1 BAB I PENDAHULUAN
A. Pengertian dan Arti Penting Pengantar Ilmu Hukum Pengantar Ilmu hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah ”Inleiding tot Derechtswetenschap”. Pengantar Ilmu hukum atau PIH adalah mata kuliah pendahuluan atau mata kuliah pembuka yang harus dipelajari oleh siapa saja yang akan mempelajari ilmu hukum.1 Sebagai mata kuliah dasar, PIH laksana pondasi yang akan menentukan kokoh atau tidaknya sebuah rumah yang bernama ilmu hukum. Jika pondasi rumah dibuat dalam, maka rumah yang ada di atasnya akan kuat pula. Sebuah gedung yang menjulang tinggi akan mampu berdiri dengan megah dan kokoh jika pondasinya dibuat dalam. Sebaliknya suatu gedung yang menjulang tinggi akan sangat berbahaya jika pondasinya dangkal. Pendek kata, untuk menentukan kekuatan dan ketinggian sebuah bangunan akan ditentukan seberapa dalam pondasi dari bangunan yang akan dibuat. Untuk mempelajari ilmu hukum pun demikian, orang tidak mungkin mampu mempelajari ilmu hukum secara baik tanpa memahami dasar-dasar dari ilmu hukum itu sendiri. Dengan demikian, mempelajari pengantar ilmu hukum
Siswo Wiratmo, Pengantar Ilmu Hukum (P.I.H), (Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, 1990), hlm. 3. 1
2 merupakan syarat mutlak jika ingin mempelajari ilmu hukum secara baik, benar dan mendalam. PIH mengkaji dasar-dasar dari ilmu hukum secara universal, abstrak dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sehingga pembahasannya pun masih bersifat abstrak dan global. Jika boleh diibaratkan, PIH seperti sebuah komplek perumahan yang di dalamnya berisi banyak rumah dan berbagai fasiitas pendukungnya. Ketika memilih salah satu rumah ibaratnya kita telah menentukan salah satu hukum, misalkan hukum Indonesia, dan ketika membuka pintu depan dari rumah tersebut, kemudian akan didapati ruang tamu, kamar utama, kamar anak, ruang tengah, kamar mandi, dapur dan lain sebagainya. Itu artinya ketika mempelajari hukum Indonesia, maka akan didapati bebagai macam bentuk dari hukum Indonesia, seperti hukum privat dan hukum publik. Ketika memasuki salah satu ruang, misalkan kamar utama, maka akan didapati tempat tidur, lemari, meja dan kursi rias dan sebagainya. Artinya ketika mempelajari hukum sipil akan dipelajari hukum perdata, hukum dagang dan lain sebagainya. Ketika akan mempelajari hukum dagang, maka akan didapati hukum perusahaan, asuransi, perbankan, HKI dan lain sebagainya. Ketika mempelajari hukum peusahaan, akan ditemukan berbagai bentuk perusahaan dan pengaturannya yang jumlahnya sangat banyak. Pengumpaan tersebut membuktikan bahwa ruang lingkup atau cakupan ilmu hukum sangat luas dan panjang, dan PIH adalah pintu pertama yang harus dilalui sebelum membuka pintu-pintu yang lain yang ada di dalam rumah.
3 Logikanya pintu kamar tidak dapat dibuka tanpa memasuki komplek perumahan dan membuka pintu depan dari rumah yang dituju kemudian membuka pintu kamar. Ini artinya bagaimana mungkin mempelajari ilmu-ilmu hukum lanjutan tanpa mempelajari, mendalami dan memahami dasar-dasar dari ilmu hukum. Dengan perumpamaan tadi, mempelajari pengantar ilmu hukum tidak bisa dianggap sepele. Mata kuliah ini sangat penting dan akan menentukan keberhasilan mempelajari ilmu-ilmu hukum yang kalau diibaratkan sebatang pohon yang sangat banyak memiliki cabang, ranting dan daun.
B. Ilmu-ilmu Pembantu dalam Ilmu Mempelajari Hukum Dalam hukum yang menjadi objek kajian adalah tentang tingkah laku manusia, khususnya tentang kaidah-kaidah hidupnya. Kaidah-kaidah hidup manusia akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, dan hukum akan selalu berhubungan dengan manusia dan perkembangannya. Ilmu hukum pun bukan merupakan suatu ilmu yang statis, tetapi selalu tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan perkembangan manusia. Karena itulah untuk memahami dan mencapai tujuannya, ilmu hukum juga membutuhkan ilmu-ilmu pembantu, seperti: 1. Sejarah Berfungsi untuk menyelidiki sistem hukum yang pernah berlaku dan perkembangannya serta memahami makna yang sebenarnya diinginkan oleh pembuat undang-undang. Contoh: UUD Manapun tidak dapat dipahami kalau hanya dibaca teksnya saja, untuk mengetahuinya harus dipelajari
4 bagaimana terjadinya teks itu (sejarah kelahiran), keterangan-keterangannya dan suasana kebatinan (Geistlichen Hintergrund) ketika teks itu dibuat. 2. Sosiologi Hukum adalah gejala riil dalam masyarakat, sehingga untuk mengetahui kebenaran sosial dan efektifitas hukum dalam masyarakat diperlukan bantuan dari sosiologi. 3. Perbandingan Hukum Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan hukum yang berlaku pada beberapa negara dan pada beberapa zaman. 4. Ekonomi Untuk mengetahui ada atau tidaknya kerugian terhadap keuangan negara dalam kasus korupsi, ilmu ekonomi lah yang sangat membantu di dalam proses pembuktiannya. 5. kedokteran Untuk mengetahui dan membuka tabir kasus-kasus pidana pembunuhan,
ilmu
kedokteran
yang
banyak
membantu
seperti untuk
menyingkapnya. 6. Politik Hukum adalah suatu proses politik dan hukum harus mampu melenyapkan ketegangan-ketegangan yang ada dalam masyarakat. 7. Teknik
5 Ilmu teknik diperlukan untuk membuktikan apakah suatu perbuatan itu terjadi karena forme majeur/overmacht (keadaan memaksa) atau karena kealfaan/kelalaian, seperti dalam kasus lumpur Sidoarjo, apakah semburan terjadi karena kelalaian ataukah karena bencana alam, ilmu tekniklah yang dapat menjaabnya.
6 BAB II NORMA ATAU KAIDAH
A. Manusia dan Hukum
Manusia
Interaksi
Manusia
Alasan: 1. Ekonomi: pangan, sandang dan papan 2. Hasrat membela diri (keamanan). 3. Melanjutkan keturunan
Norma Keagamaan
Tuhan
Norma Kesusilaan
Diri Manusia
Norma Kesopanan
Masyarakat
Norma Hukum
Negara
Norma
7 Menurut kodratnya, manusia di mana saja dan kapan saja sejak dilahirkan sampai meninggal dunia selalu hidup bersama-sama. Manusia sebagai perorangan atau individu cenderung untuk berkumpul dengan individu-individu lain. Dengan itu, manusia sebagai individu berkumpul dengan individu lain untuk
membentuk
kelompok
manusia
yang
hidup
bersama.
Karena
kecenderungannya untuk berkelompok ini manusia dinamakan makhluk sosial. Fakta ini sudah diketahui sejak dahulu kala dan philosof Yunani Aristoteles menamakan manusia sebagai zoon politicon (makhluk sosial).2 Menurut Sobhi Mahmassani, manusia bermasyarakat karena tabiatnya, sesuai dengan sifat aslinya sebagai makhluk madani, manusia tidak mungkin hidup menyendiri seperti hewan-hewan. Ia memerlukan hubungan madani.3 Keinginan manusia untuk hidup berkelompok didasarkan pada beberapa alasan, di antaranya:4 1. Hasrat untuk memenuhi makan dan minum atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi; 2. Hasrat untuk membela diri; 3. Hasrat untuk mengadakan keturunan. Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 12. 2
Menurut Mahmassani, Madani berarti makhluk yang tidak bisa hidup menyendiri. Ini sifatnya umum tanpa terkecuali, baik manusia yang sudah maju maupun yang masih primitif. Hidup bersama dalam masanya dan tolong menolong serta gantung menggantungkan satu dengan lainnya. Baca: Sobhi Mahmassani, Falsafah at- Tasyr ī’ f ī al-Islām, Alih Bahasa: Ahmad Sudjono, (Bandung: al-Ma’arif, 1976), hlm. 24-25. 3
4
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 215.
8 Sebagai pribadi, pada dasarnya manusia dapat berbuat apa saja secara bebas. Dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, kebutuhan untuk membela diri maupun kebutuhan untuk melanjutkan keturunan, manusia dapat melakukan apa saja dan berhubungan dengan siapa saja. Namun dalam prakteknya, tidak jarang karena hasrat untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya, manusia justru saling berhadapan dengan manusia lain sehingga keseimbangan dalam masyarakat akan terganggu dan timbul pertentangan-pertentangan di antara mereka. Dengan pembawaan sikap pribadinya tersebut, tanpa mengingat kepentingan orang lain, kepentingan itu kadang-kadang sama tetapi juga tidak jarang terjadinya kepentingan yang saling bertentangan untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu diperlukan hubungan atau kontak antara masyarakat yang satu dengan yang lain guna mencapai tujuan dan melindungi kepentingannya.5 Karena itulah manusia membutuhkan suatu aturan suatu tatanan yang dapat mengatur hubungan di antara manusia. Pada awalnya aturan-aturan tersebut sifatnya sangat sederhana. Namun seiring dengan semakin banyaknya manusia dan semakin kompleknya permasalahan yang ada, aturan-aturannya pun menjadi semakin sulit dan rumit untuk dirumuskan serta
5
Ibid.
9 membutuhkan pihak lain baik di dalam pembuatan, pelaksanaan maupun penegakannya agar tercipta ketertiban dan keteraturan. Masyarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Susah untuk mengatakan, adanya masyarakat tanpa ada suatu ketertiban. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh berbagai lembaga secara bersama-sama, seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu, dalam masyarakat akan dijumpai berbagai macam pedoman, patokan atau ukuran yang masingmasing memberikan kontribusinya dalam menciptakan ketertiban tersebut.6 Pedoman, patokan atau ukuran untuk berprilaku
atau bersikap dalam
kehidupan bersama disebut norma atau kaedah sosial. Norma atau kaedah sosial tersebut di antaranya: norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.7 1. Norma keagamaan adalah peraturan atau kaidah yang sumbernya dari firman atau perintah Tuhan melalui Nabi/utusannya. Bagi orang yang beragama, perintah atau firman Tuhan itu menjadi petunjuk atau pedoman di dalam sikap dan perbuatannya (way of life). Kaidah agama tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya tetapi juga mengatur hubungan di antara sesama manusia. Bagi mereka yang melanggar norma
6
Satjipto Rahardjo, Ilmu, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 13.
7
Siswo Wiratmo, Pengantar, (Yogyakarta: Perpustakaan FH. UII, 1990), hlm. 8-9.
10 agama akan mendapatkan sanksi yang berupa kemurkaan Tuhan atau siksaan neraka. 2. Norma kesusilaan adalah kaidah yang bersumber pada suara hati atau insan kamil manusia, kaidah itu berupa bisikan-bisikan suara batin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang dan menjadi dorongan atau pedoman dalam perbuatan dan sikapnya. Bagi mereka yang melanggar norma kesusilaan akan mendapatkan sanksi yang bersifat otonom yang datangnya dari diri orang itu sendiri berupa penyesalan, siksaan batin atau sejenisnya. 3. Norma kesopanan atau tatakrama ialah peraturan yang timbul dalam pergaulan hidup segolongan manusia, kaidah-kaidan ini diikuti dan ditaati sebagai pedoman dalam tingkah laku sesama orang yang ada di sekelilingnya.
Apabila
seseorang
melanggar norma
kesopanan akan
mendapatkan sanksi dari masyarakat yang berupa cemoohan, celaan, tertawaan, diasingkan dari pergaulan hidup dan sejenisnya. 4. Norma hukum ialah peraturan yang dibuat oleh negara dan berlakunya dipertahankan dengan paksaan oleh alat-alat negara seperti, polisi, jaksa, hakim, dan sebagainya. Ciri khas dari norma ini adalah memaksa. Sanksi terhadap orang yang melanggar norma hukum bersifat heteronom yang berasal dari luar, yakni pemerintah lewat aparatnya. Norma-norma atau kaedah sosial tersebut merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau seyogyanya tidak dilakukan, yang dianjurkan atau diperintahkan dan yang
11 dilarang atau dibenci. Dengan adanya kaedah sosial ini hendak dicegah gangguan-gangguan, bentrokan-bentrokan dan hal-hal negatif lainnya serta diharapkan akan melindungi kepentingan-kepentingan manusia. Kaedah sosial ini ada yang berbentuk tertulis adapula yang merupakan kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke generasi.8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm. 4. 8
12 BAB III HUKUM SUATU PENGANTAR
A. Norma Hukum
Tujuan
Isi Asal Usul Sanksi
Daya Kerja
Norma
Norma
Norma
Norma
Keagamaan
Kesusilaan
Kesopanan
Hukum
Umat manusia;
Pembuatnya kongkrit
Penyempurnaan manusia;
Ketertiban masyarakat
Jangan sampai manusia jahat
Jangan sampai ada korban
Ditujukan kpd sikap batin
Ditujukan kepada sikap lahir
Tuhan
Diri sendiri
Tuhan
Diri sendiri
Kekuasaan luar yang memaksa Masyarakat scr
Masyarakat scr
tidak resmi
resmi
Membebani
Membebani
Membebani
Membebani
kewajiban
kewajiban
kewajiban
kewajiban & memberi hak
Sumber: Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), hlm. 13.
Norma hukum berasal dari luar diri manusia. Norma hukum ditujukan kepada siifat lahir manusia atau perbuatan lahir manusia. Sehingga apa yang ada di lahir atau di batin manusia tidak akan menjadi masalah asal lahirnya tidak melanggar norma hukum. Sebagai contoh: apakah seseorang menghentikan kendaraan pada saat lampu lalu lintas menyala merah karena kesadaran atau
13 terpaksa, bagi hukum tidaklah penting. Yang penting bagi hukum ia mau menghentikan kendaraannya. Bila tidak, ia akan ditilang. Norma hukum ditujuan terutama kepada pelakunya yang kongkrit, yaitu si pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat. Meskipun norma hukum pada hakikatnya hanya memperhatikan keadaan lahir, namun dalam kasus tertentu setelah perbuatan lahir terbukti, perbuatan batin juga turut menentukan tingkat/kadar kesalahan pelaku pelanggaran hukum. Sebagai contoh dalam kasus pembunuhan, setelah kasus pembunuhan terbukti langkah seterusnya adalah menilai skap batin si pelaku, apakah pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja, direncanakan atau karena kealfaan. Norma hukum sebagian besar merupakan peraturan kesusilaan yang oleh penguasa diberi sanksi hukum. Perbuatan-perbuatan pidana yang diatur dalam KUHP hampir seluruhnya berasal dari norma kesusilaan, kesopananan, maupun agama. Norma hukum menuntut legalitas yang berarti yang dituntut adalah pelaksanaan atau pentaatan kaedah semata-mata. Hubungan antara norma hukum dengan norma keagamaan, kesusilaan maupun kesopanan terkadang saling menguatkan namun terkadang pula timbul perbedaan. Kumpul kebo atau hidup bersama tanpa nikah jelas melanggar norma kesopanan maupun keagamaan, namun tidak melanggar norma hukum. Pembunuhan apapun motifnya jelas melanggar semua norma tanpa terkecuali. Norma hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogyanya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya norma hukum
14 merupakan perumusan pendapat atau pandangan bagaimana seharusnya atau seyogyanya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman kaidah hukum bersifat umum dan pasif. Norma hukum berisi kenyataan normatif atau apa yang seyogyanya dilakukan (das sollen) dan bukan berisi kenyataan alamiah atau peristiwa kongkrit
(das
sein). Kata: ”Barangsiapa membunuh harus dihukum”,
”Barangsiapa membeli sesuatu harus membayar” merupakan das sollen, suatu kenyataan normatif dan bukan menyatakan sesuatu yang terjadi secara nyata. Apabila nyata-nyata seseorang telah membunuh atau membeli sesuatu tidak membayar, barulah terjadi peristiwa kongkrit (das sollen). Jadi, norma hukum dapat berfungsi apabila ada peristiwa kongkrit (das sein). Sebaliknya, peristiwa kongkrit (das sein) untuk menjadi peristiwa hukum memerlukan norma hukum (das sollen).9
9
Ibid., hlm. 12-20.
15 BAB IV PENGERTIAN HUKUM
Hukum Recht Pengertian Hukum secara Bahasa
Ius Lex
UNSUR HUKUM POSITIF Peraturan mengenai tingkah laku mns
Hukum (Positif)
Dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.Hukum ditemukan Bersifat memaksa Saksi terhadap pelanggaran tegas peraturan tersebut adalah tegas Dasar
16 Satu pertanyaan mendasar yang hingga kini sangat sulit untuk dijawab oleh para ahli hukum adalah tentang definisi ukum itu sendiri. Hingga saat ini pendapat tentang perlunya suatu definisi tentang hukum masih dipertentangkan orang. Sebagian orang megatakan bahwa suatu definisi tentang hukum diperlukan, terutama bagi mereka yang baru mempelajari hukum, setidaktidaknya merupakan suatu pegangan pendahuluan sebelum mempelajari hukum lebih lanjut. Di lain pihak, Immanuel Kant dua abad yang lalu pernah mengatakan: ”Noch Suchen die Juristen eine Definition zu Ihrem Begriffe von Recht”. Pernyataan ini jika diterjemahkan berbunyi, tidak ada seorang ahli hukum pun yang mampu membuat definisi tentang hukum.10 Aveldoorn juga mengatakan bahwa hukum banyak seginya dan begitu luas cakupannya, sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam satu rumusan secara memuaskan.11 Secara bahasa, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hukum, yaitu: 1. Hukum; 2. Recht; 3. Ius; 4. Lex.
10
Pernyataan Kant ini dikutip oleh Lili Rasjidi, Filsafat Hukum; Apakah Hukum itu, (Bandung: Remadja Karya, 1987), hlm. 1. L.J. van Aveldoorn, Inleidng Tot de Stude van Het Nederlandse Recht, alih bahasa Oetarid Sadino, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1990), hlm. 1. 11
17 Kata “hukum” berasal dari bahasa Arab
و-
(hakama-
hukman wa huk−matan) yang menurut Kamus al Munawwir berarti memimpin, memerintah, menetapkan, memutuskan. Kata ( اal-hukmu) bisa berarti putusan, ketetapan, kekuasaan, pemerintahan, dan hukum. Sedang orang yang bertugas untuk memutuskan dinamakan dengan آ. 12 Kata “Recht” berasal dari bahasa latin Rectum yang mempunyai arti bimbingan, tuntutan atau pemerintahan. Bertalian dengan kata Rectum dikenal pula kata “Rex”, yaitu orang yang pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah. Kata Rex juga dapat diartikan raja yang mempunyai regimen yang artinya kerajaan. Kata Rectum juga dapat dihubungkan dengan kata Directum atau Rector yang berarti orang yang pekerjaannya membimbing atau mengarahkan. Kata Recht atau bimbingan atau pemerintahan selalu didukung oleh kewibawaan. Seorang yang membimbing, memerintah harus mempunyai kewibawaan. Kewibawaan mempunyai hubungan erat dengan ketaatan, sehingga orang yang mempunyai kewibawaan akan ditaati oleh orang lain. Dengan demikian, kata recht mengandung pengertian kewibawaan dan hukum atau recht itu akan ditaati secara sukarela. Kata “Ius” berasal dari bahasa latin Iubere yang berarti mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur dan memerintah berpangkal pokok pada
12
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: PP al-Munawwir, 1984),
hlm. 308-309.
18 kewibawaan. Kata Ius bertalian erat dengan “Iustitia” atau keadilan. Dalam mitologi Yunani, Iustitia merupakan dewi keadilan yang dilambangkan dengan kedua matanya yang tertutup dengan tangan kiri memegang neraca dan tangan kanan memegang pedang. Kata “Lex” berasal dari bahasa latin Lesere yang berarti mengumpulkan maksudnya ialah mengumpulkan orang-orang untuk diberi perintah. Sehingga kata Lex berarti hukum yang sangat erat kaitannya dengan perintah atau larangan. Dari beberapa pengertian di atas, kata “hukum” berkaitan erat dengan keadilan, kewibawaan, ketaatan, perintah, dan norma. Keempat kata tersebut sering digunakan untuk menyebut istilah hukum dalam berbagai arti atau tempat, seperti: Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana); adagium Ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum); Lex
specialis derogat legi generally (Hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum), dan lain-lain. Pendek kata keempat kata tersebut bukan sesuatu yang asing ketika mempelajari ilmu hukum. Meskipun sangat sulit untuk membuat sebuah definisi tentang hukum yang sempurna, sebagai pengantar tidak ada salahnya dikemukakan beberapa pengertian hukum dari para pakar hukum, di antaranya:13
13
C.S.T. Kansil, Pengantar, hlm. 35-36.
19 1. E.M. Mayers dalam bukunya ”De Algemene Begrippen van Het Burgerlijk Recht” Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi peguasa-penguasa negara dalam melakukan tujuannya”. 2. Leon Duguit: “Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang ada penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu”. 3. Immanuel Kant “Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan”. 4. Aristoteles
“Particular law is that which each community lays down and applies to its own members. Universal law is the law of nature”. 5. Grotius
“Law is a rule of moral action obliging to that which is right”. 6. Philip S. James
“Law is body of rule for the guidance of human conduct which are imposed upon, and enforced among the members of a given State”.
20 7. Utrecht “Hukum itu himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan laranganlarangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”.
Pendapat tersebut diungkapkan beberapa puluh tahun yang lalu dan tentu saja ruang lingkup hkum dan perkembangannya sudah jauh berubah. Sehingga semakin sulit untuk bisa mendefinisikan apakah hukum itu? Hukum tidak lagi hanya bisa didekati secara normatif atau legisme semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, agama, ekonomi, dan lain-lain. Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan para sarjana hukum di atas, memang sangat sulit untuk membuat definisi tentang apakah itu hukum? namun dapat untuk memudahkan pemahaman, dapat dipersempit menjadi hukum positif yang unsur-unsurnya meliputi: 1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat. 2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib. 3. Peraturan itu bersifat memaksa. 4. Saksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
21 BAB V ILMU PEMBANTU DALAM MEMPELAJARI HUKUM
Dalam hukum yang menjadi objek kajian adalah tentang tingkah laku manusia, khususnya tentang kaidah-kaidah hidupnya. Kaidah-kaidah hidup manusia akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, dan hukum akan selalu berhubungan dengan manusia dan perkembangannya. Ilmu hukum pun bukan merupakan suatu ilmu yang statis, tetapi selalu tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan perkembangan manusia. Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner karena digunakannya berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk membantu menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di dalam masyarakat. Untuk memahami dan mencapai tujuannya, ilmu hukum juga membutuhkan ilmu-ilmu pembantu, seperti: 8. Sejarah Berfungsi untuk menyelidiki sistem hukum yang pernah berlaku dan perkembangannya serta memahami makna yang sebenarnya diinginkan oleh pembuat undang-undang. Contoh: UUD Manapun tidak dapat dipahami kalau hanya dibaca teksnya saja, untuk mengetahuinya harus dipelajari bagaimana terjadinya teks itu (sejarah kelahiran), keterangan-keterangannya dan suasana kebatinan (Geistlichen Hintergrund) ketika teks itu dibuat.
22 9. Sosiologi Hukum adalah gejala riil dalam masyarakat, sehingga untuk mengetahui kebenaran sosial dan efektifitas hukum dalam masyarakat diperlukan bantuan dari sosiologi. 10. Antropologi Untuk membantu tentang kerja dari hukum yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Pengadilan negara misalnya, tidak dapat dilihat sebagai satu-satunya lembaga yang dapat menyelesaikan perkara, tetapi merupakan salah satu lembaga yang dapat menyelesaikan perkara, sebab dimungkinkan ada lembaga-lembaga lain di masyarakat yang mempunyai fungsi serupa. 11. Perbandingan Hukum Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan hukum yang berlaku pada beberapa negara dan pada beberapa zaman.
12. Ekonomi Sebagai contoh, untuk mengetahui ada atau tidaknya kerugian terhadap keuangan negara dalam kasus korupsi, ilmu ekonomi lah yang sangat membantu di dalam proses pembuktiannya.
23 13. Kedokteran Dapat digunakan untuk mengetahui dan membuka tabir kasus-kasus pidana seperti pembunuhan, ilmu kedokteran yang banyak membantu untuk menyingkapnya. 14. Politik Hukum adalah suatu proses politik dan hukum harus mampu melenyapkan ketegangan-ketegangan yang ada dalam masyarakat. 15. Teknik Ilmu teknik diperlukan untuk membuktikan apakah suatu perbuatan itu terjadi karena force majeur/overmacht (keadaan memaksa) atau karena kealfaan/kelalaian, seperti dalam kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, apakah semburan terjadi karena kelalaian ataukah karena bencana alam, ilmu tekniklah yang dapat menjawabnya. 16. Ilmu pembantu lainnya Sangat terbuka ilmu hukum membutuhkan ilmu-ilmu lain selain ilmu-ilmu pembantu di atas sesuai dengan kasus atau peristiwa hukum yang terjadi.
24 BAB VI SUMBER HUKUM
ANEKA ARTI SUMBER HUKUM
Asal mula hukum Hukum ditemukan Sumber Hukum Dasar putusan hakim
Dasar mengikatnya hukum
SUMBER HUKUM FORMAL Undang-undang (Statute) Kebiasaan (Custom) Sumber Hukum Formal
Keputusan Hakim (Jurisprudensi)
Traktat (Treaty) Pendapat Sarjana (Doktrin)
25 Sumber hukum selalu dikaitkan atau berhubungan dengan pertanyaan berikut ini: 1. Dari manakah asal mula hukum? 2. Di manakah hukum dapat ditemukan? 3. Di manakah hakim dapat mencari atau menemukan hukum yang dijadikan dasar putusannya? 4. Bagaimanakah kita mengetahui bahwa suatu peraturan tertentu mempunyai kekuatan mengikat atau berlaku? Menurut Sudikno Mertokusumo, sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya.14 Sedang menurut Suroso, sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.15 Yang dimaksud dengan segala sesuatu adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya dari mana hukum itu dapat ditemukan, dari mana asal mulanya hukum, di mana hukum dapat dicari atau hakim menemukan hukum, sehingga dasar putusannya dapat diketahui bahwa
14
Sudikno Mertokusumo, Mengenal, hlm. 63.
15
R. Soeroso, Pengantar, hlm. 117.
26 suatu peraturan tertentu mempunyai kekuatan mengikat atau berlaku dan lain sebagainya.16 Menurut Sudikno, kata sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti, yaitu:17 1. Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya. 2. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan kepada hukum yang sekarang berlaku, seperti hukum Perancis, hukum Romawi. 3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat) 4. Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen, undang-undang, lontar, batu bertulis dan sebagainya. 5. Sebagai sumber terjadinya hukum; sumber yang menimbulkan aturan hukum. Sumber hukum menurut Algra sebagaimana dikutip oleh Sudikno dibedakan menjadi dua, yaitu:18
16
Ibid.
17
Sudikno Mertokusumo, Mengenal, hlm. 63.
18
Mengenal, hlm. 64.
27 1. Sumber hukum materiil Artinya tempat dari mana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, seperti situasi sosial, politik, ekonomi, keagamaan dan sebagainya. 2. Sumber hukum formil Artinya tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Sumber hukum formal berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Menurut van Apeldorn, sumber hukum dibedakan menjadi empat macam, yaitu: 1. Sumber hukum historis Ahli sejarah memakai perkataan sumber hukum dalam dua arti, yaitu: a. Sumber pengenalan hukum, yakni semua tulisan, dokumen, inskripsi dan sebagainya , dari mana kita dapat belajar mengenal hukum suatu bangsa pada suatu waktu. b. Sumber dari mana pembentuk undang-undang memperoleh bahan dalam membentuk undang-undang.
2. Sumber hukum sosiologis (teleologis) Faktor-faktor yang menentukan isi dari suatu hukum, seperti sosial, politik, ekonomi, agama dan sebagainya.
28 3. Sumber hukum filosofis Dibagi menjadi 3, yaitu: a. Sumber isi hukum, isi hukum itu datangnya dari mana? Ada
tiga
pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut: 1) Pandangan teokratis isi hukum berasal dari tuhan 2) Pandangan hukum kodrat isi hukum berasal dari akal manusia 3) Pandangan mazhab historis isi hukum berasal dari kesadaran hukum. b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum Mengapa hukum mempunyai kekutan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaedah hukum bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena didorong oleh alasan kesusilaan atau kepercayaan. 4. Sumber hukum formal Sumber hukum dilihat dari cara terjadinya hukum positif. Sumber yang melihat dari mana hukum berlaku dan mengikat hakim serta penduduk. Sumber hukum inilah yang paling penting di dalam mempelajari hukum. Sumber hukum formal dari hukum positif adalah: 1. Undang-undang Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.19 19
C.S.T. Kansil, Pengantar, hlm. 46.
29 Menurut Buys sebagaimana dikutif oleh Kansil, undang-undang mempunyai dua arti, yakni:20 a. Undang-undang dalam arti formal, yakni setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya. Misalnya dibuat oleh pemerintah bersama parlemen. b. Undang-undang dalam arti meterial, yakni setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk. 2. Adat kebiasaan (custom) Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakuka berulanga-ulang dalam hal yang sama, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan dirasakan sebagai pelanggaran oleh perasaan hukum. Contoh tanda menyerah dalam suatu peperangan adalah adalah dengan cara mengibarkan bendera (kain) berwarna putih. Cara ini bersumber dari kebiasaan internasional, sehingga setiap negara/tentara yang melanggarnya dapat dijatuhi sanksi. 3. Perjanjian (traktat/treaty) Termasuk perjanjian antarnegara dan perjanjian antarwarganegara. Apabila dua orang atau dua pihak mengadakan kata sepakat (konsensus) tentang sesuatu hal, maka mereka lalu mengadakan perjanjian. Akibat perjanjian tersebut, mereka terikat pada isi perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam masalah perjanjian dikenal istilah Pacta Sunt Servanda, artinya bahwa 20
Ibid.
30 perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau perjanjian harus ditaati dan ditepati. Perjanjian yang dibuat oleh negara disebut perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional (traktat). Traktat juga mengikat warga negara dari negara-negara yang bersangkutan. Jika teraktat hanya diadakan/dibuat oleh dua negara, traktat tersebut disebut traktat bilateral dan bersifat tertutup, contoh
perjanjian
antara
Indonesia
dengan
Cina
tentang
”Dwi-
Kewarganegaraan”, perjanjian tentang perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Apibila diadakan/dibuat oleh lebih dari dua negara disebut traktat
multilateral. Apabila traktat ini memberikan kesempatan kepada negaranegara yang tidak menandatangani traktat untuk menggabungkan atau mengikatkan diri dengan traktat tersebut, maka traktat tersebut adalah traktat
kolektif atau traktat terbuka, contoh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, ASEAN.21 4. Keputusan hakim (yurisprudensi) Yurisprudensi
adalah
keputusan-keputusan
hakim
sebelumnya
yang
dipergunakan sebagai bahan pertimbangan oleh hakim berkutnya dalam mengambil keputusan. Dasar hukum yurisprudensi yaitu: a. Dasar historis, secara historis banyak diikuti oleh umum. b. Adanya kekurangan dari hukum yang ada, karena pembuat UU tidak dapat mewujudkan segala sesuatu dalam undang-undang, maka
21
Ibid., hlm. 50-51.
31 yurisprudensi digunakan untuk mengisi kekosongan dari undangundang.22 Dasar kedua ini merupakan akibat dari Pasal 22 AB yang menyatakan: ”Bilamana seorang hakim menolak menyelesaiakan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebut, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena penolakan mengadili”. 5. Pendapat para ahli hukum (doktrin) Doktrin adalah pendapat para ahli hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim dalam mengambil keputusan. Seringkali hakim dlam keputusannya menyebut pedapat para sarjana hukum sebagai dasar pertimbangan dalam memutuskan perkara tertentu. Untuk menjadi sumber hukum formal, doktrin harus memenuhi syarat tertentu yakni doktrin menjelma menjadi keputusan hakim.23 Doktrin diakui sebagai salah satu sumber hukum formal pada hukum internasional. Menurut Pasal 38 ayat (1)
Statute of the International Court of Justice disebutkan beberapa sumber hukum formal hukum internasional, yaitu: 1.
Perjanjian internasional.
2.
Kebiasaan internasional
3.
Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa berdab.
4.
Keputusan hakim. 22
R. Soeroso, Pengantar, hlm. 164-165.
23
Ibid., hlm. 179-181.
32 5.
Pendapat para sarjana hukum (ahli hukum) terkemuka.
Di Indonesia, banyak pendapat Imam Syafi’i yang digunakan oleh hakim di Pengadilan Agama sebagai dasar dari putusan yang dibuatnya.
33 BAB VII CIRI HUKUM
Berisi perintah dan/atau larangan Ciri Hukum Harus dipatuhi oleh setiap orang
Untuk dapat mengenal hukum, harus dikenal pula ciri-cirinya, yaitu: 1 Berisi perintah dan/atau larangan; 2 Perintah dan/atau larangan tersebut harus dipatuhi oleh setiap orang. Oleh karena itulah, hukum berisi serangkaian peraturan yang berisi perintah dan/atau larangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Peraturanperaturan yang hidup di masyarakat itulah yang dinamakan kaedah hukum. Sebagai contoh: Barangsiapa dengan sengaja melangggar .....akan dikenai sanksi (sebagai akibat melanggar kaedah hukum) yang berupa hukuman. Hukuman atau pidana bermacam-macam jenisnya. Menurut Pasal 10 KUHP hukuman terdiri dari:
34 1. Pidana pokok, yang terdiri dari: a. Pidana mati b. Pidana penjara: 1). Seumur hidup 2) Sementara (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya satu tahun) atau pidana penjara selama waktu tertentu. c. Pidana kurungan, sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi-tingginya satu tahun. d. Pidana denda. e. Pidana tutupan. 2. Pidana tambahan, yang terdiri dari: a. Pencabutan hak tertentu. b. Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu. c. Pengumuman putusan hakim
35 BAB VIII SIFAT HUKUM
Sifat Hukum
Mengatur dan memaksa
Hukum
Agar peraturan-peraturan hidp kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaedah hukum. Maka peraturan kemasyarakatan tersebut harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian, hukum mempunyai sifat mengatur dan memaksa setiap orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukman) terhadap siapa saja yang tidak mau mematuhinya.
36 BAB IX TUJUAN HUKUM
Teori Etis
Tujuan Hukum
Keadilan
Teori Utilitis
Kemanfaatan
Teori Campuran
Keadilan & Kemanfaatan
Yang mempunyai tujuan sebenarnya adalah manusia, hukum hanya sebagai alat manusia untuk mencapai tujuannya. Namun, karena manusia dan hukum tidak dapat dipisahkan, maka dikatakan tujuan hukum.24 Dalam literatur, dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum, di antaranya: 1. Teori Etis (Ethische Theorie) Menurut teori ini, hukum bertujuan semata-mata untuk mewujudkan keadilan yang semaksimal maksimalnya dalam
masyarakat. Tokoh dari teori ini
adalah Geny. Teori ini sudah dikenal sejak zaman Aristoteles. Menurut Aristoteles, keadilan dibedakan menjadi dua yaitu: 24
Siswo Wiratmo, Pengantar, hlm. 20.
37 a. Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya. Jatah ini tidak sama untuk setiap orangnya tergantung pada kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan dan sebagainya yang sifatnya proporsional. Di sini bukan kesamaan yang dituntut, tetapi perimbangan. b. Justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya. Di sini yang dituntut adalah kesamaan. Yang adil adalah setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya. Dalam perjalanan atau praktiknya, terkadang sangat sulit untuk menentukan nilai keadilan ditentukan secara distributif atau komutatif, karena masingmasing punya argumentasi yang dapat diterima oleh nalar. Hukum tidak selalu identik dengan keadilan. Sebagai contoh, mengendarai kendaraan di sebelah kiri tidaklah dapat dikatakan adil, sedangkan mengendarai di sebelah kanan dikatakan tiak adil. Peraturan tersebut hanyalah agar lalu lintas berjalan teratur, lancar sehingga tidak terjadi tabrakan dan dengan demikian kepentingan manusia terlindungi.
2. Teori Utilitas (Utiliteits Theory) Menurut teori ini hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the
greatest number). Pada hakikatnya menurut teori ini tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar
38 bagi jumlah orang yang terbanyak. Penganut teori ini antara lain adalah Jeremy Bentham.25
3. Teori Campuran (Gemengde theory) Menurut teori ini tujuan hukum bukan hanya keadilan tetapi juga kemanfaatan. Penganut teori ini di antaranya adalah J. Schrasset. Mereka berpendapat bahwa bilamana elment/unsur keadilan saja yang diperhatikan, maka hasilnya hanyalah ketentuan-ketentuan yang memenuhi keadilan mutlak yang tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan dalam pergaulan sehari-hari.26
25
Sudikno Mertokusumo, Mengenal, hlm. 61.
26
Siswo Wiratmo, Pengantar, hlm. 21.
39 BAB X KLASIFIKASI HUKUM Hk. Undang-undang
Hukum Kebiasaan
1. Sumber
Hukum Traktat Hk. Jurisprudensi
Hukum Tertulis
2. Bentuk
Hukum Tidak Tertulis
Hukum Nasional
3. Tempat Berlaku
Hukum Asing Hukum Gereja Ius Constitutum
Pembagian Hukum
4. Waktu Berlaku
Ius Constituendum
Hukum Alam 5. Cara Mempertahankan
6. Sifat
Hukum Material Hukum Formal Hukum Memaksa Hukum Mengatur
7. Wujud
Hukum Objektif Hukum Subjektif
8. Isi
Hukum Material Hukum Formal
40 Meskipun sulit untuk membuat definisi tentang hukum, namun hukum dapat diklasifikasikan atau digolongkan menurut beberapa asas pembagiannya. Di antaranya:27 1. Menurut sumbernya, hukum dapat dibagi dalam: a. Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. b. Hukum kebiasaan (adat), yaitu hukum yang terletak di dalam peraturanperaturan kebiasaan (adat). c. Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara di dalam suatu perjanjian antarnegara. d. Hukum jurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim. 2. Menurut bentuknya, hukum dapat dibagi dalam: a. Hukum tertulis. Hukum tertulis terdiri dari: 1) hukum yang dikodifikasi Hukum yang dikodifikasi, yakni hukum yang tercantum dlam peraturan perundang-undangan dan disusun dalam suatu kitab hukum mengenai suatu jenis lapangan hukum. Contohnya, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
27
C.S.T. Kansil, Pengantar, 72-75.
41 Kebaikan dari kodifikasi adalah adanya kepastian hukum, kesatuan hukum
dan
penyederhanaan
hukum.
Adapun
keburukannya,
peraturan hukum yang telah dikodifikasi menjadi statis, tidak gampang mengikuti perkembangan masyarakat yang dinamis. 2) hukum yang tidak dikodifikasi b. Hukum tak tertulis 3. Menurut tempat berlakunya, hukum dibagi dalam: a. Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara. b. Hukum internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia internasional. c. Hukum asing, yaitu hukm yang berlaku di negara lain. d. Hukum gereja, yaitu kumpulan norma-norma yang diterapkan oleh gereja untuk para anggotanya. 4. Menurut waktu berlakunya a. Ius Constitutum (hukum positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. b. Ius Constituendum, yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang. c. Hukum asasi (hukum alam), yaitu hukum yang berlaku di mana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia. Hukum ini berlaku abadi terhadap siapa pun juga di seluruh tempat.
42 5. Menurut cara mempertahankannya, hukum dapat dibagi dalam: a. Hukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan
dan hubungan-hubungan yang
berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. b. Hukum formal (hukum proses atau hukum acara), yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberi putusan. 6. Menurut sifatnya, hukum dapat dibagi dalam: a. Hukum
yang
memaksa,
yaitu
hukum
yang
dalam
keadaan
bagaimanapun juga harus dan mempunyai paksaan mutlak. b. Hukum yang mengatur (Hukum pelengkap), yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalm suatu perjanjian. 7. Menurut wujudnya, hukum dapat dibagi dalam: a. Hukum objektif, yaitu hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu. b. Hukum subjektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum objektif dan berlaku terhadap seorang tertentu atau lebih. Hukum Subjektif disebut juga HAK.
43 8. Menurut isinya, hukum dapat dibagi dalam: a. Hukum
privat (hukum sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan-
hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. b. Hukum publik (hukum negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara).
44 BAB XI PEMBAGIAN HUKUM MENURUT ISI
Hukum Privat
Hukum
Hukum Perdata
Hukum Publik
Hukum Privat & Publik
Hukum Lingkungan Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum Pidana Hukum Tata Negara Hukum Administrasi Negara Hukum Internasional
Dari beberapa pembagian hukum sebagaimana disebutkan pada BAB IX, yang terpenting adalah pembagian hukum menurut hukum sipil dan hukum publik. Hukum sipil dalam arti luas terdiri dari hukum perdata dan hukum dagang, sedangkan hukum sipil dalam arti sempit hanya terdiri dari hukum perdata saja. Jadi jika diartikan secara luas, hukum perdata hanya sebagian dari
45 hukum sipil dan jika diartikan secara sempit, hukum perdata adalah sama dengan hukum sipil. Hukum publik terdiri dari: 1. Hukum Tata Negara, yaitu hukum yang mengatur bentuk dan susunan pemerintahan suatu negara serta hubungan kekuasaan antara alat-alat perlengkapan satu sama lain, dan hubungan antara negara (pemerintah pusat) dengan bagian-bagian negara. 2. Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Pemerintahan, yaitu hukum yang mengatur cara-cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alat-alat perlengkapan negara. 3. Hukum Pidana, yaitu hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara ke muka pengadilan. 4. Hukum internasional, terdiri dari: a) Hukum Perdata Internasional, yaitu hukum yang megatur hubungan antara warganegara-warganegara suatu negara dengan warganegarawarganegara dari negara lain dalam hubungan internasional. b) Hukum Publik Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara yang satu dengan negara yang lain dalam hubungan internasional.
46 Antara hukum perdata dengan hukum pidana mempunyai beberapa perbedaan di antaranya:28 1. Isi, Hukum perdata mengatur hubungan antara orang yang stu dengan orang yang lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangm, sedang hukum pidana mengatur hubungan hukum antara seorang anggota masyarakat (warganegara) dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat itu. 2. Pelanggaran, pelanggaran terhadap norma hukum perdata baru diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan yang disebut penggugat, sedangkan pelanggaran terhadap hukum pidana pada umumnya segera diambil tindakan oleh penegak hukum tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan atau ihak yang dirugikan cukup melapor kepada pihak berwajib. 3. Menafsirkan, hukum perdata memperbolehkan untuk mengadakan macammacam penafsiran terhadap undang-undang hukum perdata, sedangkan hukum pidana hanya mengenal penafsiran authentik, yaitu penafsiran yang tercantum dalam undang-undang hukum pidana sendiri. 4. Hukum Acara, hukum acara adalah hukum yang mengatur bagaimana mempertahankan hukum material. Ada beberapa perbedaan antara hukum acara perdata dan hukum acara pidana, di antaranya:29
28
C.S.T. Kansil, Pengantar, hlm 76-77.
29
Ibid., hlm. 77-79.
47 a) Perbedaan mengadili 1) Hukum acara perdata mengatur cara-cara mengadili perkara-perkara di muka pengadilan perdata oleh hakim perdata. 2) Hukum acara pidana mengatur cara-cara mengadili perkara pidana di muka pengadilan pidana oleh hakim pidana. b) Perbedaan pelaksanaan (inisiatip berperkara) 1) Pada acara perdata inisiatif datang dari pihak yang berkepentingan yang dirugikan (Penggugat). 2) Pada acara pidana inisiatif datang dari penuntut umum (jaksa). c) Perbedaan penuntutan 1) Pada acara perdata, yang menuntut tergugat adalah penggugat dan tidak ada penuntut umum atau jaksa. 2) Pada acara pidana, jaksa menjadi penuntut terhadap terdakwa. Jaksa sebagai penuntut umum mewakili negara. d) Perbedaan alat bukti 1) Pada acara perdata terdapat 5 alat buki, yaitu tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. 2) Pada acara pidan terdapat 4 macam alat b ukti kecuali pengakuan. e) Perbedaan penarikan kembali suatu perkara 1) Pada acara perdata, sebelum ada putusan hakim pihak-pihak yang berperkara boleh menarik kembali perkaranya. 2) Pada acara pidana, tidak dapat ditarik kembali.
48 f) Perbedaan kedudukan para pihak 1) Pada acara perdata, para pihak mempunyai kedudukan yang sama. Hakim hanya sebagai wasit dan bersifat pasif. 2) Pada acara pidana, jaksa kedudukannya lebih tinggi dari terdakwa dan hakim bersifat aktif. g) Perbedaan dasar keputusan hakim 1)
Pada acara perdata, putusan hakim cukup mendasarkan diri kepada keputusan formal saja, seperti akta tertulis.
2)
Pada acara pidana, putusan hakim harus didasarkan kepada kebenaran material (menurut keyakinan hakim)
h) Perbedaan macam hukuman 1)
Pada acara perdata, tergugat yang terbukti bersalah dijatuhi denda atau hukuman kurungan sebagai pengganti denda.
2)
Pada acara pidana, terdakwa yang terbukti bersalah dapat dijatuhi pidana mati, seumur hidup, kurungan atau denda, dijatuhi hukuman tambahan seperti dicabut hak-hak tertentu.
i) Perbedaan dalam banding 1)
Pada acara perdata, banding perkara perdata dari pengadilan negeri ke pengadilan tinggi disebut appel.
2)
Pada acara pidana, banding perkara pidana dari pengadilan negeri ke pengadilan tinggi disebut revisi.
(Appel dan revisi dalam bahasa Indonesia disebut banding).
49 BAB XII SUBJEK HUKUM
Orang
Subjek Hukum
Orang
Privat
Badan Hukum Publik
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah manusia. Jadi manusia oleh hukum diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, sebagai subjek hukum atau sebagai orang. Dewasa ini subjek hukum dibagi menjadi: 1. orang/manusia (natuurlijke persoon); dan 2. Badan Hukum (rechtspersoon). Adapun penjelasan dari keduanya adalah sebagai berikut:
50 1. Orang Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak dan kewajiban (rechtsdrager) atau subjek di dalam hukum. Pada masa sekarang tiap orang tidak peduli kebangsaan, agama atau statusnya adalah subjek hukum. Pada zaman dahulu ketika masih ada perbudakan, budak bukanlah subjek hukum tetapi merupakan objek hukum dan dapat diperjualbelikan. Selain itu, dahulu dikenal istilah kematian perdata (burgelyke dood), yaitu pernyataan pengadilan (lijke dood) yang menyatakan bahwa seseorang tidak oleh memiliki hak apapun lagi. Hal yang demikian tidak dimungkinkan lagi berdasarkan Pasal 3 BW yang berbunyi: ”Tiada suatu hukuman pun yang mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak-hak kewargaan”. Hukuman yang berupa pencabutan hak memang masih ada, tetapi terbatas kepada pencabutan terhadap hak-hak tertentu saja. Hukuman yang semacam itu tidak langsung hanya untuk sementara aktu saja.30 Hak-hak tertentu yang dapat dicabut di antaranya:31 a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; b. Hak memasuki angkatan bersenjata; c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
30
Lihat Pasal 10 KUHP.
31
Siswo Wiratmo, Pengantar, hlm. 42.
51 d. Hak menjadi penasehat, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri; e. Hak
menjalankan
kekuasaan
bapak,
menjalankan
perwakilan
atau
pengampuan atas anak sendiiri; f. Hak untuk menjalankan pencaharian tertentu. Berlakunya manusia sebagai pembawa hak mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia; bahkan seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap sebagai pembawa hak (dianggap telah lahir) apabila kepentingannya menghendaki, seperti untuk menjadi ahli waris, menerima pemberian asal saja ia dilahirkan hidup.32 Walaupun menurut hukum setiap orang dapat memiliki hak, namun tidak semua orang diperbolehkan sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu. Mereka yang oleh hukum dinyatakan tidak cakap (handelingsonbekwaam) ialah: a. Orang yang masih di bawah umur (belum dewasa).33 b. Orang yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabuk dan pemboros, yakni mereka yang ditaruh di bawah pengmpuan (curatele).34
32 33
C.S.T. Kansil, Pengantar, hlm. 117.
Ketentuan mengenai kedewasaan sangat beragam, menurut Pasal 330 BW belum cukup umur apabila belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin, menurut UU 1 Tahun 1974 untuk melangsungkan pekawinan batas umur bagi laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun, menurut UU Pemilu untuk dapat memilih minimal 17 tahun, untuk menjadi saksi di pengadilan orang harus berumur 15 tahun (Pasal 145 ayat (1) no. 3, 145 ayat (4) HIR, Pasal 172 ayat 1 no. 4 jo. 173 Rbg, Pasal 1912 BW). Pada umumnya batas umur kedewasaan adalah 21 tahun. (Baca: Sudikno Mertokusumo, Mengenal, hlm. 55-56).
52 c. Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).35
2. Badan hukum Manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum. Dalam lalu lintas hukum diperlukan sesuatu hal lain yang bukan manusia yang menjadi subjek hukum. Di samping orang, dikenal juga subjek hukum yang bukan manusia yang disebut badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Badan hukum bertindak sebagai satu kesatuan dalam lalu lintas hukum seperti orang.36 Hanya saja bedanya, badan hukum tidak dapat kawin, tidak dapat mempunyai anak. Badan hukum tidak dapat mempunyai kekuasaan marital. Badan hukum tidak dapat dipenjara kecuali dijatuhi hukuman denda. Badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurunya. Badan hukum dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:37
34
Bagi pemboros dan pemabuk yang diletakkan di bawah pengampuan, ketidakcakapan bertindak hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja. 35
Ketentuan tersebut sekarang sudah dicabut dengan SEMA no. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963. Hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 36
Sudikno Mertokusumo, Mengenal, hlm. 54.
37
C.S.T. Kansil, Pengantar, hlm. 118.
53 a. Badan hukum publik Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik yang menyangkut kepentingan publik, orang banyak atau negara pada umumnya. Badan hukum ini merupakan badan-badan hukum negara yang mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa, berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan eksekutif, pemerintah atau badan pengurus yang diberi tugas untuk itu. Contoh badan hukum publik seperti: negara, propinsi, kabupaten, Bank Indonesia dan lainlain. b. Badan hukum privat (perdata), yang dapat dibagi lagi menjadi: Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi di dalam badan hukum itu. Badan hukum ini merupakan badan hukum swasta yang didirikan oleh pribadi orang untuk tujuan tertentu, yaitu mencari keuntungan, sosial pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesehatan, olah raga dan lain-lain. Menurut, tujuannya, badan hukum privat dapat dibagi menjadi: 1) Perserikatan
dengan
tujuan
tidak
materialistis/amal.
Contoh:
perkumpulan gereja, badan wakaf, yayasan dll. 2) Persekutuan dengan tujuan memperoleh laba. Contoh: Perseroan Terbatas.
54 Ada beberapa teori yang berhubungan dengan badan hukum, yakni:38 1. Teori Fiksi atau anggapan dari Von Savigny, C.W. Opzoomer dan Houwing. Pada dasarnya subjek hukum hanya manusia. Badan hukum hanyalah anggapan (fiksi) saja, hanya gambaran saja yang tidak berujud dengan nyata. Ia dibuat oleh negara. Ia dipersamakan dengan orang. 2. Teori Kekayaan tujuan dari A. Brinz dan EIJ van der Heyden Menurut teori ini kekayaan badan hukum bukan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuannya (Zweck-Vermogen). Tiap hak tidak ditentukan oleh suatu subjek tetapi ditentukan oleh suatu tujuan. Menurut teori ini hanya manusialah yang menjadi subjek hukum dan badan hukum adalah untuk melayani kepentingan tertentu. 3. Teori Orgaan dari Otto von Gierke Badan hukum itu seperti manusia. Ia suatu jelmaan yang sungguh-sungguh ada dalam pergaulan hukum. Badan hukum itu membentuk kehendak sendiri dengan perantaraan alat-alat (organ) yang ada padanya (pengurus) seperti manusia. Menurutnya, badan hukum bukanlah sesuatu fiksi tapi merupakan makhluk yang sungguh-sungguh ada secara abstrak dari konstruksi yuridis. Fungsi badan hukum dipersamakan dengan fungsi manusia.
R. Soeroso, Pengantar, 243-244; Siswo Wiratmo, Pengantar, hlm. 43.
38
55 4. Teori milik kolektif dari W.LP.A. Molengraff dan Marcel Planiol Dalam teori ini badan hukum ialah harta yang tidak dapat dibagi-bagi dari anggota-anggota secara bersama-sama. Hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota secara bersamasama. Oleh karenanya badan hukum hanya konstruksi yuridis, jadi pada hakikatnya abstrak. 5. Teori Duguit Sesuai dengan ajarannya tentang fungsi sosial, dalam teiri ini Duguit tidak mengakui adanya badan hukum sebagai subjek hukum tetapi hanya fungsifungsi sosil yang harus dilaksanakan. Manusia sajalah sebagai subjek hukum, selain manusia bukan subjek hukum. 6. Teori Eggens Badan hukum adalah suatu ”hulpfiguur”, karena adanya diperlukan dan dibolehkan hukum, demi untuk menjalankan hak-hak dengan sewajarnya
(behoorlijk). Bahwa dalam hal-hal tertentu keperluan itu dirasakan, oleh karena hukum hendak memperlakukan suatu rombongan orang yang bersama-sama mempunyai kekayaan dan tujuan tertentu sebagai suatu kesatuan, karena seorang subjek hukum saja tidak dapat berwenang secara sendiri-sendiri bertindak dalam rangkaian peristiwa hukum itu.
56 BAB XIII OBJEK HUKUM
Berwujud Tidak berwujud Bergerak Tidak bergerak Habis Tidak Habis
Pembagian Objek Hukum
Sudah Ada Akan Ada Perdagangan Di Luar Perdagangan Dapat dibagi Tidak Dapat Dibagi Dan lain-lain
57 Objek hukum (recht object) adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum (manusia/badan hukum) dan yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subjek hukum, oleh karenanya dapat dikuasai oleh subjek hukum.39 Biasanya objek hukum disebut benda. Menurut hukum perdata, benda ialah segala barang-barang dan hak-hak yang dimiliki orang (vide Pasal 499 KUHPerd). Menurut Pasal 503 KUHPerd, benda dibagi menjadi: 1. Benda berwujud, yaitu segala sesuatu yang dapat diraba oleh pancaindera, seperti: rumah, buku dan lain-lain. 2. Benda tidak berwujud (benda immaterial), yaitu segala macam hak seperti: Hak cipta, merek dan lain lain. Menurut Pasal 504 KUHPerd, benda dapat juga dibagi atas: 1. Benda tidak bergerak (benda tetap), yaitu benda yang tidak dapat dipindahkan, seperti tanah dan segala sesuatu yang ditanam atau yang dibangun di atasnya, seperti: pohon, gedung, mesin-mesin dalam pabrik dan lain-lain. Kapal yang besarnya 20 m3 termasuk juga golongan benda tetap. 2. Benda bergerak (benda tidak tetap) yaitu benda-benda yang dapat dipindahkan, seperti: sepeda, meja, hewan dan lain-lain.
39
R. Soeroso, Pengantar, hlm. 246.
58 BAB XIV PERISTIWA HUKUM Perbuatan Hukum Bersegi Satu Wasiat
Perbuatan Hukum
Perbuatan Hukum Bersegi dua Perbuatan Subjek Hk
Perjanjian
Perbuatan yg sesuai dg hukum Peristiwa Hukum
Zaakwarneming Perb. Bukan Perb. Hukum
Bukan Perbuatan Subjek Hukum
(Pasal 1354 KUHPerd)
Perbuatan yg bertentangan dg hk
Onrechtmatige daad Kematian Kelahiran Lewat Waktu
(Pasal 1365 KUHPerd)
59 Anggota-anggota masyarakat setiap hari mengadakan hubungan satu dengan lainnya yang menimbulkan berbagai peristiwa kemasyarakatan. Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat-akibat dinamakan peristiwa hukum atau kejadian hukum (reshtsfeit).40 Peristiwa hukum dibagi menjad dua macam, yaitu: 1. Peristiwa yang merupakan perbuatan subjek hukum; dan 2. Peristiwa yang bukan merupakan perbuatan subjek hukum. Peristiwa yang merupakan perbuatan subjek hukum adalah perbuatan yang oleh hukum diberi akibat dan akibat itu dikehendaki oleh yang melakukannya. Apabila akibat perbuatan tidak dikehendaki oleh yang melakukannya atau salah satu dari yang melakukannya, maka perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan hukum. Dengan demikian, kehendak dari yang melakukan perbuatan merupakan unsur pokok dari perbuatan tersebut. Ada dua macam perbuatan, yaitu: 1. Perbuatan hukum yang bersegi satu (eenzijdig); 2. Perbuatan hukum yang bersegi dua (tweezijdig). Perbuatan hukum yang bersegi satu ialah perbuatan hukum yang akibat hukum yang ditimbulkannya merupakan kehendak dari satu subjek. Seperti perbuatan hukum yang disebutkan dalam Pasal 875 KUHPerd tentang perbuatan mengadakan surat wasiat.
40
C.S.T. Kansil, Pengantar, hlm. 121.
60 Perbuatan hukum yang bersegi dua ialah perbuatan hukum yang akibat hukum yang ditimbulkannya merupakan kehendak dari dua subjek hukum atau lebih. Tiap perbuatan hukum yang besegi dua merupakan perjanjian.41 Dalam Pasal 1313 KUHPerd ditegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan yang menyebabkan seorang atau lebih mengikat dirinya pada seorang lain atau lebih. Adapun perbuatan yang bukan perbuatan hukum dibagi menjadi: 1. Perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, walaupun bagi hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh pihak yang melakukan perbuatan itu. Jadi akibat yang tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu diatur oleh hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah perbuatan hukum. Contoh: Perbuatan memperhatikan (mengurus) kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh orang yang diurusnya untuk memperhatikan kepentingannya (zaakwarneming), seperti yang diatur dalam Pasal 1354 KUHperd). Dalam praktik, misalkan A sedang sakit dan tidak dapat mengurus kepentingannya, apabila B mengurus kepentingan A meskipun tanpa diminta oleh A, maka B harus mengurus kepentingan A sampai tuntas, sampai A sembuh dan dapat mengurus kembali kepentingannya. 2. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige daad). Akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur juga oleh hukum, meskipun perbuatan itu tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut. Dalam hal ini, siapa yang melakukan suatu perbuatan 41
Ibid., hlm. 122.
61 yang bertentangan dengan hukum harus mengganti kerugian yang diderita oleh yang dirugikan karena perbuatan itu. Jadi karena suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum akan menimbulkan suatu perikatan untuk mengganti kerugian yang diderita oleh orang yang dirugikan. Dalam sejarah hukum, perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang disebutkan dalam Pasal 1365 KUHPerd telah diperluas pengertiannya menjadi membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu (melalaikan) sesuatu yang: a. melanggar hak orang lain; b. bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan perbuatan itu; c. bertentangan
dengan
kesusilaan
maupun
asas-asas
pergaulan
kemasyarakatan mengenai kehormatan orang lain atau barang orang lain. Mengenai peristiwa yang bukan merupakan suatu perbuatan hukum, di antaranya: 1. Kelahiran, menimbulkan langsung hak-hak anak untuk memperolah pemeliharaan dari orang tuanya (Pasal 298 ayat (2) KUHPerd). 2. Kematian, diatur dalam Pasal 830 dan 833 KUHPerd. 3. Lewat waktu, yaitu lewat waktu akuisitif dan ekstinktif. Lewat waktu akuisitif adalah lewat waktu yang mengakibatkan memperoleh sesuatu. Lewat waktu ekstinktif adalah lewat waktu yang membebaskan seseorang dari tanggung jawab sehabis masa tertentu dan apabila syarat yang telah ditentukan undang-undang terpenuhi.
62 BAB XV PENAFSIRAN HUKUM
Gramatikal
Bahasa
Autentik
Resmi
Teleologis
Sosilogis
Sistematis
Menghubungkan dengan UU lain
Historis Komparatif Penafsiran Hukum
Sejarah Memperbandingkan
Futuristis
Mengantisipasi
Restriktif
Membatasi
Ekstensif
Memperluas
Metode Argumentasi Penemuan Hukum Bebas
Metode Berfikir Analogi, dibagi: Argumentum per Analogiam Penyempitan Hukum Argumentum a Contrario
63 Penafsiran atau interpretasi hukum berfungsi untuk mencari dan menetapkan dalil-dalil hukum yang termuat dalam undang-undang yang akan digunakan untuk menghukumi kasus-kasus kongkrit. Sebagai penegak hukum, hakim harus memutuskan perkara berdasarkan hukum yang telah ditetapkan. Namun permasalahannya, hukum yang ada
belum tentu mudah untuk
diterapkan pada kasus-kasus kongkrit. Ini bisa difahami karena dengan adanya kodifikasi, hukum menjadi kaku, statis dan sukar berubah. Di lain pihak, masyarakat terus berubah dan berkembang. Agar hukum dapat diaplikasikan dalam kasus-kasus kongkrit yang ada di masyarakat, maka diperlukan interpretasi hukum. Interpretasi hukum diperlukan karena hukum bersifat dinamis, maka hakim sebagai penegak hukum harus memandang kodifikasi sebagai pedoman agar ada kepastian hukum, sementara di dalam menjatuhkan putusan, ia harus mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.42 Ada beberapa cara atau metode untuk menafsirkan hukum, di antaranya:43 1. Penafsiran gramatikal, yaitu penasiran berdasarkan bunyi undang-undang secara tata bahasa, artinya hanya mengingat bunyi kata-kata saja.
42
Ibid.,, hlm. 66
Ibid, hlm. 66-71; Sudikno, Mengenal, hlm. 142-159; Siswo Wiratmo, Pengantar, hlm. 52-53; R. Soeroso, Pengantar, hlm. 98-109. 43
64 2. Penafsiran autentik atau penafsiran resmi, yaitu penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana diberikan oleh pembentuk undangundang atau negara. 3. Penafsiran teleologis atau penafsiran sosiologis, yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang. Adakalanya suatu undangundang yang telah lama/usang yang masih berlaku diterapkan pada suatu peristiwa yang terjadi masa kini. Sehingga undang-undang yang
telah
lama/usang tersebut ditafsirkan dengan berbagai cara agar sesuai dengan kondisi masa kini. Sebagai contoh, penyadapan aliran listrik secara illegal termasuk kategori pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP. 4. Penafsiran sistematis, yaitu penafsiran dengan menilik bunyi pasal lain dalam undang-undang tersebut, maupun dalam undang-undang lainnya. 5. Penafsiran historis, yaitu penafsiran denagan berdasarkan sejarahnya. Penafsiran historis ada dua cara, yaitu: b. Sejarah hukumnya, maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. c. Sejarah undang-undangnya, yang diseidiki adalah maksud pembuat undang-undang. Contoh: Untuk mengetahui makna hakiki dari UUD 1945 yang bersifat ringkas dan singkat atau suatu undang-undang, harus tahu pula sejarah terjadinya hukum tersebut atau perumusannya.
65 6. Penafsiran komparatif, yaitu penafsiran dengan cara memperbandingkan antara hukum lama dengan hukum positif yang berlaku, antara hukum nasional dengan hukum asing dan hukum kolonial. Seperti makna kata ”Perseroan Terbatas” yang berasal dari negara lain yang mengutamakan makna persaingan bebas tidak seluruhnya cocok dengan kondisi Indonesia. Contoh lain, seperti makna ”zina” dalam hukum Islam berbeda dengan hukum posiitif. 7. Penafsiran
futuristis,
yaitu
penafsiran
yang
bersifat
antisipasi
yang
berpedoman kepada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. 8. Penafsiran restriktif adalah penafsiran dengan cara mempersempit atau membatasi kata-kata. 9. Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata. Contoh: ”Aliran listrik” seperti contoh di atas yang tidak bisa dilihat dan diraba bisa dimasukkan ke dalam kategori benda, sehingga orang yang menyadap dapat dikategorikan sebagai pencuri. 10. Penafsiran dengan menggunakan metode argumentasi, yaitu metode penafsiran hukum yang digunakan apabila peraturan yang ada tidak jelas atau peraturannya belum ada. Agar tidak terjadi kekosongan atau ketidaklengkapan hukum digunakan metode berfikir:
66 a. Argumentum per analogiam, menganalogikan peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip yang belum ada pengaturannya dengan peristiwa yang sudah ada pengaturannya. b. Penyempitan hukum, kadang-kadang peraturan perundang-undangan yang ada ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, sehingga perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. c. Argumentum a contrario, ada kalanya suatu perisiwa khusus tidak diatur oleh suatu undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. 11. Penemuan hukum bebas. Penemuan hukum yang telah diuraikan di atas adalah penemuan hukum dengan metode interpretasi dan argumentasi yang berpijak pada undang-undang. Undang-undang memang harus dihormati, tetapi undang-undang akan selalu ketinggalan zaman. Makin tua umur undang-undang makin banyak kekosongan di dalamnya. Menghadapi persoalan tersebut, lama-kelamaan dirasakan perlunya hakim diberi kebebasan untuk melakukan penemuan hukum. Pada penemuan hukum bebas, hakim mempunyai tugas mencipta hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan hukum meskipun tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Seorang yang menggunakan penemuan hukum yang bebas tidak
67 akan berpendirian ”saya harus memutuskan demikian karena bunyi undangundangnya demikian”.