BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pernikahan adalah suatu hal suci dan sakral yang menggabungkan dua orang berbeda menjadi satu dan membentuk suatu keluarga yang baru. Pernikahan merupakan impian bagi semua pasangan yang sedang menjalin sebuah hubungan asmara agar menjadi pelengkap dalam kehidupannya. Pasangan yang sedang memadu kasih tentunya membayangkan dan menginginkan sesuatu yang indah mengenai sebuah pernikahan. Akan tetapi, kehidupan dalam pernikahan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalani dan tidaklah selalu seindah seperti yang diharapkan oleh pasangan yang akan menikah (DeGenova & Rice, 2005). Semua pasangan dalam pernikahan tentu menginginkan hubungannya akan berjalan lama dan langgeng. Pernikahan yang bertahan lama atau disebut juga pernikahan langgeng adalah pernikahan yang telah dijalani oleh pasangan pernikahan dengan usia pernikahan 50 tahun keatas (Lauer, Lauer, & Kerr, 1990). Pernikahan yang menunjukkan usia hingga 50 tahun atau pernikahan emas merupakan suatu kasus unik di masa modern pada saat ini yang ditandai dengan semakin meningkatnya angka perceraian dari tahun ke tahun. Banyak orang membayangkan betapa sulitnya bersama dengan satu orang yang telah diikat oleh pernikahan dan akan terus bersama selama bertahun-tahun lamanya dengan memperjuangkan berbagai macam permasalahan yang dihadapi (Lasswell & Lasswell, 1987). Hal ini yang membuat banyak orang bertanya-tanya mengenai
1
2
kesuksesan lansia dalam kehidupan pernikahan yang telah dilalui hingga 50 tahun lamanya. Data yang dihasilkan dari Badan Pusat Statistik Indonesia (2010) menyebutkan bahwa pada tahun 1998 pasangan lansia diatas usia 60 tahun yang tercatat masih memiliki status menikah sebesar 110.233 pasangan dan menurun tiap tahunnya hingga akhir 2009 tercatat hanya 72.119 pasangan lansia yang masih bertahan dalam pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin menurunnya jumlah pasangan lansia dari tahun ke tahun, padahal populasi lansia yang tercatat dalam Badan Pusat Statistik di Indonesia setiap tahunnya semakin bertambah 4,5% dari jumlah lansia di tahun sebelumnya (Affandi, 2009). Jumlah yang saling bertolak belakang ini menimbulkan berbagai pertanyaan dalam pernikahan di usia lanjut. Penurunan angka jumlah pasangan lansia ini membuktikan bahwa kehidupan pernikahan pada lansia merupakan suatu hal yang baik untuk dikaji demi kesejahteraan hidup lansia di masa tua. Pernikahan merupakan sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan secara sah dan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada (Walgito, 2002). Arti dari pernikahan tersebut menggambarkan bahwa pernikahan merupakan gabungan antara dua orang yang berbeda menjadi suatu kesatuan. Perbedaan dua orang inilah yang menyebabkan munculnya permasalahanpermasalahan dalam pernikahan yang sangat memerlukan penyesuaian dan tanggung jawab dari kedua orang tersebut (Anjani & Suryanto, 2006). Keberhasilan seseorang dalam menyesuaikan diri dan bertanggung jawab terhadap perannya dalam pernikahan akan berpengaruh kuat terhadap kepuasan pernikahan,
3
mencegah kekecewaan dan perasaan bingung, dan memudahkan individu untuk menyesuaikan diri di kehidupan lain di luar rumah tangga (Hurlock, 2002). Havighurst
(dalam
Hurlock,
2002)
menjelaskan
bahwa
pernikahan
merupakan tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada masa tahapan dewasa awal dalam rentang usia 18-30 tahun. Mönks, Knoers, dan Haditono (2001) mengungkapkan bahwa individu yang berhasil mencapai tugas perkembangannya akan merasa bahagia dan membawa keberhasilan dalam mencapai tugas-tugas berikutnya, tetapi apabila individu gagal menyelesaikannya akan menimbulkan perasaan tidak bahagia dan akan mengalami kesulitan dalam menghadapi tugastugas berikutnya. Individu yang memutuskan untuk menikah akan terus memiliki tugas perkembangan berikutnya yang berkaitan dengan pernikahan dan keluarga hingga memasuki masa tahapan usia dewasa akhir. Havighurst (dalam Hurlock, 2002) menyatakan bahwa sumber dari tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui oleh individu adalah kematangan fisik, tuntutan masyarakat atau budaya dan nilainilai, dan aspirasi individu. David dan Ferguson (2006) mengungkapkan bahwa suatu pernikahan merupakan tugas perkembangan yang paling utama dan rumit selama rentang kehidupan
manusia.
Seseorang
harus
melewati
masa-masa
krisis
dalam
pernikahannya sebelum mencapai kesuksesan dalam mempertahankan pernikahan. Kesuksesan dalam pernikahan merupakan hal yang sangat penting demi tercapainya kesejahteraan hidup seseorang. Hal ini diungkapkan oleh Vaillant dan Mukamal (2001) yang menjelaskan bahwa seorang lansia dapat mencapai successful aging apabila memiliki kehidupan pernikahan yang hangat, memiliki
4
kesehatan fisik yang baik, terhindar dari depresi, dan memiliki relasi sosial yang menyenangkan. Pemaknaan akan sebuah pernikahan juga merupakan salah satu faktor pencapaian successful aging pada lansia (Jones & Rose, 2005). Pemaknaan dalam pernikahan didapatkan dari perjalanan seorang individu selama menjalani kehidupan pernikahannya. Makna dari sebuah pernikahan dapat ditemukan dalam proses menjalani kehidupan di dalamnya, baik dalam keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan (George & Elshtain, 2006). Makna pernikahan yang merupakan kunci sukses lansia dalam menjalani kehidupan pernikahan akan dikaji dalam penelitian ini mulai dari awal pernikahan hingga memasuki usia lanjut. Makna yang dikaji dalam penelitian ini berdasarkan proses-proses lansia selama menjalani suka dan duka dalam perjalanan
kehidupan
pernikahannya
sehingga
berhasil
mempertahankan
pernikahan hingga lebih dari 50 tahun lamanya. Kesuksesan lansia menjalani pernikahan hingga 50 tahun tidak begitu saja dilalui dengan mudah. Lansia yang telah sukses ini menjalani kehidupan pernikahannya dengan melewati berbagai macam permasalahan-permasalahan yang muncul dalam pernikahannya. Permasalahan dalam pernikahan muncul sejak pertama kali seseorang memasuki tahapan awal dalam kehidupan pernikahan hingga tahapan akhir pernikahan atau salah satu pasangan meninggal dunia (Wismanto, 2004). Clinebell dan Clinebell (2005) mengungkapkan bahwa tahapan awal pernikahan merupakan masa penyesuaian diri dan krisis muncul saat pertama kali memasuki jenjang pernikahan. Tahapan awal kehidupan pernikahan ini
5
merupakan suatu tahap yang sangat penting dalam membangun kehidupankehidupan pernikahan selanjutnya. Kehidupan awal pernikahan hingga memasuki masa lansia tidak bisa terlepas oleh konflik. Konflik selalu ada selama manusia hidup bersama, bahkan dalam hubungan yang sempurna sekalipun tidak dapat terelakkan dari konflik (Anogara, 1992). Seseorang yang mengalami konflik dalam pernikahannya dihadapkan pada pilihan, yaitu tetap bertahan atau berpisah. Seseorang yang memilih untuk bertahan dalam menyelesaikan permasalahan dalam pernikahannya memiliki banyak alasan untuk bertahan. Alasan setiap orang tentu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chun dan Sohn (2009) pada 2.231 pasangan pernikahan di Korea menghasilkan kesimpulan mengenai alasan seseorang dalam mempertahankan kehidupan rumah tangganya, yaitu yang pertama adalah masalah ekonomi dimana seseorang memilih untuk tetap bersama dengan pasangannya karena belum mampu menghidupi diri sendiri apabila berpisah dengan pasangan. Hal yang kedua adalah keluarga, dimana seseorang memilih untuk tidak bercerai karena telah memiliki anak dan memikirkan kesejahteraan anak mereka. Hal yang ketiga adalah masalah lingkungan sosial, dimana seseorang memilih untuk bertahan karena takut akan pandangan negatif dari orang lain dan sekitarnya apabila bercerai. Hal yang terakhir adalah masalah hukum, dimana seseorang yang ingin bercerai tetapi takut mendapatkan sanksi hukum dan peraturan perceraian yang memberatkan. Beberapa negara memberikan peraturan yang ketat terhadap kasus perceraian, seperti di Korea yang menyatakan perceraian sebagai suatu kesalahan yang harus diberi hukuman.
6
Pernikahan yang dapat bertahan lama bergantung juga dari cara individu melakukan coping pada setiap masalahnya. Cara seseorang dalam mengelola konflik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pengelolaan konflik secara konstruktif dan pengelolaan konflik secara destruktif (Lestari, 2012). Pengelolaan konflik secara kostruktif adalah penanganan suatu masalah yang dimaknai secara positif dan diselesaikan dengan tindakan yang positif oleh seseorang. Penyelesaian konflik secara konstruktif dilakukan tanpa emosi dan diselesaikan dengan kepala dingin (Thornton & Young-DeMarco, 2001). Pengelolaan konflik secara destruktif adalah pemaknaan konflik secara negatif oleh seseorang dan diselesaikan dengan tindakan yang negatif pula oleh seseorang. Salah satu contoh pengelolaan konflik secara destruktif adalah menyerang dengan perilaku negatif yang menyakiti pasangannya secara fisik dan psikologis (Kurdek,1994). Seseorang yang memutuskan untuk menikah dan setiap alasan seseorang tersebut dalam mempertahankan kehidupan pernikahannya tidak bisa terlepas dari faktor budaya. Perbedaan makna akan suatu pernikahan juga dipengaruhi oleh budaya yang menaungi kehidupan seseorang, karena seseorang yang tinggal dan dibesarkan dalam budaya tertentu akan secara otomatis mengikuti budaya tersebut dalam kehidupannya. Budaya di Indonesia yang menganut falsafah hidup gotong royong dan kebersamaan tampak jelas dalam aturan sosial masyarakat di dalamnya. Akan tetapi, kurangnya kesadaran untuk saling gotong royong dan kebersamaan antara suami dan istri dapat menyebabkan terjadinya perceraian (Lestari, 2012). Oleh karena itu, keluarga yang dapat mempertahankan pernikahannya memiliki rasa saling membantu, bekerja sama, tidak memegang gagasan idealismenya sendiri,
7
dan berbagi pandangan dengan pasangan dalam melakukan peran rumah tangga sesuai dengan kebudayaan yang ditanamkan dalam keluarga (Syaifuddin, 2006). Individu yang berada dalam lingkup kebudayaan jawa seyogyanya berperilaku dan berbicara dengan baik untuk menghindari konflik dan mempertahankan harmoni sosial (Magnis-Suseno, 2003; Lestari, 2012). Budaya di Indonesia menekankan bersikap saling menghormati dan patuh pada anggota keluarga, seperti orang muda menghormati orang yang lebih tua dan istri patuh kepada suami. Suami menjadi kepala dalam keluarga, sehingga istri harus patuh dan menghormati kepada suami (Dhofier, 1980). Keluarga dalam budaya Jawa harus menekankan nilai-nilai luhur tata krama, agama, norma sosial, dan pendidikan mengenai baik dan buruk mengenai perilaku (Unjianto, 2011). Oleh karena itu, seseorang yang berada dalam budaya Jawa cenderung menekan perasaan tidak nyaman dan perasaan tidak suka terhadap suatu hal karena kepatuhannya akan norma-norma sosial. Masyarakat jawa yang cenderung patuh terhadap norma sosial ini dapat disebabkan karena ingin menciptakan keselarasan dalam kehidupan di masyarakat dan selalu berusaha untuk mencegah timbulnya konflik (Haq, 2011). Hal ini dapat berpengaruh terhadap setiap keputusannya dalam menjalankan pernikahan, sehingga kepatuhan terhadap norma dapat pula menjadi alasan seseorang tetap bertahan dalam pernikahan meskipun sebenarnya individu tersebut tidak ingin bersama pasangannya. Pernyataan ini diungkapkan pada wawancara oleh peneliti dengan lansia yang telah menikah selama 52 tahun. “Saya bersama bapak (suami) karena dijodohkan oleh orang tua. Abah (ayah) saya melihat bapak (suami) sebagai orang yang mapan. Bapak itu orangnya keras dan suka kasar kalau ngomong, saya suka nangis kalau bapak sudah memaki saya karena hal
8
sepele. Saya sebenarnya sudah tidak betah hidup dengan bapak, saya cuma bisa diam kalau bapak memaki-maki karena takut kualat kalau saya membantah. Saya kasihan sama anak-anak kalau saya milih cerai, lagipula orang tua saya melarang keras kepada saya untuk bercerai. Saya ya nurut saja.” (SM, 69 tahun).
Perbedaan kebudayaan yang dijelaskan di atas tampak jelas antara budaya Indonesia dengan budaya Barat. Di Indonesia cenderung masih mengutamakan keputusan dan aturan orang tua, tidak terkecuali keputusan dan aturan dalam pernikahan, karena berpedoman pada norma yang mengatur bahwa anak sangat diwajibkan untuk menghormati orang tua. Pemilihan keputusan di budaya Barat diserahkan sepenuhnya oleh anak. Kehidupan di Barat tampak dalam teori tahapan pembentukan keluarga yang dijelaskan oleh Santrock (2002) bahwa anak akan meninggalkan rumah orang tua saat memasuki usia dewasa awal untuk hidup mandiri, mencapai cita-cita, pekerjaan, dan pengembangan identitas diri. Dalam budaya Barat, biasanya seorang anak akan meninggalkan rumah setelah dia lulus SMA, mencari pekerjaan atau cita-cita lain yang dia inginkan, dan orang tua telah lepas tanggung jawabnya kepada anak tersebut. Budaya Indonesia lebih menekankan kepada pemeliharaan orang tua oleh anak ketika orang tua sudah memasuki usia lanjut (Haq, 2011). Hal ini dapat berarti bahwa anak wajib mengurus orang tuanya ketika orang tua membutuhkan mereka tanpa suatu batasan waktu, termasuk anak harus tinggal bersama orang tua dan sebaliknya. Pernikahan adalah suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Pernikahan yang masih berjalan hingga memasuki masa lansia memiliki keuntungan tersendiri bagi individu tersebut. Pernikahan yang masih utuh di usia lanjut memiliki banyak manfaat di berbagai aspek kehidupan. Pernikahan yang
9
masih utuh dapat meningkatkan kesehatan lansia secara fisik dan psikologis. Lee (dalam Santrock, 2002) berpendapat bahwa lansia yang di masa tuanya masih menikah dan bersama pasangan lebih bahagia daripada lansia yang hidup sendiri tanpa pasangan. Gray, dkk (2011) meneliti lansia pria dan wanita di Australia yang telah mengalami perceraian di dalam pernikahannya mendapatkan hasil bahwa lansia yang telah bercerai dan memilih untuk tetap sendiri memiliki efek negatif pada kesehatan, vitalitas, dan kesehatan mental. Lansia yang masih lengkap bersama pasangannya cenderung memiliki pola makan lebih sehat, memiliki banyak teman, dan mendorong satu sama lain untuk saling mengurus diri sendiri (Baumeister & Leary, 1995; Margrett, dkk., 2011). Paparan di atas telah membuktikan bahwa pernikahan yang dapat bertahan lama memiliki banyak manfaat di dalam kehidupan. Oleh karena itu, makna dari sebuah pernikahan sangat dibutuhkan seseorang dalam menjalani kehidupan di setiap
pasangan
pernikahan.
Penilaian
seseorang
terhadap
kehidupan
pernikahannya tergantung dari individu tersebut menjalani dan memahami prosesproses kehidupan dalam pernikahan yang kemudian menjadi sebuah makna dari pernikahan tersebut (Noveldy & Noveldy, 2013). Pemaparan di atas telah dijelaskan secara singkat proses-proses dalam menjalani kehidupan pernikahan yang kemudian akan menjadi suatu makna dalam diri lansia. Penelitian ini akan meneliti lebih dalam bagaimana makna dari sebuah pernikahan yang telah dijalani oleh lansia selama 50 tahun usia pernikahan.
10
B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dibahas di atas, maka pertanyaan penelitian yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah: 1. Apa makna pernikahan bagi lansia di dalam kehidupan pernikahan yang telah dilalui hingga memasuki usia pernikahan ke 50 tahun? 2. Konflik-konflik apa sajakah yang terjadi di usia 50 tahun pernikahan dan bagaimana cara lansia menyelesaikan konflik tersebut? 3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi lansia dalam mempertahankan pernikahan di usia lanjut?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna yang terkandung dalam pernikahan yang telah dilalui oleh pasangan lansia pada 50 tahun usia pernikahan. Selain untuk mengetahui makna dari pernikahan, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui konflik-konflik, resolusi konflik, dan alasan-alasan lansia dalam mempertahankan pernikahannya di usia 50 tahun pernikahan.
D. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat menjadi literatur yang bermanfaat serta dapat dijadikan acuan dan dapat dikembangkan lebih mendalam untuk penelitian selanjutnya yang terkait dengan makna pernikahan pada lansia. Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah dapat menjadi masukan, pembelajaran, dan gambaran kehidupan bagi calon pengantin, pasangan yang telah menikah atau bagi pasangan lansia dalam kaitannya untuk mempertahankan
11
pernikahan. Pasangan pernikahan diharapkan dapat mengambil nilai-nilai yang diberikan oleh pasangan lansia untuk dapat menjadi pedoman dan panutan dalam kehidupan pernikahan.
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan oleh Melton, M. A., Hersen, M., Van Sickle, T. D., dan Van Hasselt, V. B. (1995) dengan judul Parameters of Marriage In Older Adults: a Review of the Literature. Penelitian ini menerangkan hal-hal yang menjadi ukuran kepuasan pernikahan pada lansia. Kepuasan ini nantinya akan berakibat pada kesehatan mental dan fisik pada lansia. Penelitian ini mengacu pada kepuasan pernikahan pada masa pensiun dan penyakit-penyakit yang diderita oleh pasangan maupun diri sendiri. Penelitian tersebut hanya meringkas penelitian-penelitian sebelumnya dan mendapat kesimpulan dari kepuasan pernikahan yang menjadikan pernikahan dapat bertahan lama hingga di masa tua. Perbedaan dengan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah dari segi pengambilan data dan faktor-faktor yang diungkap dalam kepuasan pernikahan. Penelitian yang dilakukan oleh Bachand, L. L., dan Caron S. L. (2001) dengan judul Ties That Bind a Qualitative Study of Happy Long-Term Marriages. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yang mengungkap makna pernikahan bagi pasangan lansia dan mengungkap perbedaan pandangan antara lansia laki-laki dan perempuan dalam mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan dalam pernikahannya. Partisipan dalam penelitian ini adalah 15 pasangan lansia heteroseksual yang telah menikah lebih dari 38 tahun. Perbedaan penelitian
12
tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah pengetahuan dalam melakukan penanganan konflik dalam rumah tangga yang belum terdapat pada penelitian ini. Usia pernikahan pada responden yang dilakukan oleh peneliti adalah lebih dari 50 tahun dan berbeda dengan penelitian ini yaitu 38 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Sandberg, J. G., Miller, R. B., dan Harper, J. M. (2002) dengan judul A Qualitative Study of Marital Process and Depression in Older Couples. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan berusaha mengungkap proses pernikahan dan keberadaan depresi dalam pernikahan pada pasangan lansia. Pada penelitian ini disampaikan bagaimana pasangan lansia memahami dan mendeskripsikan depresi dan dampaknya pada pernikahan. Sampel pada penelitian ini adalah 26 pasangan lansia dengan rentang usia 54 hingga 71 tahun. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah 10 pasangan pernah mengalami depresi dalam perjalanan pernikahan dan 16 pasangan tidak mengalaminya, tetapi mengalami kesulitan yang hebat dalam berkomunikasi dan memecahkan masalah pada suatu masalah. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah perbedaan pandangan pada lansia mengenai sebuah pernikahan. Penelitian terdahulu memfokuskan pada hal yang bersifat depresif, sedangkan penelitian ini berfokus pada makna dari perjalanan pernikahan. Penelitian yang dilakukan oleh penulis juga menggali lebih dalam mengenai
konflik
yang
terjadi
dalam
sebuah
proses
pernikahan,
tetapi
mengemasnya dalam sebuah makna positif dari perjalanan kehidupan pernikahan pada lansia.
13
Penelitian yang dilakukan oleh Clements, R., dan Swensen, C. H. (2000) dengan judul Commitment to One's Spouse as a Predictor of Marital Quality among Older Couples. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan mengukur kualitas perkawinan pada lansia. Variabel independen pada penelitian ini adalah perkembangan ego, komitmen pada pasangan, lamanya usia pernikahan, kehadiran di gereja, dan seks. Variabel dependen yang diukur untuk menentukan kualitas perkawinan adalah masalah-masalah dalam pernikahan, ekspresi cinta, dan penyesuaian diadik. Sampel dalam penelitian ini adalah 72 pasangan lansia dengan usia 50 tahun ke atas. Hasil dari penelitian ini adalah komitmen pada pasangan merupakan prediktor yang paling kuat dan paling konsisten dari sebuah kualitas pernikahan. Komitmen memiliki korelasi negatif dengan masalah pernikahan dan memiliki korelasi positif dengan ekspresi cinta dan penyesuaian diadik. Variabel independen lainnya tidak berkorelasi dengan kualitas pernikahan. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah dari segi metodologi yang digunakan serta tujuan dari penelitian. Penelitian terdahulu bertujuan untuk memprediksi variabel yang berhubungan dengan kualitas dari pernikahan pada lansia, sedangkan penelitian ini bertujuan untuk mencari makna dari sebuah pernikahan yang dilalui oleh lansia selama 50 tahun usia pernikahan.