BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah (Anonim, 2004c). Sebagaimana yang tercantum pada pasal 34 ayat (2) UUD 1945 bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, dan ayat (3) bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, maka adalah suatu kewajiban pagi para penyedia kesehatan untuk memberikan pengobatan yang rasional. Hal ini sesuai juga dengan peraturan perundangan dalam UU No. 36/2009, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya dibidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, serta secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan keseha tan yang diperlukan bagi dirinya. WHO memperkirakan bahwa lebih dari setengah dari semua obat yang diresepkan, dibagikan, atau dijual secara tidak tepat, dan setengah dari seluruh pasien tidak mengkonsumsi obat secara benar. Penggunaan obat secara berlebihan, kurang atau tidak tepat, menghasilkan pemborosan sumber daya dan
1
2
bahaya kesehatan yang tersebar luas. Dampak negatife yang terjadi antara lain pemborosan dari segi ekonomi, meningkatkan efek samping obat, meningkatkan kegagalan terapi, dan meningkatkan resistensi antibitoik (Anonim, 2008a). Obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan tidak ekonomis atau yang lebih popular disebut istilah tidak rasional, telah menjadi masalah tersendiri dalam pelayanan kesehatan, baik di Negara maju ataupun di Negara berkembang. Penggunaan obat yang tidak rasional akan menimbulkan dampak negative terhadap mutu pelayanan kesehatan. Terlalu banyak jenis obat yang tersedia di pasar dan informasi mengenai obat maupun pengobatan yang kurang objektif dari produsen obat seringkali memberikan masalah tersendiri dalam praktek, menyangkut cara memilih dan menggunakan obat yang benar dan aman. Informasi tersebut seringkali cenderung mendorong penggunaan obat yang diproduksi oleh masing-masing produsennya, sehingga para pemberi pelayanan (provider) atau secara khusus oleh dokter diharapkan harus selalu mengetahui secara rinci obat yang digunakan dalam praktek, terutama dalam pemilihan dan penggunaan obat secara benar dan aman dalam praktek (Anonim, 2003a). WHO telah berupaya untuk meningkatkan praktek penggunaan obat sejak tahun 1985 melalui konferensi yang diadakan di Narobi, melalui International Network for the Rational Use of Drug (INRUD) telah mengembangkan indikator penggunaan obat terdiri dari indikator utama (indikator inti) dan indikator tambahan (indikator komplemen) yang kemudian ditetapkan pada tahun 1993, sebagai metode dasar untuk menilai penggunaan obat pada unit rawat jalan di
3
fasilitas kesehatan berkaitan dengan rasionalitas penggunaan obat di fasilitas kesehatan tersebut. Indikator inti penggunaan obat WHO 1993 digunakan untuk mengukur data, baik secara retrospektif maupun prospektif tiga area umum yang berkaitan erat dengan tingkat rasionalitas penggunaan obat di suatu fasilitas kesehatan, yaitu praktek peresepan oleh pemberi pelayanan (providers) atau secara khusus dokter (prescribers), pelayanan pasien baik konsultasi klinis maupun dispensing kefarmasian, ketersediaan fasilitas ksesehatan yang mendukung penggunaan obat secara rasional. Berdasarkan pengertian tersebut maka indikator inti penggunaan obat WHO 1993 terdiri dari indikator peresepan, indikator pelayanan pasien, dan indikator fasilitas kesehatan (Anonim, 1993). Indikator inti terdiri dari indikator peresepan, indikator pelayanan pasien, dan indikator fasislitas kesehatan, sedangkan indikator komplementer terdiri dari persentase pasien yang diterapi tanpa obat, rata-rata harga obat per lembar resep, persentase harga obat untuk antibiotik persentase harga obat untuk injeksi, peresepan yang sesuai standar terapi, persentase kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diterima, dan persentase fasilitas kesehatan dengan akses informasi obat yang benar (Anonim, 1993). Puskesmas sebagai instansi penyedia layanan kesehatan merupakan unit organisasi pelayanan kesehatan terdepan yang mempunyai misi sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan secara menyueluruh dan terpadu untuk masyarakat yang tinggal di suatu wilayah kerja tertentu dengan memberikan pelayanan promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan),
4
rehabilitative (pemulihan kesehatan) (Anonim, 2006). Puskesmas sebagai instansi penyedia pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk pasien dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai jaminan sosial yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2014. Menurut UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) menyatakan bahwa BPJS Kesehatan mulai menyelenggarakan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) mulai tanggal 1 Januari 2014. Selain itu, menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN menyatakan bahwa pelayanann obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang diberikan kepada peserta berpedoman pada daftar yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang dituangkan dalam Formularium Nasional dan Kompendium Alat Kesehatan sehingga diperlukan pemantauan kesesuaian obat yang diresepkan dengan daftar obat dalam Formularium sebagai kendali mutu dan kendali biaya pada fasilitas pelayanan kesehatan. Penelitian ini dilakukan dengan cara melihat penggunaan obat di Puskesmas Depok III pada pasien rawat jalan dengan jaminan sosial JKN dengan indikator peresepan WHO 1993 dan kesesuaian obat dengan Formularium Nasioal 2013. Hasil penelitian diharapkan dapat berperan dalam menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan pengobatan di pelayanan kesehatan dan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk meningkatkan kerasionalan penggunaan obat.
5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah bagaimana penggunaan obat pada pasien rawat jalan di Puskesmas Depok III untuk pasien JKN periode Januari – Desember 2014 berdasarkan indikator peresepan WHO, yaitu : 1. Berapakah rata-rata jumlah obat tiap lembar resep untuk pasien rawat jalan ? 2. Berapakah persentase obat dengan nama generik yang diresepkan untuk pasien rawat jalan ? 3. Berapakah persentase lembar resep yang berisi antibiotik untuk pasien rawat jalan? 4. Berapakah persentase lembar resep yang berisi sediaan injeksi untuk pasien rawat jalan ? 5. Berapakah persentase obat yang sesuai dengan Formularium Nasional 2013 ? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah menganalisa kesesuaian resep dengan indikator peresepan pada pasien JKN rawat jalan Puskesmas Depok III pada periode Januari 2014 – Desember 2014, yang meliputi : 1. Rata – rata jumlah obat tiap lembar resep untuk pasien rawat jalan 2. Persentase lembar resep yang berisi obat dengan nama generik untuk pasien rawat jalan 3. Persentase lembar resep yang berisi antibiotik untuk pasien rawat jalan 4. Persentase lembar resep yang berisi sediaan injeksi untuk pasien rawat jalan 5. Persentase obat yang sesuai dengan Formularium Nasional 2013
6
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi puskesmas : a. Menambah data dan informasi untuk melaksanakan penggunaan obat secara rasional dan professional b. Sebagai masukan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di puskesmas sebagai pelayanan kesehatan tingkat pertama 2. Bagi pemerintah : a. Memperkaya data dan informasi tentang penggunaan obat di Indonesia. b. Sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan Indonesia pada umumnya dan peningkatan pelayanan kefarmasian pada khususnya. 3. Bagi peneliti : Meningkatkan pengetahuan akan dunia kesehatan dan farmasi sekaligus sebagai sarana untuk mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu yang diperoleh. E. Tinjauan Pustaka 1. Pengobatan yang Rasional Penggunaan obat rasional adalah menggunakan obat secara aman dan efektif, obat harus tersedia dengan harga yang wajar dan dengan penyimpanan yang baik. Obat harus sesuai dengan penyakit oleh karena itu diagnosis yang ditegakkan harus tepat, patofisiologi penyakkit, keterkaitan farmakologi obat dengan patofisiologi penyakit, dosis yang diberikan dan waktu pemberian yang tepat, serta evaluasi terhadap efektivitas dan toksisitas obat tersebut, ada tidaknya
7
kontraindikasi serta biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien disesuaikan dengan kemampuan pasien (Setiawati, 2005). Istilah penggunaan obat yang rasional dalam konteks biomedis mencakup kriteria berikut : a. Obat yang benar, b. Indikasi yang tepat, yaitu alasan menulis resep didasarkan pada pertimbangan medis yang baik, c. Obat yang tepat, mempertimbangkan kemanjuran, keamanan, kecocokan bagi pasien dan harga, d. Dosis pemberian dan durasi pengobatan yang tepat e. Pasien yang tepat yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan reaksi merugikan adalah minimal, f. Dispensing yang benar, termasuk informasi yang tepat bagi pasien tentang obat yang ditulis, g. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan (Siregar, 2006). Peresepan dikatakan rasional bila memenuhi kriteria tepat dosis, memilih obat yang terbaik dari pilihan yang tersedia, memberi resep dengan dosis dan waktu yang cukup serta berdasarkan pedoman pengobatan yang berlaku (Quick dkk., 1997).
8
Peresepan irrasional dapat dikelompokkan menjadi (Quick dkk., 1997): a. Peresepan boros, yaitu pemberian obat baru dan mahal, padahal tersedia obat yang lebih murah dan sama efektif dan amannya, atau penggunaan obat dengan nama dagang walaupun tersedia obat generik, b. Peresepan berlebihan, yaitu yang mengandung obat yang tidak diperlukan, dosis terlalu tinggi, pengobatan terlalu lama, atau jumlah yang diberikan lebih dari yang diperlukan. Terdapat beberapa jenis obat yang diberikan kepada pasien tanpa indikasi yang jelas dan tepat, c. Peresepan salah, yaitu obat diberikan dengan dosis yang keliru, obat yang dipilih untuk suatu indikasi tertentu tidak tepat, d. Polifarmasi, yaitu penggunaan dua atau lebih obat, padahal satu obat sudah mencukupi atau pengobatan setiap gejala secara terpisah, padahal pengobatan terhadap penyakit primernya sudah dapat mengatasi semua gejala, dan e. Peresepan kurang, yaitu tidak memberikan obat yang diperlukan, dosis tidak mencukupi, atau pengobatan terlalu singkat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola peresepan menurut Quick dkk., (1997) adalah : a. Faktor komunikasi, yaitu informasi yang tidak bias dan pengaruh industri, b. Faktor pelaku peresepan, yaitu pengetahuan yang kurang tentang kebiasaan dan pengalaman sebelumnya, c. Faktor hubungan pelaku peresepan dengan pasien, yaitu kepercayaan, kebudayaan dan tekanan pasien,
9
d. Faktor kelompok kerja, kebijakan prosedur dan tekanan senioritas, dan faktor tempat kerja, yaitu tugas terlalu banyak dan infrastruktur yang harus mendukung. 2. Indikator Penggunaan Obat WHO Instrumen untuk memantau gambaran penggunaan obat secara umum di suatu pelayanan kesehatan pengobatan yang rasional yang dikembangkan oleh International Network for the Rational Use of Drug (INRUD) yang kemudian ditetapkan oleh WHO (1993) sebagai metode dasar untuk menilai tingkat rasionalitas penggunaan obat di unit-unit rawat jalan. Indikator tersebut dapat digunakan untuk mengukur pelaksanaan penyediaan beberapa dimensi pokok pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan obat yang dapat dilakukan secara retrospektif maupun prospektif (Handayani, 2007). Tujuan umum adanya indikator tersebut adalah untuk menyediakan beberapa cara pengukuran yang obyektif sehingga dapat mendeskripsikan keadaan penggunaan obat di suatu fasilitas kesehatan, negara, atau pada suatu kawasan. Adapun tujuan khususnya adalah : a. Mendapatkan gambaran keadaan saat tertentu atas pola penggunaan obat pada fasilitas pelayanan kesehatan atau dokter, b. Membandingkan pola penggunaan obat pada fasilitas pelayanan kesehatan atau dokter satu dengan yang lain, c. Penelitian berkala atas penggunaan obat spesifik, d. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat. Indikator inti terdiri dari (Anonim, 1993a) :
10
a. Indikator peresepan : i.
Rata-rata jumlah obat per lembar resep, dengan nilai estimasi terbaik 1,8 – 2,2 item per lembar resep.
ii.
Persentase peresepan obat dengan nama generik, dengan nilai estimasi terbaik > 82,00%.
iii.
Persentase peresepan obat dengan antibiotik, dengan nilai estimasi terbaik < 22,70%.
iv.
Persentase peresepan obat dengan injeksi, dengan nilai estimasi terbaik yaitu seminimal mungkin.
v.
Persentase peresepan yang sesuai dengan formularium, dengan nilai estimasi terbaik yaitu 100%.
b. Indikator pelayanan pasien: i.
Rata-rata lamanya waktu konsultasi, dengan nilai estimasi terbaik 2,3 – 6,3 menit.
ii.
Rata-rata waktu peracikan obat, dengan nilai estimasi terbaik yaitu 12,5 – 86,1 detik.
iii.
Persentase obat yang benar-benar diserahkan kepada pasien, dengan nilai estimasi terbaik adalah 100 %
iv.
Persentase obat-obat yang telah dilabel dengan benar, dengan nilai estimasi terbaik adalah 100%.
v.
Pengetahuan pasien dalam memahami cara penggunaan obat yang benar, dengan nilai estimasi terbaik adalah 100%.
11
c. Indikator fasilitas kesehatan: i.
Ketersediaan daftar obat-obat penting atau formularium, dengan nilai estimasi terbaik adalah tersedianya obat-obat penting atau formularium.
ii.
Ketersediaan obat-obat kunci (drug of choice), dengan nilai estimasi terbaik adalah 100%.
Indikator komplementer penggunaan obat antara lain : a. Persentase pasien yang diterapi tanpa obat b. Rata-rata harga obat per lembar resep c. Persentase harga obat antibiotik d. Persentase harga obat untuk sediaan injeksi e. Peresepan yang sesuai standar terapi f. Persentase kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diterimanya g. Persentase fasilitas kesehatan dengan akses informasi obat yang benar 3. Resep Menurut SK Menkes.No. 922/Menkes/Per/X/1993 disebutkan bahwa resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan, kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, salah satunya adalah menulis resep obat dan alat kesehatan, seperti yang tercantum dalam UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 35 ayat (1).
12
Dalam PP 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, dijelaskan bahwa penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker. Prawitosari (2007) menyatakan bahwa yang berhak menulis resep adalah dokter, dokter gigi, dan dokter hewan sedangkan yang berhak menerima resep adalah apoteker pengelola apotek yang bila berhalangan tugasnya dapat digantikan Apoteker Pendamping/Apoteker pengganti atau Asisten Apoteker di bawah pengawasan dan tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek (APA). Penulisan resep khususnya di rumah sakit berdasarkan Formularium Rumah Sakit dan formularium yang lain, selain itu juga mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah pasal 4 (1) yang mengatakan bahwa dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis. 4. JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) Tujuan pemerintah menyelenggarakan semua pertanggungan sosial pada dasarnya adalah sama yaitu untuk memberikan jaminan sosial bagi masyarakat. Demikian juga hal asuransi kesehatan, tujuannya adalah membayar biaya rumah sakit, biaya pengobatan dan mengganti kerugian tertanggung atas hilangnya pendapatan karena cedera akibat kecelakaan atau penyakit. Asuransi kesehatan mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri out of pocket, dalam jumlah yang sulit diprediksi dan kadang-kadang memerlukan biaya yang sangat besar. Untuk itu diperlukan
13
suatu jaminan dalam bentuk asuransi kesehatan karena peserta membayar premi dengan besaran tetap. Dengan demikian pembiayaan kesehatan ditanggung bersama secara gotong royong oleh keseluruhan peserta, sehingga tidak memberatkan secara orang per orang (Anonim, 2014a). Untuk mewujudkan komitmen pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan nasional, maka dirintislah beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) sebagai badan pengelola asuransi kesehatan di Indonesia bertujuan untuk menjaga, memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, beserta anggota keluarganya, dalam rangka upaya menciptakan aparatur negara yang sehat, kuat dan dinamis serta memiliki jiwa pengabdian terhadap nusa dan bangsa. Askes (Asuransi Kesehatan) adalah salah satu jenis produk asuransi yang secara khusus menjamin biaya kesehatan atau perawatan para anggota asuransi tersebut jika mereka jatuh sakit atau mengalami kecelakaan. Secara garis besar ada dua perawatan yang ditawarkan perusahaan-perusahaan asuransi, yaitu rawat inap (in-patient treatment) dan rawat jalan (out-patient treatment). Daftar Plafon dan Harga Obat (DPHO) merupakan daftar obat yang menjadi acuan bagi dokter untuk menuliskan resep bagi peserta Askes. Pada perkembangannya pemerintah melalui UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dirumuskan dalam UU No.24/2011 tentang BPJS. Sehingga Askes dilebur menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai tanggal 1 Januari 2014. Dengan demikian JKN yang dikembangkan di Indonesia
14
merupakan bagian dari SJSN sedangkan BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang bertanggung jawab untuk mengelola dana jaminan sosial yang merupakan dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya untuk pembayaran
manfaat
kepada
peserta
dan
pembiayaan
operasional
penyelenggaraan program Jaminan Sosial. Untuk mendukung pelaksanaan JKN, maka disusunlah daftar obat dalam bentuk Fornas. Fornas merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan yang menjadi acuan untuk dokter dalam menuliskan resep bagi peserta JKN (Anonim, 2013). Pelaksanaan JKN yang masih baru dan merupakan langkah besar dalam pelayanan kesehatan di Indonesia mengundang banyak kontroversi dan masih memerlukan banyak pembenahan untuk mencapai tahap sempurna. Adanya JKN perlu diapresiasi sebagai bentuk langkah konkrit pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. 5. Obat Generik Obat generik adalah obat yang diproduksi dan disitribusikan tanpa nama dagang. Obat generik merupakan obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan dalamm Farmakope Indonesia atau INN (International Nonproperietary Names) WHO untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Sedangkan obat generik bermerek atau bernama dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan (Anonim, 2010).
15
Secara internasional obat dibagi menjadi dua yaitu obat paten dan obat generik. Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 tahun 2001 masa berlaku obat paten di Indonesia adalah 20 tahun. Setelah obat paten habis masa patennya, obat paten kemudian disebut sebagai obat generik. Obat generik tersebut dibagi menjadi dua yaitu generik berlogo dan generik bermerek. Obat generik berlogo yang lebih umum disebut “obat generik” saja dalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya, sedangkan “obat generik bermerek” yang lebih umum disebut “obat bermerek” adalah obat generik yang diberi merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya (Yusnidar, 2008). Sesuai dengan indikator peresepan WHO (Anonim, 1993a), persentase peresepan obat generik harus lebih besar daripada penggunaan obat dengan nama dagang. Hal ini juga telah sesuai dengan peraturan perundangan dalam UU 36/2009, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya dibidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. 6. Antibiotik Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semi sintetik atau sintetik penuh (Setiabudy dan Gan, 1995). Antibiotik adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan oleh organisme hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur analognya yang dibuat
16
secara sintetik, dan dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme. Pada awalnya antibiotik diisolasi dari mikroorganisme, tetapi sekarang beberapa antibiotika didapatkan dari tanaman tinggi atau binatang (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Prinsipnya penggunaan antibiotik didasarkan pada dua pertimbangan utama yaitu penyebab infeksi dan faktor pasien (Anonim, 2003a) : a. Penyebab infeksi Proses pemberian antibiotik yang paling baik adalah dengan melakukan pemeriksaan mikrobiologis danuji kepekaan kuman. Namun kenyatannya proses tersebut tidak dapat berjalan karena tidak mungkin melakukan pemeriksaan kepada setiap pasien yang dating karena infeksi, dan infeksi yang berat perlu penanganan segera maka pengambilan sampel bahan bilogik untuk pengembangbiakan dan pemeriksaan kepekaan kuman dapat dilakukan setelah dilakukan pengobatan terhadap pasien. b. Farktor pasien Faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibitoik adalah fungsi organ tubuh pasien yaitu fungsi ginjal, fungsi hati, riwayat alergi, daya tahan terhadap infeksi (status imunologis), daya tahan terhadap obat, beratnya infeksi, usia, dan untuk wanita hamil atau menyusui. Pemakaian antibiotik yang tidak rasional disebabkan karena lemahnya pengetahuan dan ketrampilan mengenai pemakaian obat, rasa ketidakamanan, dan ketidakpastian diagnostik karena takut kalau diagnosis infeksi tidak tepat maka langsung diberi antibiotik, takut berkembang ke infeksi yang lebih berat.
17
Kebiasaan tersebut dapat meningkatkan resistensi kuman terhadap antibiotik tertentu dan sering juga karena permintaan pasien sehingga petugas tidak kuasa untuk menolaknya (Aini dkk., 2006). Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat guna dapat (Anonim, 2001): a. Meningkatkan resiko terjadinya superinfeksi dan efek samping antibakteri b. Meningkatkan biaya pengobatan c. Memperpanjang lama penggunaan antibakteri sebagai akibat pengobatan yang kurang optimal d. Meningkatkan lama perawatan penderita di rumah sakit sebagai akibat reaksi obat yang tidak dikehendaki atau komplikasi e. Menimbulkan
resistensi
antibakteri,
seperti
methicillinresistant
staphylococcus aureus (MRSA) dan vancomycin-resistant enterococci (VCE), yang menjadi masalah kesehatan yang sangant serius. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mempromosikan penggunaan antibakteri yang efektif, aman, rasional dan terjangkau oleh masyarakat adalah menyusun dan mengikuti pedoman dan petunjuk klinis peresepan antibakteri yang didasarkan pada bukti ilmiah (Anonim, 2001). 7. Injeksi Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Injeksi dilakukan dengan melarutkan, mengemulsikan atau
18
mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda (Anief, 2000). Berdasarkan indikator peresepan WHO (Anonim, 1993a), jumlah pemakaian injeksi di unit-unit pelayanan kesehatan berasal dari pasien rawat inap karena obat dengan sediaan injeksi hanya dapat diberikan kepada penderita di rumah sakit atau di tempat praktik dokter, oleh dokter atau perawat yang kompeten. Sehingga sudah seharusnya jika tidak ada sediaan injeksi yang diresepkan untuk pasien rawat jalan. 8. Profil Puskesmas Depok III Dalam rangka pemerataan pengembangan dan pembinaan kesehatan masyarakat telah dibangun Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas adalah suatu unit pelaksaan fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarkan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan
pada suatu
masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Puskesmas merupakan unit pelayanan tingkat pertama (primary health care) yakni pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic health services) yang sangat dibutuhkan oleh sebagian masyarakat (Anonim, 2006). Puskesmas Depok III adalah pusat pelayanan kesehatan primer yang wilayah kerjanya berada di Kecamatan Depok, Sleman. Puskesmas Depok III beralamatkan di Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dan
19
mempunyai wilayah kerja Kelurahan Catur Tunggal. Puskesmas Depok III berdiri pada tanggal 5 Januari 2009. Motto Puskesmas Depok III adalah “CERIA” yakni cepat, ramah, inovatif, dan akurat (Anonim, 2009a). Visi Puskesmas Depok III yakni menjadikan puskesmas sebagai sumber inspirasi dan wadah masyarakat untuk mencapai kehidupan yang sehat, sedangkan misinya yaitu : a. Menjadikan pelayanan medik dasar yang berkualitas b. Memberikan pelayanan kesehatan
masyarakat yang menutamakan pelayanan
promotif dan preventif c. Senantiasa meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia sesuai dengan perkembangan zaman d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan e. Menjalin kerjasama dengan lintas sektoral dan lintas program f. Meningkatkan dan mengoptimalkan sarana dan prasarana Pelayanan kesehatan yang dilakukan meliputi pelayanan kesehatan umum (poli umum), pelayanan gigi, KIA/KB, laboratorium, konsultasi gizi, konsultasi psikologi, konsultasi sanitasi, farmasi dan LJJS (Layanan Jarum Suntik Steril) bagi pecandu narkoba. Tenaga kesehatan yang dimiliki dokter umum, dokter gigi, bidan, psikolog, perawat, perawat gigi, asisten apoteker, ahli gizi, pelaksana laborat, perekam medis, dan sanitarian (Anonim, 2009).
20
F. Kerangka Konsep Penelitian
Resep pasien JKN rawat jalan
Indikator Penggunaan Obat WHO 1993: Indikator Persepan a. Rata-rata jumlah obat per lembar resep b. Persentase peresepan obat dengan nama generik c. Persentase peresepan obat antibiotik d. Persentase peresepan obat dengan sediaan injeksi e. Persentase peresepan dengan obat-obat yang sesuai dengan formularium
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian di Puskesmas Depok III
G. Keterangan Empiris Penelitian dilakukan untuk memperoleh gambaran penggunaan obat pada pasien rawat jalan di Puskesmas Depok III Sleman, Yogyakarta berdasarkan standar acuan indikator peresepan WHO 1993, meliputi : a. rata-rata jumlah item obat per resep untuk pasien rawat jalan, b. persentase peresepan obat dengan nama generik, c. persentase peresepan obat dengan antibiotik, d. persentase peresepan obat dengan injeksi, e. persentase peresepan yang sesuai dengan Formularium Nasional tahun 2013.