35 H. Ahmad Kuzari, Sistem Ashobah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, ed. 1, cet. 1, hal. 2
23
terkait dengan ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing sudah ditentukan.36 4. Keadilan Berimbang Kata adil merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata Al-Adlu . hubungannya dengan masalah kewarisan, kata tersebut dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Asas ini mengandung arti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak kewajiban, antara yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam system kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggungjawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, perbedaan pembagian yang telah diterimanya oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggungjawab masing-masing terhadap keluarga. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab terhadap keluarga, mencukupi keperluan hidup dan istrinya. Tanggungjawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak.37 5. Akibat Kematian 36 37
H. Mohammah Daud Ali, Op. Cit. hal. 318, H. Moh. Muhibbin, H. Abdil Wahid, Op. Cit., hal. 29
24
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain, harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan) seandainya dia masih hidup. Walaupun ia berhak untuk mengatur hartanya. Hak tersebut sematamata hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup, dan bukan untuk menggunakan harta tersebut sesudah ia meninggal dunia. Dengan demikian, hukum waris Islam tidak mengenal seperti yang ditemukan dalam ketentuan hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), yang dikenal dengan pewarisan secara ab intestate dan secara testemen,38 D. Syarat–syarat Dalam Mewarisi Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam warisan, jika salah satu syarat tersebut tidak dipenuhi, maka warisan dianggap tidak sah. Warisan juga mempunyai beberapa sebab yang harus dipenuhi, jika beberapa sebab tidak dipenuhi, maka warisan dianggap tidak sah. Juga harus bersih dari penghalang warisan. Jika terdapat salah satu yang menghalanginya, meski semua syarat dan semua sebab yang menjadikan dia bisa mendapatkan warisan sudah terpenuhi, maka warisannya tetap tidak sah.39 Syarat menerima warisan ada tiga: 1. Orang yang mewariskan hartaya telah meninggal dunia baik secara hakiki maupun secara hukum. Meninggalnya orang yang mewariskan harta, dasarnya adalah firman Allah: Surat An-Nisa‟ ayat 176. 38 39
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Op. Cit., hal. 41 Muhammad MuhyiddinAbdul Hamid, Op.Cit., hal. 11
25
Yang dimaksud dengan halaka adalah meninggal dan hartanya tidak disebut harta warisan kecuali setelah pemiliknya berpindah dari alam dunia kealam akhirat. Kematian hakiki dapat diketahui dengan menyaksikan langsung, atau dengan berita yang sudah masyhur, atau dengan kesaksian dua orang yang dapat dipercaya. Adapun kematian secara hukum seperti orang yang menghilang dan pencariannya sudah melewati batas waktu yang ditentukan, maka dihukumi sudah meninggal berdasarkan dengan yang disejajarkan dengan keyakinan (kepastian) manakala kepastian tidak didapatkan, dasarnya adalah perbuatan para sahabat.40 2. Ahli waris masih hidup ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal walaupun hanya sekejap, baik secara hakiki maupun secara hukum. Syarat yang harus disiapkan untuk menerima pusaka adalah dia masih hidup, pada waktu muwaritsnya meninggal, baik meninggal secara hakiki maupun secara hukum, karena si waris mengganti muwaritsnya adalah sesudah muwaritsnya meninggal.41 Masih hidupnya para waris dibuktikan oleh pensaksian saksi dan oleh keterangan-keterangan disidang pengadilan. Adapun waris yang dianggap dalam keadaan hidup, seperti anak dalam kandungan, lalu gugur lantaran suatu tindak pidana karena ibunya, maka apabila seseorang yang sedang mengandung, dipukul seseorang, lalu ia melahirkan bayi dalam 40
Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006, hal. 27 41 Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Op.Cit., hal. 14
26
keadaan mati, tetapi telah sempurnya bentuk kejadiaanya, agama mewajibkan atas si penindak itu (atas ashobahnya) sejumlah harta yang dinamakan “ghurrah” yaitu lima puluh dinar emas. Karena diyat yang sempurna dari perak sepuluh ribu dirham dan dari emas seribu dinar.42
3. Diketahuinya posisi para ahli waris Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat dan sebagainya. Sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena ashobah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.43 E. Penyebab dan Larangan dalam Mewarisi 1. Sebab mewarisi
42
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Siddiqie, Op.Cit., hal. 31 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam (http:/media.isnet.org/ islam/waris/syarat.html), hal. 11 43
27
Menurut syari‟at masalah waris mewarisi bukanlah sesuatu yang muncul dengan sendirinya. Didalam hukum waris Islam mewarisi ada sebab yaitu: Nasab, Nikah dan Wala‟.44 Penyebab pertama yaitu (1) hubungan Nasab adalah (a) kebawah: anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan serta keturunannya, (b) keatas: orang tua, baik ibu maupun bapak yang menurunkannya, (c) kesamping: anak ayah atau anak ibu atau anak kakek atau nenek, sambung menyambung satu dengan yang lain yang menentukan jarak dekatnya hubungan masing-masing para pewaris yang telah dirinci dalam uraian diatas. Disamping hubungan darah (2) hubungan perkawinan merupakan penyebab seseorang menjadi ahli waris orang lain. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah suami istri. Menurut hukum Islam, suami istri saling mewarisi.45 Wala‟ adalah hubungan waris mewarisi karena kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budak. Sekalipun diantara mereka tidak ada hubungan darah. Sekarang hubungan wala‟ hanya terdapat dalam tataran wacana saja. Hubungan wala‟ terjadi disebabkan oleh usaha seseorang pemilik budak yang dengan suka rela memerdekakan budaknya. Dengan demikian, pemilik budak tersebut mengubah status orang yang semula tidak cakap bertindak, menjadi cakap bertindak untuk mengurusi, memiliki dan 44 45
Sudarsono, Op.Cit., hal. 110 H. Mohammad Daud Ali, Op.Cit., hal. 310
28
mengadakan transaksi terhadap harta bendanya sendiri. Disamping itu, cakap melakukan tindakan hukum sebagai imbalan atas kenikmatan yang telah dihadiahkan kepada budaknya sebagai perangsang agar orang-oarng (pada waktu itu) memerdekakan budak. Dengan demikian, orang yang mempunyai hak wala‟ mempunyai hak mewarisi harta peninggalan budaknya apabila budak tersebut meninggal dunia.46
2. Larangan mewarisi Penghalang atau larangan mewarisi dalam istilah ulama‟ faroidh ialah “sesuatu kondisi yang menyebabkan sesorang tidak dapat menerima pusaka, padahal memiliki cukup sebab dan cukup pula syarat-syaratnya.”47 Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilanga hak mewarisi atau terhalang mewarisi adalah sebagai berikut: a. Perbudakan Sejak semula Islam menghendaki agar perbudakan dihapus, namun perbudakan sudah merata dimana-mana dan sukar dihapus. Oleh karena itu, perbudaka mendapatkan tempat dalam pembahasan hukum Islam. Dalam Al-qur‟an telah digambarkan bahwa seorang budak tidak cakap mengurus hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT surat An-Nahl ayat 75:
46 47
H. Moh. Muhibbin, H. Abdul Wahid, Op.Cit., hal. 74 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie, Op.Cit., hal. 34
29
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji Hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui”48 Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris, karena dipandang tidak cakap mengurus harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya. Dia tidak dapat mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki harta.49 b. Pembunuhan Para ahli hukum Islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya. Berdasarkan Hadits Nabi yang artinya: “Barang siapa membunuh seorang korban maka ia tidak dapat mewarisnya, walaupun si korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya dan jika si korban bapaknya tau anaknya maka 48 49
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Semarang: CV Asy Syifa‟, 2001, hal. H. Moh. Muhibbin, H. Abdul Wahid, Op.Cit., hal. 76
30
tidak ada hak mewarisi bagi pembunuhnya.” (HR. Imam Ahmad). Mengingat banyaknya bentuk tindakan pembunuhan, para fuqaha berbeda pendapat tentang jenis pembunuhan mana yang menjadi penghalang mewarisi. Fuqaha aliran Syafi‟iyah dengan berpegang pada keumuman hadits diatas berpendapat bahwa segala bentuk tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya adalah menjadi penghalang baginya untuk mewarisi.50 Fuqaha aliran Hanafiyah jenis pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi ada empat macam, yaitu sebagai berikut: 1) Pembunuhan dengan sengaja, yaitu pembunuhan yang direncanakan sebelumnya. 2) Pembunuhan
mirip
sengaja,
misalnya
sengaja
melakukan
penganiayaan dengan pukulan tanpa niat membunuhnya, tetapi ternyata yang dipukul meninggal dunia. 3) Pembunuhan karena khilaf, misalnya seorang pemburu yang menembak mati sesuatu yang dikira monyet, setelah didekati ternyata manusia, atau seseorang yang telah sedang latihan menembak tepat pada sasaran pohon, tetapi meleset mengenai bapaknya yang berada didekatnya. 4) Pembunuhan dianggap khilaf, misalnya orang yang sedang membawa benda berat tanpa sengaja menjatuhi saudaranya hingga mati. 50
Ibid., hal. 77
31
Fuqaha aliran Malikiyah, jenis pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi ada tiga, yaitu sebagai berikut: 1) Pembunuhan dengan sengaja 2) Pembunuhan mirip sengaja 3) Pembunuhan tidak langsung yang disengaja, misalnya melepaskan binatang buas atau persaksian palsu yang menyebabkan kematian seseorang. Adapun menurut fuqaha hanabilah, jenis pembunuhan yang menjadi penghalang hak mewarisi adalah sebagai berikut: 1) Pembunuhan sengaja 2) Pembunuhan mirip sengaja 3) Pembunuhan karena khilaf 4) Pembunuhan dianggap khilaf 5) Pembunuhan tidak langgsung 6) Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap bertindak (anak kecil atau orang gila). c. Berlainan Agama Maksudnya adalah agama siwaris berbeda dengan agama simuwaris, dan dimaksud dengan perbedaan agama yang menghalangi pusaka adalah tidak ada pusaka antara muslim dengan bukan muslim, baik yang bukan muslim itu kafir kitabi, ataupun kafir yang bukan Dhimmi. Tidak ada perbedaan antara yang waris itu muslim dan yang muwaris itu buka muslim dan sebaliknya. Maka tidak ada pusaka antara suami yang
32
muslim dengan istrinya yang kitabiyah, sebagaimana tidak ada pusaka antara ayah dengan anak yang berlainan agama. Seluruh ulama Islam berpendapat bahwasanya orang yang bukan muslim tidak menerima pusaka dari si muslim, apabila sebab penerima pusaka itu akibat perkawinan atau kekerabatan nasabiyah. Tak ada seorangpun yang menyimpang dari pendapat ini. Apabila sebab penerimaan pusaka itu usubah sababiyah yaitu walaul itqi, maka menurut pendapat Ahmad dan syi‟ah imamiyah, orang yang memerdekakan yang bukan muslim menerima pusaka dari orang yang dimerdekakan, sebagaimana orang yang memerdekakannya yang muslim, menerima pusaka dari orang yang memerdekakannya yang bukan muslim apabila cukup sempurnya syarat-syarat penerimaan pusaka dengan jalan usubah sababiyah. Jumhur ulama dan kabanyakan sahabat berpendapat bahwasanya si muslim tidak menerima pusaka dari yang bukan muslim, sebagaimana yang bukan muslim tidak menerima pusaka dari yang muslim walaupun sebab penerimaan pusaka itu usubah sababiyah. Perbedaan agama yang menghalangi saling mempusakai antara si muslim dengan yang bukan muslim, adalah pabila perbedaan agama itu diketahui diwaktu wafatnya yang meninggalkan pusaka.51 F. Ahli Waris Pengganti dalam Kewarisan
51
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie, Op.Cit., hal. 40
33
Salah satu syarat pewarisan adalah hidupnya ahli waris. Apabila ada seseorang yang meninggal dunia maka yang dapat mewarisi harta peninggalannya adalah anak-anaknya yang masih hidup. Jika ada diantara anak-anaknya yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada pewaris maka kedudukannya akan digantikan oleh anak-anaknya. Konsep penggantian kedudukan merupakan ijtihad para ulama terhadap ketentuan warisan dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Penggantian kedudukan ini dalam hukum perdata disebut dengan Plaatsvervulling.52 Yang dimaksud ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu.53 Hazairin membagi ahli waris menjadi tiga golongan yaitu: 1. Dzawil faro‟id Dzawil faro‟id adalah ahli waris langsung yang mesti mendapat bagian tetap tertentu dan tidak berubah-ubah, terdiri dari: a. Anak perempuan yang tidak bersama anak laki-laki bagiannya adalah ½ apabila sendirian. 2/3 jika lebih. b. Ibu bagiannya 1/3 apabila tidak bersama anak. 1/6 jika bersama anak. c. Ayah bagiannya 1/6 jika ada anak. d. Saudara laki-laki atau perempuan sendirian bagiannya 1/6, jika lebih maka bagiannya 1/3.
52 53
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 190 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: sinar Grafika, 1993, hal. 80
34
e. Saudara perempuan jika sendirian bagiannya 1/2, jika lebih dari seorang maka bagiannya 2/3 dan tidak bersama saudara laki-laki. 2. Dzawil kerabat Dzawil kerabat adalah ahli waris yang tidak ditentukan berapa besar bagiannya oleh karena itu ia berhak memperoleh seluruh harta jika tidak ada ahli waris yang lain. Mereka memperoleh semua sisa harta jika bersama dengan ahli waris dzawil faro‟id. Yang tidak termasuk dalam golongan ini adalah: a. Anak laki-laki atau perempuan bersama dengan anak laki-laki atau keturunannnya. b. Ayah, jika pewaris tidak mempunyai anak. c. Saudara laki-laki dan perempuan bersama saudara laki-laki atau keturunannya dalam hal pewaris mati kalalah. d. Kakek dan nenek.54 3. Mawali / Plaatsvervulling Adalah ahli waris karena penggantian, yaitu orang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi antara mereka dengan pewaris. Mawali / plaatsvervulling bias juga diartikan dengan ahli waris yang mendapat warisan meninggal dunia lebih dahulu dari pada pewaris, sehingga kedudukannya digantikan oleh anaknya atau orang tua menggantikan kedudukan anaknya yang telah meninggal lebih dahulu dari pada pewaris. Mawali / plaatsvervulling menurut Hazairin ada dua, yaitu:
54
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, httpeprints.undip.ac.id15075.pdf, Hal. 53
35
a. Dengan bagian terbuka yang terdiri dari: - Mawali untuk keturunan dzawil faro‟id - Mawali untuk keturunan dzawil kerabat. b. Diluar dzawil kerabat terdiri dari: - Duda sebagai dzawil faro‟id bagiannya 1/2 jika istri mati tanpa ada keturunan, 1/4 jika ada keturunan. - Janda sebagai dzawil faro‟id bagiannya adalah 1/4 jika suami mati tanpa keturunan. - Mawalinya sebagai ahli waris luar biasa yang mendapat bagia secara khusus.55 G. Tinjauan Hukum Islam Tentang Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling) Pengertian ahli waris pengganti dalam hukum waris Islam tidak sama dengan ahli waris pengganti dalam hukum waris adat, atau hukum waris barat (BW), yang pada pokoknya hanya memandang ahli waris pengganti adalah keturunan ahli waris yang digantikan kedudukannya. Pengertian ahli waris pengganti dalam hukum waris Islam adalah ahli waris yang hanya terbuka sebagai akibat ketiadaan ahli waris tertentu. Ahli waris tidak selalu merupakan keturunan dari ahli waris yang digantikannya. Oleh sebab itu sejumlah ahli fiqh menyebutkan bahwa hukum waris islam tidak mengenal pergantian kedudukan.56 Cucu perempuan, yaitu anak perempuan dari anak laki-laki kalau tidak ada anak laki-laki lain yang masih hidup dan mendapat setengah bagian dari 55
Ibid., hal. 54 Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Bandung: PT Refika Aditama, 2006, cet. 2, hal. 57 56
36
harta warisan. Dua atau lebih cucu perempuan mendapat dua pertiga bagian. Kalau ada anak laki-laki, cucu perempuan tidak mendapat bagian sama sekali. Dengan demikian dalam hukum Islam tidak ada sistem penggantian warisan (Plaatsvervulling), artinya cucu perempuan tidak mengganti ayahnya yang meninggal dunia lebih dahulu dari orang yang meninggalkan warisan (pewaris). Kalau disamping cucu perempuan tadi anak perempuan dari orang yang meninggalkan warisan maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga dari harta warisan.57 Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) tidak mendapat pusaka, kalau ada anak laki-laki, begitu juga kalau ada dua orang anak perempuan. Kalau cucu perempuan itu mempunyai saudara laki-laki maka menjadi ashobah, artinya keduanya mendapat pusaka dari harta pusaka sesudah dibagikan kepada yang mendapat bagian. Untuk laki-laki dua kali bagian perempuan. Bahwa cucu laki-laki dari anak perempuan dan cucu perempuan dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak laki-laki semuanya itu dinamakan Zawil Arham. Menurut Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Abu Bakar, Umar, Usman serta beberapa tabi‟in, bahwa Zawil Arham itu baru mendapat pusaka bila tidak ada lagi ahli waris yang berhak fara‟id maupun ashobah, sedangkan menurut Zaid bin Tsabit, bahwa Zawil Arham itu tidak mendapat pusaka dari pewaris. Bilamana orang yang meninggal dunia tidak 57
H.M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, cet. 1, Hal. 98
37
mempunyai ahli waris, baik yang berhak fara‟id dan ashobah maka harta pusakanya diserahkan kepada baitul maal (kas Negara dalam Negara Islam). Pendapat tersebut disetujui oleh Imam Maliki, Syafi‟i dan lainnya.58
BAB III KAJIAN TENTANG AHLI WARIS PENGGANTI MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PERDATA
A. Kompilasi Hukum Islam 1. Peran KHI Dalam Hukum Nasional Hukum Islam memiliki dimensi ganda, yaitu syari‟ah dan fiqh. Wujud hukum Islam yang sistematis dan rinci adalah fiqh, suatu hasil pemikiran fuqaha yang tersebar secara luas di dalam kitab-kitab fiqh. Secara garis besar isi kitab fiqh itu meliputi empat bidang, yaitu ibadah, munakahah, muamalah dan jinayah. Rubu‟ ibadah, merupakan penataan hubungan antara manusia dengan Allah S.W.T. Rubu‟ Munakahah, merupakan penataan hubungan antar manusia dalam lingkungan keluarga. Rubu‟ mu‟amalah, merupakan penataan hubungan antar manusia dalam pergaulan hidup masyarakat. Rubu‟ jinayah, merupakan penataan
58
Ibid., Hal. 99
38
pengamanan dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat.59 Dalam perkembangan lebih lanjut hukum Islam mengalami internalisasi kedalam pranata-pranata sosial yang tersedia di dalam masyarakat. Terjadi alokasi hukum Islam kedalam pranata sosial itu, sehingga menjadi landasan dan memberi makna serta arah dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Hasil dari proses itu, yang terjadi dalam waktu berabad-abad, berkembang sebagai pranata sosial yang bercocok keislaman. Pranata-pranata sosial itu dapat dilihat dari kedua sudut pandang. Pertama, ia merupakan aktualisasi hukum Islam yang tertumpu kepada interaksi sosial yang mempola setelah mengalami pergumulan dengan kaidah-kaidah lokal yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang majemuk. Dalam pergumulan itu terjadi adaptasi dan modifikasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal. Atau dengan perkataan lain, proses sosialisasi dan institusional hukum Islam terjadi dalam hubungan timbal balik dengan kaidah-kaidah adat yang dianut. Kedua, pranata-pranata itu merupakan perwujudan interaksi sosial di dalam masyarakat Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Interaksi sosial itu berpatokan kepada keyakinan (kesepakatan tentang baik dan buruk), dan kaidah (kesepakatan yang mesti dilakukan dan mesti
59
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), Ed. Revisi, cet. 4, hlm. 67.
39
ditinggalkan), yang dianut oleh mereka. Ia merupakan perwujudan amal solih sebagai ekspresi keimanan dalam interaksi sosial.60 Masyarakat dengan berbagai dinamikanya selalu menuntut adanya perubahan, dan setiap perubahan meniscayakan adanya permbaruan sistem nilai dan hukum. Di sinilah letak strategisnya posisi ijtihad sebagai metode penemuan hukum (rechtvinding) dalam Islam untuk melakukan sosial engineering. Hukum Islam (fiqh) akan berperan secara nyata dalam kehidupan masyarakat apabila aktifitas ijtihad ditempatkan secara proporsional untuk mendinamisir ajaran Islam untuk merespon tuntutan zaman.61 Dalam sudut lingkup makna the ideal law, kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang dapat mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang : a. Adanya norma hukum yang hidup dan ikut serta bahkan mengatur interaksi sosial. b. Aktualnya dimensi normative akibat terjadinya eksplanasi fungsional ajaran Islam yang mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hukum. c. Responsi structural yang dini melahirkan rangsangan KHI.
60
Cik Hasan Bisri, Op.cit., hlm. 69. Ridwan, Membongkar Fiqh Negara, Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto & Unggun Religi, 2005, cet. 1, hlm. 84. 61
40
d. Alim Ulama Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas dengan kesepakatan bahwa KHI adalah rumusan tertulis hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia.62 Dengan adanya KHI diharapkan dapat memecahkan masalah yang terjadi di masyarakat seiring perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan hukum substansial bagi orang-orang yang beragama Islam. 2. Pengertian KHI Kompilasi adalah kumpulan tersusun secara teratur (tengtang daftar, informasi, karangan, dsb.)63 Hukum Islam adalah peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan Al-Qur‟an dan hukum syara‟.64 Kompilasi berarti kegiatan pengumpulan atau sesuatu yang dihimpun.65 Kompilasi hukum Islam yaitu kumpulan hukum Islam di bidang muamalah yang berlaku dalam yurisdiksi peradilan agama bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam.66 3. Pembentukan Kompilasi Hukum Islam Untuk memenuhi kebutuhan hukum substansial bagi orang yang beragama Islam, KHI disusun atas prakarsa penguasa Negara, yaitu Ketua 62
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia Jakarta: Gema Insani Press, 1994, cet. 1, hlm. 61. 63 Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit., hlm. 548. 64 Drs. Sudarsono, Op.cit., hlm. 168. 65 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeven, 1996, hlm. 968. 66 Ibid., hlm. 338.
41
Mahkamah Agung dan Menteri Agama (melalui produk Surat Keputusan Bersama), dan mendapat pengakuan Ulama dari berbagai kalangan. Atau, secara resmi KHI merupakan hasil konsensus (Ijma‟) Ulama melalui media lokakarya, yang kemudian mendapat legalitas dari kekuasaan negara. Perumusan KHI itu didasarkan atas beberapa landasan : Pertama, landasan historis yang terkait dengan pelestarian hukum Islam di dalam kehidupan masyarakat-bangsa. Ia merupakan perwujudan nilai-nilai yang bersifat abstrak dan sakral, kemudian dirinci
dan
disistemasi
melalui
proses
penalaran
logis,
disosialisasikan melalui berbagai saluran, kemudian terinternalisasi di dalam berbagai pranata sosial. Kedua, landasan yuridis yang terkait dengan tuntutan normative. Ketentuan pasal 49 UU nomor 7 Tahun 1989 mengisyaratkan bahwa hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam. Dalam hukum perkawinan itu bertitik tolak dari ketentuan pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa keabsahan perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya. Hal itu menunjukkan bahwa hukum perkawinan bagi orang-orang Islam adalah hukum Islam Demikian halnya bagi pemeluk agama lain, bahwa keabsahan perkawinan mereka menurut agamanya. Untuk tercapainya kepastian dan perlindungan hukum, maka dituntut adanya hukum Islam yang tertulis yang memilik daya
42
ikat. Oleh karena itu, KHI merupakan jawaban terhadap tuntutan kebutuhan tersebut. Ketiga, landasan fungsional yang terkait dengan kebutuhan nyata di dalam kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan. KHI, menurut para penyusunnya, adalah fiqh Indonesia. Ia disusun dengan memperhatikan kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fiqh Indonesia itu, sebagaimana pernah dicetuskan oleh dua orang guru besar, yaitu Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia mengarah kepada unifikasi madzhab dalam hukum Islam. Dan dalam sistem hukum Indonesia, ia merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional.67 Pendekatan perumusan KHI mengambil bahan sumber utama dari nash Al-Qur‟an dan Sunnah. Melalui pendekatan yang menitiksentralkan pada nash Al-Qur‟an dan Sunnah, sejak semula penyusunan perumusan melepaskan diri dari ikatan pendapat berbagai maszhab yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh.68 Disamping perumusan KHI mengambil sumber dari AlQur‟an dan Sunnah, dan menjadikan doktrin kitab-kitab fiqh sebagai bahan orientasi, memang
sejak semula sudah ditetapkan patokan
pendekatan:
67
Cik Hasan Bisri, Op.cit., hlm. 130. M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, ed. 2, cet. 3, hlm. 30. 68
43
- menjauhkan diri dari pengkajian perbandingan fiqh yang berlarutlarut. - mengutamakan sikap memilih alternative yang lebih rasional, praktis dan actual yang mempunyai potensi ketertiban dan kemaslahatan umum yang luas serta lebih aman dalam persamaan (egalitarian). Dengan pendekatan ini, pelaksanaan perumusan KHI tidak terjerumus pada perdebatan mempersoalkan qala – yaqulu, tetapi langsung diarahkan pada masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat, kemudian baru dicari dan dipilih pendapat yang paling potensial memecahkan problema ketidaktertiban yang dihadapi selama ini.69 Proses penyusunan. Pada tanggak 25 Maret 1985, Mahkamah Agung dan Departemen Agama mengeluarkan Keputusan Bersama No. 17/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 yang ditandatangani di Yogyakarta oleh Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI. Isi keputusan bersama ini memuat proyek “Pengembangan Hukum Islam melalui Yurisprudensi” atau “Kompilasi Hukum Islam”
yang dilaksanakan oleh sebuah tim pelaksana proyek.
Proyek ini bertujuan mengkompilasi aturan hukum Islam, mencakup wilayah muamalah dan yurisdiksi pengadilan agama kedalam tiga kitab, yaitu kitab Perkawinan, Kitab Waris, Kitab Wakaf, Sedekah, Hibah dan Baitul mal.
69
Ibid, hlm. 33.
44
Pelaksanaan proyek ini ditempuh melalui : a. Wawancara dengan para ulama terkemuka. b. Kompilasi keputusan-keputusan yang diambil Pengadilan Agama seluruh Indonesia. c. seleksi argumentasi yuridis yang digunakan oleh Pengadilan Agama. d. Pengumpulan argumen yang dikemukakan Ulama-Ulama madzhab dan berbagai kitab fiqh. e. Rancangan aturan hukum Islam yang menyangkut tiga bidang yang disepakati (perkawinan, waris, dan wakaf). f. Studi perbandingan dengan negara-negara yang menerapkan hukum Islam. g. Studi tentang kedudukan serta cakupan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam kitab fiqh. h. Perumusan kesimpulan sementara (hipotesis) oleh Tim pusat. i. Perumusan kesimpulan yang dihasilkan oleh seminar yang melibatkan Ulama dan ahli hukum70. Tujuan diselenggarakannya seminar-seminar itu adalah untuk mencapai konsensus yang kemudian menjadi kesimpulan akhir, yaitu : a) Hakim Pengadilan memiliki buku pegangan hukum yang harus diterapkan, b) Terbukanya peluang bagi kebijaksanaan nasional untuk kodifikasi.
70
Abdul Aziz Dahlan, Suplemen Ensiklopedi Islam, Op.cit., Hlm. 339.
45
Penelitian kitab-kitab fiqih yang dilakukan oleh 10 IAIN di Indonesia, hasil penelitian ini diolah oleh Bidang Kitab dan Yurisprudensi Pusat. Kitab-kitab Fiqh yang dipelajari tersebut terdiri atas 36 kitab fiqh yang diambil dari berbagai madzhab fiqh. Bukubuku yang digunakan sebagai rujukan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia lebih maju selangkah, karena tidak hanya terfokus pada kitab fiqh Madzhab Syafi‟i, sebagaimana yang berlaku selama ini, bahkan juga meneliti berbagai pendapat dalam madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Hambali, bahkan dari Madzhab Az-Zahiri yang dikenal tidak menerima ra‟yu dalam berijtihad. Dilakukan juga studi perbandingan ke berbagai di Timur Tengah, masing-masing di Maroko pada 28-29 Oktober 1986, Turki tanggal 1-2 November 1986, dan Mesir tanggal 3-4 November 1986. Hasil dari seluruh bidang, dibahas dan dirumuskan lagi oleh tim kecil yang merupakan tim inti, dan berhasil merumuskan tiga rancangan Kompilasi Hukum Islam yaitu Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan. Kemudian
Rancangan
Kompilasi
Hukum
Islam
ini
dilokakaryakan pada tanggal 2-6 Februari 1988 berdasarkan surat keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI. Tujuan lokakarya ini adalah untuk mendengarkan komentar atau tanggapan akhir dari Ulama dan Cendikiawan Muslim tentang isi rancangan tersebut. Adapun hasil rumusan lokakarya ini, yang
46
terdiri atas tiga buku, yaitu Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan buku III tentang Perwakafan.71 Keseluruhan KHI terdiri atau dibagi dalam tiga Kitab Hukum dengan urutan sebagai berikut : Buku I Hukum Perkawinan, terdiri dari : - 19 Bab, dan - 170 pasal (pasal 1-170). Buku II Hukum Kewarisan, terdiri dari : - 6 Bab, dan - 43 pasal (pasal 171-214). Buku III Hukum Perwakafan, terdiri dari : - 5 Bab, dan - 12 pasal (pasal 215-229). 4. Latar Belakang Lahirnya KHI Secara garis besar, hukum Islam dibagi menjadi dua bagian. Pertama, fiqh ibadah yang berkaitan dengan aspek ritual, seperti sholat, puasa, haji, zakat yang terkait dengan hubungan seorang hamba dengan AlKhaliq. Pada wilayah fiqh ibadah ini, dalam Islam dianggap sebagai sesuatu yang dogmatis yang harus diterima, dilaksanakan sebagai bagian ketaatan seorang hamba terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Oleh karena itu, paket hukum yang terkait dengan ibadah, bersifat ta‟abudi. Modifikasi hukum terhadap ibadah dianggap bid‟ah. Kedua, fiqh mua‟malah, yaitu
71
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Op.cit., hlm. 971.
47
aturan-aturan hukum Islam yang terkait dengan persoalan-persoalan kemanusiaan, hubungan antar sesama manusia. Dalam hal fiqh mua‟malah, maka sangat terbuka peluang bagi seorang muslim untuk melakukan kajiankajian kreatif, inovatif dengan pendekatan rasional. Pada wilayah ini justru terbuka lebar peluang untuk dilakukan ijtihad seiring dengan tuntutan dimanika zaman. Di Indonesia, hukum Islam pernah diterima dan dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Dalam prakteknya, hukum Islam yang paling dominan adalah hukum Islam madzhab Imam Asy-Syafi‟i. Pada zaman kesultanan Islam di Indonesia. Hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum negara. Di Aceh atau pada pemerintahan Sultan Agung, hukum Islam telah diberlakukan walau masih tampak sederhana.72 Pada era kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam Peradilan Agama sudah hadir secara formal. Ada yang bernama Peradilan Penghulu seperti di Jawa, Mahkamah Syari‟ah di Kesultanan Islam Sumatera (Deli, Langkat, Asahan, Indragiri). Peradilan Qadi di Kesultanan Banjar dan Pontianak. Cuma sangat disayangkan, walaupun pada masa kesultanan telah berdiri secara formal Peradilan Agama secara status Ulama memegang peranan sebagai penasihat dan hakim, belum pernah disusun suatu buku hukum positif yang sistematik. Hukum yang diterapkan masih tetap abstraksi yang ditarik dari kandungan doktrin fiqh.73
72 73
Ridwan, Op.cit., hlm. 75. M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 22.
48
Setelah proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah Republik Indonesia menghadapi kenyataan bahwa hukum Islam yang berlaku di kalangan bangsa Indonesia itu tidak tertulis dan masih terserakserak dalam berbagai kitab yang sering berbeda tentang hal yang sama antara satu kitab dengan kitab yang lainnya.74 Jadi secara realistis, kita dihadapkan pada dua kenyataan. Satu segi keberadaan dan kehadiran Peradilan Agama, sudah legal
secara
konstitusional. Kehadiran dan keberadaaannya telah menjadi kebutuhan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa perkara yang terus mengalir dari hari ke hari. Akan tetapi sangat disayangkan, hukum positif yang diperlukan sebagai landasan rujukan, sama sekali tidak ada. Tanpa itu penegak hukum tetap akan bercorak sewenang dalam skala yang sangat berdisparitas. Untuk membenahi dan menyempurnakan kekurangan yang dialami lingkungan Peradilan Agama tersebut, ada beberapa sikap. Ada yang berpendirian untuk melengkapi adanya hukum materiil yang positif dan unikatif, sebaliknya ditempuh jalur formal perundang-undangan sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD 1945. Sebab dengan jalur formal, hukum materiil yang akan dimiliki, berbentuk hukum positif yang berderajat undang-undang, sehingga hasil yang akan tampil adalah UU Hukum Perdata Islam tentang Perkawinan, Hibah, Wasiat, Wakaf, dan Warisan. Secara konstitusional, keabsahannya benar-benar bersifat legalistis atau legal-law. Akan tetapi dapat dibayangkan, betapa jauhnya jarak yang
74
Ridwan, Op.cit., hlm. 75.
49
akan ditempuh. Berbagai tahap harus dinaiki, mulai dari penyusunan draf RUU sampai pada pembahasan di DPR. Memperhatikan prediksi yang dikemukakan, dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat mendesak pada lain pihak, dicapailah kesepakatan antara Menteri Agama dengan Ketua MA untuk menempuh jalur terobosan singkat. Falsafah yang dipegangi barangkali berpedoman pada ungkapan : tak ada rotan, akar pun jadi. Selama belum diwujudkan cita-cita memiliki hukum positif UU Perdata Islam melalui jalur formal ketatanegaraan, untuk sementara dicukupkan saja dalam bentuk Kompilasi. Lahirlah SKB Ketua MA-Menteri Agama, yang menugaskan penyusunan hukum positif Perdata Islam dalam Kitab Hukum Kompilasi kepada suatu panitia, dengan ketentuan harus menggali dan mengkaji sedalam dan seluas mungkin sumber-sumber hukum Islam yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Sunnah di samping kitab-kitab fiqh madzhab dijadikan sebagai bahan orientasi. Sedang ketentuan-ketentuan hukum Islam yang tersebar di berbagai negara, dijadikan pula sebagai bahan perbandingan.75 KHI hadir dalam hukum Indonesia melalui instrument hukum Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, dan diantisipasi secara organik oleh Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 Tanggal 22 Juli 1991. Terpilihnya Inpres menunjukkan fenomena tata hukum yang dilematis; pada suatu segi, pengalaman implementasi program legislative nasional memperlihatkan Inpres yang berkemampuan mandiri
75
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 28.
50
untuk berlaku efektif di samping instrument hukum lainnya yang karenanya memiliki daya atur dalam hukum positif nasional; pada segi lain, Inpres tidak terlihat sebagai salah satu instrument dalam tata urutan peraturan perundangan. Sekurang-kurangnya tiga hal yang dicatat dari Inpres No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991, yakni : a. Perintah
menyebarluaskan
KHI
tidak
lain
daripada
kewajiban
masyarakat Islam dalam rangka memfungsionalisasikan eksplanasi ajaran Islam sepanjang yang normatif sebagai hukum yang hidup. b. Rumusan hukum dalam KHI berupaya mengakhiri persepsi ganda dari keberlakuan hukum Islam yang ditunjuk oleh pasal 2 ayat (1) serta (2) UU No. 1 Tahun 1974, segi hukum formal di dalam UU No. 7 Tahun 1989 sebagai hukum yang diberlakukan secara sempurna. c. Menunjukkan secara tegas wilayah berlaku pada instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.76 Ketiga
catatan
itu
bukan
saja
menunjukkan
pentingnya
penyebarluasan KHI, tetapi justru presentasi hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf dari KHI menjadi fenomena sejarah hukum terhadap eksistensi teori hukum yang menyinggung hukum Islam. Masih dijumpai kelompok masyarakat Islam yang menempatkan hukum Islam yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh sebagai sesuatu yang sangat sakral akibat kedudukannya sebagai bagian dari ajaran Islam. Ia bersama produk hukum legislatif
76
Abdul Ghani Abdullah, Op.cit., hlm. 62.
51
nasional ikut serta dan mengatur interaksi sosial, tetapi ditengah kebersamaan demikian, nilai sakral yang dilekatkan pada hukum Islam menjadi hambatan peletakan hukum produk legislatif nasional pada kedudukan yang sederajat dengannya, sekalipun ajaran Islam telah tertransformasi secara formal kedalamnya.77 Dengan demikian sejak tanggal 22 Juli 1991, kitab Kompilasi Hukum Islam resmi berlaku sebagai hukum untuk dipergunakan dan diterapkan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan bidang perkawinan, hibah, wakaf dan warisan.78 5. Hukum Kewarisan KHI Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku yakni berisi tentang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Pada kesempatan kali ini akan dibahas tentang hukum Kewarisan yang terdapat dalam KHI. Pada hukum kewarisan diatur dalam ketentuan umum adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hal pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum Islam dalam Islam dikenal dengan istilah fara‟idh, bentuk jamak dari kata tunggal faridhah yang berarti ketentuan, hal ini karena dalam Islam bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam Al-Qur‟an. 77 78
Ibid. M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 29.
52
Menurut bunyi pasal 49 UU No. 9 Tahun 1989 tentang Peradilan agama, hukum waris yang dipraktekkan di Pengadilan Agama adalah Hukum Waris Islam. Selama ini, ketika disebut hukum waris Islam, maka asosiasinya adalah hukum waris menurut madzhab imam Asy-Syafi‟I atau pendapat Hazairin dan muridnya Sajuti Thalib. Hukum waris Islam adalah hukum waris yang bercorak patrilineal.79 Dalam hukum kewarisan ada unsur-unsur yang memungkinkan peralihan harta peninggalan seseorang yang berlangsung sebagaimana mestinya. Unsur-unsur tersebut adalah :80 a. Pewaris Pewaris adalah orang yang ada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (pasal 171 huruf b Kompilasi). Atas dari Ijtibari, peralihan harta orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya terjadi dengan sendirinya menurut ketentuan Allah S.W.T. tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris maupun permintaan dari ahli warisnya, sehingga tidak ada satu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak.81 b. Harta Warisan Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai 79
Ridwan, Op.cit., hlm. 116 Mohammad Daud Ali, Op.cit., hlm. 308 81 H. Moh. Muhibbin, H. Abdul Wahid, Op.cit., hlm. 23 80
53
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat (pasal 171 huruf e KHI). Dapat dibedakan dengan harta peninggalan (pasal 171 huruf d KHI) yaitu, harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Dengan arti lain dapat dikatakan harta peninggalan adalah apaapa yang berada pada seseorang
yang meninggal saat kematiannya,
sedangkan harta warisan merupakan harta yang berhak diterima dan dimiliki olehwaris yang telah terlepas dari tersangkutnya segala macam hak orang lain di dalamnya. Keberadaan Pasal 171 huruf e KHI telah menghapuskan keraguan pada kalangan Islam mengenai kedudukan harta bersama dalam perkawinan, sesuai dengan acuan hukum yang selama ini disepakati dalam hukum perkawinan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Menurut Pasal 85 KHI : Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Karenanya sejak berlangsungnya perkawinan dengan sendirinya terbentuk harta bersama antara suami istri. Prinsip ini bersumber dari ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan : harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga sepenuhnya prinsip ini dianggap melekat dalam Bab XIII Kompilasi Hukum Islam yang mengatur bukan saja menjamin
54
kepastian hukum, tetapi juga menjadikan hukum harta terpisah dalam perkawinan di Indonesia adalah seragam.82
c. Ahli Waris Pada Bab II tentang Ahli Waris (Pasal 172 sampai dengan pasal 191) Kompilasi Hukum Islam. Yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang atau orang-orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia. Disamping karena hubungan kekerabatan (darah atau nasab) dan perkawinan, yang akan dijelaskan dibawah, seseorang baru dapat menjadi ahli waris kalau memenuhi syarat-syarat berikut (a) masih hidup pada waktu pewaris meninggal dunia, (b) tidak ada sebab-sebab yang menghalanginya menjadi ahli waris, dan (c) tidak tertutup (terdinding atau terhijab) oleh ahli waris yang lebih utama. Pada pokoknya perincian ahli waris adalah sebagai berikut : 1) anak laki-laki dan perempuan 2) cucu, baik anak laki-laki maupun perempuan 3) ayah 4) ibu 5) kakek 6) saudara laki-laki dan saudara perempuan kandung, seayah atau seibu 82
M. Ridwan Indra, Hukum Waris di Indonesia menurut BW dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1993, hlm. 11.
55
7) anak saudara 8) paman dan bibi 9) anak paman dan anak bibi Semua ahli waris (dari i sampai ix) adalah ahli waris karena hubungan darah, sedang ahli waris karena hubungan perkawinan adalah suami atau isteri. Kedudukan suami atau isteri sebagai ahli waris ditetapkan dengan tegas dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ (4) ayat 12. Hubungan perkawinan tidak menyebabkan atau mengakibatkan hak kewarisan apa pun bagi kerabat suami dan atau kerabat isteri.83 6. Sekilas Tentang Kedudukan Ahli Waris Pengganti (Mawali) Mawali ialah ahli waris pengganti. Yang dimaksud ialah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Sebabnya ialah karena orang yang digantikan itu adalah orang yang seharusnya menerima warisan kalau ia masih hidup, tetapi dalam kasus yang bersangkutan ia telah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris. Orang yang digantikan itu hendaklah merupakan pengghubung antara dia yang menggantikan ini dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan. Mereka yang menjadi mawali ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (bentuknya dapat saja dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.
83
Mohammad Daud Ali, Op.cit., hlm. 309.
56
7. Tinjauan Tentang Kedudukan Ahli Waris Pengganti (Mawali) Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Asas-asas hukum kewarisan Islam yang berlaku juga dalam kompilasi hukum Islam, diantaranya adalah asas keadilan yang berimbang. Kedalam asas keadilan yang berimbang ini, dapat juga dimasukkan soal ahli waris pengganti yang dikedepankan Hazairin, yang dirumuskan dalam pasal 185 dengan kata-kata “(1) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173 yaitu orang yang dihukum karena (a) dipersalahkan telah membunuh atau menganiaya berat pewaris, atau (b) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. (2) bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris sederajat yang telah diganti”. Alasan memasukkan ahli waris pengganti ini kedalam asas keadilan yang berimbang adalah karena masalah cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu dari pewaris, menjadi masalah keadilan benar.84 Ada dua syarat yang harus dipenuhi mawali tampil sebagai ahli waris, yaitu : 1) orang yang menghubungkan mawali dengan pewaris harus telah meninggal terlebih dahulu, dan 2) antara mawali dan pewaris terdapat hubungan darah. Dengan adanya syarat hubungan darah ini, maka bagi janda dan duda tidak memiliki mawali. Mawali-mawali meliputi :
84
Mohammad Daud, Op.cit., hlm. 326
57
a. Mawali untuk anak, baik laki-laki maupun perempuan b. Mawali untuk saudara, baik laki-laki maupun perempuan c. Mawali untuk ibu, dan d. Mawali untuk ayah.85 Pasal 185 KHI melembagakan Plaatsvervulling kedalam hukum Islam. Ketentuan ini merupakan suatu terobosan terhadap pelenyapan hak cucu atas harta warisan ayah apabila ayah lebih dahulu meninggal dari kakek. Berbicara mengenai pelembagaan ini, ada beberapa hal yang penting untuk dicatat seperti berikut ini. 1) Pelembagaannya melalui pendekatan kompromistis dengan hukum adat atau nilai-nilai hukum Eropa. 2) Cara perkembangannya tidak mengikuti pendekatan berbelit melalui bentuk wasiat wajibah seperti yang dilakukan beberapa negara seperti Mesir. Akan tetapi langsung secara tegas menerima konsepsi yuridis waris pengganti (Plaatsverulling) baik dalam bentuk dan perumusan. 3) Penerimaan lembaga ini tidak secara bulat, tetapi dalam bentuk modifikasi, dalam acuan penerapan: 1. Bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. 2. Jadi kalau waris pengganti seorang saja, dan ayahnya mempunyai saudara perempuan, agar bagiannya sebagai ahli waris pengganti tidak 85
Firdaus Muhammad Arwan, “Silang Pendapat Tentang Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Pemecahannya”, http://badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2445&item-54, hlm. 4.
58
lebih besar dari bagian saudara perempuan ayahnya, harta warisan dibagi dua antara waris pengganti dengan bibinya.86 Motivasi pelembagaan waris pengganti didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan, tidak layak, tidak adil, dan tidak manusiawi menghukum seseorang dengan tidak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh ayahnya, hanya karena faktor kebetulan ayahnya meninggal lebih dahulu dari kakek. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan fakta, pada saat kakek meninggal, anak-anaknya semua sudah kaya dan mapan. Sebaliknya si cucu karena ditinggal yatim, melarat, dan miskin. Apakah patut melenyapkan haknya untuk memperoleh apa yang semestinya mendapat bagian ayahnya?.87 Ketentuan itu menjadi menarik, karena merupakan gagasan baru yang dituangkan menjadi suatu kaidah hukum yang mengacu kepada kemaslahatan,
yang menempatkan harta warisan sebagai simbol
kerukunan keluarga (dalam arti keluarga luas).88 B. Hukum Adat (BW) 1. Pengertian Burgerlijk Wetboek (BW) Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana. Pengeertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar 86
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 49. Ibid, hlm. 50. 88 Cik Hasan Bisri, Op.Cit., hlm. 29. 87
59
perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Secara terminologis, istilah hukum perdata didefinisikan secara beragam sesuai perspektif atau sudut pandang terhadap hukum perdata itu sendiri. Antara lain: a) HFA. Vollmar: aturan-aturan atau norma-norma yang memebrikan pembatasan dan oleh karenanya memebrikan perlindungan pada kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas. b) Sudikno Mertokusumo : hukum antara perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat
yang
pelaksanannya diserahkan masing-masing pihak. c) Salim HS: keseluruhan kaidah-kaidah hukum (tertulis/tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subyek hukum satu dengan subyek hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan kemasyarakatan. d) Titik Triwulan Tutik : hukum perdata adalah aturan yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1) Adanya kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, 2) Mengatur hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain, 3) Bidang hukum
60
yang diatur dalam hukum perdata, meliputi: hukum orang, hukum keluarga, hukum benda dan sebagainya.89 2. Ruang Lingkup Hukum Perdata Kaidah hukum perdata dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain bentuk, subjek dan substansinya. Berdasarkan bentuknya hukum perdata dapat dibedakan menjadi 2 macam : tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perdata tertulis, terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat dan yurisprudensi, sedangkan hukum perdata tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat (kebiasaan adat) seperti hukum adat dan hukum Islam. Subjek hukum perdata terdiri atas : manusia dan badan hukum. Manusia dalam istilah biologis dipersamakan dengan orang atau individu dalam istilah yuridis. Hal ini karena manusia memiliki hak-hak subjektif dan kewenangan hukum. Sedangkan badan hukum adalah kumpulan orangorang yang memiliki tujuan-tujuan tertentu, harta, kekayaan, serta hak dan kewajiban. Substansi yang diatur dalam hukum perdata, yaitu : (1) dalam hubungan keluarga (2) dalam pergaulan masyarakat. Dalam hubungan keluarga, akan timbul hukum tentang orang (badan pribadi) dan hukum keluarga, sedangkan dalam pergaulan masyarakat akan menimbulkan hukum harta kekayaan, hukum perikatan dan hukum waris.
89
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 34
61
3. Sistematika Hukum Perdata Menurut ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata dapat dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu : a. Hukum perorangan (personenrecht) Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum),tentang
umur,kecakapan
untuk
melakukan
perbuatan
hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya. b. Hukum keluarga (familierecht) Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan perceraian hubungan orang tua dan anak perwalian curatele dan sebagainya. c. Hukum harta kekayaan (vermogensrecht), Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum
seseorang
dalam
lapangan
harta
kekayaan
seperti
perjanjian,milik,gadai dan sebagainya. d. Hukum Waris (arfrecht). Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
62
4. Pembentukan KUH Perdata atau Burgelijk Wetboek (BW) KUH Perdata atau BW merupakan ketentuan hukum produk Hindia Belanda yang diundangkan tahun 1848, diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi, Berdasarkan sistematika yang ada dalam KUH perdata (BW), hukum perdata terdiri atas 4 (empat) buku, yaitu : a. Buku I perihal orang (van personen), yang membuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan; b. Buku II perihal benda (van zaken), yang memuat hukum benda dan hukum waris; c. Buku III perihal perikatan (van verbentennissen), yang memuat hukum harta kekayan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu; d. Buku IV perihal pembuktian dan kadaluarsa (van bewijs en varjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum. Berdasarkan sistematika tersebut, substansi KUH perdata terdapat dalam 2 bagian: Buku I, II dan III berisi ketentuan hukum perdata materiil, sedangkan Buku IV, berisi ketentuan hukum perdata formil. Ditinjau dari segi perkembangannya, hukum perdata Indonesia sekarang menunjukan tendensi perubahan. Sebagaimana sistematika hukum perdata Belanda yang diundangkan pada tanggal 3 Desember 1987 Stb. 590 dan mulai berlaku 1 April 1988 meliputi 5 buku, yaitu : 1) Buku I tentang hukum orang dan keluarga (personen-familie-recht)
63
2) Buku II tentang hukum badan hukum (rechtspersoon) 3) Buku III tentang hukum hak kebendaan (van zaken) 4) Buku IV tentang hukum perikatan (van verbentennissen) 5) Buku V tentang daluarsa (van verjaring) Sedangkan ditinjau dari segi pembidangan isinya, hukum perdata Indonesia dalam perkembangannya terbagi menjadi bagian-bagian antara lain: Bidang Hukum Keluarga (perkawinan, perceraian, harta bersama, kekuasaan orang tua, kedudukan, pengampuan dan perwalian), Bidang Hukum Waris, Hukum Benda, Bidang Hukum Jaminan, Bidang Hukum Badan Hukum, Bidang Hukum Perikatan Umum, bidang Hukum Perjanjian Khusus. 5. Hukum Kewarisan BW Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hokum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan. Kiranya akan lebih jelas apabila kita memperhatikan rumusan hukum waris yang diberikan oleh Pitlo di bawah ini, rumusan tersebut menggambarkan bahwa hukum waris merupakan bagian dari kenyataan, yaitu : “Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum
64
mengenai
kekayaan
karena
wafatnya
seseorang,
yaitu
mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.90 Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu : a. ada seseorang yang meninggal dunia; b. ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia; c. ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris. Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”.
91
Hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
90 91
A. Pitlo, Op.Cit, Hal. 1 R. Subekti, Op.Cit, Hal. 79
65
Yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW antara lain “adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewktuwaktu menuntut pembagian dari harta warisan”. 92 Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapt ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam pasal 1066 BW, yaitu: Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu, Perjanjian penagguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak. Dari ketentuan pasal 1066 BW tentang pemisahan harta peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa system hukum waris menurut BW memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum waris yang lainnya. Ciri khas tersebut di antaranya hokum waris menurut BW menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalau pun
92
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., Hal. 12.
66
hendak dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris. 1) Warisan dalam sistem hukum waris BW Berbeda dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut kedua sistem hukum di atas yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli waris menurut sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benarbenar hak mereka yang bebas dari tuntutan kreditur pewaris. Sedangkan warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain: a. Hak memungut hasil (vruchtgebruik); b. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;
67
c. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota/persero. 2) Pewaris dan dasar hukum mewaris Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW ada dua cara, yaitu: a. menurut ketentuan undang-undang; b. ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).93 Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sebisa mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal tersebut. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah dia meninggal dunia. Akan tetapi apabila ternyata seseorang tidak menentukan sendiri semasa dia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, maka dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut. Di
93
R. Subekti, Op.Cit, Hal. 78
68
samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah “suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah dia meninggal dunia”. 94 Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun. Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian dari hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi, pemberian seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestato.
3) Ahli waris menurut sistem BW Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
94
Ibid., Hal. 88
69
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi; b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama saudara pewaris; c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris; d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Undang-undang
tidak
membedakan
ahli
waris
laki-laki
dan
perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggiderajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli Waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu
70
sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat. 6. Kedudukan Ahli Waris Pengganti Dalam BW Pergantian adalah memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak yang diganti. Pergantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus dengan tiada akhirnya. Dalam segala hal, pergantian seperti di atas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa anak pewaris yang meninggal mewarisi bersama-sama dengan keturunan pewaris yang telah meninggal terlebih dahulu. Maupun sekalianketurunan mereka mewaris bersama-sama,satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.
71
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN AHLI WARIS PENGGANTI MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
A. Ketentuan Plaatsvervulling Dalam Kompilasi Hukum Islam Salah satu konsep pembaharuan hukum kewarisan Islam dalam kompilasi hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam pasal 185 KHI yang berbunyi sebagai berikut: 1.
Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka keddudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2.
Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajad dengan yang diganti. Dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum kewarisan tersebut
dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah dan menghindari sengketa. Dalam kaitannya dengan hal ini, soepomo dalam bukunya bahkan mengatakan bahwa munculnya institusi pergantian tempat didasarkan pada aliran pemikiran bahwa harta benda dalam keluarga sejak semula memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan turunannya. Jika seoarang anak meninggal sedang orang
72
tuanya masih hidup, anak-anak dari orang yang meninggal dunia tersebut akan menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris harta benda kakeknya. Berdasarkan pasal tersebut, cucu berhak memperoleh bagian waris yang ditinggalkan kakek atau neneknya apabila orang tua cucu tersebut lebih dahulu atau bersama-sama meninggal dunia dengan kakek atau neneknya, dengan perolehan sebesar bagian yang didapatkan orang tuanya jika masih hidup. Bila menggunakan instrument wasiat, maka yang didapat cucu tidak boleh lebih dari 1/3 harta. Sedangkan melalui system waris pengganti cucu bias mendapatkan 1/3 dari harta. Hanya saja KHI membatasi bahwa bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Rumusan pasal 185 ayat (1) yang menggunakan kalimat “dapat digantikan” memunculkan ketidakpastian munculnya ahli waris pengganti. Kata “dapat” mengandung pengertian yang bersifat fakultatif atau tentative sehingga bisa diartikan ada ahli waris yang bisa digantikan dan ada yang mungkin tidak bisa digantikan. Terhadap sifat tentative-nya pasal 185 ini menurut Rihan A.Rasyid, justru merupakan pengaturan yang tepat sekali, sebab tujuan dimasukkannya penggantian ahli waris dalam KHI karena melihat kenyataan dalam beberapa kasus, ada rasa kasihan terhadap cucu pewaris. Artinya penerapan ketentuan penggantian ahli waris ini bersifat kasuistis, sehingga fungsi hakim sangat menentukan
dalam
menerapkan
dapat
digantikan
atau
tidak
dapat
73
digantikannya ahli waris.95 Pendapat Raihan ini menunjukkan masih kuatnya pengaruh system kewarisan jumhur yang cenderung berbentuk patrilenial sehingga penggantian ahli waris ini semata-mata dipandang sebagai jalan keluar atas rasa belas kasihan kepada cucu yang ditinggal mati orang tuanya lebih dahulu dari pewaris, bukan didasarkan atas statusnya sebagai anggota kerabat. Pendapat Raihan ini mendapat kritik dari Ahmad Zahari 96 yang mengatakan bahwa pendapat seperti itu sebagai bentuk diskriminatif dan tidak adil. Selain itu penentuan penggantian ahli waris digantungkan kepada pertimbangan hakim, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sifat tentatifnya pasal 185 menurut Ahmad Zahari, harus dimaknai bukan digantungkan kepada pertimbangan hakim, melainkan digantungkan kepada kehendak ahli waris pengganti, apakah ia akan mendapatkan posisi yang telah disediakan atau tidak. Lebih lanjut Raihan,
97
mengemukakan bahwa, lahirnya KHI
dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan dalam beberapa kasus adanya rasa kasihan terhadap cucu atau cucu-cucu yang masih kecil yang ditinggal mati orang tuanya hanya selang beberapa waktu dengan meninggalnya pewaris (nenek atau kakek). Alasan ini menurut Raihan sangat logis, apalagi jika kondisi ekonominya memprihatinkan. Oleh karena itu pemberian hak kepada ahli waris pengganti merupakan kebijakan yang sangat baik dan sejalan dengan misi Islam sebagai Rohmatan lil „alamin. 95
Mimbar hukum, No. 23 Tahun VI 1995, hal. 57 Ahmad Zahari, Op.Cit, Hal. 88-113 97 Mimbar Hukum, Loc cit. 96
74
Menurutnya, pemberian hak kepada ahli waris pengganti ini merupakan gambaran atas fenomena ketidak adilan yang terjadi di masyarakat, sehingga sepantasnya apabila cucu diberikan bagian dari harta kakek atau neneknya. Pandangan Raihan di atas ada benarnya, namun kiranya tidak tepat jika pemberian hak kewarisan kepada ahli waris pengganti semata-mata didasarkan atas rasa belas kasihan karena faktor ekonomi. Jika pemberian hak mewaris itu didasarkan oleh faktor ekonomi tentu Al-Qur‟an membatasi pemberian hak kewarisan hanya kepada ahli waris yang ekonominya lemah, sedangkan ahli waris yang ekonominya kuat tidak perlu diberikan hak, namun pada kenyataannya Al-Qur‟an tidak menetapkan demikian. Al-Qur‟an dalam menetapkan hak kewarisan tidak hanya terbatas pada ahli waris yang miskin saja, melainkan juga kepada ahli waris yang kaya. Meskipun orang tua pewaris kaya raya, sementara anak-anak pewaris sangat miskin, Al-Qur‟an telah menetapkan hak bagi orang tua pewaris. Demikian juga sebaliknya, meskipun nak-anak pewaris kaya raya, sedangkan orang tuanya sangat miskin, Al-Qur‟an tetap memberikan hak kepada anak-anak pewaris.98 Ini membutikkan bahwa Al-Qur‟an dalam menerapkan pemberian hak kewarisan kepada seseorang bukan digantungkan kepada kondisi ekonomi, melainkan didasarkan pada kedudukannya sebagai anggota kerabat. Adapun faktor ekonomi menjadi penguat perlunya memberikan hak kepada ahli waris pengganti.
98
Firdaus Muhammad Arwan, Op.Cit., hal. 9
75
Persoalan lain akibat sifat tentatifnya aturan ahli waris pengganti adalah menimbulkan ketidakkonstannya kedudukan ahli waris pengganti ketika mempunyai dua kedudukan. Cucu laki-laki dari anak laki-laki yang ditinggal mati ayahnya bisa mempunyai dua kedudukan sekaligus yaitu sebagai ahli waris ashobah dan sebagai ahli waris pengganti. Apabila cucu tersebut diberikan kebebasan untuk memilih, sedah tentu akan memilih kedudukan yang lebih menguntungkan. Sebagai contoh misalnya, seorang cucu laki dari anak laki-laki bersama delapan anak perempuan, jika cucu menempati kedudukan ahli waris pengganti dan diberikan kedudukan sama seperti anak laki-laki maka bagian yang diterima adalah 2/10 (asal masalah 2+8= 10), sedangkan diberi bagian tidak boleh melebihi bagian bibinya, maka bagian yang diterima akan lebih kecil adalah paling banyak 1/9 (asal masalah 1+8= 9). Bagian cucu akan menjadi lebih besar apabila cucu menempati kedudukannya sebagai ashobah yaitu mendapat bagian 1/3, sedangkan yang 2/3 untuk delapan anak perempuan selaku dzawil furudl. Apabila cucu diberikan kebebasan untuk memilih sudah tentu cucu akan memilih menempati kedudukannya sebagai ashobah.99 Kebolehan untuk memilih seperti ini tentu dirasa tidak adil oleh anak perempuan, sebab kalau saja saudaranya (anak laki-laki pewaris) tidak meninggal lebih dahulu, maka mereka bersama-sama menduduki kedudukan ashobal bil ghair sehingga bagian anak laki-laki hanya 2/10 dan anak
99
Ibid., hal. 10
76
perempuan 1/10. Menempatkan cucu sebagai ashobah dengan menerima bagian 1/3 tentu dirasa tidak adil, sebab bagian yang diterima jauh lebih besar dari bagian ayahnya jika masih hidup adalah 2/10. Oleh Karena itu hak opsi yang dikemukakan oleh Ahmad Zahari bahwa ahli waris pengganti boleh memilih antara menempatkan atau tidak menempatkan dirinya sebagai ahli waris pengganti dapat menimbulkan ketidakadilan disamping mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum. Adanya opsi dalam satu tatanan hukum akan menghilangkan sifat keuniversalan sebuah aturan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam membuat suatu aturan harus selalu diupayakan dapat diberlakukan secara konstan dalam kondisi dan situasi apapun untuk mewujudkan kepastian hukum. Satu-satunya cara untuk mengatasi problem tentang kedudukan ahli waris pengganti ini adalah dengan memberlakukan penggantian ahli waris secara imperative yakni setiap ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris harus digantikan oleh anak-anaknya. Mereka tidak memberi peluang untuk memilih kedudukan mana yang menguntungkan, sebab jika diberi peluang untuk itu, maka akan ada ahli waris lain yang dirugikan. Adapun cara yang ditempuh untuk merubah sifat tentatifnya pasal 185 ayat (1) adalah dengan menghilangkan kata “dapat” sehingga berbunyi: “ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris kedudukannya digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.” 100
100
Ibid., hal. 11
77
Dengan merubah bunyi pasal tersebut, maka tidak ada lagi opsi untuk memilih bagian yang menguntungkan dan tidak ada lagi penentuan ahli waris pengganti digantungkan kepada pertimbangan hakim. Dengan demikian, maka sifat diskriminatif, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dapat terhindari. Sebelum dilakukannya perubahan atas bunyi pasal 185 (KHI), kiranya Mahkamah Agung dapat mengeluarkan peraturan mengenai petunjuk penerapan pasal 185 ayat (1) dengan memberlakukannya secara imperatif. Pendapat berbeda dikemukakan oleh idris Djakfar dan Taufiq Yahya. Menurut mereka, jangkauan penggantian ahli waris meliputi seluruh garis hukum, baik garis ke bawah maupun menyamping.101 Sebagaimana telah dimaklumi bahwa system kewarisan KHI berbentuk bilateral, maka sebagai konsekuensinya tidak ada perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan sampai garis hokum manapun. Oleh karena itu jika KHI konsisten menghapuskan diskriminasi tersebut, maka mau tidak mau jangkauan penggantian ahli waris ini harus meliputi seluruh garis hukum. Apabila KHI memandang adanya ketidak-adilan yang dirasakan oleh cucu dari anak perempuan yang menurut jumhur tidak mendapat bagian karena bersatatus dzawil arham atau oleh cucu perempuan dari anak laki-laki karena terhijab oleh anak laki-laki, tentunya KHI juga harus memandang adanya ketidakadilan terhadap sepupu (anak perempuan paman) yang tidak dapat menerima bagian akibat adanya anak laki-laki paman. Mereka merupakan orang yang sama-sama tidak bernasib baik dilahirkan sebagai perempuan.
101
Ahmad Zahari, Op.Cit., hal. 114
78
Pengertian pasal 185 KHI ini apabila dicermati maka makna yang terkandung didalamnya mencakup penggantian tempat, derajat dan hak-hak tanpa membedakan dari garis keturunan laki-laki atau perempuan. Penggantian tempat cucu menggantikan kedudukan orang tuanya dan menempati kedudukan orang tuanya selaku pewaris. Penggantian derajat artinya ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan anak laki-laki memperoleh derajat sama dengan anak laki-laki, ahli waris yang menggantikan anak perempuan maka ia memperoleh derajat sama dengan anak perempuan yang digantikannya. Penggantian hak artinya, jika orang yang digantikan oleh ahli waris pengganti tersebut memperoleh warisan maka ahli waris pengganti juga berhak menerima warisan. Jika ia menggantikan kedudukan anak laki-laki maka ia akan mendapat bagian warisan sebesar bagian anak laki-laki, jika perempuan maka ia akan mendapatkan bagian sebesar bagian anak perempuan yang ia gantikan, dengan ketentuan anak laki-laki mendapatkan dua kali bagian dan perempuan seperti yang diatur dalam surat An-Nisa‟ ayat 11 yang menyatakan bahwa bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.102 Mengenai jangkauan
keberlakuan penggantian ahli
waris ini,
sebenarnya telah berakomodir dalam bunyi pasal 185 ayat (1) yang menyatakan ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya.
102
Puji Wahyuni, Tesis Megister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, 2005, Kedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Menurut Hukum Kewarisan Islam , (httpeprints,undip.ac. id15075.pdf), Hal. 64
79
Apabila dicermati bunyi pasal tersebut, polemik tentang hal ini tidak perlu terjadi karena secara harfiyah sudah memberikan makna bahwa jangkauan penggantian ahli waris itu meliputi seluruh garis hukum baik kebawah maupun menyamping. Pemahaman demikian, dapat diperoleh dengan menyimak dua kata kunci yang yang ada pada pasal tersebut yaitu kata “ahli waris” dan kata “anaknya”. Dari segi bahasa kata ahli waris merupakan lafal “nakiroh” yang mencakup seluruh ahli waris tidak terbatas kepada ahli waris tertentu. Dengan demikian, maka kata anaknya memberi pengertian anak dari semua ahli waris baik dari segi kebawah maupun menyamping. Apabila dalam suatu ketentuan hokum tidak ditemukan adanya pembatasan atas keumumannya, maka keumuman itu yang diberlakukan. Dengan berpedoman kepada keumuman lafal tersebut, maka cucu maupun sepupu meskipun sampai jauh mereka dapat menjadi ahli waris pengganti. Kesimpulan ini didukung oleh tidak dikenalnya zawil arham dalam KHI. Dengan tidak dikenalnya zawil arham member petunjuk bahwa semua kerabat pewaris dapat tampil sebagai ahli waris melalui penggnatian ahli waris sepanjang tidak terhijab oleh ahli waris yang lebih utama. Oleh karena itu anak-anak saudara laki-laki maupun anak-anak saudara perempuan baik lakilaki maupun perempuan serta anak-anak paman baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti.
80
B. Ketentuan Plaastsvervulling Dalam Hukum Perdata (BW) Dalam KUHPerdata dikenal tiga macam pergantian yaitu : pergantian dalam garis lurus ke bawah tiada batas, pergantian dalam garis ke samping dan pergantian dalam garis ke samping menyimpang.103 Ahli waris pengganti dalam KUHPerdata menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak. Artinya, segala hak dan kewajiban orang tuanya yang berkenaan dengan warisan beralih kepadanya. 1. Penggantian Dalam Garis Lurus ke Bawah Setiap anak yang meninggal dunia lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya, demikian pula jika diantara pengganti-penggantinya itu ada yang meninggal lebih dahulu lagi, maka digantikan oleh anak-anaknya, begitu seterusnya, dengan ketentuan bahwa semua keturunan dari satu orang yang meninggal dunia lebih dahulu tersebut harus dipandang sebagai suatu cabang dan bersama-sama memperoleh bagiannya orang yang mereka gantikan. Seseorang yang karena suatu sebab telah dinyatakan tidak patut menjadi ahli waris atau orang yang menolak warisan, maka anak-anaknya tidak dapat menggantikan kedudukannya karena ia sendiri masih hidup. Apabila tidak ada anak selain dari yang dinyatakan tidak patut menerima warisan atau menolak warisan, maka anak-anaknya dapat tampil
103
M. Idrris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992, Hal. 125-126
81
sebagai ahli waris, tetapi bukan karena pergantian kedudukan orang tuanya (plaatvervulling) melainkan karena kedudukannya sendiri.104 2. Pergantian Dalam garis Lurus Kesamping Apabila saudara baik saudara kandung maupun saudara tiri pewaris meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya digantikan oleh anakanaknya. Jika anak-anak saudara telah meninggal, maka digantikan oleh keturunannya begitu seterusnya. 3. Penggantian Dalam Garis Lurus Kesamping Menyimpang. Dalam hal yang tampil sebagai hali waris itu dari anggota-anggota keluarga yang lebih jauh tingkat perhubungannya dari pada saudara, misalnya paman atau keponakan, dan mereka ini meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya digantikan oleh keturunannya sampai derajat keenam.
C. Persamaan Dan Perbedaan Plaatsvervulling Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Perdata. Dari uraian di atas dapat diambil Persamaan ahli waris pengganti antara Kompilasi Hukum Islam dan hukum kewarisan KUH Perdata. Pada prinsipnya ahli waris pengganti dalam pengertian kedua hukum tersebut sama, yaitu seseorang yang menggantikan kedudukan ahli waris yang lebih dulu meninggal dari pewaris yang seharusnya memperoleh harta warisan itu, dan ahli waris yang digantikan itu merupakan penghubung antara seseorang yang
104
R. Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: intermasa, 1979, Hal. 83
82
menggantikan dengan pewaris, serta ada pada saat pewaris meninggal, seperti anak yang menggantikan kedudukan ayahnya. Perbedaan Plaatsverfulling Dalam Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Perdata (BW). No
Kompilasi Hukum Islam
Hukum Perdata (BW)
01
Penggantian dalam garis lurus ke
Penggantian dalam garis lurus ke
bawah dan garis lurus ke atas.
bawah, kesamping dan kesamping
artinya Cucu dari anak laki-laki
dan menyimpang artinya bukan
maupun anak perempuan bisa
hanya cucu saja yang bisa menjadi
menggantikan kedudukan orang
ahli waris pengganti melainkan juga
tuanya.
keponakan juga anak-anak dari saudara jauh.
02
Bagian ahli waris penggnati tidak
Bagian ahli waris pengganti sama
boleh melebihi dari bagian ahli
persis dengan bagian yang diperoleh
waris yang sederajad dengan
ayahnya ketika ia masih hidup.
yang diganti
83
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam. Dalam sistem ini, cucu berhak menggantikan kedudukan orang tuanya tersebut yang meninggal lebih dahulu dari pewaris. Namun bagian cucu tersebut tidak selalu sebesar orang tuanya. Bagian cucu tersebut tidak boleh melebihi bagian ahli waris lain yang sederajat dengan yang digantikannya. Bagian cucu dari harta warisan, maksimal sebesar harta warisan yang diterima ahli waris lainnya yang sederajat dengan yang digantikannya. Hazairin berpendapat bahwa cucu baik laki-laki maupun perempuan baik dari garis laki-laki maupun dari anak perempuan berhak untuk mewarisi atau menggantikan kedudukan orang tuanya yang telah meninggal lebih dahulu dari pada pewaris. 2. Hukum kewarisan menurut BW. Dalam sistem pergantian ini, tidak hanya cucu yang berhak menggantikan kedudukan orang tuanya tersebut yang meninggal dunia melainkan juga keponakan dan juga saudara kandung bisa digantikan oleh anak-anaknya. 3. Pada dasarnya ketentuan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam tidak jauh berbeda dengan ahli waris pengganti yang ada dalam
84
KUHPerdata (BW). Dalam KHI ahli waris pengganti hanya penggantian dalam garis lurus kebawah artinya hanya cucu yang bisa menggantikan orang tuanya dan sedangkan dalam KUHPerdata tidak hanya penggantian dalam garis lurus ke bawah melainkan juga pergantian dalam garis lurus kesamping dan garis lurus kesamping menyimpang. B. SARAN Rumusan Ahli Waris Pengganti dalam KHI masih berpotensi timbulnya berbagai
penafsiran
yang
mengakibatkan
terjadinya
silang
pendapat
dikalangan akademisi maupun praktisi. Sumber permasalahan terletak pada sifat tentatifnya penggantian ahli waris, kedudukan ahli waris pengganti dan jangkauan keberlakuan penggantian ahli waris. Apabila KHI akan ditingkatkan menjadi Undang-Undang seyogyanya aturan mengenai ahli waris pengganti ini lebih diperjelas dan diatur dalam beberapa pasal, sehingga ada rincian yang lebih jelas yang memberi batas sampai seberapa jauh penggantian tempat itu bisa dilakukan. Dengan adanya rincian yang jelas, maka putusan yang diadakan oleh hakim pun akan seragam dan dapat memenuhi rasa keadilan. Dengan demikian, kepastian hukum yang menjadi ide dasar dan cita-cita dari pemrakarya penyusunan Kompilasi Hukum Islam dapat benar-benar terwujud. C. PENUTUP Dengan segala rasa syukur kepada Allah SWT
yang senantiasa
memberikan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesiakan penulisan skripsi ini dengan baik tanpa adanya hambatan yang
85
berarti. Ungakapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terselaikannya skripsi ini. Tidak lupa penulis mohon maaf, apabila dalam penyusunan kalimat maupun bahasa yang mungkin masih dijumpai banyak kekeliruan, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang baik guna perbaikan dimasa mendatang. Mudah-mudahan atas selesainya penulisan skripsi yang penulis buat ini kiranya Allah SWT memberikan ridla-Nya, semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung di akhirat nanti dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bermanfaat bagi penuntut ilmu pada umumnya, amin.
86
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul gani, Pengantar Kompilasi Hokum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, cet. 1 Al-Albani, M. Nashiruddin, Ringkasan Shohih Muslim, Jakarta: Gema Insani, 2005, cet. 1 Ali, H. Mohammad Daud, Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, cet. 6. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Panduan Praktis Hukum Waris, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006, Ar-Rifa‟I, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. 1. Arwan, Firdaus Muhammad, “Silang Pendapat Tentang Ahli waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Pemecahannya,” Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby, Fikih Mawaris Hukum Pembagian Warisan Menurut Syari‟at Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra,2010. Basyir, Ahmad Azhar, asas-asas Hukum MuamalahHukum Perdata Islam, Yogyakarta: FH-UI, 1993. Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Ed.Revisi, cet.4. Bisri, Cik Hasan, peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, cet.2. Budiono, Rachmad, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Emir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeven, 1996. Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, Ditbin Bapera, 1998. Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Semarang: CV Asy Syifa‟, 2001, hal. 116 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, ed. 111, cet. 4.
87
Hamid, Muhammad Muhyiddin Abdul, Panduan Waris Empat Mazhab, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009, cet. 1. Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Ed. 2, cet. 3. Harun, Badriyah, Panduan Praktis Pembagian Waris, Jakarta: pustaka Yustisia, 2009, cet. 1. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, httpeprints.undip.ac.id15075.pdf. -----, Hukum Kewarisan BilateralMenurut Al-Qur‟an dan Hadits, Jakrta: Tintamas, 1990. Indra, M. Ridwan, Hukum Waris di Indonesia Menurut BW dan KOmpilasi Hukum Islam, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1993 Khoiri Nur, Metode Penelitian Pendidikan, Jepara: INISNU, 2012. Kuzari, H. Achmad, Sistem Ashobah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, Ed. 1, cet. 1. Lubis, Suhrawardi K. dan Komisi Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakatra: Sinar Grafika, 2008, Ed. 2, cet.2. Mimbar Hukum, No.23 Tahun IV 1995. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Cipta Aditya, 2010. Muhibbin, H. Moh. Dan H. Abdul Hamid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Ed. 1, cet. 1. Ramulyo, H.M. Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, cet. 1. Ridwan, Membongkar Fiqh Negara, Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto & Unggun Religi, 2005. Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Rumadi, Marzuki Wakhid, Fiqh Madzhab Negara, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001, cet. 1, Salma, Otje dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006, cet.2. Satrio J, Hukum Waris, Bandung:Penerbit Alumni, 1992.
88
Soekanto Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Subekti R,Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2008. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakrta: Rineka Cipta, 2005, cet. 3. -----, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta: PT Rineka Putra, 1991, cet. 1. Summa, M. Amin, hukum keluarga islam didunia islam, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004. Suparman Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung: PT Refika Aditama, 2007. Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: sinar Grafika, 1993 Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010 Wahyuni, Puji, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, 2005, Kedudukan Cucu Sebagai Ahli Waris Pengganti Menurut Hukum Kewarisan Islam, httpeprints.undip.ac.id15075.pdf. Yunus, Mahmud, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004, cet. 73 http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&view&id=2445&Itemid=5 4