BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Di tahun 2014, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyampaikan prediksi tentang bonus demografi yang akan dialami Indonesia di tahun 2020-2030. Website resmi BKKBN menjelaskan bonus demografi sebagai “bonus atau peluang yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15 sampai 64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya”. Ledakan penduduk yang terjadi di Indonesia tahun 1971 mengakibatkan melimpahnya sumber daya manusia. Menyiasati ledakan penduduk tersebut, sejak bulan Oktober 1968 didirikan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam kebijakan KB. Selain mendirikan LKBN, pemerintah memasukan kebijakan Keluarga Berencana (KB) dalam Repelita I (1969-1974). Pemerintah mengklaim kebijakan KB berhasil mencegah 80 juta kelahiran di tahun 2000 dan mencegah hampir 100 juta kelahiran di tahun 2010. Di bawah ini terdapat grafik yang menunjukan perkembangan penduduk Indonesia dari tahun 1600 sampai 2010 (Jalal, 2014: 4).
1
2
Gambar 1 Perkembangan Penduduk Indonesia Tahun 1600 sampai 2010 Sumber: Fasli Jalal, 2014 Keberhasilan kebijakan KB telah menurunkan angka kelahiran, sementara itu meningkatnya fasilitas kesehatan meningkatkan usia harapan hidup. Penduduk usia produktif menjadi lebih besar dibanding usia tidak produktif (0-14 dan di atas 65), sehingga pertumbuhan ekonomi dan sektor lainnya akan stabil. Bonus demografi dapat menjadi peluang sekaligus bencana bagi negara yang mengalaminya. Tingginya usia produktif akan menjadi bencana apabila tidak dikelola dengan baik. Kemiskinan dan pengangguran menjadi permasalahan yang harus siap dihadapi apabila skenario pemerintah menghadapi bonus demografi gagal. Pengangguran yang meningkat juga akan memengaruhi tingkat keamanan negara diakibatkan dari kriminalitas yang semakin tinggi. Predikat Indonesia sebagai negara berkembang dapat berubah menjadi negara miskin dengan berbagai permasalahan. Bonus demografi menghadapkan pemerintah serta masyarakat Indonesia pada pilihan serius yang akan memberikan dampak besar di masa depan. Bonus demografi menjadi fenomena kependudukan yang akan memberikan pengaruh
3
besar bagi kelangsungan hidup negara, yakni menciptakan peluang untuk mewujudkan tujuan negara. Terkait dengan situasi tersebut, Mohammad Hatta (1902-1980) memiliki pandangan bahwa kemajuan sebuah bangsa dan negara hanya dapat diwujudkan oleh penduduk bangsa dan negara yang bersangkutan. Pemikiran Hatta layak untuk dianalisis karena Hatta adalah seorang tokoh nasional yang tumbuh dalam spiritualitas dan hubungan kekerabatan yang erat sekaligus pemikiran barat yang sistematis dan radikal. Pemikiran Hatta merupakan hasil pengamatan dan pengalaman Hatta sebagai rakyat yang hidup di tanah jajahan. Kondisi tersebut disusun secara ilmiah dan sistematis dalam beberapa karya, seperti tulisan “Tuntutan Nasional” tahun 1924, “Indonesia dan Masalah Kemerdekaannya” tahun 1927, serta “Indonesia Merdeka” tahun 1928. Hatta mendapatkan pendidikan moral yang tertanam kuat dalam pikiran dan diterapkan dalam tingkah laku sejak kecil. Penjajahan Belanda atas Indonesia menjadikan Hatta merasakan ketidakadilan, karena penduduk pribumi dianggap sebagai inlandeer yang kotor, malas, dan tidak disiplin. Hatta mulai berpikir kritis terhadap nasib bangsanya yang selalu tidak diuntungkan dalam hal pendidikan, hukum, dan ekonomi oleh pemerintah Belanda. Menjelang remaja, Hatta mulai aktif berorganisasi dan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Rotterdam, Belanda. Setelah 13 tahun belajar di Rotterdam, Hatta kembali ke Indonesia dengan membawa warna baru dalam perjuangan kemerdekaan. Sebagaimana kebiaasaan di tanah jajahan, kaum terpelajar menjadi ujung tonggak pergerakkan rakyat. Pergerakkan rakyat dimulai dengan berdirinya organisasi kerakyatan seperti Boedi
4
Utomo, Sarekat Dagang Islam, hingga dalam perkembangan berikutnya, muncul partai-partai radikal salah satunya Perhimpunan Indonesia. Sayangnya, sebagian kaum terpelajar yang menjadi ketua dalam partai radikal cenderung mengagitasi anggota partai bukan mendidik anggota partai. Partindo yang semula bernama Perhimpunan Indonesia yang diketuai oleh Soekarno merupakan salah satu partai yang menjadikan anggotanya sebagai “perkakas” partai. Anggota Partindo tidak mendapatkan kursus yang mendidik anggota untuk berpikir kritis, sehingga anggota Partindo hanya mengikuti pandangan Soekarno tanpa bisa mengkritisi pandangan tersebut dari perspektif yang lain. Hatta (2011: 66) menuliskan dalam buku kedua “Untuk Negeriku Sebuah Otobiografi” pernyataan sebagai berikut. “Sangat disayangkan bahwa Sukarno dan Partindo-nya menghabiskan waktu untuk berpolemik dengan PNI. ... Bagi Partindo merugikan karena anggotaanggotanya tidak dibolehkan membaca uraian-uraian pemimpin PNI dan tidak ada kesempatan bagi mereka untuk memikirkan pandangan yang berlainan dari pendapat-pendapat pemimpin mereka, yang seperti dinyatakan bersifat gado-gado. Dalam kursus-kursus pun uraian Sukarno lebih banyak bersifat agitasi daripada mendidik kekerasan hati dan budi pekerti serta ikut bertanggung jawab sebagai anggota.”. Menurut Hatta, keadaan tersebut berbahaya bagi keberlangsungan perjuangan kemerdekaan, karena ketika ketua partai ditangkap oleh Pemerintah Belanda, perjuangan kemerdekaan menjadi terhenti. Berangkat dari pengalaman Partindo, Hatta melakukan perubahan melalui upaya kaderisasi partai. “... PNI menitikberatkan aktivitasnya pada kursus-kursus untuk membentuk kader pergerakan yang tahan uji dan bertanggung jawab. Masa datang pergerakan lebih diutamakan. Apabila pemimpin-pemimpin menjadi korban, pemimpin-pemimpin baru maju ke muka menggantikannya. Dalam Daulat Ra’jat pun pemimpin-pemimpin baru sudah mengeluarkan pendapat mereka dengan menunjukkan setia kepada pergerakkan.” (Hatta, 2011b: 66).
5
Kaderisasi partai bertujuan untuk mendidik anggota partai untuk lebih kritis dan memahami visi dan misi partainya, sehingga ketika ketua partai ditangkap oleh Pemerintah Belanda perjuangan kemerdekaan dapat dilanjutkan oleh anggota partai. Bukan hanya itu saja, anggota partai juga harus memiliki wawasan yang luas dan memiliki kemampuan berpikir kritis melalui aktivitas membaca majalah partai sendiri sekaligus partai lain. Hatta berkeyakinan bahwa peningkatan kualitas tersebut akan membuat tujuan partai terwujud sekalipun ketua partai ditahan karena anggota partai siap menggantikan ketua partainya. Berangkat dari perubahan yang dilakukan Hatta dalam kepengurusan partai, terlihat bahwa perjuangan mencapai cita-cita bersama harus dilakukan oleh seluruh elemen dalam partai. Pemikiran Hatta tersebut semakin meluas tidak hanya dilakukan dalam lingkungan partainya saja, sehingga perjuangan kemerdekaan erat dikaitkan dengan perjuangan rakyat. Keberhasilan perjuangan rakyat ditentukan oleh kualitas rakyat, bukan hanya kuantitas rakyat. Besarnya jumlah penduduk usia muda di era bonus demografi harus disertai dengan kualitas, sehingga bonus demografi dapat dijadikan peluang bagi Indonesia. Penelitian ini akan merumuskan konsep apa saja yang ada di dalam pemikiran nasionalisme Hatta yang dapat diterapkan untuk menciptakan pemuda Indonesia yang berkualitas. 1. Rumusan masalah Berangkat dari latar belakang masalah di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: a. Apakah nasionalisme menurut Mohammad Hatta?
6
b. Apa saja arah kebijakan pembangunan manusia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional III menjelang masa bonus demografi di Indonesia tahun 2020-2030? c. Bagaimana tinjauan nasionalisme Mohammad Hatta terhadap arah kebijakan pembangunan manusia menjelang masa bonus demografi di Indonesia tahun 2020-2030? 2. Keaslian penelitian Peneliti telah melakukan penelusuran tentang penelitian yang pernah dilakukan tentang nasionalisme Mohammad Hatta, dengan hasil sebagai berikut: a. Skripsi karya Y. Haris Nusarastriya tahun 1986 berjudul “Konsepsi Mohammad Hatta Tentang Nasionalisme Indonesia”. Skripsi tersebut memaparkan poin-poin penting pemikiran nasionalisme Mohammad Hatta tentang nasionalisme yang khas Indonesia. b. Skripsi karya M. Iqbal Tuasikal tahun 1993 berjudul “Konsep Keadilan Ekonomi Mohammad Hatta dalam Perspektif Filsafat Sosial Islam” menganalisis konsep keadilan ekonomi Mohammad Hatta dengan objek formal filsafat sosial Islam. c. Tulisan dalam Studi Islamika berjudul “The Politics of Salt, not the Politics of Lipstick: Mohammad Hatta on Islam and Nationalism” karya Ihsan Ali Fauzi tahun 2002. Tulisan tersebut merupakan kritik terhadap anggapan Suara Hidayatullah yang menyebut Mohammad Hatta sebagai tokoh nasionalis sekuler.
7
d. Artikel karya Timur Subangun tahun 2011 berjudul “Mohammad Hatta, Nasionalisme, dan Demokrasi Kerakyatan” yang memberikan deskripsi tentang tokoh nasional Mohammad Hatta serta pokok pemikiran Mohammad Hatta tentang nasionalisme dan demokrasi kerakyatan yang terwujud dalam koperasi. Selain itu, peneliti juga melakukan penelusuran tentang penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan RPJMN tahap III tahun 2015-2019 dan masa bonus demografi di Indonesia tahun 2020-2030, antara lain: a. Kajian yang disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2013 berjudul “ Background Study RPJMN 2015-2019 Bidang Pembangunan Hukum Nasional” b. Kajian berjudul “Strategi Pengurangan Ketimpangan dalam RPJM 2015-2019” yang disusun oleh Leonard Tampubolon tahun 2014 c. Artikel yang disusun oleh Bank Dunia tahun 2009 berjudul “Indonesia 2014 and Beyond: A Selective Look” d. Handout berjudul “Optimalisasi Pemanfaatan Bonus Demografi” disusun oleh Fasli Jalal tahun 2014. Materi dalam handout tersebut memaparkan indikator kependudukan di Provinsi Bali, bonus demografi, bencana demografi, serta kondisi sumber daya manusia di Indonesia. e. Tulisan Sri Moertiningsih Adioetomo dalam jurnal Warta Demografi berjudul “Bonus Demografi Menjelaskan Hubungan Antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi”.
8
f. Tulisan dari Wasisto Raharjo Jati berjudul “Bonus Demografi sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang atau Jendela Bencana di Indonesia?” memaparkan analisis bonus demografi dari segi ekonomi. 3. Manfaat penelitian a. Bagi ilmu pengetahuan. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian tentang bonus demografi di Indonesia tahun 2020-2030 dan nasionalisme khas Indonesia, sehingga dapat bermanfaat untuk penelitian berikutnya. b. Bagi masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menghadirkan kembali kesadaran masyarakat untuk memutuskan tindakan yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan negara Indonesia. Masyarakat diharapkan dapat bersinergi dengan pemerintah untuk melakukan tindakan yang berdampak positif bagi kehidupan masyarakat luas dalam dimensi kekinian dan dimensi masa depan. c. Bagi peneliti. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti tentang makna nasionalisme secara teoretis maupun praktis. Selain itu, peneliti juga dapat memiliki sudut pandang baru dalam menghadapi kehidupan masa global dan bonus demografi di tahun 2020-2030. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah, antaralain: 1. Mengkaji nasionalisme Mohammad Hatta. 2. Mendeskripsikan arah kebijakan pemerintah Indonesia menjelang masa bonus demografi yang diprediksi akan terjadi di Indonesia tahun 2020-2030.
9
3. Merumuskan tinjauan nasionalisme Mohammad Hatta terhadap arah kebijakan pemerintah Indonesia menjelang masa bonus demografi tahun 2020-2030. C. Tinjauan Pustaka Kajian berjudul “Strategi Pengurangan Ketimpangan dalam RPJM 20152019” menyebutkan bahwa fokus utama RPJM tahap III yang berlaku tahun 20152019 ditujukan untuk memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang kehidupan dengan menekankan pada pencapaian daya saing kompetitif. Daya saing kompetitif tersebut dilandasi dengan sumber daya alam yang unggul dan berkualitas serta sumber daya manusia yang menguasai ilmu dan teknologi (Tampubolon, 2014: 17). Guna mewujudkan daya saing kompetitif, pemerintah juga harus memberi perhatian kepada penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Hal tersebut penting untuk dilakukan mengingat penegakan hukum yang berkualitas dan dilakukan secara paralel akan meningkatkan daya saing perekonomian bangsa karena stabilitas politik di negara terjaga dan dapat memberi dampak positif bagi terwujudnya cita-cita dan tujuan negara Indonesia (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013: 2). Isu penting yang turut menjadi sorotan dalam RPJMN tahap III selain permasalahan di bidang hukum adalah tantangan masa bonus demografi. Bonus demografi adalah terjadinya penurunan rasio ketergantungan dalam sebuah negara secara berkelanjutan. Penurunan rasio tersebut dikarenakan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibanding jumlah penduduk usia non produktif (0-14 tahun dan di atas 64 tahun). Bonus demografi bukanlah fenomena
10
yang berlangsung secara tiba-tiba. Sebelum memperoleh bonus demografi, sebuah negara harus mengalami proses transisi demografi yang terjadi karena penurunan fertilitas dan mortalitas. Bonus demografi memiliki kaitan erat dengan keadaan ekonomi yang akan memberikan dampak penting bagi negara. Fasli Jalal adalah salah satu orang yang optimis menghadapi bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia tahun 2020-2030. Perubahan struktur usia produktif dalam era bonus demografi mengakibatkan meningkatnya pertumbuhan ekonomi karena suplai tenaga kerja meningkat, perempuan turut berperan dalam pasar kerja, serta meningkatnya tabungan masyarakat yang dapat diinvestasikan secara produktif (Jalal, 2014). Wasisto Rahardjo Jati
dalam
“Bonus Demografi
Sebagai
Mesin
Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang atau Jendela Bencana di Indonesia?” menuliskan pendapat yang berlainan, “... Dalam satu sisi, segi produksi dari bonus demografi belum menjadi fondasi kuat bonus demografi. Namun pada saat bersamaan, konsumsi bonus demografi justru menopang pertumbuhan ekonomi. Maka disitulah letak keunikannya, ketika teori ekonomi kependudukan melihat produktivitas dari bonus demografi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Dalam kasus Indonesia, malah justru segi konsumsi bonus demografi yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi.” (Jati, -: 17). Tulisan tersebut menunjukan ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi era bonus demografi. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif yang tidak seimbang dengan perbaikan infrastruktur, serta fasilitas pendidikan dan kesehatan mengakibatkan peluang dari bonus demografi tidak optimal. Permasalahan yang muncul di lapangan harus diperbaiki untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, sehingga dapat bersaing di pasar global (The World Bank,
11
2009). Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Bloom (2003: 69) yang menekankan bahwa kebijakan politik sebuah negara memiliki pengaruh penting bagi kemampuan negara untuk mewujudkan tujuan negara. Selain itu, kebijakan yang tepat akan menjadikan bonus demografi sebagai peluang yang bermanfaat untuk perekonomian negara. Kebijakan diarahkan untuk mengadakan perbaikan di bidang kesehatan, ketenagakerjaan, dan aturan pemerintah. Di sisi lain, penduduk juga harus memiliki kualitas kebangsaan yang baik, sehingga bonus demografi di Indonesia dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional. Sejak tahun 1932, Mohammad Hatta telah merumuskan tentang kualitas kebangsaan Bangsa Indonesia melalui tulisan “Ke Arah Indonesia Merdeka”. Subangun (2011) menuliskan bahwa tulisan “Ke Arah Indonesia Merdeka” merupakan karangan yang memuat posisi politik Pendidikan Nasional Indonesia. Mohammad Hatta menegaskan bahwa Pendidikan Nasional Indonesia merupakan organisasi yang bersifat kebangsaan, tetapi kebangsaan yang dimaksudkan dihubungkan dengan semangat internasionalisme, bukan kebangsaan yang sempit dan chauvinis. Menurut Nusarastriya (1986: 103), konsepsi nasionalisme Indonesia yang didasari oleh konsep dan pandangan Mohammad Hatta harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Rakyat tidak boleh hidup dalam penderitaan serta kesengsaraan, sehingga nasionalisme Indonesia erat kaitannya dengan nilai kemanusiaan dan keadilan, karena kedua nilai tersebut dapat mempersatukan seluruh rakyat Indonesia melampaui batas agama, suku, dan golongan.
12
Keadilan dalam masyarakat diwujudkan melalui pelaksanaan demokrasi, yakni orang-orang sebagai unsur yang menjadi ukuran bukan kelompok. Keadilan politik harus dipenuhi terlebih dahulu agar dapat mewujudkan keteraturan hidup berekonomi. Keteraturan hidup berekonomi akan berdampak positif terhadap pelaksanaan keadilan ekonomi yang bertujuan untuk memakmurkan masyarakat. Keadilan politik dan keadilan ekonomi yang dapat berjalan dengan baik akan mewujudkan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat (Tuasikal, 1993: 100101). Berangkat dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa penelitian yang pernah dilakukan telah menggambarkan tentang RPJMN tahap III secara umum dan rumusan nasionalisme Hatta. Penelitian ini menggali lebih dalam tentang arah kebijakan pembangunan manusia dalam RPJMN tahap III untuk mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi masa bonus demografi. Selanjutnya, arah kebijakan tersebut ditinjau menggunakan prinsip-prinsip dalam nasionalisme Hatta untuk mengetahui prinsip-prinsip nasionalisme Hatta yang dapat dikontekstualisasikan dalam arah kebijakan pembangunan manusia. D. Landasan Teori Terminologi nasionalisme (plato.stanford.edu, 2001) seringkali digunakan untuk menggambarkan sebuah perasaan cinta seseorang terhadap tanah airnya atau digunakan untuk menjelaskan karakter seseorang. Menyitir pendapat Wattimena, bahwa nasionalisme dikatakan berharga apabila terdapat konsep tentang bangsa. Artinya, pembahasan mengenai nasionalisme tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan tentang bangsa. Smith (dalam Amal dan Armaidy
13
Armawi (peny), 1998: 196) mengartikan bangsa ke dalam dua jenis konsepsi, yakni konsep cultural nation dan konsep political nation. Konsep cultural nation lebih bersifat deterministik karena melekatnya predikat bangsa pada seorang individu ditentukan secara alamiah. Sementara itu, konsep political nation lebih bersifat voluntaristik karena predikat bangsa pada seorang individu ditentukan oleh kehendak pribadi. Seorang individu bebas untuk memilih bergabung menjadi warga suatu negara atau tidak. Apabila cultural nation terbentuk berdasar faktor objektif dan keturunan, maka political nation terbentuk berdasarkan 4 faktor (Matravers (ed), 2003: 280-281), antara lain, 1) persamaan bahasa, 2) persamaan komunitas, 3) persamaan sejarah, dan 4) persamaan budaya. Scruton menegaskan bahwa anggota dari suatu bangsa tidak sekadar berbagi 4 faktor di atas, tetapi juga mengakui hak-hak yang dimiliki seluruh anggota dalam kesatuan bangsa tersebut. Lebih lanjut, Elie Kedourie menganggap nasionalisme sebagai metode dari pembelajaran kehendak yang baik menurut ukuran bangsanya. Artinya, karakter seorang individu ditentukan oleh karakter bangsanya (Hutchinson (ed), 1994: 54). Sejak seorang individu masuk menjadi anggota sebuah bangsa, individu harus menyesuaikan diri dengan standart moral bangsa tersebut. Semakin lama, aturan moral yang berlaku dalam sebuah bangsa menjadi lekat dengan individu, sehingga individu menikmati setiap tindakan yang sesuai dengan aturan moral yang berlaku (Matravers, 2003: 292). Artinya, aturan moral tersebut menjadi keutamaan yang dipegang dan dilaksanakan oleh individu dalam menjalankan kehidupan. Berangkat dari uraian di atas seorang nasionalis dapat dipastikan memiliki identitas yang teguh dan bermakna, sekaligus memiliki ikatan yang kuat dari
14
anggota bangsanya. Pendapat tersebut menjadi salah satu alasan Mohtar Mas’oed mendukung
berkembangnya
positive
nationalism
sebagai
upaya
untuk
menghadapi tantangan global. Berbicara mengenai nasionalisme di masa global, perlu kiranya dibahas lebih lanjut pendapat Elie Kedorie dan Kenneth Minogue yang menegaskan posisi penting nasionalisme dalam sebuah negara merdeka sebagai konsep dasar ideologi yang memberi bentuk bagi konsepsi kewarganeraan. “The point we have to emphasize about modern nationalism is that the politics comes first, and the national culture is constructed later. We have found nation-alisms without nations, aspiration substituted for reality. .... This amount to saying that the concept of the nation is almost entirely empty of content, until a content is arbitrarily supplied from local circumtances.” (Matravers (ed), 2003: 279) “Titik yang harus ditekankan dalam nasionalisme modern adalah bahwa persoalan tentang politik dibahas terlebih dahulu, dan kebudayaan nasional dibangun setelah itu. Kami telah menemukan nasionalisme tanpa bangsa, aspirasi menggantikan realitas. ... Ini sama seperti mengatakan bahwa konsep bangsa hampir seluruhnya kosong isi, hingga akhirnya memperoleh sebuah isi yang disesuaikan dengan situasi setempat.” Kutipan di atas menunjukkan bahwa nasionalisme modern tidak tercipta berdasarkan ikatan biologis, terbukti dengan kalimat “aspirasi menggantikan realitas”. Kalimat tersebut mengindikasi bahwa “bangsa” yang akan tercipta tidak lagi diikat berdasarkan ikatan biologis (realitas), tetapi berdasarkan aspirasi atau harapan yang sama di masa depan untuk membentuk sebuah negara modern yang merdeka. Meskipun terdapat kemungkinan untuk membentuk kebudayaan baru, seperti disebut oleh Ernst Gellner sebagai universal high culture, penyelenggara negara dituntut untuk mampu mengakomodir hak-hak minoritas. Tidak terpenuhinya hak-hak minoritas dapat mengakibatkan perpecahan, sehingga dalam tulisan berjudul “Nasionalisme Kontemporer” (dalam Amal dan Armaidy Armawi
15
(peny), 1998: 35-38) Lance Castles menegaskan perlunya integrasi budaya dalam negara yang baru, bukan mereduksi budaya dari kelompok etnis yang ada. Nasionalisme seringkali dikesampingkan dalam pembahasan filsafat politik karena dianggap memiliki dasar moral yang tidak baik atau pseudo ilmiah, tetapi sejarah membuktikan bahwa nasionalisme memiliki arti penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti yang diungkapkan oleh Elie Kedorie dan Kenneth Minogue di atas. Nasionalisme menjadi gagasan yang terus berkembang dan fleksibel. Nasionalisme dapat berubah sesuai dengan ideologi yang mengambilnya. Nasionalisme digunakan oleh golongan kanan sekaligus kiri dengan istilah berbeda, tetapi esensinya sama seperti dituliskan Arfani (1998: 75). “.... Lihat, misalnya, pada apa yang diserukan oleh pemerintahan Marxis di Rusia tahun 1941 sebagai “patriotisme”. .... Kaum sosialis yang sering memakai jargon solidaritas internasional –sebagian di antara mereka –masih memakai patriotisme dan, bahkan, tradisi keagamaan untuk menarik dukungan. .... kelompok Kanan memiliki kecenderungan yang sama. Artinya, tidak semua pandangan politik kelompok ini lekat dengan nasionalisme. ..., kaum liberal dan konsercatif yang menguasai perekonomian dunia melalui antara lain operasi perusahaan-perusahaan raksasa transnasional dan agen-agen keuangan internasional ...”. Kutipan di atas memberikan informasi bahwa kelompok kiri menggunakan “nasionalisme” dengan istilah “patriotisme”. Kuncinya terletak pada persatuan kelas proletar yang diakibatkan adanya persamaan nasib dan persamaan cita-cita untuk melawan kapitalisme. Sementara itu, kelompok kanan yang senantiasa diidentikkan dengan nasionalisme kenyataannya tidak selalu mendasarkan kebijakan politiknya pada prinsip nasionalisme. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan berkembangnya perusahaan transnasional dalam negara yang cenderung masuk ke kelompok kanan (liberal dan konsevatif). Menyitir pendapat Seers,
16
bahwa “... nasionalisme merupakan fenomena “umum” yang berkembang dalam tradisi Barat (Marxis dan Anglo-Saxon) tetapi gagal diamati secara memadai oleh kerangka keilmuan tradisi ini. ...” (Arfani, 1998: 79).
Gambar 2 Dimensi Ideologi Politik Seers Sumber: Riza Noer Arfani, 1998 Berangkat dari alasan di atas, Seers membuat sebuah konsep baru tentang dimensi ideologi politik kontemporer seperti terlihat dalam gambar 2 Ideologi politik yang semula hanya digambarkan dalam sebuah garis yang menunjukkan posisi sebagai ideologi yang sangat egalitarian di sisi kiri atau anti egalitarian di sisi kanan, disisipi oleh Seers dengan garis vertikal yang mewakili derajat nasionalisme. Semakin ke bawah, sebuah ideologi semakin nasionalis, sebaliknya semakin ke atas ideologi semakin anti nasionalis. E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian tentang tinjauan nasionalisme Mohammad Hatta terhadap arah kebijakan menjelang masa bonus demografi di Indonesia tahun 2020-2030
17
merupakan kajian pustaka dengan model penelitian mengenai masalah aktual. Penelitian ini merupakan bentuk penerapan analisis filosofis pada masalah aktual di masyarakat untuk menunjukkan pemecahan masalah secara fundamental (Bakker dan Achmad Charris Zubair, 1990: 108). Nasionalisme Mohammad Hatta akan dirumuskan secara filosofis untuk menemukan keterkaitannya terhadap permasalahan arah kebijakan pembangunan manusia menjelang masa bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia tahun 2020-2030. 2. Bahan penelitian a. Pustaka primer. Pustaka primer merupakan buku, skripsi, jurnal, dan artikel yang membahas tentang bonus demografi di Indonesia, nasionalisme, dan Mohammad Hatta. Pustaka yang digunakan antaralain: i. Hatta, Mohammad, 1982, Karya Lengkap Bung Hatta: Buku 1 Kebangsaan dan Kerakyatan, PT. Pustaka LP3ES, Jakarta. ii. Bloom, David E., David Canning, dan Jaypee Sevilla, 2003, The Demographic
Dividend:
A
New
Perspective
on
the
Economic
Consequences of Population Change, Rand: Pittsburgh. iii. Sekretariat Negara RI, 2007, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, Sekretariat Negara RI: Jakarta. iv. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014b, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019: Buku II
18
Agenda Pembangunan Bidang, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional: Jakarta. b. Pustaka sekunder. Pustaka sekunder merupakan buku, skripsi, jurnal, artikel, atau tulisan yang berhubungan dengan nasionalisme Hatta, bonus demografi, maupun arah kebijakan pembangunan manusia dalam RPJMN III digunakan sebagati data pendukung. 3. Teknik pengambilan data Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah penelusuran pustaka. Peneliti akan mengumpulkan deskripsi dan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh ahli di bidang lain serta mengumpulkan arah kebijakan pembangunan manusia dalam RPJMN Tahap III. Data yang terkumpul digunakan untuk menggambarkan deskripsi masalah secara lebih jelas. Selanjutnya, data akan dianalisis lebih dalam dan dicari pikiran dasarnya untuk dijadikan acuan bagi refleksi filosofis. 4. Jalan penelitian a. Tahap persiapan. Tahap ini di awali dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan objek material maupun objek formal penelitian. Data yang telah terkumpul disesuaikan dengan objek material dan objek formal. Setelah itu, data diklasifikasikan menjadi data primer dan data sekunder. b. Tahap penulisan. Pada tahap ini, diadakan penguraian masalah, analisis data yang relevan dengan rumusan masalah, dan evaluasi kritis. c. Tahap penyelesaian akhir. Pada tahap ini, akan diadakan penulisan yang sistematis dan koreksi penelitian.
19
5. Analisis hasil Unsur-unsur metodis umum yang digunakan untuk analisis hasil, antaralain (Bakker dan Achmad Charris Zubair, 1990: 111-113): a. Deskripsi. Unsur metodis ini digunakan untuk mensistematisasikan arah kebijakan pembangunan manusia menjelang masa bonus demografi di Indonesia dan pemikiran nasionalisme Mohammad Hatta. Tujuan dari langkah metodis ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang objek penelitian. b. Interpretasi. Unsur metodis ini digunakan untuk memahami arah kebijakan pembangunan manusia menjelang masa bonus demografi di Indonesia dan pemikiran nasionalisme Mohammad Hatta. Tujuan dari langkah metodis ini adalah untuk mendapatkan struktur hakiki yang mendasari arah kebijakan pembangunan manusia menjelang masa bonus demografi di Indonesia dan pemikiran nasionalisme Mohammad Hatta. c. Kesinambungan
historis.
Unsur
metodis
ini
digunakan
untuk
menempatkan pemikiran nasionalisme Mohammad Hatta dalam konteks historis yakni menelusuri kejadian-kejadian historis yang membentuk pemikiran nasionalisme Mohammad Hatta. d. Analisis kritis. Unsur metodis ini digunakan untuk menganalisis keterkaitan arah kebijakan pembangunan manusia menjelang masa bonus demografi di Indonesia dengan pemikiran nasionalisme Mohammad Hatta secara kritis. F. Hasil yang Dicapai
20
1. Kajian tentang nasionalisme Mohammad Hatta. 2. Deskripsi argumentatif tentang arah kebijakan pembangunan manusia dalam RPJMN Tahap III menjelang masa bonus demografi di Indonesia tahun 20202030. 3. Analisis tinjauan nasionalisme Mohammad Hatta terhadap arah kebijakan pembangunan manusia menjelang masa bonus demografi di Indonesia tahun 2020-2030. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari enam bab, antaralain: BAB I: memberikan pemaparan pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penulisan. BAB II: memberikan kajian tentang nasionalisme Mohammad Hatta yang mencakup pengertian nasionalisme, dinamika dan perkembangan nasionalisme di dunia, riwayat hidup Mohammad Hatta, karya tulis Mohammad Hatta tentang kebangsaan, dan konsep nasionalisme Mohammad Hatta. BAB III: memberikan pemaparan tentang prediksi bonus demografi di Indonesia tahun 2020-2030 yang mencakup pengertian bonus demografi, rumusan strategi yang dilakukan negara-negara yang pernah mengalami bonus demografi, dan arah kebijakan pembangunan manusia dalam RPJMN Tahap III menjelang masa bonus demografi di Indonesia tahun 2020-2030. BAB IV: memberikan analisis tentang arah kebijakan pembangunan manusia menjelang masa bonus demografi di Indonesia tahun 2020-2030 dalam
21
perspektif nasionalisme Mohammad Hatta dan analisis kritis tentang pemikiran nasionalisme Hatta yang dapat diterapkan dalam arah kebijakan pembangunan menjelang masa bonus demografi. BAB V: memberikan uraian bagian penutup yang berisi kesimpulan dan saran.