TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM
PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM
DISUSUN OLEH :
NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS : ILMU HUKUM SEMESTER / KELAS : I / B SORE
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Beberapa waktu yang lalu sering kita saksikan dan dengar kericuhan diakibatkan putusan pengadilan yang dirasa sebelah pihak kurang memuaskan rasa keadilan bagi pihak yang merasa dirugikan. Eksekusi paksa dari sebuah rumah menimbulkan keributan diantara kedua belah pihak yang bersengketa dan bisa jadi turut melibatkan pihak ketiga dalam hal ini petugas eksekusi dari pengadilan serta aparat yang tugasnya membantu kelancaran dari eksekusi dimaksud sehingga tidak jarang eksekusi itu dilakukan lebih dari sekali atau pada kasus yang lain seperti hukuman yang dijatuhkan melalui putusan pengadilan terhadap para koruptor dibandingkan dengan pelaku maling ayam yang dalam pandangan masyarakat awam sungguh mengusik rasa keadilan mereka. Tak jarang, kejadian atau peristiwa itu menimbulkan pro dan kontra yang dipublikasikan secara luas melalui media yang ada. Ada baiknya kita menelaah lebih dalam, sejauh manakah pengaruh putusan pengadilan di dalam hukum yang berlaku di Indonesia. Putusan pengadilan dalam hukum dari dulu hingga kini selalu menimbulkan perbedaan pandangan baik itu di kalangan para ahli hukum atau pun para ahli lainnya dilihat dari sudut pandang keilmuan mereka masing-masing. Lebih-lebih di kalangan masyarakat awam baik yang melek ataupun yang buta hukum sama sekali, tetap saja ada kontroversi yang menjadikan debat kusir di warung kopi, kafe sampai ke pasar tempat orang berbelanja. Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Dari hasil pengamatan penulis, Putusan Pengadilan itu tidak terlepas oleh Pemberi Putusan dalam hal ini Hakim yang memimpin jalannya sidang dari suatu perkara. Kontroversi yang terjadi dalam hal ini perlu dilakukan upaya pemahaman dan sosialisasi, yang tidak terlepas dari peranan hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum yang tugasnya mengadili tersangka atau terdakwa. Yang dimaksud dengan mengadili adalah : “Serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak pada sidang PENGADILAN dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana, yaitu memeriksa dengan berdasarkan pada bukti-bukti yang cukup. Pada tahap ini tersangka dituntut, diperiksa dan diadili oleh hakim dinamakan terdakwa”1 Untuk mengambil keputusan, hakim harus mempunyai pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan asas keadilan. Setiap putusan hakim merupakan salah satu dari ketiga kemungkinan sebagai berikut : 1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib, yaitu pemidanaan terhadap terdakwa apabila kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah dilakukan dan perbuatan itu adalah suatu tindak pidana menurut hukum dan keyakinan cukup dibuktikan. 2. Putusan bebas, yaitu terdakwa dibebaskan apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti. 3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yaitu jika kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi apa yang dilakukan terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana. Putusan Pengadilan yang merupakan putusan yang isinya menjatuhkan hukuman yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka keputusan tersebut dapat dijalankan. Melaksanakan keputusan tersebut adalah menyelenggarakan agar supaya segala sesuatu
1
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 127
yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dapat dilaksanakan, misalnya apabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar supaya segera dikeluarkan dari tahanan, apabila berisi penjatuhan pidana denda, agar supaya uang denda itu dibayar, dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam rumah Lembaga Pemasyarakatan dan sebagainya. Hasil keputusan hakim tersebut dapat menimbulkan dampak yang sangat luas bagi masyarakat. Hal tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam kasus-kasus.yang dipelajari dan ditelaah penulis. Dengan pengaruh yang ditimbulkan, maka penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana “PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KARAWANG”. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Seberapa jauhkan pengaruh putusan pengadilan dalam hukum di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Karawang. 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi putusan pengadilan dalam hukum di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Karawang C. TUJUAN PENELITIAN Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah, yaitu sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh putusan pengadilan dalam hukum di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Karawang. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi putusan pengadilan dalam hukum di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Karawang. D. TINJAUAN PUSTAKA
Untuk pemahaman dan pengembangan wawasan serta ilmu pengetahuan dalam program studi ilmu hukum. Tinjauan Pustaka dalam pembuatan makalah ini berperan penting dalam proses pembelajaran penyusun sehingga dalam aplikasinya di masyarakat nantinya akan sangat membantu. Pengaruh Putusan Pengadilan dalam hukum yang berlaku di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari apa yang diputuskan oleh hakim; beberapa hal yang mendasarinya seperti yang akan dipaparkan di bawah ini : a. Tentang Hakim Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu Negara hukum. Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan diatur dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undangundang ini. Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa : 1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus menuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim-hakim yang memutuskan dan panitera yang ikut serta bersidang.
3) Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang
pemeriksaan
sidang
ditandatangani
oleh
ketua
dan
panitera.
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan : 1) Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib 2) Putusan Bebas 3) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu : 1) Hak segera menerima atau segera menolak putusan 2) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). 3) Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan Pasal 169 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Undang-Undang Grasi). 4) Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana). 5) Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a (menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidanayang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3) Kitab UndangUndang
Hukum
Acara
Pidana).(Andi
Hamzah,
2002:
279).
Syarat sahnya suatu putusan hakim sangat penting artinya karena akan dilihat apakah suatu putusan memiliki kekuatan hukum atau tidak. Pasal 195 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum.” Dari hal itu dapat dilihat bahwa syarat sahnya suatu putusan hakim adalah : 1) Memuat hal-hal yang diwajibkan 2) Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum Pasal 18 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain. Sejalan dengan ketentuan tersebut Pasal 196 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa : (1) Pengadilan memutuskan perkara dengan hadirnya terdakwa, kecuali dalam hal Undang-undang ini menentukan lain. (2) Dalam hal lebih dari seorang terdakwa dalam suatu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada. Dengan demikian pada saat hakim menjatuhkan putusan, terdakwa harus hadir dan mendengarkan secara langsung tentang isi putusan tersebut. Apabila terdakwa tidak hadir, maka penjatuhan putusan
tersebut harus ditunda, kecuali dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, tidak harus dihadiri oleh seluruh terdakwa. Berdasarkan Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada. Dan dalam penjelasan Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa setelah diucapkan putusan tersebut berlaku baik bagi terdakwa yang hadir maupun yang tidak hadir. b. Isi Putusan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa peradilan dilakukan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, Hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa : (1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar-dasar putusan itu, memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. (2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang. Dalam Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim, dan berdasarkan ayat (2) pasal tersebut kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum. Adapun formalitas yang diwajibkan untuk
dipenuhi di dalam putusan hakim sebagaimana diatur dalam pasal 197 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah : (1) Surat putusan pemidanaan memuat : a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “ b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal. h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhinya semua unsur dalam tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan drengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau letaknya dimana kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik yang dianggap palsu. k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. (2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam pelaksanaan putusan pengadilan setelah selesai proses persidangan, maka hakim mengambil keputusan yang diucapkan di muka sidang yang terbuka untuk umum, maka selesai pulalah tugas hakim dalam penyelesaian perkara pidana. Keputusan itu sekarang harus dilaksanakan dan hal itu tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh hakim. Putusan hakim tersebut baru dapat dilaksanakan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde). Tugas pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ini dibebankan kepada penuntut umum (Jaksa) sebagaimana diatur dalam pasal-pasal berikut ini : Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan : “Pelaksanaan
Putusan
Pengadilan
tersebut
dilakukan
oleh
jaksa”.
Penjabaran Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ini dilaksanakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Pasal 270 sampai dengan 276. Pasal 270 : “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa yang untuk itu panitera mengirim surat putusan padanya”.
Syarat untuk menjalankan keputusan hakim ialah bahwa keputusan itu telah menjadi tetap tidak boleh diubah lagi, dengan pengertian segera setelah keputusan itu tidak lagi terbuka sesuatu jalan hukum pada hakim lain atau hakim itu juga untuk merubah putusan itu, seperti perlawan verstek, naik banding, atau kasasi. Dengan demikian selama terhadap putusan itu masih dapat dilawan, dibanding atau dimintakan kasasi, maka selama itu keputusan tersebut belum menjadi tetap dan tidak dapat dilaksanakan. Suatu keputusan hakim menjadi tetap, jikalau semua jalan hukum biasa untuk merubah keputusan itu seperti perlawanan verstek, banding, dan kasasi telah digunakan, tapi ditolak oleh instansi yang bersangkutan (tidak berhasil) atau putusan telah diterima oleh terpidana dan penuntut umum atau waktu yang disediakan telah lewat tanpa digunakan oleh pemohon untuk banding, kasasinya dicabut oleh yang bersangkutan. Setelah Jaksa menerima kutipan surat putusan yang telah menjadi tetap dari panitera pengadilan, maka telah saatnya jaksa melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tersebut. Adapun keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu adalah : 1) Melaksanakan Pidana Pokok a) Pelaksanaan Pidana Mati Pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan Undang-undang (Pasal 271 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) b) Pelaksanaan Hukuman Penjara Pelaksanaan pidananya itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu. Jadi dilaksanakan secara
berkesinambungan diantara pidana yang satu dengan yang lain (Pasal 272 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) c) Pelaksanaan Hukuman Kurungan d) Pelaksanaan Hukuman Denda Kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi (Pasal 273 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Jika ada alasan kuat, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan (Pasal 273 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). 2) Pelaksanaan Pidana Tambahan Pelaksanaanya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-undang (Pasal 276 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). a) Pencabutan beberapa hak tertentu b) Perampasan barang-barang tertentu c) Pengumuman putusan hakim Dalam pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan, Undang-undang nomor 14 tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 36 ayat (2), memberikan tugas baru bagi para hakim, yang dalam
perundang-undangan
sebelumnya
tidak
diatur.
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Dalam hal putusan pengadilan tersebut berupa perampasan kemerdekaan, maka peranan
hakim sebagai pejabat yang diharapkan juga bertanggung jawab atas putusan yang dijatuhkannya, tidak terhenti pada saat menjatuhkan putusan tersebut. Dia harus mengetahui apakah putusan perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan itu dilaksanakan dengan baik yang didasarkan kepada asas-asas kemanusiaan serta peri keadilan, terutama dari petugas-petugas yang harus melaksanakan putusan tersebut, sehingga tercapai sasarannya ialah mengembalikan terpidana menjadi anggota masyarakat yang baik yang patuh pada hukum. Dengan adanya pengawasan tersebut akan lebih mendekatkan pengadilan tidak saja dengan kejaksaan, tetapi juga dengan pemasyarakatan. Pengawasan tersebut menempatkan pemasyarakatan dalam rangkaian proses pidana dan memberi tugas pada hakim untuk tidak berakhir pada saat putusan pengadilan dijatuhkan olehnya. Demikian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut ditentukan bahwa pada tiap-tiap pengadilan negeri dari para hakim yang ada, ditunjuk beberapa hakim khusus untuk membantu ketua pengadilan negeri tersebut untuk melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan
putusan-putusan
pengadilan
yang
berupa
hukuman
perampasan kemerdekaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hakim yang bertugas khusus tersebut melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap narapidana selama mereka menjalani pidana penjara/kurungan dalam lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan sebagai pelaksanaan dari putusan hakim pengadilan negeri tersebut, tentang kelakuan mereka masing-masing maupun tentang perlakuan para
petugas pengasuh dari lembaga pemasyarakatan tersebut terhadap diri para narapidana yang dimaksud. Dengan ikut campurnya hakim dalam pengawasan yang dimaksud, maka selain hakim akan dapat mengetahui sampai dimana putusan pengadilan itu tampak hasil baik buruknya pada diri narapidana masing-masing yang bersangkutan, juga penting bagi penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan pada umumnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pokok pengamatan dan pengawasan adalah sebagai berikut : a. Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan
yang
ditanda
tangani
olehnya,
kepala
lembaga
pemasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama (Pasal 278 KUHAP). b. Panitera mencatat dalam register pengawasan dan pengamatan. Register ini wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera setiap hari kerja dan untuk diketahui ditanda-tangani juga oleh hakim pengawas dan pengamat (Pasal 279 KUHAP). c. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pengamatan tersebut digunakan sebagai bahan penelitian demi ketepatan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku para narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya. Pengamatan tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidana (Pasal 280 KUHAP).
d. Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktuwaktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut (Pasal 281 KUHAP). c. Jenis-jenis putusan hakim dalam perkara pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan pengadilan yang berkenaan dengan terdakwa ada tiga macam : 1) Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (Vrijspraak). Dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Dengan demikian jika menurut hakim, perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa sebagai mana tersebut dalam surat dakwaan, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka berdasarkan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan dan segala tuntutan hukum. Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum secara pidana ini. 2) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Ontslag van Rechtsvervolging)
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, didasarkan pada kriteria : a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan. b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Tetapi barangkali termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat. Putusan yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukuman dapat pula terjadi terhadap terdakwa, karena ia melakukan tindak pidana dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat dipertanggung jawabkan atas putusannya itu. Tegasnya terdakwa dapat dijatuhi hukuman, meskipun perbuatan yang didakwakan itu terbukti sah, apabila : a) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana). b) Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana) c) Pembelaan darurat (Nood weer) (Pasal 49 Kitab Undang-undang Hukum Pidana) d) Melakukan perbuatan untuk menjalankan pertauran Undang-undang (Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
e) Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana). 3)
Putusan
yang
mengandung
penghukuman
terdakwa
(veroordeling).
Kemungkinan ketiga, dari putusan yang dijatuhkan pengadilan adalah putusan yang mengandung penghukuman terdakwa. Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yaitu apabila dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya adalah terbukti secara sah dan meyakinkan, yang telah ditentukan oleh Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu : (1) Sekurang-kurang dua alat bukti yang sah. (2) Dengan adanya minimum pembuktian tersebut hakim memperleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana yang terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam praktek, hakim menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa. Hal yang memberatkan antara lain, yaitu terdakwa pernah dihukum, dalam persidangan terdakwa tidak mengakui bersalah, memberikan keterangan berbelit-belit, sehingga menyulitkan jalannya pemeriksaan. Sedangkan yang meringankan terdakwa antara lain, terdakwa masih
muda mengakui terus terang, terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, atau belum menikmati hasil kejahatannya tersebut. E. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan penyaluran hasrat ingin tahu manusia dalam taraf keilmuan. “Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.” “Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, karena ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat yang dimaksud yang tercantum dalam metode ilmiah.” Agar suatu penelitian dapat bersifat obyektif maka dalam mengambil kesimpulan harus berpedoman pada metode penelitian. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder yang berupa bahan-bahan pustaka serta menghubungi narasumber untuk memperkuat data yang diperoleh. 2. Lokasi Penelitian Penelitian akan dilakukan pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Karawang. 3. Narasumber Penelitian Untuk memperkuat data yang berhubungan dengan penelitian ini maka penulis akan menghubungi narasumber yaitu Ketua Pengadilan Negeri Karawang (atau yang ditunjuk untuk mewakili) pada Pengadilan Negeri Karawang yang pernah menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak kejahatan. 4. Sumber Data Data sekunder yang diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, terdiri dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan mahkamah agung, Undang-undang No 14 Tahun 1970 Tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum. b. Bahan hukum sekunder, yang diperoleh dari Dokumen-dokumen Hukum (salinan putusan) tentang perkara tindak pidana dan perdata, buku ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, televisi, internet, dan sumber lain yang berhubungan dengan makalah ini. c. Bahan hukum tersier, yang terdiri dari Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, dan Bahasa lain yang berhubungan dengan makalah ini. 5. Metode Pengumpulan Data Cara-cara yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dalam penyusunan makalah ini adalah: a. Studi Pustaka Studi pustaka ini diperoleh dengan cara mempelajari kitab peraturan perundangundangan, buku-buku ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, berita televisi, dan bahan-bahan lain yang dapat dijadikan sebagai data yang mendukung penyusunan makalah ini. b. Wawancara langsung dengan narasumber yang dilakukan untuk melengkapi dan menguatkan data-data yang diperoleh dari hasil studi pustaka. 6. Analisis Data
Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan metode analisis secara kualitatif yaitu data yang sudah terkumpul akan diseleksi dan diolah berdasarkan kualitasnya yang relevan dengan tujuan dan permasalahan penelitian sehingga didapatkan suatu gambaran tentang sampai sejauh mana pengaruh putusan pengadilan dalam hukum. F. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam penulisan makalah dari materi Kuliah Pengantar Ilmu Hukum yang berjudul “Peranan Putusan Pengadilan dalam Hukum” ini dipergunakan sistematika penulisan makalah sebagai berikut : BAB I
Pendahuluan, yaitu dalam bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Makalah
BAB II
Tinjauan umum tentang putusan-putusan Pengadilan, yaitu dalam bab ini diuraikan tentang Pengaruh dan faktor-faktor yang melatarbelakangi putusanputusan Pengadilan Negeri Karawang.
BAB III
Peranan Institusi Pengadilan dalam menjatuhkan Putusan, yaitu dalam bab ini diuraikan tentang Pengaruh Putusan Putusan Pengadilan, Seberapa jauh dan faktor-faktor yang mempengaruhi Putusan Pengadilan.
BAB IV
Hasil Penelitian dan Analisis Data, yaitu dalam bab ini diuraikan hasil penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri Karawang, yaitu tentang Peranan Putusan Pengadilan dalam Hukum, dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Kejahatan serta analisis pengaruh dari putusan tersebut.
BAB V
Penutup, yaitu dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan dan saran-saran.