BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tawa merupakan ungkapan ekspresi komunikasi yang universal. Dengan tertawa setiap orang dari latar belakang sosial dan budaya yang berbeda dapat memahami maksud ekspresi tersebut. Tawa adalah anugerah Tuhan untuk manusia sebagai problem solver agar dapat menjalani kehidupan dengan seimbang. Dengan sedikit tertawa seseorang akan dapat melupakan sejenak permasalahan yang dihadapinya serta menjadi psikoterapi yang ampuh di dalam menghadapi situasi masyarakat yang keras dan penuh dengan tekanan. Banyak usaha yang dilakukan manusia untuk dapat tertawa. Humor adalah salah satu di antaranya. Menurut KBBI (2007: 412) humor adalah sesuatu yang lucu, menggelikan hati, atau dapat menimbulkan kejenakaan atau kelucuan. Selain itu, Wijana juga berpendapat (2003) bahwa humor merupakan salah satu wujud aktifitas yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia, humor tidak saja bermanfaat sebagai wahana hiburan, tetapi berguna pula sebagai sarana pendidikan dan kritik sosial atas ketimpangan yang akan, sedang, atau telah terjadi di tengah masyarakat. Jadi, humor pada hakikatnya merupakan salah satu cara manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam kehidupan sehari-hari manifestasi humor bermacam-macam wujudnya, misalnya dalam masyarakat Jawa yang sejak lama mengenal humor,
1
2
baik dalam seni pentas tradisional maupun dalam seni sastra. Dalam seni pentas tradisional, seperti wayang, ludruk, dan ketoprak selalu dapat ditemukan episode humor. Episode humor yang terdapat dalam wayang disebut gara-gara, dalam ludruk disebut banyolan, sedangkan dalam ketoprak disebut dhagelan (Pradopo, 1985: 2). Selain itu humor juga disajikan dalam dongeng, teka-teki, puisi rakyat, nyanyian rakyat, julukan, karikatur. Bahkan, dewasa ini humor disajikan dalam berbagai bentuk acara di stasiun televisi, semisal Tawa Sutra, Extravaganza, Opera Van Java, humor politik Senthilan-Senthilun, dan Stand Up Comedy yang hadir dan dikemas sebagai media kritik terhadap permasalahan sosial dan politik yang terjadi di masyarakat. Selain yang telah disebutkan di atas, manifestasi humor juga dapat ditemukan lewat gambar kartun. Kartun merupakan gambar yang bersifat dan bertujuan sebagai humor satir. Artinya, kartun diciptakan bukan semata-mata sebagai ekspresi seni, melainkan mempunyai maksud melucu, bahkan menyindir dan mengkritik. Wahana kritik sosial ini sering kali ditemui di dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar, majalah, dan tabloid. Di dalam media ini kartun biasanya disajikan sebagai selingan setelah para pembaca menikmati rubrik-rubrik atau artikel-artikel yang lebih serius. Dengan kartun, para pembaca dibawa ke dalam situasi yang lebih santai. Meskipun pesan-pesan yang disampaikan dalam beberapa kartun sama seriusnya dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat berita dan artikel, pesan-pesan kartun sering lebih mudah dicerna atau mudah dipahami sehubungan dengan sifatnya yang menghibur. Tambahan pula kritikan-
3
kritikan yang disampaikan secara jenaka tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan seseorang (Wijana, 2003: 4—5). Menurut Wijana (1995: 10) wacana yang wajar dihasilkan dari proses komunikasi yang bonafid (bon-afide communication), yaitu proses komunikasi yang terbentuk dari kepatuhan peserta-peserta percakapan terhadap aspek-aspek pragmatik seperti prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik, sedangkan dalam wacana humor, termasuk kartun, adalah wacana yang terbentuk dari proses komunikasi yang tidak bonafid (non-bona-fide communication), maksudnya dalam proses komunikasi jenis ini para peserta percakapan tidak menunjukkan kepatuhan terhadap aspek-aspek pragmatik. Maksim-maksim percakapan, maksim-maksim kesopanan, serta parameter pragmatik yang lazimnya secara ketat dipatuhi, namun secara sengaja dilanggar oleh kartunis dengan menciptakan tokoh-tokoh irasional. Tokoh-tokoh tersebut berbicara secara berlebih-lebihan, berbicara tanpa disertai bukti-bukti yang memadai, tidak kontekstual, ambigu, kabur, atau tidak runtut. Dalam kaitannya dengan maksim kesopanan, tokoh-tokoh kartun dikreasikan sebagai individu-individu yang memaksimalkan keuntungan atau ketidakhormatan pada orang lain. Selain itu, ada pula tokoh kartun yang berdialog memaksimalkan ketidaksetujuan atau ketidaksimpatian di antara mereka. Akhirnya, penyimpangan parameter pragmatik dilakukan dengan mengabaikan jarak sosial dan status sosial lawan bicara, serta kedudukan relatif tindak ucap. Penelitian humor dari segi linguistik telah dilakukan oleh banyak peneliti karena menarik minat serta perhatian peneliti dan memberikan kontribusi positif
4
terhadap penelitian humor. Walaupun humor telah banyak dikaji, penelitian humor dalam media kartun masih jarang ditemukan. Penelitian humor kartun baru dilakukan oleh Wijana (1995) dalam disertasinya “Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia”, sedangkan penelitian humor kartun berbahasa Jawa belum ditemukan oleh peneliti. Dalam hal ini, peneliti meneliti humor kartun berbahasa Jawa yang biasa termuat dalam majalah Djaka Lodang (selanjutnya disingkat DL) menggunakan pendekatan linguistik. Berikut contoh wacana humor kartun berbahasa Jawa (1) dan (2) dalam majalah DL: (1)
+ Lha bakat Sampèyan napa? ‘Apa bakat Anda?’ - Dados bunglon Pak... Sakniki mèlu partai A njĕng injing tumut partai B.. ‘Jadi bunglon Pak..’ ‘Sekarang ikut partai A kemudian besuk ikut partai B..’ (DL No. 28/30/10/2010)
5
(2)
+Sesuk nèk masa jabatanku ĕntèk... ‘Besok kalau masa jabatanku habis..’ +Sliramu sing nggèntèni jabatanku lho, Buné.. ‘Kamu yang menggantikan jabatanku lho, Bu..’ - Nèk Ibu mboten kĕrsa..kula nggih saguh kok Pak.. ‘Kalau Ibu tidak mau..saya juga sanggup kok Pak..?’ (DL No. 25/20/11/2011)
Tuturan pada wacana kartun (1) terbentuk dari proses komunikasi yang tidak bonafid (non bona-fide communication) karena tokoh (-) mengindahkan prinsip kerja sama dengan cara melanggar maksim relevansi. Sebagai seorang yang kooperatif dalam berkomunikasi, penutur dan lawan tutur dituntut selalu relevan dalam mengemukakan maksud dan ide-idenya. Kontribusi-kontribusi yang diberikan harus berkaitan atau sesuai dengan topik-topik yang sedang diperbincangkan. Tampak tokoh (-) memberi tanggapan yang menyimpang dari konteks yang diajukan oleh lawan tuturya (+). Dalam situasi ajang pencarian bakat setiap peserta audisi diharapkan dapat menunjukkan bakat yang dia miliki seperti bermain musik, bernyanyi atau bakat-bakat yang unik lainya, bukan mengatakan sesuatu yang tidak terlihat hubungan implikasionalnya, yang mengatakan bahwa
6
bakatnya menjadi orang bermuka dua atau tidak memiliki pendirian seperti “bunglon” binatang yang memiliki kemampuan berkamuflase mengubah warna kulitnya saat terancam. Kemudian pada tuturan wacana kartun (2) tokoh (-) dikreasikan sebagai individu yang memaksimalkan keuntungan atau ketidakhormatan pada orang lain. Tokoh (-) adalah seorang pembantu yang memaksimalkan keuntungan atau ketidakhormatan pada orang lain, yaitu terhadap majikannya. Dalam percakapan di atas tokoh (+) menawarkan jabatannya yang akan segera habis kepada istrinya, namun secara tiba-tiba seorang pembantu memotong pembicaraan tuannya dengan mengatakan bersedia menggantikan jabatan yang telah ditawarkan untuk istri tuannya. Selain melanggar prinsip kesopanan, tokoh (-) dalam wacana kartun (2) juga tidak mengindahkan parameter jarak sosial antara seorang pembantu dengan majikannya. Sebagai seorang pembantu yang status sosialnya lebih rendah terasa tidak pantas dan tidak sopan bertutur kata seperti itu terhadap majikannya yang memiliki status sosial lebih tinggi.
1.2 Rumusan Masalah Dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana klasifikasi kartun humor majalah DL terbitan tahun 2010-2011 berdasarkan bentuk dan fungsinya? 2. Bagaimana pemanfaatkan aspek-aspek pragmatik pada humor kartun berbahasa Jawa yang termuat dalam majalah DL dari tahun 2010--2011?
7
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengklasifikasikan kartun humor yang termuat dalam majalah DL terbitan tahun 2010-2011 berdasarkan bentuk dan fungsinya. 2. Mendeskripsikan pemanfaatan aspek-aspek pragmatik pada wacana humor kartun berbahasa Jawa yang termuat pada kolom majalah DL dari tahun 2010-2011.
1.4 Manfaat Penelitian Sejauh ini penelitian terhadap kartun masih sedikit. Bahkan, penelitian terhadap kartun berbahasa Jawa dari sudut pandang linguistik belum pernah ditemukan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi warna baru dalam penelitian linguistik Jawa, dan dapat dijadikan referensi oleh para peneliti linguistik, khususnya peneliti linguistik Jawa. Selain itu, diharapkan pula hasil penelitian ini dapat melengkapi penelitian humor yang telah ada.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Sehubungan dengan penelitian kebahasaan yang akan dijadikan bahan penelitian ini ialah kartun humor bebahasa Jawa dalam DL terbitan tahun 2010-2011. DL merupakan salah satu majalah berbahasa Jawa di Yogyakarta. Majalah ini diterbitkan oleh penerbit PT. Djaka Lodang Pers yang beralamatkan di jalan Patehan Tengah, 29 Yogyakarta 55133. Nama Djaka Lodang diambil dari selipan kata “djaka lodang” dalam sebuah karya tembang megatruh seorang pujangga
8
Jawa, Ronggo Warsito. Majalah DL dirintis sejak tahun 1970-an oleh Alm. H. Kusfandi dan Drs. H. Abdullah Purwodarsono yang saat ini menjadi pemimpin redaksi. Pada tanggal 1 Juni 1971, majalah ini pertama kali diterbitkan. Hingga saat ini DL mampu terbit secara rutin dan berkala setiap hari Sabtu (http://gudeg.net/id/news/2012/10/7211/Sosok-dibalik-Eksistensi-Djoko-Lodang.h tml#.Ut9vJ7T-LIU) Majalah DL memiliki semboyan ngasthi budi rahayu, ngungak mekaring jagad anyar. Bila diterjemahkan secara bebas semboyan itu berarti memiliki visi dan misi menyelamatkan atau melestarikan budaya Jawa dan melihat perkembangan dunia melalui dunia jurnalistik. Dari semboyan tersebut dapat dilihat maksud dan tujuan majalah ini, yakni menggali khazanah budaya Jawa dengan tidak melupakan perkembangan ilmu dan teknologi yang terus-menerus maju dan berkembang (dalam http://gudeg.net/id/news/2012/10/7211/Sosokdibalik-Eksistensi-Djoko-Lodang.html#.Ut9vJ7T-LIU) Majalah
DL
memiliki
sejumlah
rubrik
bahasan
yang
disajikan
menggunakan bahasa Jawa, antara lain: (1) Crita rakyat, yakni rubrik yang berisi cerita rakyat nusantara, misalnya cerita yang diadaptasi dari cerita wayang maupun sejarah seperti Putra Majapahit, Dharmawangsa Gugur, dll. Rubrik ini biasanya ada di belakang sampul depan majalah; (2) Srumuwus, yaitu rubrik yang berisi esai-esai yang mengangkat masalah sosial dan budaya yang sedang berkembang di masyarakat; (3) Wawasan jroning negara, ialah rubrik berisi esaiesai yang mengulas tentang masalah kenegaraan seperti politik, hukum, masalah ketenagakerjaan, dll.;
9
(4) Gagasan, adalah rubrik tentang ide atu gagasan penulis mengenai permasalahan yang aktual; (5) Sastra lan budaya, yakni rubrik berisi tentang ulasan-ulasan karya sastra dan budaya; (6) Geguritan dan tembang macapat adalah rubrik yang diisi puisi berbahasa Jawa, biasanya tembang macapat yang ada dalam rubrik tersebut disertai dengan notasi cara melantunkannya; (7) Cerkak adalah rubrik berisi cerpen dalam bahasa Jawa; (8) Jagading lelembut, yaitu rubrik yang membahas dunia gaib dan cerita bergenre horor; (9) Cerita sambung adalah rubrik berisi cerita bersambung yang dapat dinikmati pembaca setiap seminggu sekali; (10) Warta anyar, yaitu rubrik yang menyajikan berita terbaru yang terjadi di dalam maupun luar negeri; (11) Padhalangan ialah rubrik yang mengulas mengenai dunia pewayangan; (12) Pasujaran, yakni rubrik berisi ulasan mengenai sejarah nasional maupun luar. (13) Pengalamanku ialah rubrik yang berisi tulisan yang dikirim oleh pembaca mengenai pengalaman pribadinya; (14) Sinau maos aksara Jawa adalah rubrik belajar membaca dan menulis aksara Jawa; dan yang menjadi fokus penelitian ini (15) Kartun, yakni gambar humor yang dijadikan selingan setelah pembaca menikmati rubrik-rubrik majalah DL yang lebih serius. Rubrik kartun biasanya dapat ditemukan di bagian awal, tengah, dan di akhir majalah. Peneliti mengambil data kartun humor majalah DL terbitan tahun 2010--2011 sebagai bahan analisis, baik itu kartun verbal maupun non-verbal.
10
1.6 Tinjauan Pustaka Wijana (1995) dalam disertasinya yang berjudul “Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia” menguraikan (1) penyimpangan aspek pragmatik dalam wacana kartun bahasa Indonesia, (2) pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan dalam wacana kartun bahasa Indonesia, dan (3) tipe-tipe wacana kartun bahasa Indonesia. Secara spesifik, Wijana mendeskripsikan wacana humor bahasa Indonesia yang berupa kartun yang wujudnya visual dan menggunakan bahasa tulis. Penelitian Wijana di atas telah menginspirasi Widjajanti (1998) dalam tesisnya “Wacana Lawak dalam Ludruk: Kajian Sosiopragmatik”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa selain aspek kebahasaan dan penyimpangan terhadap prinsip kerja sama, kesopanan, dan parameter pragmatik, humor verbal tidak dapat dipisahkan dari masyarakat penciptanya. Kekhasan pemilihan bentuk bahasa dalam wacana lawak Jawa Timur-an ditentukan dan digambarkan dalam pola pikir nilai serta budaya yang melatarbelakanginya. Selain itu, humor audio visual juga pernah diteliti oleh Purwanti (2006) yang
meneliti
“Wacana
Humor
dalam
Komedi
Extravaganza:
Kajian
Sosiopragmatik”. Dalam tesis ini dibahas mengenai penyimpangan aspek-aspek pragmatik dalam wacana humor Extravaganza, pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan dalam wacana humor Extravaganza, dan komponen tutur sebagai faktor yang melatarbelakangi peristiwa tutur wacana humor Extravaganza. Dari sudut pandang yang sedikit berbeda, Yuniawan (2005) pernah meneliti tentang teknik penciptaan asosiasi pornografi dalam wacana humor
11
bahasa Indonesia. Ternyata humor dapat mengandung asosiasi pornografi. Hal ini tampak dalam hasil analisis Yuniawan yang menyebutkan teknik penciptaan asosiasi pornografi dalam wacana humor, yaitu menggunakan teknik mata ganda, metafora, tebakan, dan eufemisme. Masalah humor juga pernah diteliti oleh beberapa ahli. Pradopo, Sri Widati, Siti Soendari Maharto, Ratna Indriani Hariyono, dan Faruk H.T (1987) melakukan penelitian humor dengan pendekatan semiotik. Penelitian ini mengklasifikasikan humor yang terdapat dalam karya sasta Jawa modern menjadi tiga jenis, yaitu humor sebagai kode bahasa, humor sebagai kode sastra, dan humor sebagai kode budaya. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam sastra, humor berfungsi sebagai pengikat tema dan fakta cerita. Sebagai kode budaya dan kode bahasa, humor merupakan hasil budaya masyarakat pendukungnya sehingga identitasnya sebagai humor hanya dapat diberi makna sepenuhnya oleh masyarakat itu sendiri. Penelitian-penelitian tersebut telah mengilhami peneliti untuk mengkaji wacana humor kartun berbahasa Jawa dengan pendekatan pragmatik karena sejauh ini penelitian terhadap kartun baru diteliti Wijana (1995) melalui disertasinya “Wacana Kartun dalam bahasa Indonesia”, sedangkan wacana humor kartun berbahasa Jawa belum pernah dilakukan oleh peneliti lain.
1.7 Landasan Teori Cabang-cabang ilmu bahasa yang tercakup dalam gramatika, seperti fonologi yang menangani bunyi bahasa, morfologi yang menangani bentuk
12
bahasa, sintaksis menangani tata kata, klausa dan kalimat, semantik yang menangani makna satuan-satuan lingual, dan wacana yang menangani satuansatuan kebahasaan di atas kalimat, kesemuanya merupakan disiplin yang bersangkutan dengan struktur internal bahasa. Pragmatik berbeda dengan disiplindisiplin ilmu di atas. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam berkomunikasi, dapat pula dikatakan pragmatik mempelajari bagaimana strategi bertutur. Satuan-satuan kebahasaan di dalam kerangka pragmatik tidak diamati secara internal, tetapi dilihat bagaimana satuan-satuan itu dikomunikasikan (Wijana,1996: 1-2). Pandangan di atas sesuai dengan pendapat Parker (1986: 11) yang mengemukakan bahwa: “Pragmatics is the study of how language is used to communicate. Pragmatics is distinct from grammar, which is study of internal structure of language” ‘Pragmatik adalah studi tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Pragmatik berbeda dengan tata bahasa, yang merupakan studi tentang struktur internal bahasa.’
Leech (1983:19-22) mengemukakan bahwa pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar. Unsur-unsur situasi ujar yakni (1) yang menyapa dan disapa, (2) konteks, (3) tujuan, (4) tindak lokusi, (5) tuturan. Sejalan dengan Leech, Wijana (1996: 13) mengemukakan bahwa yang menjadi pusat kajian pragmatik adalah maksud pembicara yang secara tersurat atau tersirat di
13
balik tuturan yang dianalisis. Maksud-maksud yang terkandung dalam sebuah tuturan ada kalanya tidak sesuai dengan makna literal dari kata-kata yang menyusun tuturan tersebut. Oleh karena itu, dengan memerhatikan aspek-aspek tuturan yang menjadi latar belakang sebuah tuturan, pengkajian pragmatik diperlukan untuk mengungkap maksud-maksud tuturan tersebut. Wijana memberikan ilustrasi sebagai berikut: (1) Kapur habis (2) Jam berapa sekarang? Dilihat secara struktural kalimat (1) dan (2) secara berturut-turut adalah kalimat deklaratif dan introgatif. Secara semantik kalimat (1) bermakna ‘tidak ada lagi kapur yang tersedia’ dan kalimat (2) bermakna ‘pukul berapa saat itu’. Di dalam kalimat (1) penutur menginformasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, sedangkan dalam kaliamat (2) penutur ingin mendapatkan informasi dari lawan bicaranya. Satuan lingual (1) dan (2) bila dianalisis secara pragmatis dengan mencermati konteks pemakainya akan didapatkan hasil yang berbeda. Misalnya saja bila kalimat (1) diucapkan oleh seorang guru kepada murid-muridnya sewaktu akan memulai pelajaran, kalimat ini diucapkan bukan semata-mata unuk menginformasikan sesuatu, tetapi berimplikasi perintah, yakni menyuruh (salah satu) lawan bicaranya untuk mengambil kapur. Demikian pula halnya bila kalimat (2) diucapkan oleh seorang ibu asrama mahasiswa putri kepada tamu laki-laki yang bertandang ke asramanya, kalimat ini bukanlah kalimat tanya karena kemungkinan besar penutur sudah tahu pukul berapa saat itu. Dalam konteks seperti kalimat (2) adalah kalimat perintah yang
14
diutarakan secara tidak langsung. Adapun maksud yang terkandung di baliknya adalah sang tamu segera meninggalkan asrama karena hari sudah malam atau batas waktu berkunjung ke asrama telah habis. Maksud perintah di balik ujaran (1) dan (2) disebut daya ilokusioner (illocutionary force), sedangkan daya pengaruhnya terhadap pendengarnya disebut daya perlokusioner (perlocutioary force) (Wijana, 1995: 50-52). Selain itu, Leech (1983: 22) juga mengatakan bahwa pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari tentang strategi dalam berkomunikasi ‘retoris’. Penggunaan istilah ‘retoris’ mengacu pada kajian mengenai pemakaian bahasa secara efektif di dalam komunikasi. Istilah retorik memusatkan diri pada situasi ujar yang berorientasi tujuan, dan di dalam situasi tersebut penutur memakai bahasa dengan tujuan menghasilkan suatu efek tertentu pada pikiran (mind) mitra tutur. Istilah ‘retoris’ juga dapat diartikan sebagai seperangkat prinsip percakapan yang saling dihubungkan oleh fungsi-fungsinya. Allan (1986: l0) menambahkan di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu. Senada dengan pendapat Leech dan Allan di atas Wijana (1995:10) menyatakan bahwa tuturan yang wajar dihasilkan dari proses komunikasi yang bonafid (bona-fide communication). Proses komunikasi ini terbentuk karena
15
peserta-peserta percakapan mematuhi secara ketat prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik.
1.7.1 Prinsip Kerja Sama Agar pesan yang dinyatakan dapat sampai dengan baik pada peserta tutur, maka komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan sejumlah prinsip seperti berikut: (1) prinsip kejelasan (clarity), (2) prinsip kepadatan (conciseness), dan (3) prinsip kelangsungan (directness). Jadi pada intinya, tuturan yang hendak disampaikan itu harus jelas, harus padat, dan harus langsung pada persoalan agar dapat dipahami secara baik oleh mitra tutur. Prinsip-prinsip di atas itu secara lengkap kemudian dituangkan ke dalam Prinsip Kerja Sama oleh Grice (1975).1 Maka, prinsip-prinsip bertutur yang terdiri dari sejumlah maksim kerja sama itu lalu disebut dengan Prinsip Kerja Sama Grice. Prinsip kerja sama di dalam aktivitas bertutur itu seluruhnya meliputi empat macam maksim, yang satu per satu dapat disebutkan sebagai berikut, maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner) (Wijana, 1996:46, Rahardi, 2009: 23). Berikut ini, setiap maksim di dalam prinsip kerja sama itu dijelaskan satu demi satu agar didapatkan pemahaman yang baik terhadap prinsip kerja sama.
1
Prinsip kerja sama, sebagaimana yang disampaikan oleh Grice (1975), banyak dimanfaatkan di dalam retorika yang sifatnya tekstual. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa prinsip kerja sama akan banyak bermanfaat untuk mencermati masalah-masalah yang sifatnya tekstual, bukan yang interpersonal.
16
1.7.1.1 Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity) Di dalam maksim kuantitas ini seorang penutur diharapkan dapat memberi informasi yang benar-benar cukup, benar-benar memadai, dan berciri seinformatif dan sejelas mungkin, tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh mitra tuturnya dengan kata lain “be appropriately informative” (Wijana, 1996:46, Rahardi, 2009: 23).
1.7.1.2 Maksim Kualitas (Maxim of Quality) Di dalam bicara secara kooperatif, seorang peserta tindak tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya di dalam aktivitas bertutur sesungguhnya. Peserta tindak tutur hendaknya mengatakan sesuatu berdasarkan atas bukti-bukti yang jelas, konkret, logis, dan terukur. Maka sebuah tuturan akan dapat dikatakan memiliki kualitas yang baik apabila tuturan itu sesuai dengan fakta, sesuai dengan keadaan sesungguhnya, tidak mengada-ada, tidak dibuat-buat dan tidak direkayasa atau “speakers and writers are expected to say only what they believe to be true and have evidence for what they say” (Wijana,1999: 48, Rahardi, 2009: 24).
1.7.1.3 Maksim relevansi (Maxim of Relevance) Agar dapat terjalin kerja sama yang sungguh-sungguh baik antara penutur dan mitra tutur dalam berkomunikasi, penutur dan lawan tutur dituntut selalu relevan mengemukakan maksud dan ide-idenya atau “be relevance at the time of the utterance”. Kontribusi-kontribusi yang diberikan harus berkaitan atau sesuai
17
dengan topik-topik yang sedang diperbincangkan. Agar pembicaraaan selalu relevan maka penutur harus membangun (mengkontruksikan) konteks yang kurang lebih sama dengan konteks yang dibangun oleh lawan bicaranya. Jika tidak, mereka akan terperangkap dalam kesalahpahaman (Wijana, 1996: 49, Rahardi,2009:24).
1.7.1.4 Maksim pelaksanaan (Maxim of Manner) Di dalam maksim pelaksanaan pembicara harus mengutarakan ujarannya sedemikian rupa agar mudah dipahami oleh lawan bicaranya dengan menghindari kekaburan (obscurity), ketaksaan (ambiguity), berbicara secara padat (concise), dan langsung (straightforwd) atau “be orderly and clear” (Wijana, 1996:50, Rahardi, 2009: 25). Grice (1975:47-48) membuat analogi bagi katagori-katagori maksim percakapan sebagai berikut: 1. Maksim Kuantitas: “Jika Anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan kontribusi Anda tidak lebih atau kurang dari apa yang saya butuhkan.” 2. Maksim Kualitas: “Saya mengharapkan kontribusi Anda sungguh-sungguh bukannya sebaliknya.” 3. Maksim Relevansi: “Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi.”
18
4. Maksim Cara: “Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi yang harus dilakukannya dan melaksanakannya secara rasional.”
1.7.2 Prinsip kesopanan (Politenes Prinsiple) Menurut Leech (1983: 16) pragmatik sebagai retorika interpersonal masih memerlukan prinsip lain di samping prinsip kerja sama, yakni prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan terbagi atas berbagai maksim, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (simpaty maxim). Di dalam maksim-maksim prinsip kesopanan itu dapat pula dikatakan bahwa maksim-maksim tertentu dapat berskala dua kutub (bipolar scale maxim), dan beberapa maksim lain bersifat (unipolar scale maxim). Untuk maksimmaksim yang memiliki 2 kutub, beberapa maksim ternyata berpusat pada orang lain (other centered maxim), dan beberapa lagi berpusat pada diri sendiri (self centered maxim). (Leech,1983: 132-133, Wijana, 1996:55). Secara lengkap maksim kesopanan beserta submaksim-submaksimnya dijabarkan sebagai berikut:
19
1.7.2.1 Maksim kebijaksanaan (Tact Maxim) Maksim
kebijaksanaan
menggariskan
agar
para
peserta
tutur
meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan untuk orang lain. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif (Wijana, 1996:56).
1.7.2.2 Maksim kemurahan (Generosity Maxim) Bila maksim kebijaksanaan berpusat pada orang lain, maksim kemurahan berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menggariskan setiap peserta percakapan untuk memaksimalkan kerugian dan meminimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif (Wijana, 1996:57).
1.7.2.3 Maksim penerimaan (Approbation Maxim) Maksim penerimaan mengharuskan peserta percakapan memaksimalkan penghormatan dan meminimalkan ketidakhormatan pada orang lain. Maksim ini mewajibkan setiap peserta percakapan untuk mengatakan sesuatu yang tidak mengenakkan orang lain, terutama mengenai lawan bicara. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif (Wijana, 1996:57).
1.7.2.4 Maksim kerendahan hati (Modesty Maxim) Untuk menjaga atau mempertahankan hubungan baik dengan lawan tutur, setiap penutur selayaknya pandai menempatkan dirinya baik dalam perilaku
20
maupun tutur katanya. Seorang yang rendah hati biasanya tidak mengagungkan kemampuan
yang
dimilikinya.
Mengagung-agungkan
atau
menonjolkan
kemampuan, prestasi, atau harta milik dan yang lainnya bila tidak dianggap perlu di depan lawan bicara identik dengan kesombongan yang tentu saja bertentangan dengan prinsip kesopanan yang harus ditaati. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif (Wijana,1996:58).
1.7.2.5 Maksim kecocokan (Agreement Maxim) Untuk menjaga perasaan lawan bicara, setiap penutur selayaknya pandai memposisikan dirinya menjadi orang yang diajak bicara dan menghargai pendapat orang tersebut walaupun penutur tersebut memiliki pendapat yang berbeda. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di
antara
mereka.
Maksim
ini
diungkapkan
dengan
tuturan
asertif
(Wijana,1996:59).
1.7.2.6 Maksim kesimpatian (Simpaty Maxim) Maksim kesimpatian mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberi ucapan selamat. Bila lawan tutur sedang mengalami musibah atau kesusahan layaknya turut berduka dan mengucapkan belasungkawa sebagai tanda kesimpatian. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif (Wijana,1996:60)
21
Dari klasifikasi di atas terlihat bahwa maksim 1, 2, 3, dan 4 memiliki pebedaan dengan maksim 5 dan 6. Maksim kelompok pertama adalah maksim berskala dua kutub (bipolar scale maxim), sedangkan maksim kelompok kedua adalah maksim berskala satu kutub (unipolar scale maxim). Maksim berskala dua kutub berhubungan dengan keuntungan dan kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan yang akan dilakukan (future action) bagi diri sendiri atau orang lain. Sementara itu, maksim berskala satu kutub berhubungan dengan pernyataan penilaian buruk-baik penutur terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Dalam hubungannya dengan maksim berskala dua kutub, dapat diperhatikan perbedaan antra maksim 1 dan 3 dan maksim 2 dengan 4. Maksim 1 dan 3 berpusat pada orang lain (other centered maxim), sedangkan maksim 2 dan 4 berpusat pada diri sendiri (self centered maxim).
1.7.3 Parameter Pragmatik Allan (1986) menyatakan bahwa di dalam komunikasi masyarakat agar proses komunikasi antara penutur dan mitra tutur dapat berjalan dengan baik dan lancar, masing-masing yang terlibat di dalam proses bertutur haruslah dapat saling bekerjasama dengan baik. Selanjutnya bekerjasama yang baik dalam proses bertutur itu salah satunya dapat dilakukan dengan berperilaku sopan kepada pihak lain (Allan, 1986 dalam Rahardi, 2009:22). Sehubungan dengan hal itu, berperilaku yang sopan itu sesungguhnya hanya dapat dilakukan dengan cara memperhitungkan harga diri atau ‘wajah’ dari sang mitra tutur dalam kegiatan bertutur (paying attention to H’s ‘face). Tanpa
22
perhatian dan pertimbangan yang baik terhadap muka atau harga diri sang mitra tutur, mustahil kesantunan dalam aktivitas bertutur itu dapat terujud (Rahardi, 2009:22). Wajah atau harga diri seseorang itu sendiri terdiri dari dua macam, yakni wajah yang sifatnya positif (positive face) dan wajah yang sifatnya negatif (negative face). Wajah positif adalah keinginan seseorang agar ide-ide, atribut, milik, prestasi, tujuan, dsb., diinginkan atau dikehendaki oleh lawan bicaranya. Wajah negatif adalah keinginan seseorang untuk tidak diserang, diejek, atau dihinakan oleh lawan tuturnya. Di dalam konteks pemakaian bahasa dua aspek ini dapat menimbulkan sesuatu yang tidak mengenakkan bila pemuasan terhadap salah satu aspek mengandung pelanggaran terhadap yang lain. Seorang pembantu akan merasa janggal bila tuannya berkata: “Bersediakah Anda menyapu lantai teras ini?” karena wajah positif yang ditawarkan tuannya tidak sesuai dengan atribut, prestasi, atau milik lawan bicaranya (Wijana, 1996:63-64). Pelanggaran ini oleh Leech disebut sebagai ironi yang memungkinkan seseorang berpura-pura kelihatan sopan, tetapi sebenarnya tidak sopan (Leech, 1983: 142-143). Hal ini bergantung pada bagaimana hal yang sopan itu diungkapkan. Jadi, it is not what he said, it is way he said it. Pengaruh tuturan terhadap wajah yang ditawarkan itu dapat diukur dengan tiga parameter pragmatik, yakni tingkat jarak sosial, tingkat status sosial, dan tingkat peringkat tindak ucap.
23
1. Tingkat jarak sosial (distance rating) antara penutur dan lawan tutur yang ditentukan berdasarkan parameter keakraban, perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. 2. Tingkat status sosial (power rating) yang didasarkan atas hubungan yang asimetrik antara penutur dan lawan tutur di dalam konteks pertuturan. Misalnya, di ruang praktek seorang dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari seorang polisi, namun di jalan raya polisi dapat menilangnya bila sang dokter melakukan pelanggaran. Dalam konteks yang terakhir ini polisi memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada sang dokter. 3. Tingkat peringkat tindak ucap (rank rating) yang didasarkan atas kedudukan relatif antara tindak ucap yang satu dengan tindak ucap yang lain di dalam konteks pertuturan. Misalnya saja di dalam situasi yang kurang mendesak, meminjam mobil ke tetangga tanpa alasan yang tidak penting dianggap kurang sopan. Akan tetapi, di dalam situasi yang mendesak (darurat) meminjam mobil dan menyuruh mengantar ke rumah sakit adalah hal yang wajar. Semakin tinggi strategi yang digunakan, semakin sopanlah maksud seorang penutur dalam berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Berbicara secara baik dan benar pada hakikatnya mampu menggunakan nilai-nilai parameter itu secara seksama dan menghubungkannya dengan bentuk ekspresi kebahasaan, cara berbicara, nada suara, dsb. dalam upaya menghasilkan tuturan yang efektif (sesuai dengan yang dimaksudkan). Hal inilah yang sering gagal dicapai oleh orang-orang
24
yang bukan penutur asli. Mereka secara tidak sengaja membuat sesuatu yang tidak mengenakkan ke lawan tutur karena norma-norma yang ada di dalam suatu masyarakat bahasa seringkali tidak dapat diterapkan begitu saja pada masyrakat bahasa lain (Wijana, 1996:65).
1.7.4 Konsep Humor Konsep humor yang berkembang selama ini bertumpu pada tiga teori utama, yakni teori ketidaksejajaran, teori pertentangan, dan teori pembebasan. Teori ketidaksejajaran mengemukakan bahwa humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam suatu objek yang kompleks. Ketidaksejajaran atau ketidaksesuaian bagian-bagian itu dipersepsi secara tiba-tiba oleh penikmatnya (Wijana, 1995:24) Ada semacam konsesus dari para ahli untuk merumuskan konsep humor (Wilsos, 1979:19 via Wijana, 1995:27). Bila humor itu dilambangkan X dan situasi-situasi yang ditimbulkan itu dilambangkan M1 dan M2, maka ambiguitas humor dapat digambarkan dengan diagram berikut: M1
M2
X Hubung X dengan M1 dan M2 dilambangkan dengan “=” sehingga diagram di atas menjadi berikut ini.
25
M1
M2
=
=
X Wacana-wacana nonhumor memiliki hubungan M1 dan M2 yang konjungtif. Untuk itu dapat diperhatikan wacana di bawah ini. Konglomerat kaya harta. Ilmuan kaya Ilmu. Kata kaya pada Konglomerat kaya harta memiliki makna yang sama dengan yang terdapat pada kalimat Ilmuan kaya ilmu. Kesemuanya bermakna ‘banyak memiliki’. Bila kata kaya di atas secara berturut-turut disamakan dengan M1 an M2, maka wacana non humor ini dilukiskan dengan bagan berikut ini: M1
=
=
M2
=
X
Berbeda dengan wacana nonhumor, kelucuan wacana humor biasanya dibentuk dari hubungan antara M1 dan M2 yang bersifat disjungtif. M1 dan M2 di dalam humor berfungsi sebagai alternaif yang berbeda atau bertentangan satu sama lain. Hubungan yang bersifat alternatif ini dilambangkan dengan ≠ sehingga secara keseluruhan dapat dilukiskan dengan bagan di bawah ini.
26
M1
≠
=
M2
=
X Kemudian Wijana menambahkan bahwa apa yang dianggap tidak sejajar dan bertentangan itu hakikatnya dapat diterangkan secara linguistik. Dari perspektif linguistik ketidaksejajaran dan pertentangan itu terjadi karena dilanggarnya norma-norma pragmatik bahasa baik secara tekstual maupun interpersonal. Secara tekstual pelanggaran dilakukan dengan penyimpangan prinsip kerjasama (cooperative principle), dan secara interpersonal dilakukan dengan pelanggaran prinsip kesopanan (politeness principle) dan parameter pragmatik (Wijana, 2003:5-6 ).
1.8 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Disebut kualitatif karena penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena kebahasaan yang terjadi, dan tidak terkait dengan penghitungan angka sebagai hasil akhir (Mahsun, 2005:233). Di sisi lain, penelitian ini juga bersifat deskriptif karena data-data yang berwujud verbal lisan dideskripsikan dan kemudian dianalisis secara cermat untuk membuat generalisasi atau kesimpulan secara umum. Dengan demikian, cara kerjanya bersifat induktif.
27
Metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga yaitu; metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian data.
1.8.1 Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan adalah metode simak. Metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2005: 90). Istilah menyimak di sini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis. Metode simak mempunyai teknik lanjutan yang terdiri dari tiga jenis yaitu; teknik simak libat cakap, teknik simak bebas libat cakap, dan teknik rekam (Mahsun, 2005:91). Peneliti mengumpulkan data penelitian dari majalah DL terbitan mulai tahun 2010 sampai 2011. Data yang dikumpulkan berupa wacana kartun berbahsa Jawa. Selanjutnya peneliti memilah data-data yang sudah dikumpulkan untuk diseleksi sesuai dengan rumusan dan tujuan penelitian.
1.8.2 Metode Analisis Data Metode yang digunakan dalam analisis data wacana humor kartun majalah DL adalah metode padan ekstralingual. Padan merupakan kata yang bersinomim dengan kata banding dan sesuatu yang dibandingkan mengandung makna adanya keterhubungan sehingga padan di sini diartikan sebagai hal menghubungbandingkan
(Mahsun,
2005:112).
Peneliti
menggunakan
metode
padan
28
ekstralingual karena yang akan dihubungpadankan berkenaan dengan unsur yang berada di luar bahasa (ekstralingual), seperti hal yang menyangkut makna, informasi, konteks tuturan dan sebagainya. Tahap-tahap analisis data dimulai dengan memilah dan memilih berdasarkan bentuk dan fungsinya. Selanjutnya tiap data dianalisis untuk mengetahui penyebab timbulnya kelucuan. Jika penyebab kelucuan itu aspek pragmatik maka akan dicari tahu aspek pragmatik apakah yang menyebabkan timbulnya humor dalam data tersebut. Terdapat kemungkinan bahwa satu data mempunyai efek kelucuan yang timbul karena pemanfaatan aspek-aspek pragmatik.
1.8.3 Metode Penyajian Data Pronses transkripsi data gambar kartun pada penelitian ini mengunakan transkripsi ortografis. Data yang telah dianalisis disuguhkan secara informal, yaitu menggunakan kata-kata biasa tanpa lambang-lambang khusus (menurut aturan ejaan yang disempurnakan) dalam bahasa Jawa dan diterjemahkan menggunakan bahasa Indonesia menurut aturan ejaan yang disempurnakan (Mahsun, 2005: 116). Sesuai dengan rumusan dan tujuan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya maka penyajian data akan dibagi dalam empat bab.
1.9 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam penelitian ini dibagi menjadi empat bab.
29
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II membahas rumusan masalah satu yaitu mengklasifikasikan kartun humor majalah DL terbitan 2010-2011 berdasarkan bentuk dan fungsinya. Bab III membahas aspek-aspek pragmatik apa saja yang dimanfaatkan kartunis dalam mengungkapkan humor kartun. Bab ini terutama akan mengupas tuntas penyimpangan prinsip kerjasama, prinsip kesopanan dan parameter pragmatik dalam humor kartun berbahasa Jawa majalah DL. Bab IV berisi kesimpulan hasil penelitian.